BAB 1
PENDAHULUAN
penggunaan zat psikoaktif sebesar 12.4% dan Disable Adjusted Life Years
(DALYs) sebesar 8.9 %.3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Epidemiologi
Delirium merupakan sebuah sindrom yang dicetuskan oleh banyak hal.
Menurut DSM-IV-TR, prevalensi delirium pada populasi umum adalah 0,4% pada
orang yang berusia 18 tahun ke atas dan 1,1% pada usia 55 tahun ke atas. Sekitar
10-30% pasien yang sakit secara medis dan dirawat di rumah sakit mengalami
delirium. Sekitar 30-40% pasien rawat inap yang berusia di atas 65 tahun
mengalami satu episode delirium, dan 10-15% lansia lainnya mengalami delirium
saat masuk rumah sakit. Menurut DSM-IV-TR, jenis kelamin laki-laki merupakan
faktor risiko independen terjadinya delirium.5
4
2.3 Etiologi
Penyebab utama delirium adalah penyakit susunan saraf pusat, penyakit
sistemik, serta intoksikasi maupun keadaan putus zat. Terdapat 4 (empat)
subkategori delirium berdasarkan sejumlah penyebab, yaitu:5
a. Delirium akibat kondisi medik umum (misalnya infeksi)
b. Delirium yang diinduksi oleh obat-obatan (zat psikoaktif)
c. Delirium akibat etiologi ganda (trauma kapitis dan gangguan ginjal)
d. Delirium tak tergolongkan (deprivasi tidur)
1. Alkohol
Sekitar 90% alkohol yang diabsorpsi dimetabolisme melalui oksidasi di
hepar, 10% sisanya diekskresi tanpa mengalami perubahan oleh ginjal dan paru.
Tubuh dapat memetabolisme sekitar 15 mg/dL per jam, dengan kisaran antara 10-
34 mg/dL. Dengan kata lain, kebanyakan orang mengoksidasi tiga perempat dari 1
ons alkohol 40% dalam 1 jam. Pada orang dengan riwayat konsumsi alkohol
berlebihan, peningkatan enzim yang diperlukan mengakibatkan metabolisme
alkohol cepat. Alkohol dimetabolisme oleh 2 enzim yaitu alkohol dehidrogenase
(ADH) dan aldehid dehidrogenase. ADH mengkatalisasi konversi alkohol menjadi
asetaldehid yang merupakan senyawa toksik, aldehid dehidrogenase
mengkatalisasi konversi asetaldehid menjadi asam asetat. Sejumlah studi
membuktikan bahwa wanita memiliki kandungan ADH dalam darah lebih sedikit
dibanding pria, dan ini mungkin menyebabkan kecenderungan wanita untuk lebih
terintoksikasi dibanding pria setelah minum alkohol dalam jumlah yang sama.
Penurunan fungsi enzim tersebut juga terjadi pada orang-orang Asia sehingga
menyebabkan mudahnya terintoksikasi.
Pada studi terkini, peneliti berupaya untuk mengidentifikasi target
molekuler efek alkohol yang spesifik. Sebagian besar perhatian difokuskan pada
efek alkohol terhadap kanal ion. Secara spesifik, studi menemukan bahwa
aktivitas kanal ion alkohol yang dikaitkan dengan reseptor asetilkolin nikotinik,
serotonin 5-HT3, dan GABA tipe A (GABAA) ditingkatkan oleh alkohol,
sementara aktivitas kanal ion yang dikaitkan dengan reseptor glutamat dan kanal
kalsium voltage-gated mengalami inhibisi.
6
2. Benzodiazepin
Benzodiazepin memiliki efek primer terhadap kompleks reseptor GABAA,
yang memuat kanal ion klorida pengikat GABA. Ketika benzodiazepin berikatan
dengan kompleks tersebut, efeknya adalah meningkatkan afinitas reseptor
terhadap neurotransmitter endogennya, GABA, dan meningkatkan aliran ion
klorida melalui kanal ke dalam neuron.
