Anda di halaman 1dari 3

Cerpen romeo dan juliet

Langit biru terbentang luas di depan mataku. Tapi yang dapat ku lakukan hanyalah melihatnya dari
balik kaca jendela. Ingin sekali rasanya aku menatap langit langsung dengan kedua bola mataku.
Namun, apa daya, aku tidak bisa melawannya. “Ah.. aku ingin bebas,” gumamku.

Srak! Srak! Suara apa itu? Ku lihat dari jendelaku, pohon mangga yang berusia sudah puluhan tahun
bergerak seakan ada seseorang yang menggoyangkannya. Tiba-tiba tepat di hadapanku, seorang
anak laki-laki yang seumur denganku terjatuh dari pohon itu. Aku segera membuka jendela untuk
memastikan keadaannya. “Kau baik-baik saja, tuan muda?” aku memanggilnya tuan muda karena
penampilannya q seperti pangeran, walau sekilas lebih mirip seorang pengangguran.

“Kenapa kau memanggilku begitu? Sekarang aku ini bukanlah seorang tuan muda,” jawabnya sambil
meringis kesakitan. Aku sedikit bingung oleh perkataannya. Kalau sekarang dia bukan, berarti dulu
iya kan? “Ah, maaf, kau pasti terkejut, ya. Aku juga minta maaf karena telah mengambil buah
manggamu tanpa izin darimu sebelumnya,” kata lelaki itu lalu memperlihatkan kedua tangannya
yang sedang memegang dua buah mangga. Aku merasakan dia seperti sedang kelaparan, dilihat
dari bagaimana pun juga tubuhnya sangat kurus.

“Tidak apa-apa, lagi pula tidak akan ada yang memakan buah mangga itu.”
“Eh, jadi kau juga tidak memakannya? Padahal enak begini, loh. Kau harus mencobanya sekali, ini,”
katanya sambil menyodorkan buah mangga yang telah digigit olehnya padaku.
“Ta-tapi, bukankah buah mangga itu seharusnya dibersihkan terlebih dahulu?” kataku sedikit cemas.
“Oh, benarkah? Kalau begitu izinkan aku menggunakan dapurmu, akan ku cuci mangga ini sampai
mengkilap,” ujarnya bersemangat.
“Tidak boleh!” kataku spontan. Dia tampak terkejut. “Ah, maksudku, tidak bisa. Walau aku pemilik
rumah ini, tapi aku tidak diperbolehkan ke luar dari kamar sekali saja,” ucapku menjelaskan keadaan
yang sebenarnya. Dia seakan bingung ingin menjawabnya bagaimana. Apa boleh buat, aku hanya
bisa mengatakan yang sejujurnya karena jika melawan seseorang di dalam rumah ini… dia pasti…
dia pasti….

“Emm, oh ya, namaku Romeo. Siapa namamu?” tanyanya dengan senyuman yang membuat
jantungku terasa berdetak lebih kencang dari biasanya. “Na-namaku adalah Juliet,” kataku malu
setelah melihat senyumannya yang memukau.
“Juliet, dengarkan aku,” ucapnya tiba-tiba serius, aku langsung terfokus hanya pada wajahnya saja.

Wajahnya terlihat sedih, dia juga sempat menghela napas sebelum melanjutkan ucapannya.
“Sebenarnya, aku dulu seorang pangeran dari negeri Cordova. Tapi karena beberapa perompak
datang ke negeri kami hingga terjadi pemberontakan, ayah dan ibuku tewas terbunuh dan rumah
istanaku hangus terbakar. Kakakku meninggal demi melindungiku. Aku tidak tahu harus melarikan
diri ke mana, jadi aku pergi tanpa arah dan berakhir di sini,” jelasnya meringkas cerita yang
seharusnya dapat ia ceritakan secara panjang lebar. Aku mengerti. Rupanya, di luar sana masih ada
sosok yang lebih menderita dibandingkan denganku. Pantas saja tubuhnya begitu kurus. Perjalanan
seperti apa yang dilaluinya, ya? Baru kali ini, aku merasa mendapat pelajaran berharga dari
seseorang.

