oleh
AUGY LADYANA FIRSTYANTO
NIM 14080694055
BAGIAN 1
GAMBARAN UMUM KLIEN
Dalam rangka memenuhi tugas dalam mata kuliah Perencanaan Perpajakan (Tax
Planning), laporan ini di buat sebagai bukti proses konsultasi yang saya berikan kepada
klien. Pihak yang bersedia menjadi klien saya adalah Bapak Tri Mulyanto. Beliau adalah
seorang pemilik/pimpinan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Jasa Bhakti di Jombang, Jawa
Timur. KSP Jasa Bhakti didirikan pada tahun 2010. Saat ini omzet per tahun dari KSP
Jasa Bhakti yaitu berkisar antara Rp 1,7M (satu milyar tujuh ratus juta rupiah) Rp
1,8M (satu milyar delapan ratus juta rupiah) per tahunnya. KSP Jasa Bhakti
mempekerjakan enam pegawai. Namun pemilik KSP Jasa Bhakti kurang memiliki
(minim) pengetahuan terkait aspek perpajakan dalam koperasi sehingga KSP Jasa Bhakti
belum melaksanakan kewajiban perpajakannya selama tujuh tahun ini.
Minimnya pengetahuan tersebut juga di pengaruhi oleh latar belakang pendidikan
terakhir Bapak Tri Mulyanto yaitu lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA). Selain itu,
pegawai yang dipekerjakan pun rata-rata dengan pendidikan Sekolah Menengah Atas
(SMA) atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Selama beberapa tahun ini Bapak Tri
Mulyanto belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan juga belum
mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Koperasi Simpan Pinjam (KSP) adalah koperasi dimana anggotanya memiliki
identitas ganda sebagai pemilik (owner) dan nasabah (customers). Dalam kedudukan
sebagai nasabah anggota melaksanakan kegiatan menabung dan meminjam dalam bentuk
kredit kepada koperasi. Pelayanan koperasi kepada anggota yang menabung dalam bentuk
simpanan wajib, simpanan sukarela dan deposito, merupakan sumber modal bagi koperasi.
Penghimpunan dana dari anggota itu menjadi modal yang oleh koperasi disalurkan dalam
bentuk pinjaman atau kredit kepada anggota dan calon anggota. Dengan cara itulah
koperasi melaksanakan fungsi intermediasi dana milik anggota untuk disalurkan dalam
bentuk kredit kepada anggota yang membutuhkan. Penyelenggaraan kegiatan simpan
pinjam oleh koperasi dilaksanakan dalam bentuk/wadah Koperasi Simpan Pinjam (KSP)
dan/atau Unit Usaha Simpan Pinjam (USP) Koperasi.
Koperasi merupakan salah satu subjek pajak disamping subjek pajak dalam negeri
yang lain sebagaimana diatur dalam UU PPh Nomor 10 tahun 1994, yaitu : orang pribadi,
warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan menggantikan yang berhak, badan
terdiri dari perseroan, BUMN, BUMD dengan nama dan bentuk apapun, persekutuan,
perkumpulan, Firma, Koperasi, yayasan atau organisasi sejenis, Bentuk Usaha Tetap
(BUT), lembaga dana pensiun dan bentuk usaha lainnya. Yang menjadi Objek Pajak adalah
penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak (WP), baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang
dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak (WP) yang
bersangkutan.
Sebagai subyek pajak, koperasi memiliki kewajiban yang meliputi :
Kewajiban mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP sebagai identitas
Kewajiban menyelenggarakan pembukuan dan pencatatan secara tertib dan sesuai
dengan standar akuntansi perkoperasian
Menghitung dan membayar pajaknya dengan benar
Mengisi dan memasukkan Surat Pemberitahuan (SPT) masa dan/atau tahunan tepat
pada waktunya.
Memungut dan menyetor pajak.
Sebagai subyek pajak yang membayar pajak, maka koperasi adalah Wajib Pajak
yang harus memiliki NPWP. Wajib Pajak (WP) adalah orang pribadi atau badan yang
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan
kewajiban perpajakan, termasuk memungut pajak atau pemotongan pajak tertentu.
