Anda di halaman 1dari 3

Cara Kerja Obat Anti-Inflamasi Golongan Steroid

Antiinflamasi didefinisikan sebagai obat-obat atau golongan obat yang


memiliki aktivitas menekan atau mengurangi peradangan. Berdasarkan mekanisme
kerja obat-obat antiinflamasi terbagi dalam dua golongan, yaitu obat antiinflamasi
golongan steroid dan obat antiinflamasi non steroid. Mekanisme kerja obat
antiinflamasi golongan steroid dan non-steroid terutama bekerja menghambat
pelepasan prostaglandin ke jaringan yang mengalami cedera (Gunawan, 2007).
Senyawa steroid adalah senyawa golongan lipid yang memiliki stuktur kimia tertentu
yang memiliki tiga cincin sikloheksana dan satu cincin siklopentana. Suatu molekul
steroid yang dihasilkan secara alami oleh korteks adrenal tubuh dikenal dengan nama
senyawa kortikosteroid.
Kortikosteroid digolongkan menjadi dua berdasarkan aktifitasnya, yaitu
glukokortikoid dan mineralokortikoid. Glukokortikoid memiliki peranan pada
metabolisme glukosa, sedangkan mineralokortikosteroid memiliki retensi garam.
Pada manusia, glukortikoid alami yang utama adalah kortisol atau hidrokortison,
sedangkan mineralokortikoid utama adalah aldosteron. Selain steroid alami, telah
banyak disintetis glukokortikoid sintetik, yang termasuk golongan obat yang penting
karena secara luas digunakan terutama untuk pengobatan penyakit-penyakit inflasi.
Contoh antara lain adalah deksametason, prednison, metil prednisolon, triamsinolon
dan betametason (Ikawati, 2006)
Kortikosteroid merupakan anti-inflamasi yang identik dengan kortisol,
hormon steroid alami pada manusia yang disintesis dan disekresi oleh korteks adrenal
(Levinson, 2007). Efek antiinflamasi kortikosteroid mempengaruhi berbagai sel
imunokompeten seperti sel T, makrofag, sel dendritik, eosinofil, neutrofil, dan sel
mast, yaitu dengan menghambat respons inflamasi dan menyebabkan apoptosis
berbagai sel tersebut (Smoak KA dan Cidloski JA, 2008). Kerja kortikosteroid
menekan reaksi inflamasi pada tingkat molekuler terjadi melalui mekanisme genomik
dan nongenomik. Glukokortikoid (GK) berdifusi pasif dan berikatan dengan reseptor
glukokortikoid (RG) di sitosol. Ikatan GKRG mengakibatkan translokasi kompleks
tersebut ke inti sel untuk berikatan dengan sekuens DNA spesifik, yaitu
glucocorticoid response elements (GRE). Ikatan GK-RG dengan DNA
mengakibatkan aktivasi atau supresi proses transkripsi. Mekanisme non-genomik GK
terjadi melalui aktivasi endothelial nitric oxide synthetase (eNOS) yang menyebabkan
lebih banyak pelepasan nitric oxide (NO), suatu mediator anti-inflamasi (Lee RWJ,
dkk, 2009; Baschant U, Tuckermann J, 2010). Imunosupresi secara genomik terjadi
melalui aktivasi annexin-1 (lipocortin-1) dan mitogen-activated proteinkinase
(MAPK) phosphatase 1. Selain itu, GK juga meningkatkan transkripsi gen anti-
inflamasi secretory leukoprotease inhibitor (SLPI) interleukin-10 (IL-10) dan
inhibitor nuclear factor-B (IB-). Annexin-1 menghambat pelepasan asam
arakhidonat sehingga produksi mediator inflamasi menurun (prostaglandin,
tromboksan, prostasiklin, dan leukotrien).5,7 Kerja enzim MAPK phosphatase 1
menyebabkan MAPK 1 tidak aktif sehingga aktivasi sel T, sel dendritik, dan
makrofag terhambat (Lee RWJ, dkk, 2009). Mekanisme genomik lain berupa inhibisi
faktor transkripsi yang berperan dalam produksi mediator inflamasi, yaitu nuclear
factor-B (NF-B) dan activator protein-1 (AP-1).4,5 NF-B dan AP-1 mengatur
ekspresi gen sitokin, inflammatory enzymes, protein dan reseptor yang berperanan
dalam inflamasi (IFN-, TNF-, dan IL-1). Penghambatan keduanya akan
menurunkan produksi mediator inflamasi. (Lee RWJ, dkk, 2009; (Smoak KA dan
Cidloski JA, 2008).
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintetis protein.
Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif. Hanya
di jaringan target hormon ini bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam
sitoplasma sel dan membentuk kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami
perubahan komformasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan
kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintetis protein spesifik.
Induksi sintetis protein ini akan menghasilkan efek fisiologik steroid (Darmansjah,
2000). Berdasarkan masa kerjanya golongan kortikosteroid dibagi menjadi :
Kortikosteroid kerja singkat dengan masa paruh < 12 jam, yang termasuk
golongan ini adalah kortisol/hidrokortison, kortison, kortikosteron,
fludrokortison
Kortikosteroid kerja sedang dengan masa paruh 12 36 jam, yaitu
metilprednisolon, prednison, prednisolon, dan triamsinolon.
Kortikosteroid kerja lama dengan masa paruh >36 jam, adalah parametason,
betametason dan deksametason.

Daftar Pustaka

Baschant U, Tuckermann J. 2010. The role of the glucocorticoid receptor in


inflammation and immunity. J Steroid Bioche Mol Biol. P ;120:69-75.
Darmansjah, I. 2000. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Departemen
Kesehatan, Jakarta.
Forrester JV, editor. 2009. Essentials in ophthalmology. p. 45-54. German: Springer.
Gunawan, S. A. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Universitas Indonesia,
Jakarta.
Ikawati, Z. 2006. Pengantar Farmakologi Molekuler. Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Lee RWJ, Schewitz LP, Raveney BJE, Dick AD. Steroid sensitivity in uveitis. In:
Pleyer U.
Levinson RD. 2007. Immunogenetics of ocular inflammatory disease. Tissue
Antigens. P ;69:105-12.
Smoak KA, Cidloski JA. 2008. Glucocorticoid signaling in health and disease. The
Hypothalamus-Pituitary-Adrenal Axis. P ;33- 53.

Anda mungkin juga menyukai