Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1. Pengertian
2.1.1. CVD adalah suatu keadaan yang timbul karena terjadinya gangguan
peredaran darah di otak yang menyebabkan terjadinya kematian
jaringan otak, sehingga mengakibatkan seseorang menderita
kelumpuhan atau kematian. ( Fransisca B. Batticaca . 2011).
2.1.2. CVD adalah suatu kelainan fungsi otak yang timbul mendadak
disebabkan karena terjadinya gangguan darah otak dan bisa terjadi
kapan saja dan pada siapa saja (Ariff Muttaqin. 2008).
2.1.3. CVD adalah suatu sindroma yang mempunyai karakteristik suatu
serangan yang mendadak, nonkonvulsif yang disebabkan karena
gangguan peredaran darah otak non traumatik (Tarwoto . 2007).

2.2. Etiologi
2.2.1. Trombosis Serebri
Hal ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi yang akan
mengakibatkan iskemia jaringan otak sehingga menimbulkan edema di
sekitar jaringan tersebut. Beberapa keadaan di bawah ini yang
menyebabkan trombosis serebri :
2.2.1.1. Ateroskelorosis
Pada kasus ini di mana zat lemak tertumpuk dan membentuk
plak di dinding pembuluh darah secara terus menerus
membesar yang akan menyebabkan penyempitan pada dinding
pembuluh darah. Hal ini akan menghambat aliran darah, darah
akan berputar-putar di bagian permukaan yang terdapat plak,

5
7

menyebabkan penggumpalan yang akan melekat sehingga


darah menjadi tersumbat.

7
6

2.2.1.2. Embolisme
Adanya penyumbatan pada dinding pembuluh darah yang di
sebabkan oleh bekuan darah, lemak, dan udara. Hal ini berasal
dari trombus di jantung yang terlepas sehingga menyumbat
sistem aliran yang menuju ke serebral. Endokarditis merupakan
sumber terjadinya emboli.
2.2.1.3. Perdarahan (Hemoragik)
Perdarahan hemoragik biasanya terjadi di dalam jaringan otak
sendiri. Paling sering terjadi akibat dari penyakit hipertensi dan
aneurisme. Pada aneurisme terjadi pembengkakan pada
pembuluh darah. Hal ini pada di jaringan sekitar yang berada di
luar pembuluh darah membuat iritasi pada jaringan.

2.2.2. Faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya CVD yaitu :

2.2.1.4. Hipertensi
Merupakan Faktor utama terjadinya CVD. Karena pada kasus
hipertensi dapat terjadi gangguan aliran darah tubuh di mana
diamater pada pembuluh darah nantinya akan mengecil
(vasokontriksi) sehingga aliran darah yang menuju ke otak
berkurang.
2.2.2.1. Penyakit kardiovaskuler
Dapat di ketahui bahwa sentral aliran darah seluruh tubuh tepat
terletak di jantung. Apabila pusat aliran darah ini mengalami
kerusakan, maka aliran tubuh pun termasuk aliran darah menuju
ke otak terganggu. Berikut ini penyakit jantung yang dapat
mempengaruhi aliran darah di otak :
1. Penyakit arterikoroneria.
2. Gagal jantung kongestif.
3. Hipertrofi ventrikel kiri.
4. Abnormalitas irama (khususnya fibrilasi atrium).
5. Penyakit jantung kongestif.
7

2.2.3.1. Kolesterol tinggi


Hal ini di mana kadar kolesterol dalam darah berlebihan,
tertama jenis LDL yang akan membentuk plak pada pembuluh
darah, yang lama kelamaan semakin banyak dan menumpuk
sehingga dapat mengganggu aliran darah.
2.2.3.2. Obesitas
Pada orang yang obesitas sangat terkait dengan tingginya kadar
lemak dan kolesterol dalam darah, biasanya lemak jahat (LDL)
lebih tinggi di bandingkan dengan lemak yang menguntungkan
(HDL).
2.2.3.3. Diabetes Mellitus
Orang-orang dengan gula darah tinggi lebih beresiko terkena
CVD karena timbulnya perubahan sistem vaskular kakunya
pembuluh darah otak yang akan memicu terjadinya
aterosklerosis.
2.2.3.4. Merokok
Orang yang sering merokok biasanya kadar fibrinogen dalam
darahnya akan meningkat sehingga merangsang penebalan
pembuluh darah, kemudian menjadi sempit serta kaku dengan
demikian dapat menyebabkan gangguan aliran darah.
2.2.3.5. Konsumsi alkohol
Mengkonsumsi minuman ini terlalu banyak akan mengganggu
proses metabolism lemak yang akan meningkatkan jumlah
kadar trigliserida dalam darah dan yang mempengaruhi jumlah
platet sehingga menimbulkan kekentalan dalam darah yang
berpotensi meningkatkan tekanan darah.

