Anda di halaman 1dari 22

TATA CARA MEMPEROLEH NOMOR POKOK WAJIB PAJAK

(NPWP), PENGUKUHAN SEBAGAI PENGUSAHA KENA PAJAK


(PKP), DAN RAGAM PAJAK KOPERASI SIMPAN PINJAM (KSP)

LAPORAN KONSULTASI TAX PLANNING

oleh
AUGY LADYANA FIRSTYANTO
NIM 14080694055

BAGIAN 1
GAMBARAN UMUM KLIEN

Dalam rangka memenuhi tugas dalam mata kuliah Perencanaan Perpajakan (Tax
Planning), laporan ini di buat sebagai bukti proses konsultasi yang saya berikan kepada
klien. Pihak yang bersedia menjadi klien saya adalah Bapak Tri Mulyanto. Beliau adalah
seorang pemilik/pimpinan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Jasa Bhakti di Jombang, Jawa
Timur. KSP Jasa Bhakti didirikan pada tahun 2010. Saat ini omzet per tahun dari KSP
Jasa Bhakti yaitu berkisar antara Rp 1,7M (satu milyar tujuh ratus juta rupiah) Rp
1,8M (satu milyar delapan ratus juta rupiah) per tahunnya. KSP Jasa Bhakti
mempekerjakan enam pegawai. Namun pemilik KSP Jasa Bhakti kurang memiliki
(minim) pengetahuan terkait aspek perpajakan dalam koperasi sehingga KSP Jasa Bhakti
belum melaksanakan kewajiban perpajakannya selama tujuh tahun ini.
Minimnya pengetahuan tersebut juga di pengaruhi oleh latar belakang pendidikan
terakhir Bapak Tri Mulyanto yaitu lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA). Selain itu,
pegawai yang dipekerjakan pun rata-rata dengan pendidikan Sekolah Menengah Atas
(SMA) atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Selama beberapa tahun ini Bapak Tri
Mulyanto belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan juga belum
mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Koperasi Simpan Pinjam (KSP) adalah koperasi dimana anggotanya memiliki
identitas ganda sebagai pemilik (owner) dan nasabah (customers). Dalam kedudukan
sebagai nasabah anggota melaksanakan kegiatan menabung dan meminjam dalam bentuk
kredit kepada koperasi. Pelayanan koperasi kepada anggota yang menabung dalam bentuk
simpanan wajib, simpanan sukarela dan deposito, merupakan sumber modal bagi koperasi.
Penghimpunan dana dari anggota itu menjadi modal yang oleh koperasi disalurkan dalam
bentuk pinjaman atau kredit kepada anggota dan calon anggota. Dengan cara itulah
koperasi melaksanakan fungsi intermediasi dana milik anggota untuk disalurkan dalam
bentuk kredit kepada anggota yang membutuhkan. Penyelenggaraan kegiatan simpan
pinjam oleh koperasi dilaksanakan dalam bentuk/wadah Koperasi Simpan Pinjam (KSP)
dan/atau Unit Usaha Simpan Pinjam (USP) Koperasi.
Koperasi merupakan salah satu subjek pajak disamping subjek pajak dalam negeri
yang lain sebagaimana diatur dalam UU PPh Nomor 10 tahun 1994, yaitu : orang pribadi,
warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan menggantikan yang berhak, badan
terdiri dari perseroan, BUMN, BUMD dengan nama dan bentuk apapun, persekutuan,
perkumpulan, Firma, Koperasi, yayasan atau organisasi sejenis, Bentuk Usaha Tetap
(BUT), lembaga dana pensiun dan bentuk usaha lainnya. Yang menjadi Objek Pajak adalah
penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak (WP), baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang
dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak (WP) yang
bersangkutan.
Sebagai subyek pajak, koperasi memiliki kewajiban yang meliputi :
Kewajiban mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP sebagai identitas
Kewajiban menyelenggarakan pembukuan dan pencatatan secara tertib dan sesuai
dengan standar akuntansi perkoperasian
Menghitung dan membayar pajaknya dengan benar
Mengisi dan memasukkan Surat Pemberitahuan (SPT) masa dan/atau tahunan tepat
pada waktunya.
Memungut dan menyetor pajak.
Sebagai subyek pajak yang membayar pajak, maka koperasi adalah Wajib Pajak
yang harus memiliki NPWP. Wajib Pajak (WP) adalah orang pribadi atau badan yang
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan
kewajiban perpajakan, termasuk memungut pajak atau pemotongan pajak tertentu.
Sedangkan NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam
administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas
Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