Sedangkan NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam
administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas
Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
BAGIAN 2
PERMASALAHAN PERPAJAKAN
BAGIAN 3
SOLUSI DAN DASAR HUKUM
Sewa tanah/bangunan
Dalam menjalankan kegiatannya, pengurus koperasi tentu memerlukan tempat
atau ruangan yang digunakan sebagai lokasi usaha. Untuk koperasi yang memiliki
lokasi usaha sendiri, tidak ada aspek perpajakan atas kegiatan mendiami lokasi
tersebut, sedangkan untuk koperasi yang menyewa gedung wajib memotong PPh
Final sebesar 10% (sepuluh persen) dari nilai sewanya. Hal tersebut sesuai dengan
Pasal 3 Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor 227/PJ/2002 tanggal 23 April 2002
tentang Tata Cara Pemotongan dan Pembayaran serta Pelaporan PPh dari Persewaan
Tanah dan/atau Bangunan, sehingga dalam hal ini koperasi yang menyewa tanah
dan/atau bangunan wajib bertindak sebagai pemotong PPh Final sebesar 10%
(sepuluh persen) dari nilai sewa yang diserahkan kepada pihak penyedia.
Disebutkan pula di dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor 227/PJ/2002 bahwa koperasi yang memotong PPh Final 10% (sepuluh
persen) atas sewa tanah dan/atau bangunan wajib menyetorkan ke kas negara paling
lambat tanggal 10 bulan berikutnya dari tanggal terjadinya pembayaran uang sewa
dan melaporkannya ke dalam SPT PPh Masa Pasal 4 ayat (2) paling lambat tanggal
20 bulan berikutnya. Keterlambatan pelaporan dan penyetoran dapat menimbulkan
terbitnya Surat Tagihan Pajak sebesar Rp 100.000 (seratus ribu rupiah) dan sanksi
administrasi sebesar 2% (dua persen) dari nilai yang dipotong. Koperasi juga wajib
menerbitkan bukti pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2) sebanyak 3 rangkap (untuk
arsip, untuk dilaporkan di dalam SPT Masa PPh, dan untuk pemilik tanah dan/atau
bangunan).
Oleh karena itu, menjadi kewajiban pengurus koperasi untuk memotong PPh
Pasal 4 ayat (2) atas pembayaran penghasilan bunga simpanan tersebut sebelum
dibayarkan ke anggota koperasi dan disertai dengan penerbitan Bukti Pemotongan
PPh Final Pasal 4 ayat (2) sebagai bukti pemotongan dan sebagai arsip serta sebagai
bahan lampiran dalam pelaporan SPT masa PPh Pasal 4 ayat (2) yang wajib
dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya dan membayarkan ke kas
negara paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
Pemotongan dan penerbitan bukti pemotongan tetap dilakukan pula oleh
pengurus koperasi meskipun nilai pemotongan adalah Rp 0 (nol rupiah) atau dikenai
tarif 0% (nol persen) karena nilai bunga simpanan yang dibayarkan di bawah Rp
240.000/bulan sebagaimana disebutkan di dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor PMK-112/PMK.03/2010 tanggal 4 Juni 2010 tentang Tata Cara Pemotongan,
Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Bunga Simpanan yang dibayarkan
oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi. Kegiatan pelaporan dan
pembayaran ini tidak rutin dilakukan setiap bulan, hanya jika pada bulan yang
bersangkutan terdapat transaksi yang dimaksud saja. Keterlambatan pelaporan dan
penyetoran dapat menimbulkan terbitnya Surat Tagihan Pajak sebesar Rp 100.000
(seratus ribu rupiah) dan sanksi administrasi sebesar 2% (dua persen) dari nilai yang
dipotong.
Pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) Koperasi
Sebetulnya di dalam pasal 4 ayat (2) UU No 7/1983 sttd UU No 36/2008
tentang Pajak Penghasilan tidak ada secara khusus disebutkan bahwa SHU yang
dibagikan koperasi merupakan objek Pajak Penghasilan tetapi di huruf (e) di dalam
pasal tersebut disebutkan penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan
Peraturan Pemerintah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa SHU yang dibagikan
koperasi merupakan objek PPh Final.