2.3. Patofisiologi
Otak kita sangat sensitif terhadap kondisi penurunan atau hilangnya
suplai darah. Setiap kondisi yang menyebabkan perubahan perfusi
darah pada otak akan menyebabkan keadaan hipoksia. Hipoksia yang
berlangsung lama dapat menyebabkan iskemik otak karena tidak
seperti jaringan pada bagian tubuh lain, misalnya otot, otak tidak bisa
8

menggunakan metabolisme anaerob jika terjadi kekurangan oksigen


atau glukosa. Otak diperfusi dengan jumlah yang cukup banyak
dibanding organ lain yang kurang vital untuk mempertahankan
metabolism serebral. Iskemik yang terjadi dalam waktu yang singkat
kurang dari 10-15 menit dapat menyebabkan penurunan system
neurologis sementara atau TIA. Sedangkan iskemik yang terjadi dalam
waktu lama dapat menyebabkan sel mati permanen dan mengakibatkan
infark pada otak. Arterosklerosis sering sebagai faktor penyebab infrak
pada otak. Trombus dapat berasal dari flak arterosklerotik atau darah
dapat beku pada area yang stenosis, tempat aliran darah mengalami
pelambatan atau terjadi turbulensi. Trombus dapat pecah dari dinding
pembuluh darah terbawa sebagai emboli dalam aliran darah. Trombus
mengakibatkan iskemia jaringan otak yang disuplai oleh pembuluh
darah otak yang bersangkutan dan edema dan kongesti disekitar area.
Area edema ini menyebabkan disfungsi yang lebih besar dari pada area
infark itu sendiri. Edema dapat berkurang dalam beberapa jam atau
kadang-kadang sesudah bebrapa hari. Dengan berkurangnya edema
pasien mulai menunjukkan perbaikan. Oleh karena thrombosis
biasanya tidak fatal, jika tidak terjadi perdarahan massif. Oklusi pada
pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan edema dan
nekrosis diikuti trombosis. Jika terjadi septik infeksi akan meluas pada
dinding pembuluh darah yang tersumbat menyebabkan dilatasi
aneurisme pembuluh darah. Hal ini menyebabkan perdarahaan serebral,
jika aneurisme pecah dan ruptur. Perdarahan pada otak disebakan oleh
ruptur arteriosklerotik dan hipertensi pembuluh darah. Perdarahan
intraserebral yang sangat luas akan lebih sering menyebabkan kematian
dibandingkan keseluruhan penyakit serebrovaskular, karena
perdarahan yang luas terjadi dekstruksi massa otak, peningkatan
tekanan intracranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi
otak pada falk serebri atau lewat foramen magnum. Kematian dapat
disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer otak, dan perdarahan
batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak.
Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus
perdarahan otak di nucleus kaudatus, thalamus, dan pons. Jika sirkulasi
9

serebral terhambat, dapat berkembang anoksia serebral. Perubahan


yang disebabkan oleh anoksia serebral dapat refersibel untuk waktu 4-
6 menit. Perubahan ireversibel jika anoksia lebih dari 10 menit.
Anoksia serebral dapat terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi
salah satunya henti jantung. Selain kerusakan parenkim otak, akibat
volume perdarahan otak yang relatif banyak akan mengakibatkan
peningkatan tekanan intracranial dan penurunan tekanan perfusi otak
serta gangguan drainase otak. Elemen-elemen vaso aktif darah yang
keluar dan kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi,
menyebabkan saraf di area yang terkena darah dan sekitarnya tertekan
lagi. Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Jika voume
darah lebih drai 60 cc maka resiko kematian sebesar 93 % pada
perdarahan dalam dan 71 % pada perdarahan luar. Sedangkan jika
terjadi perdarahan serebral dengan volume antara 30-60 cc
diperkirakan kemungkinan kematian sebesar 75 %, namun volume
darah 5 cc dan terdapat di pons sudah berakibat fatal.

2.3.1. Klasifikasi
2.3.1.1. Stroke hemoragik merupakan perdarahan serebral. Disebabkan
oleh pecahnya pembuluh darah otak pada area otak tertentu.
Biasanya terjadi pada saat braktifitas atau saat aktif namun biasa
juga terjadi pada saat istirahat atau bangun tidur di pagi hari.
Perdarahan otak terbagi menjadi dua yaitu :
1. Perdarahan intraserebral (SIP). Pecahnya pembuluh
darah (mikroaneurisma) terutama karena hipertensi
kronik mengakibatkan darah masuk kedalam jarinagan
otak dan menimbulkan edema otak. Peningkatan TIK
yang terjadi cepat, dapat mengakibatkan kematian
mendadak karena herniasi otak. Perdarahan intraserebri
yang disebabkan hipertensi sering dijumpai didaerah
putamen, thalamus, pons, dan serebellum.
2. Perdarahan subaraknoid ini berasal dari pecahnya
aneurisma berry atau AVM. Aneurisma yang pecah ini
berasal dari pembuluh darah sirkulasi Willisa dan
10

cabang-cabangnya yang terdapat diluar parenkim otak


(Juwono,1993). Pecahnya arteri dan keluarnya keruang
subarachnoid menyebabkan TIK meningkat mendadak,
merengangnya struktur peka nyeri , dan vasospasme
pembuluh darah serebri yang berakibat disfungsi otak
global (nyeri kepala, penurunan kesadaran) maupun
fokal (hemiparese, gangguan hemisensorik, afasia, dan
lainnya)

2.3.1.2. Stroke Non hemoragik dapat berupa iskemia atau emboli dan
thrombosis serebral, biasanya terjadi saat lama beristirahat, baru
bangun tidur di pagi hari. Tidak terjadi pendarahan namun
terjadi iskemia yang menimbulkan hipoksia dan selanjutnya
dapat timbul edema sekunder. Kesadaran umumnya baik.
1. Thrombosis pada pembuluh darah otak (thrombosis of
cerebral vessels).
2. Emboli pada pembuluh darah otak (embolism of cerebral
vessels)

2.3.2. Manifestasi klinis


Gejala klinis pada stroke yang timbul tergantung dari jenis stoke
2.3.1.3. Gejala klinis pada stroke hemoragik berupa :
1. Defisit neurologis mendadak , sangat akut biasanya didahului
gejala prodromal yang terjadi pada saat beraktifitas atau
setelah lama beristirahat, baru bangun tidur di pagi hari.
2. Kesadaran umumnya baik.
3. Terjadi terutama pada usia 40-60 tahun.
4. Tidak terjadi pendarahan namun terjadi iskemia.
5. Gejala neurologis yang timbul bergantung pada berat
ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasinya.