“Tapi Juliet, bolehkah aku mempercayai satu hal? Mengapa aku bisa berakhir di sini dan
pertemuanku denganmu, boleh aku percaya bahwa ini adalah takdir?” ucap Romeo senandu dengan
suara angin yang menyejukkan. Aku terpana melihat rambutnya berkibar sesuai arah angin
berhembus. Dari balik rambut panjang itu, terdapat sosok pangeran tampan nan kesepian. Jika
takdir sudah mengatakan pertemuan yang direstui, akankah ini pertanda sebuah kisah cinta akan
mengaliri kami berdua. Sebahagia apa cinta yang menantiku? Pantaskah aku mendapatkan cinta
tulus dan kebahagiaan? Memikirkannya saja sudah membuatku bahagia. Apa karena pertemuan ini
adalah takdir?

“Ka-kalau begitu, boleh aku juga percaya bahwa kamu adalah takdirku?” tanyaku spontan. Aku
terlalu terbawa suasana sehingga mengatakan hal itu. Rasanya bahagia setengah mati. Sudah
berapa lama sejak terakhir kali aku berbicara pada seseorang seperti ini. Romeo tampak tersenyum.
Senyumannya benar-benar menyilaukanku. Aku sempat berpikir, dunia luar sangat menyenangkan
jika bersama dengannya. Seandainya bisa bersama, maka aku…
“Apa ada seseorang di sana, Juliet?” sahut pangeran Walter mengangetkanku. Aku pun segera
menutup jendela secepat mungkin. “Ah, tidak ada siapa pun. Aku hanya sedang berbicara sendiri,”
kataku berbohong.
“Kau jangan bohong. Lalu kenapa kau langsung menutup jendela saat aku datang?” kata pangeran
Walter dengan raut wajah penuh kekesalan. Aku menunduk sambil mencoba mencari alasan-alasan
lain. Aku tidak ingin pangeran Walter melihat Romeo, kemudian melarangku melihat bahkan
berbicara dengan Romeo.

“Minggir!” seru pangeran Walter, tapi aku bersikeras untuk melawan.


“Kau melawanku, dasar kurang ajar!” satu tamparan melayang mengenai pipiku. Lagi-lagi aku
ditampar olehnya. Menyakitkan, sungguh menyakitkan tamparannya. Aku memang payah. Aku
hanya bisa menangis setelah itu. Mengapa aku sangat menyedihkan. Kira-kira apa yang dipikirkan
Romeo setelah melihat keadaanku yang seperti ini. Mungkinkah dia akan menghilang? Tidak, aku
tidak mau kehilangan seorang lagi. Namun yang lebih membingungkan, aku harus bagaimana?
Sepertinya tidak tampak, tapi dunia di dalam sini… sungguh kejam.

Ketika malam datang, seperti biasa aku merenung dalam kesendirian. Menatap ke arah kaki
mungilku dan membayangkan akan bagaimana keadaan kakiku saat berlari di dunia luar. Kalau
dipikir-pikir, aku belum pernah sekali pun menginjak tanah. “Juliet!” suara seseorang memanggilku
dari luar jendela. “Romeo!” aku terkejut melihat jendela kamarku terbuka dan dia muncul disertai
angin malam yang mencairkan suasana. Entah kenapa setiap kehadirannya selalu mendatangkan
angin yang membuatku ingin berlari.

“Juliet, kau menginginkan kebebasan kan?” kata Romeo sambil menjulurkan tangan kanannya.
“Ba-bagaimana kamu bisa tahu?” tanyaku kaget. Romeo tersenyum, lalu perlahan menghampiriku.
Dia menyentuh kedua pipiku sambil tertawa lebar. “Tenang saja Juliet, aku yang akan melindungi,”
ujar Romeo menenangkan hatiku. “Jadi, apa jawabanmu?”