BAGIAN 2
PERMASALAHAN PERPAJAKAN

Koperasi pada umumnya seringkali mengalami permasalahan terkait dengan


kewajiban perpajakan dikarenakan pemilik/pendirinya kurang memiliki (minim)
pengetahuan terkait aspek perpajakan koperasi. Ketika menjalankan kegiatan usahanya,
jenis-jenis penghasilan yang diterima oleh koperasi sangat tergantung dengan jenis usaha
yang dilakukan. Jadi ada perbedaan antara penghasilan koperasi yang bergerak di bidang
simpan pinjam dengan koperasi yang bergerak di bidang hasil perkebunan/pertanian.
Pengurus koperasi harus pandai-pandai mengidentifikasi jenis penghasilan yang diterima
koperasi agar tidak salah dalam pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) atas penghasilan yang
diperoleh, sebab pada dasarnya semua penghasilan yang diterima koperasi adalah objek
Pajak Penghasilan (PPh), kecuali dinyatakan lain dalam ketentuan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku (Pasal 4 ayat (3) UU No 7/1983 sttd UU No 36/2008 tentang
PPh), dan atas itu semua wajib dilaporkan di dalam SPT Tahunan PPh Badan.
Di dalam Pasal 4 ayat (1) UU No 7/1983 sttd UU No 36/2008 tentang PPh terdapat
19 jenis penghasilan dalam nama dan bentuk apapun yang menjadi objek Pajak
Penghasilan. Dalam kaitannya dengan koperasi, semua jenis penghasilan yang dapat
diterima oleh koperasi, dapat disederhanakan menjadi dua kelompok saja, yaitu :
Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha, contoh dalam hal
koperasi melakukan penjualan barang dan atau jasa kepada pihak lain, yang atas
penjualan tersebut menjadi sumber penghasilan.
Pendapatan bunga, fee, komisi dan seluruh penghasilan yang terkait dengan pemberian
kredit pinjaman, tidak termasuk pembayaran pokok kredit/pinjaman. Ini berlaku untuk
jenis Koperasi Simpan Pinjam (KSP).
Sebagai contoh yaitu Koperasi Simpan Pinjam (KSP) melakukan pemberian kredit
kepada para anggotanya dengan mendapat imbal hasil dalam persentase yang dihitung dari
besarnya pokok kredit yang dicicil setiap bulan oleh anggota, dalam hal ini, sumber
penghasilannya adalah persentase fee dan/atau komisi yang diterima atas setiap
pembayaran kredit dari para anggotanya.
Permasalahan yang dihadapi klien saya adalah kurangnya (minim) pengetahuan
terkait aspek perpajakan di bidang koperasi, khusunsya Koperasi Simpan Pinjam (KSP).
Klien mendirikan KSP Jasa Bhakti sejak tahun 2010, namun sampai saat ini klien belum
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) maupun menjadi Pengusaha Kena Pajak
(PKP). Hal tersebut dikarenakan klien tidak memiliki pengetahuan terkait tata cara
memperoleh NPWP serta persyaratan untuk dikukuhkan sebagai PKP. Untuk omzet dari
Koperasi Simpan Pinjam (KSP) klien belum mencapai Rp 4,8M (empat miliar delapan
ratus juta rupiah) per tahunnya, sehingga klien merasa omzetnya masih rendah dan tidak
ada kewajiban terkait perpajakan yang harus dipenuhi.
Oleh karena itu, saya terdorong untuk menjadikan Bapak Tri Mulyanto (selaku
pemilik/pemimpin KSP Jasa Bhakti) sebagai klien saya dalam hal konsultasi terkait
perencanaan perpajakan. Tujuan dari konsultasi ini diantaranya yaitu untuk memenuhi
tugas mata kuliah Perencanaan Perpajakan (Tax Planning), untuk membantu
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi klien dalam aspek perpajakan Koperasi
Simpan Pinjam (KSP), untuk berbagi pengetahuan terkait aspek perpajakan yang berkaitan
dengan masalah yang dihadapi oleh klien, serta memberikan beberapa saran sebagai solusi
untuk permasalahan yang dihadapi oleh klien.

BAGIAN 3
SOLUSI DAN DASAR HUKUM

Berdasarkan permasalahan perpajakan yang dihadapi klien, berikut ini pengetahuan


terkait perpajakan pada Koperasi Simpan Pinjam (KSP) beserta dasar hukumnya yang saya
berikan sebagai solusi dari permasalahan perpajakan yang dihadapi oleh klien. Menurut
Pedoman Kebijakan Perpajakan Bagi Koperasi yang diterbitkan oleh Deputi Bidang
Pembiayaan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah tahun 2008, Bab 2
tentang Ketentuan Umum Perpajakan, berikut ini akan dijelaskan terkait tata cara
pendaftaran dan pemberian NPWP serta tata cara pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
(PKP).
Tata Cara Pendaftaran dan Pemberian NPWP
Wajib Pajak (WP) mengisi formulir pendaftaran dan menyampaikan secara langsung atau
melalui pos ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Penyuluhan dan Pengamatan
Potensi Perpajakan (KP4) setempat dengan melampirkan :
1) Untuk WP Orang Pribadi Non Usahawan
Foto copy KTP bagi penduduk Indonesia atau foto copy paspor
Surat keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau
Kepala Desa bagi orang asing.
2) Untuk WP Orang Pribadi Usahawan
Foto copy KTP bagi penduduk Indonesia atau foto copy paspor
Surat keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau
Kepala Desa bagi orang asing
Surat keterangan tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari instansi yang
berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa
3) Untuk Wajib Pajak Badan
Foto copy akte pendirian dan perubahan terakhir atau surat keterangan
penunjukan dari kantor pusat bagi Bagi Usaha Tetap (BUT)
Foto copy KTP bagi penduduk Indonesia atau foto copy paspor ditambah surat
keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau
Kepala Desa bagi orang asing, dari salah seorang pengurus aktif
Surat keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau
Kepala Desa

Tata Cara Pengukuhan PKP


Meminta untuk dikukuhkan menjadi PKP bersamaan dengan pendaftaran NPWP pertama
kali. Bila meminta dikukuhkan menjadi PKP setelah mendapatkan NPWP, cukup
melampirkan NPWP.

Jenis Pajak Koperasi


Jenis-jenis pajak yang terkait dengan koperasi adalah :
1) Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Kewajiban untuk memungut PPN hanya dibebankan kepada koperasi yang
berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP) atas penyerahan/penjualan jasa/barang kena
pajak. Seperti telah disebutkan didalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-
68/PMK.03/2010 sebagaimana terakhir telah diubah dengan PMK-197/PMK.03/2013
tentang batasan pengusaha kecil Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kewajiban untuk
menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) bagi koperasi muncul dalam hal
peredaran/penerimaan bruto melebihi Rp 4,8M (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Meski terkesan berat dan ketat, sebetulnya meski belum wajib menjadi Pengusaha
Kena Pajak, ada baiknya koperasi mengajukan diri untuk menjadi Pengusaha Kena
Pajak. Karena hampir semua produk atas kegiatan usaha koperasi adalah Barang/Jasa
Kena Pajak (kecuali produk Holtikultura) yang atas penyerahannya koperasi wajib
menerbitkan Faktur Pajak untuk memungut PPN (Pajak Keluaran) dan dalam kegitan
operasionalnya, koperasi juga dipungut PPN (Pajak Masukan) oleh pihak lain sehingga
dengan berstatus PKP, maka koperasi dapat mengkreditkan Pajak Masukan sehingga
menyetorkan Pajak Keluaran setelah dikurangi Pajak Masukan.
Bila koperasi belum berstatus PKP, maka tindakan yang dilakukan pengurus
cenderung untuk membiayakan Pajak Masukan yang dipungut pihak lain sehingga
mengurangi Sisa Hasil Usaha (SHU) pada akhir tahun yang dapat dibagikan kepada
anggota.