2.3.1.4. Gejala klinis pada stroke Nonhemoragik berupa :


11

1. Kelumpuhan wajah atau anggota badan (biasanya hemiparese)


yang timbul mendadak.
2. Gangguan sensibilitas pada satu anggota badan (gangguan
hemisensorik )
3. Perubahan mendadak pada status mental ( konfusi, delirium ,
latergi, stupor, atau koma )
4. Afasia ( tidak lancar atau tidak dapat bicara )
5. Disatria ( bicara pelo atau cadel )
6. Ataksia ( tungkai atau anggota badan tidak tepat pada sasaran )
7. Vertigo (mual, muntah atau nyeri kepala)

2.3.3. Pemeriksaan diagnostic


2.3.3.1. Angiografi serebri
Membantu menentukkan penyebab dari stroke secara spesifik
seperti perdarahan arteriovena atau adanya ruptur dan untuk
mencari sumber perdarahan seperti aneurisma atau malformasi
vaskuler.
2.3.3.2. Lumbal Fungsi
Tekanan yang meningkat dan disertai bercak darah pada cairan
lumbal menunjukkan adanya hemoragik pada subarakhnoid
atau perdarahan pada intrakranial. Peningkatan jumlah protein
menunjukkan adanya proses inflamasi. Hasil pemeriksaan
likuor yang merah biasanya dijumpai pada perdarahan yang
masif, sedangkan perdarahan yang kecil biasanya warna likuor
masih normal (xantokrom) sewaktu hari-hari pertama
2.3.3.3. CT-Scan
Memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi hematoma,
adanya jaringan otak yang infark atau iskemia, serta posisinya
secara pasti. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan hiperdens
fokal, kadang-kadang masuk ke ventrikel, atau menyebar ke
permukaan otak.
2.3.3.4. Magnetic Imaging Resonance (MRI)
Dengan menggunakan gelombang magnetik untuk
menentukkan posisi serta besar/luas terjadinya perdarahan
12

otak. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan area yang


mengalami lesi dan infark akibat dari hemoragik.
2.3.3.5. USG Doppler
Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena( masalah
sistem karotis)
2.3.3.6. EEG
Mengidentifiskasi masalah didasarkan pada gelombang otak
dan mungkin memperlihatkan lesi yang spesifik.

2.3.4. Komplikasi
2.3.4.1. Edema serebral
Peningkatan TIK adalah komplikasi potensial dari stroke
iskemik yang luas dan perdarahan intraserebral. Manifestasi
dari peningkatan TIK termasuk seperti perubahan tingkat
kesadaran, refleks hipertensi, dan perubahan neurologisa yang
memburuk.
2.3.4.2. Aspirasi Pneumonia
Pada kasus stroke akan beresiko mengalami aspirasi pneumonia
yang dihubungkan dengan hilangnya sensasi faringeal,
hilangnya krontol motorik orofaringeal dan penurunan tingkat
kesadaran.
2.3.4.3. Stroke Berulang
Kejadian stroke berulang dalam empat minggu pertama setelah
stroke iskemik akut berkisar antara 0,6-2,2% per minggu.
2.3.4.4. Kelumpuhan
Kelumpuhan yang terjadi tergantung letak lesi di bagian otak.
Dimana pada kasus ini, pasien tidak mampu menggerakkan
bagian anggota tubuh sehingga mengalami keterbatasan
aktivitas.

2.3.4.5. Koma
13

Dapat terjadi karena suplai oksigen ke batang otak yang


mengontrol kesadaran mengalami penyumbatan. Hal ini akan
menurunkan tingkat kesadaran.
2.3.4.6. Kematian
Kematian terjadi bila tidak dapat mengontrol respon pernapasan
atau kardiovaskuler. Secara khusus semua tipe stroke dengan
manifestasi tersebut terjadi sebagai hasil dari kerusakan pada
vasomotor dan pusat pengaturan

2.4. Penatalaksanaan Medis


2.4.1. Pengobatan Konserfatif
2.4.1.1. Vasodilator meningkatkan aliran darah serebri (ADS) secara
percobaan, tetapi maknanya pada tubuh manusia belum dapat
dibuktikan.
2.4.1.2. Dapat diberikan histamin, aminophilin, asetazolamid,
papaverin intraarterial.
2.4.1.3. Medikasi anti trombosit dapat diresepkan karena trombosit
memainkan peran sangat penting dalam pembentukan trombus,
dan embolisasi. Antiagregasi trombosis seperti aspirin
digunakan untuk menghambat reaksi pelepasan agregasi
thrombosis yang terjadi sesudah ulserasi alteroma.
2.4.1.4. Antikoagulan dapat diresepkan untuk mencegah terjadinya atau
memberatnya thrombosis atau embolisasi dari tempat lain dalam
system kardiovaskular.