Aku terharu melihat sosok kesepian Romeo, tetapi dia masih bisa tersenyum lebar. Aku menjadi
penasaran, membayangkan seperti apa kehidupan bebas yang dijalaninya. “Iya, aku ingin bebas!”
kemudian Romeo menarik tanganku dan membawaku ke luar dari kamar. Kami berlari menelusuri
lorong-lorong gelap di malam hari. Menyenangkan sekali. Jadi begini rasanya berlari, terlebih
ditemani seorang yang baik padaku. Ingin ku berteriak, Aku bebas! Sekarang aku benar-benar
bebas!

Di sebuah bukit di dalam negeriku ini, aku bisa melihat mentari pagi menyinari langit-langit hitam.
Sungguh pemandangan yang luar biasa. Aku jadi mengetahui satu hal lagi, yaitu saat-saat matahari
terbit menandakan hari mulai pagi. Romeo menggenggam tanganku erat-erat. Aku menatap ke
arahnya dengan penuh kehangatan. Terpancar kebahagiaan dari pantulan bola matanya.
Kebahagiaan yang sudah ku damba-dambakan sejak dulu. Sempat terpikir olehku, mampukah kami
bersama selamanya? Beberapa hari telah berlalu, dan aku banyak menghabiskan banyak waktu
bersama Romeo. Menurutku, tidak ada yang lebih membahagiakan daripada dengannya.

“Setelah matahari terbit, ayo kita jalan-jalan lagi,” ucap Romeo.


“Masih banyak tempat indah di negeri ini. Kau mau ikut kan?”
“Tentu saja!” aku mengangguk senang. Seperti yang dijanjikan olehnya, kami berdua pergi
berkeliling menuju tempat-tempat yang indah. Namun, tanpa diduga, beberapa suruhan pangeran
Walter mengepung kami. Aku dan Romeo dipisahkan di sana.

“Romeo!” aku mencoba menarik tangan Romeo tapi tidak sampai.


“Juliet larilah!” Romeo menahan semua orang yang mengincarku. “Cepat!”
“Tapi… bagaimana denganmu?” kataku khawatir.
“Aku baik-baik saja. Juliet ingatlah, perkataanku di malam itu, ‘aku yang akan melindungi,’ jadi apa
pun yang terjadi aku pasti kembali padamu untuk melindungimu lagi, lagi, dan lagi!” ujar Romeo
berusaha melindungiku sekuat tenaga. Aku tidak bisa meninggalkannya, tapi aku juga tidak bisa
menyusahkannya jika terus berada di sana. “Cepatlah!”
Aku pun berlari sejauh yang ku bisa. Jatuh berkali-kali tak masalah untukku, karena luka ini yang
akan memberiku kenangan di masa depan nantinya. Romeo, ada sepotong kalimat yang belum ku
katakan padamu. Kalimat yang sangat penting bagiku dan bagimu. Aku pasti akan langsung
mengatakannya saat bertemu denganmu lagi. Aku berlari ke sana ke mari tanpa henti, tidak terasa
hari kembali gelap. Begitu sudah kelelahan, aku mencari makan untuk dimakan nanti bersama
Romeo. Tapi aku menunggu lebih dari 5 jam, Romeo tidak kunjung datang. Hingga seorang gadis
mungil berjalan sempoyongan di hadapanku. Tiba-tiba dia terjatuh, aku segera menghampirinya.

“Kau kenapa? Apa kau baik-baik saja?” tanyaku sangat khawatir dengan keadaannya seakan tidak
mempunyai tulang.
“Lapar… aku lapar,” katanya terdengar sedikit putus asa. “Ah, aku punya empat roti. Makanlah
semuanya,” kataku sambil memberinya empat roti yang ku katakan.
“Kau yakin? Bukankah roti ini juga untuk kekasihmu?” ucap gadis itu. Bagaimana dia bisa tahu? Aku
bahkan sudah tidak punya uang lagi, tapi bukan itu masalahnya. Uang atau apa pun itu adalah
benda berharga yang tidak terlalu penting. Yang terpenting adalah nyawa gadis ini dulu.