2) PPh Final Pasal 4 Ayat (2)


PPh Pasal 4 ayat (2) untuk Koperasi dengan omzet di bawah Rp 4,8M (empat
miliar delapan ratus juta rupiah). Sejak Juli 2013, Pemerintah berupaya mengintensifkan
peran serta semua pelaku kegiatan ekonomi untuk membayar pajak, tak terkecuali
koperasi. Koperasi dengan omzet kurang dari Rp 4,8M (empat miliar delapan ratus juta
rupiah) dalam setahun di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tanggal 13
Juni 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang diterima atau
diperoleh WP yang memiliki peredaran bruto tertentu. Ini menyebabkan setiap bulan
koperasi dikenakan kewajiban untuk membayar PPh Pasal 4 ayat (2) Final sebesar 1%
(satu persen) dari omzet per bulan.
Di dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-42/PJ/2013 tentang
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 disebutkan bahwa penyetoran
PPh Final Pasal 4 ayat (2) hanya dilakukan apabila terdapat omzet/penyerahan pada
bulan tersebut dan pembayaran dapat langsung disetorkan paling lambat tanggal 15
bulan berikutnya melalui Bank/Kantor Pos/ATM. Sepanjang bukti penyetoran yang
diperoleh telah mendapat validasi yang sah dari kantor penerima, maka tidak perlu lagi
melaporkan SPT Masa PPh Final Pasal 4 ayat (2) sebagaimana telah dipertegas di dalam
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-32/PJ/2014. Dalam hal pada suatu
bulan tidak terdapat penjualan/omzet, maka koperasi tidak wajib melaporkan SPT Masa
PPh Final Pasal 4 ayat (2) seperti yang telah disebutkan di dalam huruf F angka 5 SE-
42/PJ/2013 dan huruf E angka 8 poin e SE-32/PJ/2014.
Terhadap koperasi yang termasuk dalam kriteria omzet tidak lebih dari Rp 4,8M
(empat miliar delapan ratus juta rupiah) ini maka pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2)
yang dilakukan akan menjadi pengganti pajak terutang di akhir tahun. Sehingga status
SPT tahunan PPh Badan pada tahun pajak tersebut menjadi NIHIL (tidak ada lagi PPh
Pasal 29 terutang) yang harus dihitung, koperasi hanya cukup melampirkan catatan
pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2) yang telah dilakukan sepanjang tahun tersebut.

Sewa tanah/bangunan
Dalam menjalankan kegiatannya, pengurus koperasi tentu memerlukan tempat
atau ruangan yang digunakan sebagai lokasi usaha. Untuk koperasi yang memiliki
lokasi usaha sendiri, tidak ada aspek perpajakan atas kegiatan mendiami lokasi
tersebut, sedangkan untuk koperasi yang menyewa gedung wajib memotong PPh
Final sebesar 10% (sepuluh persen) dari nilai sewanya. Hal tersebut sesuai dengan
Pasal 3 Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor 227/PJ/2002 tanggal 23 April 2002
tentang Tata Cara Pemotongan dan Pembayaran serta Pelaporan PPh dari Persewaan
Tanah dan/atau Bangunan, sehingga dalam hal ini koperasi yang menyewa tanah
dan/atau bangunan wajib bertindak sebagai pemotong PPh Final sebesar 10%
(sepuluh persen) dari nilai sewa yang diserahkan kepada pihak penyedia.
Disebutkan pula di dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor 227/PJ/2002 bahwa koperasi yang memotong PPh Final 10% (sepuluh
persen) atas sewa tanah dan/atau bangunan wajib menyetorkan ke kas negara paling
lambat tanggal 10 bulan berikutnya dari tanggal terjadinya pembayaran uang sewa
dan melaporkannya ke dalam SPT PPh Masa Pasal 4 ayat (2) paling lambat tanggal
20 bulan berikutnya. Keterlambatan pelaporan dan penyetoran dapat menimbulkan
terbitnya Surat Tagihan Pajak sebesar Rp 100.000 (seratus ribu rupiah) dan sanksi
administrasi sebesar 2% (dua persen) dari nilai yang dipotong. Koperasi juga wajib
menerbitkan bukti pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2) sebanyak 3 rangkap (untuk
arsip, untuk dilaporkan di dalam SPT Masa PPh, dan untuk pemilik tanah dan/atau
bangunan).

Bunga Simpanan yang dibayarkan koperasi kepada anggota Orang Pribadi


Secara periodik, koperasi membayarkan Bunga atas simpanan kepada anggota
Orang Pribadi. Ini merupakan bentuk timbal balik manfaat yang diterima anggota
atas kontribusinya dalam menyimpan sejumlah dana di koperasi. Khususnya pada
Koperasi Simpan Pinjam. Perihal ini telah diatur khusus di dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 15 Tahun 2009 tanggal 9 Februari 2009 tentang Pajak
Penghasilan atas Bunga Simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota
Orang Pribadi. Disebutkan di dalam Pasal 1 dan Pasal 2, bahwa :
Pasal 1: Penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi yang
didirikan di Indonesia kepada anggota orang pribadi dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final.
Pasal 2: Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
adalah: a) 0% (nol persen) untuk penghasilan berupa bunga simpanan sampai
dengan Rp 240.000 per bulan; atau b) 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto
bunga penghasilan berupa bunga simpanan lebih dari Rp 240.000 per bulan.