2.4.2. Pembedahan
Tujaun utamanya adalah memeperbaiki aliran darah serebri :
2.4.2.1. Endosterektomi karotis membentuk kembali arteri karotis, yaitu
dengan membuka arteri karotis di leher.
2.4.2.2. Revaskularisasi terutama merupakan tindakan pembedahan dan
manfaatnya paling dirasakan oleh klien TIA.
2.4.2.3. Evaluasi bekuan darah dilakukan pada stroke akut.
2.5. Pengkajian
14

Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu
proses pengumpulan data yang sistematis dari berbagai sumber data untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan pasien. (Nursalam.
2008).
2.5.1. Pengkajian Fisik
2.5.1.1. Keadaan umum
Umumnya mengalami penurunan kesadaran, kadang
mengalami gannguan bicara yang susah dimengerti, terkadang
pasien tidak bias bicara dan pada tanda-tanda vital : Tekanan
darah meningkat, dan denyut nadi yang bervariasi.
2.5.1.2. B1 (Breathing)
Pada pasien yang mengalami inpeksi didapatkan batuk,
peningkatan produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot
bantu nafas, dan peningkatan frekuensi pernafasan. Auskultasi
bunyi nafas tambahan seperti ronkhi dengan peningkatan
produksi sekret dan kemampuan batuk menurun yang sering
didapatkan pada pasien stroke dengan tingkat kesadaran koma.
Pada klien dengan tingkat kesadaran Compos Mentis pada
pengkajian inpeksi pernafasan tidak ada kelainan. Palpasi
thoraks didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan kiri.
Auskultasi tidak didapatkan bunyi nafas tambahan.
2.5.1.3. B2 (Blood)
Pengkajian pada system kardiovaskular didapatkan syok
hipovolemik yang sering terjadi pada klien stroke. TD biasanya
terjadi peningkatan dan bisa terdapat adanya hipertensi massif
TD >200mmHg.
2.5.1.4. B3 (Brain)
Stroke menyebabkan berbagai deficit neorologis bergantung
pada pembuluh darah mana yang tersumbat, ukuran perfusinya
tidak adekuat. Lesi otak yang rusak tidak dapat membaik
sepenuhnya. Pengkajian B3 ini lebih lengkap dibandingkan
pengkajian pada system lainnya.

1. Tingkat Kesadaran
15

Kualitas kesadaran klien merupakan ukuran yang paling


mendasar dan paling penting membutuhkan pengkajian.
Tingkat kesadaran klien dan respon terhadap lingkungan
adalah indukator paling sensitive untuk mengetahui
disfungsi system persarafan. Beberapa system digunakan
untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan
dan kesadaran.
Pada keadaan lanjut, tingkat kesadaran klien biasanya
berkisar pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa.
Apabila klien mengalami koma maka penilain GCS sangat
penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan
evaluasi untuk pemberian asuhan.
2. Fungsi serebri
Pengkajian ini meliputi status mental fungsi intelektual,
kemampuan bahasa, lobus frontal dan dan hemisfer.
1) Status mental: observasi penampilan klien dan
tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien, observasi
ekspresi wajah, dan aktivitas motorik di mana pada
klien stroke tahap lanjut biasanya status mental klien
mengalami perubahan.
2) Fungsi intelektual: didapatkan penurunan dalam
ingatan dan memori baik jangka pendek maupun
jangka panjang. Penurunan kemampuan berhitung
dan kalkulasi. Pada beberapa kasus klien mengalami
kerusakan otak, yaitu kesukaran untuk mengenal
persamaan dan perbedaan yang tidak begitu nyata.
3) Kemampuan bahasa: penurunan kemampuan bahasa
tergantung dari daerah lesi yang mempengaruhi
fungsi dari serebri. Lesi pada daerah hemisfer yang
dominan pada bagian posterior dari girus temporalis
superior ( area wernicke) didapatkan disfasia
reseptif, yaitu klien tidak dapat memahami bahasa
lisan atau bahasa tertulis. Sedangkan lesi pada
bagian posterior dari girus frontalis inferior (area
16

broca) didapatkan disfagia ekspresif di mana klien


dapat mengerti, tetapi tidak dapat menjawab
dengan tepat dan bicaranya tidak lancar. Disatria
(kesulitan berbicara) ditunjukkan dengan bicara
yang sulit dimengerti yang disebabkan oleh paralisis
otot yang bertanggung jawab untuk menghasilkan
bicara. Apraksia ( ketidakmampuan untuk
melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya)
seperti terlihat ketika klien mengambil sisir dan
berusaha untuk menyisir rambutnya.
4) Lobus frontal: kerusakaan fungsi kognitif dan efek
psikologis didapatkan bila kerusakan telah terjadi
pada lobus frontal kapasitas, memori, atau fungsi
intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak.
Disfungsi ini dapat ditunjukkan dalam lapang
perhatian terbatas, kesulitan dalam pemahaman,
lupa, dan kurang motivasi yang menyebabkan klien
ini menghadapi masalah frustrasi dalam program
rehabilitasi mereka. Depresi umum terjadi dan
mungkin diperberat oleh respons alamiah klien
terhadap penyakit katastrofik ini. Masalah
psikologis lain juga umum terjadi dan
dimanifestasikan oleh labilitas emosional,
bermusuhan, frustasi, dendam, dan kurang kerja
sama.
5) Hemisfer: stroke hemisfer kanan menyebabkabkan
hemiparese sebelah kiri tubuh, penilaian buruk, dan
mempunyai kerentanan terhadap sisi kolateral
sehingga kemungkinan terjatuh ke sisi yang
berlawanan tersebut. Stroke pada hemisfer kiri,
mengalami hemiparese kanan, perilaku lambat dan
sangat hati-hati, kelainan lapang pandang sebelah
kanan, disfagia global, asafia, dan mudah frustasi.
3. Saraf cranial
17

Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan saraf cranial I-XII


1) Saraf I : Fungsi penghiduan diperiksa dengan
bau-bau seperti tembakau, wangi-wangian yang
diminta agar pasien menyebutkan dengan mata
tertutup.
2) Saraf II : Diperiksa dengan pemeriksaan visus
terhadap setiap mata. Digunakan optotype snellen
yang dipasang pada jarak 6 meter dari pasien. Visus
ditentukan dengan kemampuan membacajelas
deretan huruf-huruf yang ada.
3) Saraf III, IV, dan VI : Diperiksa bersama
dengan menilai kemampuan pergerakan bola mata
kesegala arah, diameter pupil dan reflex cahaya serta
reflekakomodasi
4) Saraf V: Pada beberapa keadaan stroke
menyebabkan paralisis saraf trigenimus, didapatkan
penurunan kemampuan koordinasi gerakan
mengunyah. Penyimpangan rahang bawah ke sisi
ipsilateral dan kelumpuhan sesisi otot-otot
pterigoideus internus dan eksternus.
5) Saraf VII :.fungsi motorik VII : Diperiksa
kemampuan mengangkat alis, mengerutkan dahi,
mencucurkan bibir, tersenyum, meringis,
(memperlihatkan gigi depan) bersiul,
mengembungkan pipi.
Fungsi motorik : diperiksa rasa pengecapan pada
permukaan lidah yang dijulurkan (gula, garam,
asam).
6) Saraf VIII : Tidak ditemukan adanya tuli
konduktif dan tuli persepsi.
7) Saraf IX dan X : Diperiksa letak uvula, ditengah
atau devisiasi serta kemampuan menelan pasien.
18

8) Saraf XI : Diperiksa dengan kemampuan


mengangkat bhu kiri dan kanan(kontraksi M.
Trapezius) dan gerakan kepala
9) Saraf XII : Diperiksa dengan kemampuan
menjulurkan lidah pada posisi lurus, gerakan lidah
mendorong pipi kiri dan kanan dari arah kedalam.
4. Sistem saraf motorik
Stroke adalah: penyakit motor neuron atas dan
mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap
gerakan motorik. Karena neuron motor atas melintas,
gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi yang
berlawanan dari otak.

1) Inspeksi umum, didapatkan hemiplegia (paralisis


pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang
berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu
sisi tubuh adalah tanda yang lain.
2) Fasikulasi didapatkan pada otot-otot ekstermitas.
3) Tonus otot didapatkan meningkat.
4) Kekuatan otot, pada penilaian dengan menggunakan
nilai kekuatan otot pada sisi yang sakit didapatkan
nilai 0.

5) Keseimbangan dan koordinasi, mengalami


gangguan karena hemiparese dan hemiplegia.
5. Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan refleks terdiri atas pemeriksaan refleks
profunda dan pemeriksaan refleks patologis.
1) Pemeriksaan refleks profunda
Pengetukan pada tendon, ligamentum, atau
periosteum derajat refleks pada respons normal.
2) Pemeriksaan refleks patologis
pada fase akut refleks fisiologis sisi yang lumpuh
akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks
19

fisiologis akan muncul kembali didahului dengan


refleks patologis.
6. System sensorik
Dapat terjadi hemipestesi. Persepsi adalah ketidakmampuan
untuk menginterprestasikan sensai. Disfungsi persepsi
visual karena gangguan jarak sensorik primer diantara mata
dan korteks visual. Gangguan hubungan visual spesial
(mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area
spesial) sering terlihat pada klien dengan hemiplegia kiri.
Klien mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa bantuan
karena ketidakmampuan untuk mencocokkan pakaian ke
bagian tubuh. Kehilangan sensorik karena stroke dapat
berupa kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih berat,
dengan kehilangan proprioseptif ( kemampuan untuk
merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh) serta kesulitan
dalam menginterprestasikan stimuli visual, taktil, dan
auditorius.
2.5.1.5. B4 (Bladder)
Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urine
sementara karena konfusi, ketidak mampuan mengomunikasi
kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk menggunakan untuk
menggunakan urinal karena kerusakan kontrol motorik dan
postural
2.5.1.6. B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan
menurun, mual, dan muntah pada fase akut. Mual sampai
muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam
lambung sehingga menimbulkan masalah pemenuhan
kebutuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi
akibat penurunan peristaltik usus. Adanya inkontinensia alvi
yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.

2.5.1.7. B6 (Bone)
20

Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan


kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Karena
neuron motor atasvmelintas, gangguan kontrol motor volunter
pada salah satu sisin tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada
neuron motor atas pada sisi yang berlawanan dari otak.
Disfungsi motor paling umum adalah hemiplegia (paralisis pada
salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan.
Hemiparesis, atau kelemahan salah satu sisi tubuh, adalah tanda
yang lain. Pada kulit, jika klien O2 kulit akan tampak pucat dan
jika kekurangan cairan maka turgor kulit akan jelek. Disamping
itu perlu juga dikaji tanda-tanda dekubitus, terutama pada
daerah yang menonjol karena klien stroke mengalami masalah
mobilitas fisik. Adanya kesukaran untuk beraktivitas karena
kelemahan, kehilangan sensorik, atau paralisis/hemiplegia,
mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktvtas dan
istirahat.