“Sudahlah, makan saja,” kemudian gadis kecil itu makan dengan lahapnya. Aku berpikir, sudah
berapa hari dia tidak makan. “Terima kasih makanannya, aku sudah kenyang,” gadis itu menyisakan
satu potong roti. Dia tersenyum lega terhadapku. “Namaku Diena. Siapa namamu?” tanyanya
memperkenalkan diri.
“Namaku Juliet,” jawabku. “Juliet aku berterima kasih atas kebaikanmu. Tapi sebenarnya, aku
adalah seorang penyihir. Walau tidak makan sekali pun, aku tidak akan mati karena kelaparan. Yah,
tapi tetap saja aku bisa merasakan lapar,” jelasnya. Aku bersyukur mendengarnya. Sesungguhnya
tadi aku sangat panik, ku pikir dia akan mati.

“Aku ingin membalas budi, jadi ku berikan dua permintaan untukmu.”


“Permintaan?” ucapku mengulangi.
“Ya, apa pun permintaanmu itu, pasti ku kabulkan.”

Permintaan, ya…. Ku rasa aku menginginkan sesuatu yang sangat penting. Aku berpikir cukup lama.
Aku memang berpikir dan hanya terpikirkan nama Romeo saja. Tapi, entah kenapa rasanya sulit
mengungkap. Hati ini terlalu sakit untuk menyatakan kebenaran, bahwa aku… “Aku ingin bersama
Romeo,” aku berusaha menahan deru air mataku. Aku menggenggam erat kedua tanganku, dan ku
tahan di dadaku. Sesak sekali. Ya, aku memang ingin bersama dengannya, namun aku takut penyihir
kecil itu nantinya mengatakan tidak bisa. Jika begitu, apa yang selanjutnya harus kulakukan?

“Romeo?” tanya Diena mempertegas. “Apa ciri-cirinya bertubuh kurus? Berambut pirang dan
bermata biru? Mengenakan pakaian layaknya pangeran? Tapi kenyataannya dia adalah anak
jalanan?” tanya Diena, aku mengangguk setiap pertanyaannya. Aku masih mencengkeram dadaku.
Berharap dia mampu melakukannya.
“Ya ampun, tanpa menggunakan sihirku, dia juga sudah berada di sini,” kata Diena dengan
pandangan mengarah ke belakangku. Perlahan-lahan aku menoleh ke belakang. Sebuah kejutan,
Romeo berada di hadapanku sekarang. Aku bahagia hingga tak ada kata terucap. Aku berlari ke
arahnya, kemudian memeluknya dipenuhi kerinduan.

“Aku senang kau baik-baik saja,” kataku lega. Perasaan menyakitkan barusan, tiba-tiba saja
menghilang saat melihat Romeo. “Aku kembali,” jawabnya sambil mengelus-elus rambutku. Aku
bersyukur, sangat, sangat, bersyukur.
“Ehem, Juliet kau masih memiliki dua permintaan. Cepat katakan setidaknya satu saja, sebelum aku
pergi berkelana lagi,” sahut Diena memperingatku.

Tuhan, terima kasih telah mempertemukanku dengan Romeo. Aku melirik Romeo. Dia juga tampak
melirikku. Lalu kami saling bertukar senyum. Aku memikirkan ini setelahnya, mungkinkah takdir
sedang tersenyum? Tangan yang ku genggam ini, tak kan ku lepas mulai dari sekarang dan
selanjutnya.
“Kami berharap dapat bersama selamanya.” Kehangatannya, mengingatkanku terhadap kedua
orangtuaku yang kini telah tiada. Aku ingin bersama Romeo.
“Dan selalu saling mencintai.” Karena aku cinta padamu.

Anda mungkin juga menyukai