Farmakologi
I. Pendahuluan
Terapi antimikroba dapat digunakan untuk semua infeksi saluran kemih simptomatik.
Pemilihan dari antibiotik dan dosis, serta durasi dari terapi bergantung dari situs infeksi dan
ada atau tidaknya kondisi yang memperburuk infeksi. Setiap kategori dari infeksi saluran
kemih memiliki pendekatan yang berbeda-beda sesuai dengan gejala klinisnya.1
II. Isi
Beberapa golongan terapi antimikroba akan dibahas di sini, meliputi golongan Sulfonamida
(beserta Trimetoprim-Sulfametoksazol), Kuinolon dan Fluorokuinolon, serta Analgesik
Saluran Kemih .
A. SULFONAMIDA
TMP-SMX merupakan singkatan dari trimethoprim-sulfamethoxazole. Di Indonesia, sediaan
yang tersedia berupa kotrimoksazol. TMP-SMX ini merupakan lini pertama yang digunakan
dalam penanganan uncomplicated UTI. Untuk melihat lebih jauh, pertama-tama akan dibahas
mengenai obat golongan sulfonamida, yang merupakan golongan obat dari sulfametoksazol.1
B. TRIMETOPRIM-SULFAMETOKSAZOL (KOTRIMOKSAZOL)
Beberapa strain penyebab E. Coli yang menyebabkan infeksi saluran kemih telah menjadi
resisten terhadap sulfonamida. Ditemukannya kombinasi antara trimetorpim dan
sulfametoksazol yang bekerja secara sinergis merupakan kemajuan penting dalam pengobatan
infeksi saluran kemih. Disebut sinergis karena trimetoprim dan sulfamtoksazol menghambat
reaksi enzimatik obligat pada dua tahap yang berurutan pada mikroba. Trimetoprim
menghambat enzim dihidrofolat reduktase, sedangkan sulfonamida menghambat enzim
dihidropteroat sintetase. Kombinasi kedua obat ini dikenal dengan nama kotrimoksazol.2-3
B.1 Kimia
Struktur kimia sulfonamida telah dibahas dibagian atas.
Gambar 3. menunjukkan struktur kimia dari trimetoprim yang
merupakan suatu senyawa diamino-pirimidin yang bersifat basa
lemah dan sedikit larut dalam air.2,4
Gambar 3. Trimetoprim2
B.3 Farmakokinetik
Absorbsi. Setelah diberikan dosis tunggal secara oral, trimetoprim diabsorbsi lebih cepat
daripada sulfametoksazol. Pemberian kedua obat yang bersamaan membuat absorbsi dari
sulfametoksazol menjadi lebih lambat.3
Distribusi. Konsentrasi maksimum dalam darah trimetoprim biasanya timbul setelah 2 jam
pemberian, sedangkan konsentrasi maksimum sulfametoksazol dalam darah biasanya timbul 4
jam setelah pemberian. Waktu paruh dari trimetoprim dan sulfametoksazol adalah 11 dan 10
jam, secara berurutan. Trimetoprim terdistribusi dan terkonsentrasi cepat dalam jaringan, serta
40 % dari trimetoprim terikat dengan protein plasma ketika ada sulfametoksazol. Volume
distribusi dari trimetoprim 9 kali lebih dari sulfametoksazol. Sedangkan, untuk
sulfametoksazol, 65% nya terikat dengan protein plasma.2-3
B.4 Farmakodinamik
Kotrimoksazol bekerja pada dua tahap yang berurutan dalam reaksi enzimatik untuk
membentuk asam tetrahidrofolat. Sulfonamida bekerja dengan cara menghambat inkorporasi
PABA ke dalam molekul asam folat, sedangkan trimetoprim bekerja dengan cara menghambat
terjadinya reaksi reduksi dari dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat, yang mana tetrahidrofolat
ini penting untuk pembentukan basa purin (adenin, guanin, dan timidin) dan beberapa asam
amino (metionin, glisin). Trimetoprim menghambat kerja enzim dihdrofolat dengan sangat
selektif. Sel-sel mamalia yang tidak mensintesis senyawa folat dan menggunakan asam folat
yang bersumber dari makanan menjadi tidak sensitif terhadap obat ini.2-3
Untuk mendapatkan efek sinergi yang cukup, maka rasio kadar optimal dari kedua obat tersebut
adalah sulfametoksazol : trimetoprim : 20 : 1. Hal ini disebabkan trimetoprim pada umumnya
20-100 kali lebih poten dibandingkan dengan sulfa, sehingga kombinasi diformulasikan untuk
mendapatkan kadar sulfametoksazol in vivo 20 kali lebih besar dari trimetoprim.2-3
Pada pasien dengan gagal ginjal, dosis biasa diberikan apabila klirens kreatinin > 30 mL/menit,
bila klirens kreatinin 15-30 mL/menit dosis 2 tablet diberikan setiap 24 jam, dan bila klirens
kreatinin kurang dari 15 mL/menit, obat ini tidak boleh diberikan. Klirens kreatinin ini
menunjukkan glomerulus filtration rate (GFR), sehingga klirens kreatinin yang rendah
menandakan adanya penurunan fungsi ginjal. GFR < 15 mL/menit mengindikasikan adanya
gagal ginjal.2-3
Untuk pemberian secara intravena, tersedia sediaan infus yang mengandung 400 mg
sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim per 5 mL.2-3
B.6 Efek samping
Pada dosis normal, tidak ditemukan adanya defisiensi folat pada pemberian kotrimoksazol.