3. Opioid
Kata opiat dan opioid berasal dari kata opium, sari bunga opium, Papaver
somniferum, yang mengandung sekitar 20 alkaloid opium, termasuk morfin. Efek
primer opioid diperantarai reseptor opioid. Reseptor opioid- terlibat dalam
regulasi dan mediasi analgesia, depresi napas, konstipasi, dan ketergantungan.
Reseptor opioid- terlibat dalam analgesia, diuresis, dan sedasi. Serta reseptor
opioid- terlibat dalam analgesia.
Opioid memiliki efek signifikan terhadap sistem dopaminergik dan
noradrenergik. Sejumlah data mengindikasikan bahwa sifat adiktif opioid
diperantarai melalui aktivasi neuron dopaminergik area tegmental ventral yang
berjalan ke korteks serebri dan sistem limbik.
Heroin adalah opioid yang paling sering disalahgunakan dan lebih poten
serta terlarut dalam lemak dibanding morfin. Karena sifat-sifat tersebut, heroin
melintasi sawar darah otak lebih cepat daripada morfin. Kodein yang terdapat
secara alami sebanyak sekitar 0,5% dari alkaloid opiat dalam opium, diabsorpsi
dengan mudah melalui traktus gastrointestinal dan kemudian diubah menjadi
morfin dalam tubuh. Hasil penelitian menemukan bahwa salah satu efek dari
semua opioid adalah penurunan aliran darah otak pada region otak tertentu pada
orang dengan ketergantungan opioid.
4. Amfetamin
Amfetamin adalah salah satu obat terlarang yang banyak digunakan kedua
setelah kanabis di Inggris, Australia, dan beberapa negara Eropa barat.
Amfetamin klasik (dekstroamfetamin, metamfetamin, dan metilfenidat)
7
5. Kanabis
Kanabis atau marijuana merupakan tanaman Cannabis sativa yang seluruh
bagian tanaman mengandung kanabinoid psikoaktif, yaitu delta 9
tetrahidrocannabinol (THC). Dosis THC yang diperlukan untuk memperoleh efek
farmakologis pada manusia secara dihisap sekitar 2-22 mg. THC larut dalam
lemak dan dengan cepat diabsorbsi setelah inhalasi. Setelah dihisap atau dicerna,
delta 9-THC dengan cepat diubah menjadi 11-hidroksi-9-THC, metabolit yang
aktif di sistem saraf pusat.
Reseptor kanabinoid, anggota famili reseptor terkait protein G inhibitor,
berikatan dengan protein G inhbitorik, yang berikatan dengan adenilil siklase
secara inhibitorik. Reseptor kanabinoid ditemukan dalam konsentrasi tinggi di
ganglia basalis, hipokampus, dan serebelum, dengan konsentrasi yang lebih
rendah di korteks serebri. Pada suatu studi ditemukan kanabinoid memengaruhi
neuron monoamine dan asam gama aminobutirat.
6. Kokain
Kokain adalah alkaloid yang didapatkan dari Erythroxylon coca. Aksi
8
7. Halusinogen
Halusinogen sintetik klasik adalah asam lisergat dietilamid (LSD).
Meskipun sebagian besar zat halusinogenik bervariasi efek farmakologisnya, LSD
dapat berfungsi sebagai prototipe halusinogenik. Obat tersebut bekerja pada
sistem serotonergik, baik sebagai antagonis maupun agonis. Data saat ini
menunjukkan bahwa LSD bekerja sebagai agonis parsial pada reseptor serotonin
pascasinaps.
8. Nikotin
Komponen psikoaktif tembakau adalah nikotin, yang memengaruhi SSP
dengan bekerja sebagai agonis pada reseptor asetilkolin subtipe nikotinik. Sekitar
25% nikotin yang dihirup saat merokok mencapai aliran darah, dan melalui
pembuluh darah tersebut nikotin dapat mencapai otak dalam 15 detik. Waktu
paruh nikotin adalah sekitar 2 jam. Nikotin diyakini menghasilkan sifat penguat
positif dan adiktif dengan mengaktivasi jaras dopaminergik yang berjalan dari
area tegmental ventral ke koorteks serebri dan sistem limbik. Selain mengaktivasi
sistem reward dopamin ini, nikotin menyebabkan peningkatan konsentrasi
norepinefrin dan epinefrin yang bersirkulasi serta peningkatan pelepasan
vasopresin, beta endorfin, hormon adrenokortikotropik, dan kortisol. Hormon-
hormon ini dianggap berperan dalam efek stimulatorik dasar nikotin terhadap
SSP.