Oleh karena itu, menjadi kewajiban pengurus koperasi untuk memotong PPh
Pasal 4 ayat (2) atas pembayaran penghasilan bunga simpanan tersebut sebelum
dibayarkan ke anggota koperasi dan disertai dengan penerbitan Bukti Pemotongan
PPh Final Pasal 4 ayat (2) sebagai bukti pemotongan dan sebagai arsip serta sebagai
bahan lampiran dalam pelaporan SPT masa PPh Pasal 4 ayat (2) yang wajib
dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya dan membayarkan ke kas
negara paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
Pemotongan dan penerbitan bukti pemotongan tetap dilakukan pula oleh
pengurus koperasi meskipun nilai pemotongan adalah Rp 0 (nol rupiah) atau dikenai
tarif 0% (nol persen) karena nilai bunga simpanan yang dibayarkan di bawah Rp
240.000/bulan sebagaimana disebutkan di dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor PMK-112/PMK.03/2010 tanggal 4 Juni 2010 tentang Tata Cara Pemotongan,
Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Bunga Simpanan yang dibayarkan
oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi. Kegiatan pelaporan dan
pembayaran ini tidak rutin dilakukan setiap bulan, hanya jika pada bulan yang
bersangkutan terdapat transaksi yang dimaksud saja. Keterlambatan pelaporan dan
penyetoran dapat menimbulkan terbitnya Surat Tagihan Pajak sebesar Rp 100.000
(seratus ribu rupiah) dan sanksi administrasi sebesar 2% (dua persen) dari nilai yang
dipotong.
Pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) Koperasi
Sebetulnya di dalam pasal 4 ayat (2) UU No 7/1983 sttd UU No 36/2008
tentang Pajak Penghasilan tidak ada secara khusus disebutkan bahwa SHU yang
dibagikan koperasi merupakan objek Pajak Penghasilan tetapi di huruf (e) di dalam
pasal tersebut disebutkan penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan
Peraturan Pemerintah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa SHU yang dibagikan
koperasi merupakan objek PPh Final.
Penegasan perihal SHU yang dibagikan koperasi dijelaskan di dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor PMK-111/PMK.03/2010 tanggal 14 Juni 2010 tentang
Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Dividen
yang diterima atau diperoleh WP Orang Pribadi dalam negeri. Melalui Pasal 1 dan
Pasal 2 telah dengan jelas disebutkan sebagai berikut :
Pasal 1: Atas penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh WP Orang
Pribadi dalam negeri dikenai PPh sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto
dan bersifat Final.
Pasal 2: Dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah dividen, dengan
nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.

Oleh karena itu, ketika SHU yang hendak dibagikan tersedia, maka pengurus
koperasi harus melakukan pemotongan sebelum dibagikan dan menerbitkan bukti
pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2) kepada para anggota yang telah dipotong
SHU-nya. Disebutkan pula dalam pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-
111/PMK.03/2010 bahwa koperasi harus melaporkan transaksi pemotongan tersebut
paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak dilakukan pemotongan
dan menyetorkan ke kas negara, paling lambat tanggal 10 setelah masa pajak
dilakukan pemotongan berakhir.

3) Pajak Penghasilan Pasal 21


PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium,
tunjangan, dan pembayaran lain yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan jasa dan kegiatan.
a. Tarif dan Penerapannya
Pegawai tetap, penerima pensiun bulanan, pegawai tidak tetap, pemegang dan
calon pegawai serta distributor MLM/direct selling dan kegiatan sejenis,
dikenakan tariff pasal sesuai dengan Pasal 17 Undang-Undang PPh perubahan
ketiga tahun 2000, dikalikan dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP).
PKP dihitung berdasarkan sebagai berikut :
Pegawai tetap : penghasilan bruto dikurangi biaya jabatan (5% dari penghasilan
bruto, maksimum Rp 1.296.000 setahun atau Rp 108.000 sebulan), dikurangi
iuran pensiun, iuran jaminan hari tua, dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP)
Penerima Pensiun Bulanan : penghasilan bruto dikurangi biaya pensiun (5%
dari penghasilan bruto), maksimum Rp 432.000 setahun atau Rp 36.000
sebulan dikurangi PTKP.
Pegawai tidak tetap, pemagang, calon pegawai : penghasilan bruto dikurangi
PTKP
Distributor Multi Level Marketing/direct selling dan kegiatan sejenis :
penghasilan bruto tiap bulan dikurangi PTKP per bulan.
Penerima honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan, komisi, beasiswa dan
pembayaran lain sebagai imbalan atas jasa dan kegiatan yang jumlahnya dihitung
tidak atas dasar banyaknya hari yang diperlukan untuk menyelesaikan jasa atau
kegiatan mantan pegawai yang menerima jasa produksi, tantiem, grafikasi, bonus,
peserta program pensiun yang menarik dananya pada dana pensiun, dikenakan
tarif berdasarkan Pasal 17 UU PPh dikalikan dengan penghasilan bruto.
Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas (pengacara, akuntan, arsitek, dokter
konsultan, notaris, penilai dan aktuaris) dikenakan tarif PPh 15% (lima belas
persen) dari perkiraan penghasilan neto. Perkiraan penghasilan neto adalah 50%
(lima puluh persen) dari penghasilan bruto.
Penerima upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan dan uang
saku harian yang jumlahnya melebihi 1/10 (sepersepuluh) Upah Minimum
Propinsi (UMP)/Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) sehari tetapi tidak
melebihi UMP/UMK dalam satu bulan dan/atau tidak dibayarkan secara bulanan
dikenakan tarif 5% (lima persen) dari penghasilan bruto/upah dikurangi 1/10
(sepersepuluh) UMP/UMK. Bila dalam satu bulan takwim jumlahnya melebihi
UMP/UMK maka dikenakan tarif 5% (lima persen) dari penghasilan bruto setelah
dikurangi PTKP harian yang sebenarnya dari penerima penghasilan. PTKP harian
adalah PTKP setahun dibagi 360.
Penerima pesangon, tebusan pensiun, tunjangan hari tua atau Jaminan Hari Tua
yang dibayarkan sekaligus dikenakan tarif PPh final sebagai berikut :
5 % dari penghasilan bruto sampai dengan Rp 25.000.000
10 % dari penghasilan bruto antara Rp 25.000.000 - Rp 50.000.000
15 % dari penghasilan bruto antara Rp 50.000.000 - Rp 100.000.000
25 % dari penghasilan bruto antara Rp 100.000.000 - Rp 200.000.000
35% dari penghasilan bruto diatas Rp 200.000.000
Pejabat negara, PNS, anggota TNI/POLRI : yang menerima honorarium dan
imbalan yang sumber dananya berasal dari Keuangan Negara atau Keuangan
Daerah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif 15% (lima belas persen) dari
penghasilan bruto dan bersifat final, kecuali dibayarkan kepada PNS gol. IId ke
bawah, anggota TNI/ POLRI Peltu kebawah/Ajun Insp/Tingkat I kebawah.