Penegasan perihal SHU yang dibagikan koperasi dijelaskan di dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor PMK-111/PMK.03/2010 tanggal 14 Juni 2010 tentang
Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Dividen
yang diterima atau diperoleh WP Orang Pribadi dalam negeri. Melalui Pasal 1 dan
Pasal 2 telah dengan jelas disebutkan sebagai berikut :
Pasal 1: Atas penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh WP Orang
Pribadi dalam negeri dikenai PPh sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto
dan bersifat Final.
Pasal 2: Dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah dividen, dengan
nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
Oleh karena itu, ketika SHU yang hendak dibagikan tersedia, maka pengurus
koperasi harus melakukan pemotongan sebelum dibagikan dan menerbitkan bukti
pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2) kepada para anggota yang telah dipotong
SHU-nya. Disebutkan pula dalam pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-
111/PMK.03/2010 bahwa koperasi harus melaporkan transaksi pemotongan tersebut
paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak dilakukan pemotongan
dan menyetorkan ke kas negara, paling lambat tanggal 10 setelah masa pajak
dilakukan pemotongan berakhir.
Tata cara pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak penghasilan atas bunga
simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2010. Berikut ini pasal-pasal
yang terdapat didalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2010 :
Pasal 1 : Atas penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi yang
didirikan di Indonesia kepada anggota koperasi orang pribadi dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final.
Pasal 2 : Besarnya PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah : 0% untuk
penghasilan berupa bunga simpanan sampai dengan Rp 240.000 per bulan; atau 10% dari
jumlah bruto bunga untuk penghasilan berupa bunga simpanan lebih dari Rp 240.000 per
bulan.
Pasal 3 : PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib dipotong oleh koperasi yang
melakukan pembayaran bunga simpanan kepada anggota koperasi orang pribadi pada
saat pembayaran.
Pasal 4
(1) Koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib memberikan tanda bukti
pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2) kepada WP orang pribadi yang dipotong PPh
setiap melakukan pemotongan.
(2) Kewajiban memberikan tanda bukti pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetap dilakukan terhadap penghasilan dari
bunga simpanan yang dikenai tarif pemotongan sebesar 0%.
Pasal 5
(1) PPh yang telah dipotong oleh koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib
disetor ke kas negara melalui Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan, paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
(2) Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran
dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
(3) Penyetoran PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).
Pasal 6
(1) Koperasi wajib menyampaikan laporan tentang pemotongan dan penyetoran PPh
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 5 paling lama 20 hari setelah masa
pajak berakhir.
(2) Dalam hal batas akhir pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertepatan
dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pelaporan dapat
dilakukan pada hari kerja berikutnya.
(3) Pelaporan PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
menggunakan SPT Masa PPh Final Pasal 4 ayat (2).
Pasal 7 : Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 522/KMK.04/1998 tentang Batas Bunga Simpanan Anggota Koperasi
yang Tidak Dipotong PPh, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 8 : Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri
Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
BAGIAN 4
TINDAK LANJUT DAN SARAN
(RESPON TERHADAP SARAN YANG DIBERIKAN)
Dari beberapa saran yang saya berikan tersebut, klien menyatakan kesediaannya
menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP), dan dalam waktu dekat akan segera mendaftarkan
diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) serta Nomor Pokok Pengusaha
Kena Pajak (NPPKP). Hal yang mendasari keputusan klien yaitu karena kesadaran sebagai
warga negara dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, selain itu klien juga ingin
memanfaatkan keuntungan yang diperoleh jika menjadi PKP, serta agar Koperasinya di
pandang legal sehingga ke depannya dapat berkembang lebih baik lagi.
BAGIAN 5
KESIMPULAN
(PERMASALAHAN, SOLUSI, TINDAK LANJUT)
Sekilas proses bisnis Koperasi memang sederhana, tapi jika kita telaah lebih
mendalam, sebenarnya ada banyak aspek yang harus diperhatikan, salah satunya adalah
aspek perpajakan Koperasi. Ragam pajak yang timbul dari kegiatan Koperasi terbagi
menjadi empat yaitu kewajiban umum (pendaftaran NPWP, PKP, dan menyelenggarakan
pembukuan), kewajiban pemotongan (PPh 21, PPh 23, dan PPh Final Pasal 4 Ayat (2)),
kewajiban pemungutan (PPh 22, PPN), kewajiban membayar sendiri (PPh Final Pasal 4
Ayat (2), PPh 25, dan PPh 29). Kelalaian atas pemenuhan kewajiban tersebut akan
menimbulkan denda dan sanksi administrasi yang sebaiknya dihindari.