Namun, batas dosis toksik untuk manusia dan untuk bakteri menjadi lebih sempit ketika
manusia mengalami defisiensi folat. Dalam keadaan tersebut, obat ini mungkin dapat
menimbulkan megablastosis, leukopenia, atau trombositopenia. Efek samping lainnya
meliputi3:
1. Reaksi kulit
2. Gejala-gejala saluran pencernaan, seperti mual dan muntah, sedangkan diare jarang
terjadi.
3. Glositis dan stomatitis.
4. Ikterus pada pasien yang sebelumnya sudah mengalami hepatitis kolestatik alergik.
5. Reaksi susunan saraf pusat, seperti sakit kepala, depresi, dan halusinasi yang
disebabkan oleh sulfonamid.
6. Pemberian diuretik yang bersamaan atau sebelum pemberian kotrimoksazol dapat
mempermudah timbulnya trombositopenia, terutama pada pasien dengan usia lanjut
dan jantung yang lemah, hingga dapat berujung pada kematian.
B.7 Kontraindikasi
Hal yang perlu dihindari adalah pemberian pada anak dengan usia di bawah 2 tahun dan ibu
hamil. Pemberian sulfonamida pada ibu hamil di trimester awal harus dihindari karena dapat
menjadi teratogen, serta pemberian sulfonamida juga harus dihindari pada periode dekat
kelahiran bayi, sebab berpotensi menimbulkan kernikterus pada bayi.2-3
C.1 Farmakodinamik
Untuk menjalankan replikasi DNA atau transkripsi DNA, DNA terlebih dahulu harus
mengalami pemisahan rantai double-helix. Namun, pemisahan rantai ini berujung pada
overwinding atau excessive positive supercoiling dari DNA tepat di depan titik pemisahan.
Untuk menangani hambatan mekanis ini, bakteri memiliki enzim DNA girase yang mampu
untuk membuat negative supercoil paa DNA melalui reaksi yang menggunakan ATP.
Selanjutnya setelah terbentuk hasil kopi dari proses replikasi DNA, interlinked DNA daughter
cells harus dipisahkan. Bakteri memiliki enzim topoisemerasi IV untuk membantu proses ini.2-
4
Untuk bakteri gram negatif, enzim girase merupakan target primer dari kuinolon. Luinolon
menghambat enzim girase bekerja, sehingga positive supercoil tetap ada dan akhirnya replikasi
DNA gagal terjadi dan menyebabkan kematian bakteri.2-4
Untuk bakteri gram positif, enzim topoisemerase IV merupakan target primernya, di mana
fluorokuinolon berikatan dengan enzim topoisemerase IV dan kemudian mencegah terjadinya
pemisahan dari interlinked daughter cells yang pada akhirnya akan merusak DNA dan
menyebabkan kematian bakteri. Pada bakteri gram positif, enzim DNA girase menjadi target
sekunder dari fluorokuinolon.2-4
C.2 Farmakokinetik
Absorbsi. Asam nalidiksat (golongan Kuinolon) diserap kurang baik dalam saluran cerna,
sehingga dieksreksikan dengan cepat oleh ginjal. Sedangkan, fluorokuinolon diserap baik pada
pemberian oral. Penyerapan siprofloksasin (golongan fluorokuinolon) akan terhambat bila
diberikan bersamaan dengan antasida.3
Distribusi. Dalam plasma darah, hanya sebagian kecil dari fluorokuinolon yang terikat oleh
protein. Selanjutnya, fluorokuinolon terdistribusi baik dalam berbagai organ tubuh. Waktu
paruh dari golongan fluorokuinolon ini panjang, sehingga pemberiannya cukup 2 kali sehari
saja.3
Metabolisme dan Eksresi. Obat golongan ini dimetabolisme di hati dan dieksresikan melalui
ginjal.3
C.4 Indikasi
Seperti yang telah disebutkan di atas, golongan kuinolon, seperti asam nalidiksat dan asam