Kewajiban pemotongan PPh Pasal 21 pada dasarnya muncul jika koperasi


membayarkan penghasilan kepada pihak lain yang berstatus sebagai WP Orang Pribadi
sehubungan dengan pekerjaan, kegiatan atau jasa yang dilakukannya untuk koperasi itu
sendiri. Dalam hal ini, pihak tersebut dapat karyawannya atau pengurusnya sendiri atau
dari pihak lain yang di sewanya. Pengurus koperasi harus memahami dengan baik
setiap konteks pembayaran sehubungan dengan pekerjaan kepada pihak lain (Orang
Pribadi) karena ini terkait erat dengan tata cara penghitungan dan pengenaan PPh Pasal
21 yang harus dipotong oleh koperasi. Rujukan peraturan yang dapat dipakai untuk
menjadi panduan bagi para pengurus koperasi adalah Peraturan Direktur Jendral Pajak
Nomor PER-31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran,
dan Pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 (untuk WP Warga Negara Asing)
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan Orang Pribadi.
Dalam kegiatan yang koperasi selenggarakan misalnya, kehadiran pihak lain
dianggap lebih memahami materi kerap kali memang sangat diperlukan sehingga
sebagai imbal jasa, maka koperasi membayar orang-orang tersebut dan merupakan
objek PPh Pasal 21. Adapun pemotongan tersebut dihitung berdasarkan tarif PPh Pasal
17 UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana terakhir telah diubah dengan UU Nomor 36
Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan yang dikenakan langsung dari 50% (lima puluh
persen) dari nilai brutonya. Berbeda dengan pembayaran gaji yang diberikan koperasi
untuk karyawannya yang dilakukan setiap bulan, maka pengenaan PPh Pasal 21 atas
setiap pegawainya dihitung setelah penghasilan bruto yang dibayarkan dikurangi
terlebih dahulu dengan biaya jabatan (5% dari penghasilan bruto atau maksimal Rp
500.000/bulan) dan iuran terkait gaji seperti iuran dana pensiun/jaminan hari tua kepada
badan penyelenggara yang sah.
Tidak kalah pentingnya, hasil perhitungan tersebut masih harus dikurangi dengan
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang terakhir telah ditetapkan dalam Peraturan
Menteri Keuangn Nomor PMK-162/PMK.011/2012 tentang Penyesuaian PTKP.
Apabila masih terdapat selisih positif, maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong dihitung
berdasarkan tarif PPh Pasal 17 UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana terakhir telah
diubah dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Sifat kewajiban
pelaporan PPh Pasal 21 ini adalah rutin dan wajib, meskipun besar nilai penghasilan
bersih pegawai tetapnya masih di bawah PTKP, sehingga PPh Pasal 21-nya NIHIL.
Kelalaian pemenuhan kewajiban pelaporan ini mengakibatkan terbitnya Surat Tagihan
Pajak Masa PPh Pasal 21 untuk menagih denda administrasi sebesar Rp 100.000.
Jadi, lakukan pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21 paling lambat tanggal 20 bulan
berikutnya dan pembayaran PPh Pasal 21 yang telah dipotong dari pihak lain (bila ada),
paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.

4) Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah


Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah (PPh DTP) adalah fasilitas perpajakan
yang diberikan oleh Pemerintah berkenaan dengan pengenaan PPh Pasal 21. PPh DTP
yang berlaku pada tahun 2003 memiliki dua perhitungan yang berbeda yaitu:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 2002
a) Masa Berlaku : Januari 2003 s.d Juni 2003
b) Penerima fasilitas : Pekerja yang menerima upah hanya dari satu pemberi kerja
yang tidak menduduki jabatan struktural atau fungsional dalam unit organisasi
atau perusahaan dan tidak memperoleh penghasilan lain dari usaha, tidak
termasuk tenaga kerja asing, tenaga ahli, dan tenaga profesi.
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005 tanggal 30 Desember 2005,
sebagai pengganti dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004
tentang Penyesuaian Besarnya PTKP karena sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan di bidang ekonomi dan moneter serta perkembangan harga kebutuhan
pokok yang semakin meningkat saat ini.
a) Masa berlaku : 1 Januari 2006
b) Penerima fasilitas : WP orang pribadi dalam negeri yang bekerja sebagai pegawai
tetap atau pegawai tidak tetap pada satu pemberi kerja di Indonesia, yang
menerima gaji, upah, serta imbalan lainnya dari pekerjaan yang diberikan dalam
bentuk uang sampai dengan Rp 2.000.000 sebulan.