2.6. Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menjelaskan tentang status
kesehatan atau resiko perubahan dari individu dimana seorang perawat secara
akontabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti
untuk menjaga status kesehatan, menurunkan,membatasi mencegah dan
merubah. (Nursalam 2008). Diagnosa yang ditemukan pada pasien Stroke
adalah sebagai berikut :

2.6.1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan perdarahan


intraserebral, oklusi otak, vasospasme, dan edema otak
2.6.2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan Perubahan kontraktilitas
miokardiak.
2.6.3. Risiko peningkatan TIK berhubungan dengan adanya meningkatnya
volume intrakranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebral
2.6.4. Gangguan persepsi sensori b.d perubahan resepsi sensori, trasmisi,
stress psikologi ( Ansietas )
21

2.6.5. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi


sekret, kemampuan batuk menurun, penurunan mobilitas fisik,
perubahan tingkat kesadaran
2.6.6. Resiko tinggi cedera yang berhubungan dengan penurunan luas lapang
pandang, menurunan sensasi rasa( panas, dingin)
2.6.7. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/hemiplagia,
kelemahan neuromuskular pada ekstremitas
2.6.8. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan efek dari kerusakan
pada area bicara di hemisfer otak, kehilangan kontrol tonus otot fasial
atau oral, dan kelemahan secara umum
2.6.9. Resiko gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan tirah baring
yang lama.
2.6.10. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan yang berhubungan
dengan kelemahan otot mengunyah dan menelan
2.6.11. Kurangnya pengetahuan tentang perawatan stroke yang berhubungan
dengan kurangnya informasi mengenai pencegahan, perawatan, dan
pengobatan stroke di rumah

2.7. Perencanaan Keperawatan


Perencanaan meliputi pengembangan strategi desain untuk mencegah,
mengurangi, atau mengkoreksi masalah-masalah yang diidentifikasi pada
diagnosa keperawatan, rencana keperawatan merupakan metode komunikasi
tentang asuhan keperawatan pada pasien. (Arif Muttaqin dan Kumala Sari,
2009)
2.7.1 Ketidak efektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan
perdarahan intraserebral, oklusi otak, vasospasme, dan edema otak
Tujuan :Setelah di lakukan tindakan keperawatan
perfusi jaringan serebral efektif
Kriteria Hasil : Tidak gelisah, GCS 4 5 6, compos mentis,
pupil isokor, refleks cahaya (+), TTV normal
(nadi: 60-100x/menit, RR: 16-20 x/menit, suhu:
36,5-37,5C).
Intervensi :
22

1. Lakukan pengkajian neurologis setiap 1-2 jam pada awalnya,


kemudian setiap 4 jam bila pasien sudah stabil
Rasional : Untuk mengidentifikasi perubahan tingkat kesadaran dan
status neurologis
2. Tinggikan bagian kepala pada posisi netral, usahakan dengan
sedikit bantal.
Rasional : Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan
penekanan vena jugularis dan menghambat aliran darah otak untuk
itu dapat meningkatkan tekanan intrakranial
3. Pertahankan lingkungan dan pasien tetap tenang
Rasional : Tindakan tersebut mengurangi peningkatan intrakaranial
4. Ukur tanda-tanda vital setiap 1-2 jam pada awalnya, kemudian
setiap 4 jam bila pasien sudah stabil
Rasional : Untuk mendeteksi secara dini tanda-tanda penurunan
tekanan perfusi serebral
5. Kolaborasi pemberian terapi sesuai dokter, seperti : steroid,
aminofel, antibiotika
Rasional : Terapi yang diberikan dengan tujuan menurunkan
permeabilitas kapiler, menurunkan edema serebri, menurunkan
metabolik sel.

2.7.2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan ; Perubahan


kontraktilitas miokardial/perubahan inotropik, Perubahan frekuensi,
irama dan konduksi listrik, Perubahan structural, ditandai dengan ;

Tujuan :Setelah dilakukan asuhan keperawatan 3x24 jam


penurunan curah jantung dapat teratasi.

Kereteria Hasil:Menunjukkan tanda vital dalam batas normal(disritmia


terkontrol atau hilang) dan bebas gejala gagal jantung.

Intervensi :

1. Auskultasi nadi apical ; kaji frekuensi, iram jantung


23

Rasional : Biasnya terjadi takikardi (meskipun pada saat


istirahat) untuk mengkompensasi penurunan kontraktilitas
ventrikel.

2. Palpasi nadi perifer


Rasional : Penurunan curah jantung dapat menunjukkan
menurunnya nadi radial, popliteal, dorsalis, pedis dan posttibial.
Nadi mungkin cepat hilang atau tidak teratur untuk dipalpasi
dan pulse alternan.

3. Pantau TD
Rasional : Pada GJK dini, sedng atu kronis tekanan drah dapat
meningkat. Pada HCF lanjut tubuh tidak mampu lagi
mengkompensasi dan hipotensi tidak dapat norml lagi.

4. Kaji kulit terhadap pucat dan sianosis


Rasional : Pucat menunjukkan menurunnya perfusi perifer
ekunder terhadap tidak dekutnya curh jantung; vasokontriksi
dan anemia. Sianosis dapt terjadi sebagai refrakstori GJK. Area
yang sakit sering berwarna biru atu belang karena peningkatan
kongesti vena.

5. Berikan oksigen tambahan dengan kanula nasal/masker dan


obat sesuai indikasi (kolaborasi)
Rasional : Meningkatkn sediaan oksigen untuk kebutuhan
miokard untuk melawan efek hipoksia/iskemia. Banyak obat
dapat digunakan untuk meningkatkan volume sekuncup,
memperbaiki kontraktilitas dan menurunkan kongesti.