9
9. Fensiklidin
Fensiklidin (Phenilcyclohexil Piperidin/ PCP) dikembangkan sebagai
anestetik disosiatif. Namun penggunaannya sebagai anestetik pada manusia
menimbulkan disorientasi, agitasi, delirium, dan halusinasi yang tidak
menyenangkan saat terbangun. PCP juga mengaktivasi neuron dopaminergik pada
area tegmental ventral, yang berjalan ke korteks serebri dan sistem limbik.5
c. Gangguan terjadi pada jangka waktu singkat (biasanya antara beberapa jam
sampai hari) dan cenderung berfluktuasi dalam satu hari.
d. Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan laboratorium
bahwa gangguan disebabkan oleh konsekuensi fisiologik langsung dari
suatu kondisi medis umum.
Pemeriksaan Fisik3,9
Adanya bekas suntikan sepanjang vena di lengan,tangan kaki bahkan pada
tempat-tempat tersembunyi misalnya dorsum penis.
Pemeriksaan fisik terutama untuk menemukan gejala
intoksikasi/overdosis/putus zat dan komplikasi medik seperti Hepatitis,
Bronkopneumonia, HIV/AIDS dan lain-lain.
Perhatikan terutama : kesadaran, pernafasan, tensi, nadi, pupil,cara jalan,
sclera ikterik, conjunctiva anemis, perforasi septum nasi, caries gigi, aritmia
jantung, edema paru, pembesaran hepar dan lain-lain.
Pemeriksaan Laboratorium3,9
Analisa urin bertujuan untuk mendeteksi adanya zat psikoaktif dalam tubuh
(benzodiazepin, barbiturat, amfetamin, kokain, opioida, kanabis). Pengambilan
urin hendaknya tidak lebih dari 24 jam dari saat pemakaian zat terakhir dan
pastikan urine tersebut urine pasien.
Pemeriksaan Penunjang3,4,5
Pemeriksaan EEG secara karakteristik menunjukkan perlambatan aktivitas
secara umum dan berguna untuk membedakan delirium dengan depresi ataupun
psikosis. EEG pada delirium kadang-kadang menunjukkan area hiperaktivitas
fokal. Pada delirium akibat putus alkohol ataupun zat sedatif EEG menunjukkan
aktivitas voltase rendah yang cepat.
kognitif, perubahan pada demensia lebih stabil dengan berjalannya waktu dan
tidak berfluktuasi sepanjang hari.5
b. Gangguan psikotik dan Depresi
Beberapa pasien gangguan psikotik seperti skizofrenia atau episode manik
mungkin mengalami periode perilaku yang sangat kacau yang sulit dibedakan
dengan delirium. Namun, umumnya halusinasi dan waham pada pasien psikotik
akut lebih konstan dan lebih teratur dibandingkan dengan delirium. Pasien
psikotik akut biasanya tidak mengalami perubahan tingkat kesadaran atau
orientasi.5
2.9 Tatalaksana
Intervensi Nonfarmakologis
Target utama adalah meminimalkan faktor lingkungan yang menyebabkan
delirium, kebingungan dan kesalahan persepsi serta mengoptimalkan stimulasi
lingkungan. Dukungan fisik dibutuhkan agar pasien delirium tidak terjebak dalam
situasi yang mencelakai dirinya sendiri. Pasien delirium sebaiknya tidak
mengalami deprivasi sensorik maupun dirangsang secara berlebihan oleh
lingkungan. Mereka biasanya akan terbantu dengan adanya teman atau saudara di
ruangan yang sama atau orang yang biasa dekat dengannya. Orientasi yang teratur
terhadap orang, tempat, dan waktu dapat membantu membuat pasien delirium
merasa nyaman.5
Intervensi Farmakologis
a. Antipsikotik Tipikal
Haloperidol masih merupakan pilihan utama. Dosis haloperidol injeksi
adalah 2-5 mg IM/IV dan dapat diulang setiap 30 menit (maksimal 20
mg/hari). Efek samping parkinsonisme dan akatisia dapat terjadi. Bila diberikan
IV, pengaruh terhadap jantung memberikan gambaran interval QT memanjang
pada EKG, sehingga pemberian haloperidol disertai dengan monitor EKG.