5) Pajak Penghasilan Pasal 23


Pajak Penghasilan Pasal 23 merupakan PPh yang dipotong atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh WP dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang berasal
dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong
PPh Pasal 21, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau subjek pajak
dalam negeri, penyelenggara kegiatan, BUT (sekumpulan orang dan/atau modal yang
merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha
yang berdomisili di wilayah Indonesia atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya).
Pemotong PPh Pasal 23 : Badan Pemerintah, WP Badan Dalam Negeri,
Penyelenggara Kegiatan, Bentuk Usaha Tetap (BUT), Perwakilan Perusahaan Luar
Negeri Lainnya, WP Orang Pribadi Dalam Negeri Tertentu, yang ditunjuk oleh DJP.
Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23 : WP dalam negeri, BUT (Bentuk
Usaha Tetap).
Tarif dan Objek PPh Pasal 23 :
a) 15% dari jumlah bruto atas : (a) dividen, bunga dan royalty, (b) hadiah,
penghargaan, bonus dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh Pasal 21
b) 15% dari jumlah bruto dan final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh
koperasi, yang jumlahnya melebihi Rp 240.000 setiap bulan
c) 15% dari perkiraan penghasilan neto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harian
Tarif perkiraan penghasilan neto dan objeknya adalah :
a) 15% x 20% dari jumlah bruto atas sewa penggunaan harian khusus kendaraan
angkutan darat
b) 15% x 40% dari jumlah bruto atas sewa lainnya (tidak termasuk sewa tanah dan
bangunan)
c) 15% dari perkiraan penghasilan neto atas imbalan jasa
Tarif perkiraan penghasilan neto dan objek imbalan jasa adalah :
a) 15% x 50% dari jumlah bruto imbalan jasa profesi, jasa akuntansi dan
pembukuan, penilai dan aktuaris, jasa konsultan, kecuali konsultan konstruksi.
b) 15% x 40% dari jumlah bruto imbalan Jasa:
Jasa teknik dan jasa manajemen
Jasa perancang/desain interior dan pertamanan, mesin dan peralatan, alat-alat
transportasi/kendaraan, perancang iklan/logo, dan alat kemasan
Jasa instalasi/pemasangan peralatan, mesin, listrik, telepon, air, gas, AC, TV
Kabel kecuali yang dilakukan WP pengusaha konstruksi
Jasa perawatan/pemeliharaa/perbaikan mesin, listrik, telepon, gas, air, AC, TV
kabel, peralatan, alat-alat transportasi/kendaraan, serta bangunan kecuali yang
dilakukan WP pengusaha konstruksi
Jasa pengeboran (jasa drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi
(migas) kecuali yang dilakukan oleh BUT
Jasa penunjang di bidang penambangan migas
Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas
Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara
Jasa penebangan hutan termasuk land clearing
Jasa pengolahan / pembuangan limbah
Jasa maklon
Jasa rekruitmen/penyediaan tenaga kerja
Jasa perantara
Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga kecuali yang dilakukan BEJ,
BES, KSEI & KPEI15)
Jasa custodian/penyimpanan/penitipan kecuali yang dilakukan KSEI dan sewa
gudang yang telah dikenakan PPh final berdasarkan PP No 29/1996.
Jasa telekomunikasi bukan untuk umum
Jasa pengisian sulih suara (dubbing) dan/atau mixing film
Jasa pemanfaatan informasi di bidang teknologi termasuk jasa internet
Jasa sehubungan dengan software komputer termasuk perawatan/pemeliharaan
dan perbaikan
c) 15% x 13 1/3 % dari jumlah bruto imbalan jasa pelaksanaan konstruksi termasuk
jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan bangunan, jasa instalasi/pemasangan
mesin, listrik, telepon, air, gas, AC, TV kabel yang dilakukan WP pengusaha
konstruksi
d) 15% x 26 2/3% dari jumlah imbalan bruto jasa perencanaan konstruksi dan jasa
pengawasan konstruksi
e) 15% x 10% dari jumlah bruto jasa pembasmian hama dan jasa pembersihan, jasa
katering dan jasa selain jasa-jasa tersebut diatas yang pembayarannya dibebankan
pada APBN/APBD.
Sewa yang bukan tanah dan bangunan dikenakan sebesar 6%
Jasa konsultan dikenakan sebesar 7,5%

6) Pajak Penghasilan Masa Pasal 25


PPh Masa Pasal 25 merupakan pajak badan usaha koperasi untuk tahun berjalan
yang dipotong dari hasil SHU selama 1 tahun buku. Dalam hal ini koperasi wajib
memotong pajak badan untuk tahun berjalan dari hasil SHU yang diperoleh setiap
tahun. Apabila omzet sebuah koperasi melebihi Rp 4,8M (empat miliar delapan ratus
juta rupiah), maka kewajiban koperasi adalah menghitung PPh Masa Pasal 25 yang akan
terutang sepanjang satu tahun pajak sebagai kredit pajak pada perhitungan PPh pada
akhir tahun.
Penyetoran PPh Masa Pasal 25 dilakukan paling lambat tanggal 15 bulan
berikutnya dan menurut Pasal 4 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-
22/PJ/2008 tanggal 21 Mei 2008 tentang Tata Cara Pembayaran dan Pelaporan PPh
Masa Pasal 25 disebutkan bahwa: Wajib Pajak yang melakukan pembayaran PPh
Masa Pasal 25 pada tempat pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan
SSP-nya telah mendapat validasi dengan NTPN, maka SPT Masa PPh Pasal Masa 25
dianggap telah disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sesuai dengan tanggal
validasi yang tercantum pada SSP.
Jadi, penting untuk dipahami bagi para pengurus koperasi bahwa Pajak
Penghasilan Pasal 25 hanya diwajibkan apabila koperasi Anda memiliki omzet melebihi
Rp 4,8M (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dan jangan terjebak pada anggapan
bahwa terdapat pengenaan multi pajak penghasilan masa pada koperasi, karena
penentuan jenis pengenaannya tergantung pada batasan omzet.

7) Pajak Penghasilan Pasal 26


PPh Pasal 26 merupakan pajak yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang
bersumber dari Indonesia yang diterima/diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk
Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Dalam hal ini koperasi wajib memotong pajak dalam
hal:
a. Dividen, bunga termasuk premium, diskonto, premi swap, dan imbalan sehubungan
dengan pengembalian utang, royalty, hadiah dan penghargaan sehubungan dengan
kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
b. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
c. Imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya.