2.7.3. Risiko peningkatan TIK berhubungan dengan adanya meningkatnya


volume intrakranial, penekanan jaringan otak, dan edema
serebral
Tujuan :Setelah di lakukan tindakan keperawatan
peningkatan intrakranial tidak terjadi
Kriteria Hasil : Tidak mengeluh nyeri kepala, mual, muntah,
GCS 4 5 6, tidak terdapat papil edema, pupil
24

isokor, refleks cahaya (+), TTV normal (nadi:


60-100x/menit, RR: 16-20 x/menit, suhu: 36,5-
37,5C)

Intervensi :
1. Kaji faktor kemungkinan penyebab peningkatan TIK
Rasional : Deteksi dini, mengkaji status neurologis serta tanda-
tanda kegagalan untuk menentukan perawatan.
2. Monitor tanda-tanda vital tiap 4 jam
Rasional : Suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral terpelihara
baik. Adanya peningkatan tensi, bradikardia, dispnea merupakan
tanda-tanda peningkatan TIK
3. Evaluasi pupil
Rasional : Reaksi pupil dan pergerakan kembali dari bola mata
merupakan tanda dari ganggua saraf jika batang otak terkoyak, hal
ini respon dari reflek nervus kranial
4. Tinggikan bagian kepala pada posisi netral, usahakan dengan
sedikit bantal.
Rasional : Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan
penekanan vena jugularis dan menghambat aliran darah otak untuk
itu dapat meningkatkan tekanan intrakranial
5. Kolaborasi pemberian O2 sesuai indikasi
Rasional : Mengurangi hipoksemia, di mana dapat meningkatkan
vasodilatasi serebral dan volume darah serta menaikkan TIK
6. Berikan antibiotika seperti aminocaproid acid sesuai instruksi
dokter
Rasional : Di gunakan pada kasus hemoragi, untu mencegah lisis
bekuan darah dan perdarahan kembali

2.7.4 Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi


sekret, kemampuan batuk menurun, penurunan mobilitas fisik,
perubahan tingkat kesadaran
25

Tujuan :Setelah di lakukan tindakan keperawatan


pasien mampu mempertahankan keefektifan
bersihan jalan napas
Kriteria Hasil : dengan kriteria: bunyi napas bersih, tidak
ronchi, menunjukkan batuk efektif, tidak ada
penumpukan sekret, frekuensi napas 16-20
x/menit.
Intervensi :
1. Kaji status pernapasan sekurangnya setiap 4 jam
Rasional : Untuk mendeteksi tanda awal bahaya
2. Evaluasi suara napas atau bunyi napas pada kedua paru
Rasional : Saluran napas bagian bawah tersumbat dapat terjadi
pada atelektasis akan menimbulkan perubahan suara napas seperti
ronchi
3. Atur / ubah posisi secara teratur tiap 2 jam
Rasional : Mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi segmen paru-
paru, mengurangi risiko atelektasis
4. Ajarkan pasien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk
Rasional : Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak
efektif
5. Lakukan isap sekresi sesuai keperluan catat warna
Rasional : Untuk menstimulasi batuk dan membersihkan jalan
napas
6. Kolaborasi pemberian obat-obat bronkodilator sesuai indikasi
seperti aminophilin, meta-proterenol (alupent), adoetharine
hydrochloride (bronkosol)
Rasional : Mengatur ventilasi dan melepaskan sekret karna
relaksasi otot/ bronchospasme
7. Pasang O2 sesuai indikasi
Rasional: Untuk membantu menurunkan distres pernapasan yang
disebabkan hipoksemia

2.7.5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/hemiplagia,


kelemahan neuromuskular pada ekstremitas
26

Tujuan :Setelah di lakukan tindakan keperawatan


mobilitas fisik tidak ada hambatan
Kriteria Hasil :Mempertahankan kekuatan otot, mampu
beraktivitas secara mandiri

Intervensi :
1. Lakukan latihan ROM untuk sendi jika tidak merupakan
kontraindikasi
Rasional : Tindakan ini mencegah kontraktur sendi dan atrofi otot
2. Miringkan dan atur posisi pasien setiap 2 jam pada saat pasien di
tempat tidur
Rasional : Mencegah kerusakan kulit dengan mengurangi tekanan
3. Identifikasi tingkat fungsional dengan menggunakan skala
mobilitas fungsional
Rasional : Untuk menunjang kontuinitas dan menjaga tingkat
kemandirian yang teridentifikasi
4. Letakkan barang-barang pada tempat yang mudah di jangkau
lengan yang tidak terkena bila satu sisi mengalami kelemahan
Rasional : Untuk meningkatkan kemandirian pasien
5. Berikan dorongan mobilitas mandiri dengan membatu pasien
menggunakan penghalang sisi tempat tidur
Rasional : Tindakan ini meningkatkan tonus otot dan harga diri
pasien
6. Rujuk ke ahli terapi fisik untuk pengembangan program mobilitas
Rasional : Untuk membantu rehabilitasi defisit muskoloskletal

2.7.5. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan efek dari kerusakan


pada area bicara di hemisfer otak, kehilangan kontrol tonus otot fasial
atau oral, dan kelemahan secara umum
Tujuan :Setelah di lakukan tindakan komunikasi verbal
tidak terjadi gangguan
Kriteria Hasil : Mampu menggunakan bahasa isyarat setiap
berkomunikasi, bisa mengungkapkan kata-kata
27