14
b. Antipsikotik Atipikal
Dosis risperidon untuk orang tua 0,25-0,5mg/12 jam, olanzapin2,5-5mg
malam hari, quetiapin 12,5mg malam hari (peningkatan dosis bertahap sesuai
indikasi). Risperidon dan ziprasidon mempunyai efek interval QT memanjang
pada EKG. Olanzapin dan quetiapin alternative pengganti haloperidol. Olanzapin
berisiko meningkatkan kadar glukosa serum, selain itu olanzapin mempunyai efek
antikolinergik potensial yang merupakan kontraindikasi pada delirium. Olanzapin
dan risperidon tersedia dalam sediaan oral.
c. Benzodiazepin
Pada pasien yang mengalami agitasi dan tidak responsive terhadap
monoterapi antipsikotik, dapat digunakan diazepam 5-10mg IV ; dapat diulang
sesuai kebutuhan. Benzodiazepin dapat digunakan sebagai monoterapi pada gejala
putus alkohol,benzodiazepine, barbiturat atau delirium pasca kejang. Pasien
delirium dengan gejala putus alkohol diberi thiamin 100mg/hari dan asam folat
1mg/hari. Pemberian thiamin mendahului pemberian glukosa iv. Benzodiazepin
memberikan efek sedasi berlebih, depresi pernafasan, ataksia dsan amnesia.
d. Preparat Anestetik
Propofol dapat digunakan pada pasien yang tidak responsive terhadap
psikotropik tipikal. Efek sampingnya berupa depresi pernafasan. Propofol bekerja
cepat dan waktu paruhnya singkat. Dosis maksimum 75g/kg/menit. Efek
samping lain berupa hipertrigliseridemia, bradikardi, peningkatan enzim pancreas
dan asam laktat.
2.10 Prognosis
Walaupun gejala dan tanda sindrom delirium bersifat akut namun ternyata
dilaporkan adanya beberapa kasus dengan gejala dan tanda yang menetap bahkan
sampai bulan ke-12. Dari berbagai penelitian yang ada didapatkan pasien dengan
sindrom delirium akan mempunyai risiko kematian lebih tinggi jika
komorbiditasnya tinggi, penyakitnya lebih berat dan jenis kelamin laki-laki.
Episode delirium juga lebih panjang pada kelompok pasien dengan demensia
dibanding tanpa demensia.
15
BAB 3
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Delirium adalah suatu sindrom yang ditandai dengan gangguan kesadaran
dan kognisi yang terjadi secara akut dan berfluktuasi. Delirium memiliki banyak
penyebab yang semuanya mengakibatkan pola gejala yang serupa berkaitan
dengan tingkat kesadaran dan gangguan kognitif pasien.
Penyebab utama delirium adalah penyakit susunan saraf pusat, penyakit
sistemik, serta intoksikasi maupun keadaan putus zat psikoaktif.
Penegakan diagnosis delirium yang diinduksi zat psikoaktif dapat
ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis, pemeriksaan fisik, laboratorium, serta
pemeriksaan EEG.
Tatalaksana dapat berupa non farmakologis dan farmakologis. Non
farmakologis terdiri dari memberikan dukungan fisik, sensorik, dan lingkungan.
Tatalaksana farmakologis dapat diberikan haloperidol ataupun benzodiazepine
(kecuali pada delirium akibat benzodiazepine).
16
DAFTAR PUSTAKA