8) Pajak Penghasilan Pasal 29


Pada dasarnya perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 29 adalah bagian tak
terpisahkan dari pemenuhan kewajiban pelaporan SPT Tahunan PPh koperasi yang
paling lambat harus dilaporkan empat bulan setelah berakhirnya tahun pajak. Hasil
perhitungan PPh Pasal 29 ini tertuang di dalam SPT Tahunan PPh. Dengan kata lain,
PPh Pasal 29 merupakan pelunasan pajak terhutang, dibayarkan setiap tahun pada saat
pengambilan SPT atau sebelum penyerahan SPT Tahunan yang bersangkutan. Meski
demikian, tata cara perhitungan PPh Pasal 29 dalam rangka pemenuhan kewajiban
pelaporan SPT Tahunan PPh untuk koperasi sangat tergantung pada jumlah omzet
koperasi itu sendiri.
Apabila omzet suatu koperasi pada tahun pajak sebelumnya masih dibawah Rp
4,8M (empat miliar delapan ratus juta rupiah), maka semua isian SPT Tahunan PPh
adalah NIHIL, karena pengenaan pajaknya sudah dilakukan secara Final sebesar 1%
PPh Final Pasal 4 ayat (2), sehingga koperasi hanya perlu mencatat semua jumlah omzet
bulanan yang telah dijadikan dasar dalam menghitung PPh Final Pasal 4 ayat (2) setiap
bulannya. Meski demikian, pengurus koperasi tetap wajib melampirkan Laporan
Keuangan (Laporan Rugi/Laba dan Neraca) di dalam pelaporan SPT Tahunan PPh
Badan. Karena jumlah omzet yang dilaporkan di dalam Laporan Rugi/Laba akan jadi
penentu tata cara pengenaan kewajiban PPh dibayar sendiri pada tahun pajak
berikutnya.
Dalam hal omzet suatu koperasi pada tahun pajak sebelumnya melebihi Rp 4,8M
(empat miliar delapan ratus juta rupiah), maka pengurus koperasi benar-benar harus
memperhitungkan berapa laba bersih (biasa disebut Sisa Hasil Usaha) yang diperoleh
untuk menjadi dasar menghitung PPh Pasal 29. Adapun tarif yang digunakan adalah
tarif yang berlaku secara umum menurut Pasal 17 ayat (1) atau Pasal 31E UU No
7/1983 sttd UU No 36/2008. Tentunya dengan tidak lupa memperhitungkan PPh Pasal
25 yang telah dibayar sendiri dan Kredit Pajak yang diperoleh sepanjang tahun pajak
tersebut. Dalam hal ini pengurus koperasi juga harus menghitung PPh Final atas SHU
setelah dikurangi PPh Pasal 29 yang masih kurang bayar, sebelum dibagikan ke seluruh
anggota.

Tata cara pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak penghasilan atas bunga
simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2010. Berikut ini pasal-pasal
yang terdapat didalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2010 :
Pasal 1 : Atas penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi yang
didirikan di Indonesia kepada anggota koperasi orang pribadi dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final.
Pasal 2 : Besarnya PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah : 0% untuk
penghasilan berupa bunga simpanan sampai dengan Rp 240.000 per bulan; atau 10% dari
jumlah bruto bunga untuk penghasilan berupa bunga simpanan lebih dari Rp 240.000 per
bulan.
Pasal 3 : PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib dipotong oleh koperasi yang
melakukan pembayaran bunga simpanan kepada anggota koperasi orang pribadi pada
saat pembayaran.
Pasal 4
(1) Koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib memberikan tanda bukti
pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2) kepada WP orang pribadi yang dipotong PPh
setiap melakukan pemotongan.
(2) Kewajiban memberikan tanda bukti pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetap dilakukan terhadap penghasilan dari
bunga simpanan yang dikenai tarif pemotongan sebesar 0%.
Pasal 5
(1) PPh yang telah dipotong oleh koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib
disetor ke kas negara melalui Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan, paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
(2) Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran
dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
(3) Penyetoran PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).
Pasal 6
(1) Koperasi wajib menyampaikan laporan tentang pemotongan dan penyetoran PPh
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 5 paling lama 20 hari setelah masa
pajak berakhir.
(2) Dalam hal batas akhir pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertepatan
dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pelaporan dapat
dilakukan pada hari kerja berikutnya.
(3) Pelaporan PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
menggunakan SPT Masa PPh Final Pasal 4 ayat (2).
Pasal 7 : Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 522/KMK.04/1998 tentang Batas Bunga Simpanan Anggota Koperasi
yang Tidak Dipotong PPh, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 8 : Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri
Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

BAGIAN 4
TINDAK LANJUT DAN SARAN
(RESPON TERHADAP SARAN YANG DIBERIKAN)

Berdasarkan permasalahan klien yang telah dijelaskan di atas, saya mencoba


memberikan penjelasan/penjabaran kepada klien terkait pengetahuan perpajakan di bidang
koperasi, khususnya Koperasi Simpan Pinjam (KSP). Setelah proses penjelasan tersebut,
ada beberapa saran yang saya berikan kepada klien diantaranya yaitu :
Sebaiknya klien segera mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak (WP) untuk
memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dengan mengisi formulir
pendaftaran dan menyampaikan secara langsung atau melalui pos ke Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) atau Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4)
setempat dengan melampirkan persyaratan yang telah ditetapkan (lihat di Bagian 3).
Selanjutnya saya menyarankan agar klien meminta untuk dikukuhkan menjadi
Pengusaha Kena Pajak (PKP) bersamaan dengan pendaftaran NPWP pertama kali,
karena persyaratan dan prosesnya akan lebih mudah.
Jika klien (Koperasi) mengajukan diri untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP)
salah satu keuntungannya adalah ketika dalam kegiatan operasionalnya Koperasi
tersebut dipungut PPN oleh pihak lain (Pajak Masukan) maka Koperasi dapat
mengkreditkan Pajak Masukan tersebut, sehingga PPN Pajak Masukan yang dipungut
oleh pihak lain tidak mengurangi Sisa Hasil Usaha (SHU) pada akhir tahun yang dapat
dibagikan kepada anggota.
Klien tidak perlu khawatir dengan anggapan bahwa akan terdapat multi Pajak
Penghasilan (PPh) masa pada Koperasi, karena penentuan jenis pengenaannya
tergantung batasan omzet.
Jika memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP maka klien berhak meminta restitusi
apabila Pajak Masukan lebih besar daripada Pajak Keluaran dan berhak atas
kompensasi kelebihan pajak.
Jika Wajib Pajak (klien) memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) maka klien
(Koperasi) akan dianggap memiliki sistem yang sudah baik dan dianggap legal secara
hukum karena sudah menjadi PKP dan tertib membayar pajak.