Intervensi :
1) Kaji tanda-tanda kesulitan berbicara, tipe disfungsi komunikasi
Rasional : Membantu menentukan kerusakan area pada otak dan
menentukan kesulitan pasien dengan sebagian atau seluruh proses
komunikasi.
2) Bedakan afasia dengan diastria
Rasional : Dapat menentukan pilihan intervensi sesuai tipe
gangguan
3) Katakan untuk mengikuti perintah secara sederhana seperti tutup
matamu dan lihat ke pintu
Rasional : Untuk menguji afasia reseptif
4) Perintahkan pasien untuk menyebutkan nama benda yang di
perlihatkan
Rasional : Menguji afasia ekspresif, misal pasien dapat mengenal
benda tersebut tetapi tidak mampu menyebutkan namanya
5) Pertahankan lingkungan yang tenang dan tidak mengancam
Rasional : Untuk mengurangi ansietas pasien
6) Kolaborasi ke ahli terapi bicara
Rasional : Mengkaji kemapuan verbal individual dan sensori
motorik dan fungsi kognitif untuk mengidentifikasi defisit serta
kebutuhan terapi.

2.7.7. Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kelemahan


neuromuscular, menurunnya kekuatan dan kesadaran, kehilangan
control otot/koordinasi ditandai oleh kelemahan untuk ADL, seperti
makan,mandi,mengatur suhu air,melipat atau memakai pakaian.
Tujuan :dalam waktu 3X24jam terjadi peningkatan perilaku
perawatan diri.
Kriteria : pasin dapat menunjukan perubahan gaya hidup untuk
merawat diri, pasien mampu melakukan aktivitas
perawatan diri sesuai dengan tingkat
kemampuan,mengidentifikasi personal/masyarakat
yang dapat membantu.
28

Intervensi :
1. Kaji kemampuan dan tingkat penurunan dalam skala 0-4 untuk
melakukan ADL.
R/: membantu dalam menantisipasi dan merencanakan pertemuan
kebutuhan individual .
2. Hindari apa yang tidak dapat dilakukan pasien dan bila perlu.
R/: Pasien dalam keadaan cemas dan tergantung hal ini dilakukan
untuk mencegah frustasi dan harga diri pasien.
3. Menyadarkan tingkah laku/sugesti tindakan pada perlindungan
kelemahan. Pertahankan dukungan pola pikir izinkan pasien
melakukan tugas,beri umpan balik,positif untuk usahanya.
R/: Pasien memerlukan empati,tetapi perlu mengetahui perawatan
yang konsisten dalam menangani pasien. Sekaligus meningkatkan
harga diri,memandirikan pasien ,dan menganjurkan pasien untuk
terus mencoba.
4. Tempatkan perabotan kedinding,jauhkan dari jalan.
R/: menjaga keamanan pasien bergerak disekitar tempat tidur dan
menurunkan resiko tertimpa perabotan.
5. Rencanakan tindakan untuk deficit penglihatan seperti tempatkan
makanan dan peralatan dalam suatu tempat,dekatkan tempat tidur
ke dinding.
R/: Pasien akan mampu melihat dan memakan makanan,akan
mampu melihat keluar masuknya orang keruangan.
6. Kolaborasi pemberian suppositoria dan pelumas feses/pencahar.
R/: Pertolongan utama terhadap fungsi usus terhadap mencegah
konstipasi.
7. Konsultasi ke dokter terapi okupasi.
R/: untuk mengembangkan terapi dan melengkapi kebutuhan
khusus.

2.8. Penatalaksanaan Keperawatan


Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan
yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi factor-faktor yang
mempengaruhi masalah kesehatan klien.( A.Aziz Alimul Hidayat, 2004)
29

Tujuan pelaksanaaan adalah membantu klien dalam mencapai tujuan yang


telah ditetapkan, yang mencakup peningkatan kesehata, pencegahan penyakit,
pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping.
Pendekatan tindakan keperawatan meliputi :
2.9.1 Independen
Adalah kegiatan yang dilaksanakan oleh perawat tanpa petunjuk dan
perintah
dari dokter atau tenaga kesehatan lainnya.
2.9.2 Interdependen
Adalah tindakan keperawatan yang menjelaskan suatu kegiatan yang
memerlukan kerjasama dengan tenaga kesehatan lainnya misalnya
tenaga sosial, ahli gizi, fisioterapi, dan dokter.
2.9.3 Dependen
Adalah tindakan yang berhubungan dengan pelaksanaan rencana
tindakan medis

2.9. Evaluasi keperawatan


Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan
yang menandakan keberhasilan dari diagnosis keperawatan, rencana
intervensi dan implementasinya.
2.7.5 Evaluasi formatif (Proses)
Fokus tipe evaluasi ini adalah aktivitas dari proses keperawatan dan
hasil kualitas pelayanan, tindakan keperawatan. Evaluasi proses
kasus dilaksanakan segera setelah perencanaan keperawatan
dilaksanakan untuk membantu keefektifan terhadap tindakan.
Evaluasi ini berupa respon pasien setelah pelaksanaan tindakan
keperawatan.
2.7.6 Evaluasi sumatif (Hasil)
Fokus evaluasi hasil adalah perubahan perilaku atau status kesehatan
pasien pada akhir tindakan perawatan pasien. Tipe evaluasi ini
dilaksanakan pada akhir tindakan keperawatan. Sistem penulisan ada
tahap evaluasi ini bisa menggunakan sistem SOAP atau model
komponen lainnya.

Anda mungkin juga menyukai