Permasalahan yang dihadapi oleh klien yaitu terkait tata cara memperoleh Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP), tata cara pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP)
serta ragam pajak dalam Koperasi Simpan Pinjam (KSP). Klien saya sebagai
pemilik/pimpinan dari sebuah Koperasi Simpan Pinjam (KSP) merasa kurang memiliki
(minim) pengetahuan terkait aspek perpajakan, khususnya di bidang Koperasi Simpan
Pinjam (KSP). Beliau bernama Bapak Tri Mulyanto, sebagai pemilik/pemimpin Koperasi
Simpan Pinjam (KSP) Jasa Bhakti di Jombang, Jawa Timur. KSP Jasa Bhakti telah
didirikan atau beroperasi sejak tahun 2010, namun selama tujuh tahun ini KSP Jasa
Bhakti belum melaksanakan kewajiban perpajakannya. Hal tersebut karena pimipinan
KSP Jasa Bhakti yaitu Bapak Tri Mulyanto belum memiliki NPWP dan belum
mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai PKP.
Dari proses konsultasi, saya menyarankan agar klien mendaftarkan diri sebagai
Wajib Pajak (WP) untuk memperoleh NPWP dan meminta untuk dikukuhkan menjadi
Pengusaha Kena Pajak (PKP). Karena dengan dikukuhkan menjadi PKP maka klien dapat
memanfaatkan sebaik mungkin fasilitas perpajakannya, hal tersebut terkait dengan
kegiatan operasional KSP Jasa Bhakti, apabila Koperasi tersebut dipungut PPN oleh
pihak lain (Pajak Masukan) maka Koperasi dapat mengkreditkan Pajak Masukan tersebut,
sehingga PPN Pajak Masukan yang dipungut oleh pihak lain tidak mengurangi Sisa Hasil
Usaha (SHU) pada akhir tahun yang dapat dibagikan kepada anggota. Selain itu, jika klien
(Koperasi) memilih menjadi PKP maka klien (Koperasi) akan dianggap memiliki sistem
yang sudah baik dan dianggap legal secara hukum karena sudah menjadi PKP dan tertib
membayar pajak. Hal tersebut juga berkaitan dengan citra Koperasi dalam penilaian
anggotanya.
Saya juga memberi penjelasan agar klien tidak khawatir dengan adanya pengenaan
pajak yang relatif tinggi atau adanya multi pajak, karena pengenaan pajak memiliki batasan
masing-masing, terdapat peraturan perundang-undangan yang mengaturnya dan aturan
tersebut telah diupayakan untuk tidak merugikan pengusaha sebagai WP. Dari UU
Perpajakan yang berlaku juga telah diatur bahwa pengenaan pajak badan berkaitan dengan
omzet yang diperoleh setiap tahunnya. Dari beberapa saran yang saya berikan tersebut,
klien menyatakan kesediaannya menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP), dan dalam waktu
dekat akan segera mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP) serta Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak (NPPKP).
Sumber :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
112/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN,
DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA SIMPANAN YANG
DIBAYARKAN OLEH KOPERASI KEPADA ANGGOTA KOPERASI ORANG
PRIBADI
PP 15 TAHUN 200 TENTANG PPh ATAS BUNGA SIMPANAN YANG
DIBAYARKAN OLEH KOPERASI KEPADA ANGGOTA KOPERASI ORANG
PRIBADI (berlaku sejak 1 Januari 2009)
PEDOMAN KEBIJAKAN PERPAJAKAN BAGI KOPERASI, OLEH DEPUTI
BIDANG PEMBIAYAAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN
MENENGAH TAHUN 2008, KEMENTERIAN KOPERASI DAN USAHA KECIL
DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA
Lampiran :