Dari beberapa saran yang saya berikan tersebut, klien menyatakan kesediaannya
menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP), dan dalam waktu dekat akan segera mendaftarkan
diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) serta Nomor Pokok Pengusaha
Kena Pajak (NPPKP). Hal yang mendasari keputusan klien yaitu karena kesadaran sebagai
warga negara dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, selain itu klien juga ingin
memanfaatkan keuntungan yang diperoleh jika menjadi PKP, serta agar Koperasinya di
pandang legal sehingga ke depannya dapat berkembang lebih baik lagi.

BAGIAN 5
KESIMPULAN
(PERMASALAHAN, SOLUSI, TINDAK LANJUT)

Sekilas proses bisnis Koperasi memang sederhana, tapi jika kita telaah lebih
mendalam, sebenarnya ada banyak aspek yang harus diperhatikan, salah satunya adalah
aspek perpajakan Koperasi. Ragam pajak yang timbul dari kegiatan Koperasi terbagi
menjadi empat yaitu kewajiban umum (pendaftaran NPWP, PKP, dan menyelenggarakan
pembukuan), kewajiban pemotongan (PPh 21, PPh 23, dan PPh Final Pasal 4 Ayat (2)),
kewajiban pemungutan (PPh 22, PPN), kewajiban membayar sendiri (PPh Final Pasal 4
Ayat (2), PPh 25, dan PPh 29). Kelalaian atas pemenuhan kewajiban tersebut akan
menimbulkan denda dan sanksi administrasi yang sebaiknya dihindari.
Permasalahan yang dihadapi oleh klien yaitu terkait tata cara memperoleh Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP), tata cara pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP)
serta ragam pajak dalam Koperasi Simpan Pinjam (KSP). Klien saya sebagai
pemilik/pimpinan dari sebuah Koperasi Simpan Pinjam (KSP) merasa kurang memiliki
(minim) pengetahuan terkait aspek perpajakan, khususnya di bidang Koperasi Simpan
Pinjam (KSP). Beliau bernama Bapak Tri Mulyanto, sebagai pemilik/pemimpin Koperasi
Simpan Pinjam (KSP) Jasa Bhakti di Jombang, Jawa Timur. KSP Jasa Bhakti telah
didirikan atau beroperasi sejak tahun 2010, namun selama tujuh tahun ini KSP Jasa
Bhakti belum melaksanakan kewajiban perpajakannya. Hal tersebut karena pimipinan
KSP Jasa Bhakti yaitu Bapak Tri Mulyanto belum memiliki NPWP dan belum
mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai PKP.
Dari proses konsultasi, saya menyarankan agar klien mendaftarkan diri sebagai
Wajib Pajak (WP) untuk memperoleh NPWP dan meminta untuk dikukuhkan menjadi
Pengusaha Kena Pajak (PKP). Karena dengan dikukuhkan menjadi PKP maka klien dapat
memanfaatkan sebaik mungkin fasilitas perpajakannya, hal tersebut terkait dengan
kegiatan operasional KSP Jasa Bhakti, apabila Koperasi tersebut dipungut PPN oleh
pihak lain (Pajak Masukan) maka Koperasi dapat mengkreditkan Pajak Masukan tersebut,
sehingga PPN Pajak Masukan yang dipungut oleh pihak lain tidak mengurangi Sisa Hasil
Usaha (SHU) pada akhir tahun yang dapat dibagikan kepada anggota. Selain itu, jika klien
(Koperasi) memilih menjadi PKP maka klien (Koperasi) akan dianggap memiliki sistem
yang sudah baik dan dianggap legal secara hukum karena sudah menjadi PKP dan tertib
membayar pajak. Hal tersebut juga berkaitan dengan citra Koperasi dalam penilaian
anggotanya.
Saya juga memberi penjelasan agar klien tidak khawatir dengan adanya pengenaan
pajak yang relatif tinggi atau adanya multi pajak, karena pengenaan pajak memiliki batasan
masing-masing, terdapat peraturan perundang-undangan yang mengaturnya dan aturan
tersebut telah diupayakan untuk tidak merugikan pengusaha sebagai WP. Dari UU
Perpajakan yang berlaku juga telah diatur bahwa pengenaan pajak badan berkaitan dengan
omzet yang diperoleh setiap tahunnya. Dari beberapa saran yang saya berikan tersebut,
klien menyatakan kesediaannya menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP), dan dalam waktu
dekat akan segera mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP) serta Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak (NPPKP).
Sumber :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
112/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN,
DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA SIMPANAN YANG
DIBAYARKAN OLEH KOPERASI KEPADA ANGGOTA KOPERASI ORANG
PRIBADI
PP 15 TAHUN 200 TENTANG PPh ATAS BUNGA SIMPANAN YANG
DIBAYARKAN OLEH KOPERASI KEPADA ANGGOTA KOPERASI ORANG
PRIBADI (berlaku sejak 1 Januari 2009)
PEDOMAN KEBIJAKAN PERPAJAKAN BAGI KOPERASI, OLEH DEPUTI
BIDANG PEMBIAYAAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN
MENENGAH TAHUN 2008, KEMENTERIAN KOPERASI DAN USAHA KECIL
DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA
Lampiran :

KTP Bapak Tri Mulyanto

Kartu Anggota KSP Jasa Bhakti

Anda mungkin juga menyukai