pipemidat hanya digunakan sebagai antiseptik saluran kemih, khususnya pada sistitis akut
tanpa komplikasi pada wanita. Sedangkan, fluorokuinolon digunakan untuk indikasi yang jauh
lebih luas, yaitu menyangkut infeksi saluran kemih, infeksi saluran cerna, infeksi saluran nafas,
penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual, infeksi tulang dan sendi, serta infeksi kulit
dan jaringan lunak. Yang akan dibahas lebih lanjut di sini adalah mengenai infeksi saluran
kemih (ISK).2-3
Fluorokuinolon efektif untuk pengobatan infeksi saluran kemih dengan atau tanpa penyulit
(complicated or uncomplicated UTI), termasuk di dalamnya infeksi saluran kemih yang
disebabkan oleh bakteri-bakteri multiresisten dan P.aeruginosa . Di sisi lain, siprofloksasin,
norfloksasin, dan ofloksasin juga dapat mencapai kadar yang tinggi di jaringan prostat sehingga
dapat digunakan untuk terapi prostatitis bakterial akut maupun kronis.2-3
C.5 Kontraindikasi
Golongan fluorokuinolon sangat tidak dianjurkan dikonsumsi oleh wanita hamil, sebab dapat
mengganggu pertumbuhan kartilago.2-3
D. PHENAZOPYRIDINE
Phenazopyridine hidroklorida bukan merupakan antiseptik sistem kemih. Namun, obat ini
memiliki efek analgesik pada saluran kemih dan mengurangi gejala-gejala seperti disuria,
frekuensi berkemih, sensasi terbakar, dan urgensi.2
Dosis yang digunakan biasanya 200 mg 3 kali sehari per oral dan dikonsumsi setelah makan
untuk mengurangi efek pada saluran gastrointestinal. Ketika digunakan bersamaan dengan
terapi antimikroba, sebaiknya jangan digunakan lebih dari 2 hari. Senyawa dari obat ini akan
mewarnai urin menjadi oranye atau merah, sehingga hal ini harus diberitahukan terlebih dahulu
kepada pasien.2
III. Kesimpulan
Pasien dalam pemicu mengalami infeksi saluran kemih, sehingga terapi yang dapat digunakan
dibedakan menjadi dua. Jika wanita yang telah menikah tersebut tidak hamil, maka
siprofloksasin dan kotrimoksazol dapat menjadi pilihan terapi. Kedua obat ini merupakan obat
yang dapat mengobati infeksi sistemik, karena pasien dinyatakan telah mengalami demam yang
merupakan tanda infeksi sistemik. Jika pada awal pasien tidak merespon terhadap pemberian
kotrimoksazol, ada kemungkinan bakteri telah resisten terhadap kotrimoksazol sehingga dapat
diberikan obat dari golongan lain, yaitu siprofloksasin. Siprofloksasin dipilih di antara banyak
obat dalam golongan fluorokuinolon sebab memiliki daya antimikroba yang paling kuat.
Sedangkan, jika wanita dalam pemicu ternyata sedang hamil, maka antimikroba yang dapat
diberikan adalah golongan penicillin, seperti amoxicillin.
IV. Daftar Pustaka
1. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J.
Harrisons Principles of Internal Medicine, 17th ed., New York: MaGraw-Hill; 2008
2. William A, Petri Jr. Sulfonamides, trimethoprim-Sulfamethoxazole, Quinolones, and
Agents for Urinary Tract Infections. In: Brunton LL, editor. Goodman & Gilmans
The Pharmacological Basis of Therapeutics. New York: McGraw-Hill; 2011. p. 1463-
77
3. Ganiswarna, SG (ed.). Farmakologi dan Terapi, 5th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2007
4. Deck DH, Winston LG. Sulfonamides, Trimethoprim, & Quinolones. In: Katzung