TB MDR

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Hasil


surveilans secara global menemukan bahwa OAT yang resisten terhadap
Mycobacterium tuberculosis sudah menyebar di berbagai negara. Laporan WHO
tahun 2007 menyatakan telah terjadi mono resisten OAT 10,3%, poli resisten
OAT 17,0% dan TB-MDR 2,9%. Pada tahun 2010 WHO menyatakan insidens
TB-MDR meningkat secara bertahap merata 2% pertahun.1
Prevalensi TB-MDR diperkirakan meningkat lebih dari 200 kasus baru
terjadi di dunia. Laporan menghebohkan pertama tentang resisitensi ganda ini
datang dari Amerika dengan angka kematian yang amat tinggi 70-90% dalam
waktu yang amat singkat. Di Hongkong yang menyebutkan bahwa setidaknya
sekitar 20% infeksi TB terjadi dari kuman yang telah resisten. Laporan di Turki
dari 785 kasus tuberkulosis paru ditemukan 35% adalah resisten satu jenis obat,
11,6% resisten dua macam obat, 3,9% tiga macam obat dan 2,8% empat macam
obat. Di Pakistan resistensi terhadap RM, INH, dan EMB dilaporkan masing-
masing adalah 17,7%, 14,7%, dan 8,7%. Di India resisitensi terhadap INH dan
SM adalah 13,9% dan 7,4%, sementara resistensi terhadap dua obat atau lebih
adalah 41%. Saudi Arabia menyebutkan bahwa resistensi terhadap RMP, SM dan
INH adalah 7,2%, 3,3% dan 1,2%.2
Data di Indonesia menyatakan pada TB kasus baru didapatkan TB-MDR 2%
dan kasus TB yang telah diobati didapatkan 19%. Berdasarkan data WHO,
Indonesia berada pada peringkat ke-8 dari 27 negara dengan kasus TB-MDR
terbanyak di dunia. Pola TB-MDR di RS Persahabatan tahun 1995-1997 adalah
resistensi primer 4,6%-5,8% dan resistensi sekunder 22,95%-26,07%. Penelitian
Aditama mendapatkan resistensi primer 6,86% sedangkan resistensi sekunder
15,61%.3
Multi drug resistant TB (MDR TB) didefinisikan sebagai resistensi terhadap
dua agen anti-TB lini pertama yang paling poten yaitu isoniazide (INH) dan

1
rifampisin. TB MDR berkembang selama pengobatan TB ketika mendapatkan
pengobatan yang tidak adekuat. Hal ini dapat terjadi karena beberapa alasan;
Pasien mungkin merasa lebih baik dan menghentikan pengobatan, persediaan obat
habis atau langka, atau pasien lupa minum obat.4

Awalnya resistensi ini muncul sebagai akibat dari ketidakpatuhan


pengobatan. Selanjutnya transmisi strain MDR TB menyebabkan terjadinya kasus
resistensi primer. Tuberkulosis paru dengan resistensi dicurigai kuat jika kultur
basil tahan asam (BTA) tetap positif setelah terapi 3 bulan atau kultur kembali
positif setelah terjadi konversi negatif. Directly observed therapy (DOTS)
merupakan sebuah strategi baru yang dipromosikan oleh World Health
Organization (WHO) untuk meningkatkan keberhasilan terapi TB dan mencegah
terjadinya resistensi.4

Banyak negara sudah menerapkan strategi DOTS dalam penatalaksanaan


TB hal ini tenyata sangat bermanfaat untuk meningkatkan angka kesembuhan
sehingga mengurangi angkaresitensi termasuk resitensi ganda.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Multidrugs resistant tuberculosis (TB-MDR) adalah Mycobacterium
tuberkulosis yang resisten minimal terhadap Rifampisin dan Isoniazid (INH)
dengan atau tanpa OAT lainnya. Secara umum resistensi terhadap OAT
dibagi menjadi: resistensi primer, resistensi sekunder dan resitensi inisial.
 Resistensi primer adalah esistensi yang terjadi M. tuberculosis
terhadap OAT, dimana penderita tidak memiliki riwayat pengobatan
OAT atau telah mendapat pengobatan OAT, namun kurang dari 1
(satu) bulan.
 Resistensi sekunder, pasien telah mempunyai riwayat pengobatan
OAT minimal 1 (satu) bulan.
 Resistensi inisial, bila tidak diketahui pasti apakah pasien sudah ada
riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah.5

B. Epidemiologi
“WHO Report On Tuberculosis Epidemic 2008” menyatakan bahwa
resisitensi ganda kini menyebar dengan amat cepat di berbagai belahan dunia.
Lebih dari 50 juta orang mungkin telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis
yang resisten terhadap beberapa obat anti tuberkulosis khususunya
Rifampisin dan INH, serta kemungkinan pula ditambah obat lainnya.5 Pada
tahun 2010 WHO menyatakan insidens TB-MDR meningkat secara bertahap
merata 2% pertahun. Enam negara dengan kekerapan TB-MDR tinggi di
dunia adalah Estonia, Kazakhstan, Latvia, Lithunia, bagian dari federasi
Rusia dan Uzbekistan.6
Indonesia menduduki rangking ke 8 dari 27 negara-negara yang
mempunyai beban tinggi dan prioritas kegiatan untuk MDR. Di negara-

3
negara yang termasuk dalam daftar ini minimal diperkirakan terdapat 4000
kasus TB-MDR atau sekurang-kurangnya 10% dari seluruh kasus baru TB-
MDR. Laporan WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2008 kasus TB-
MDR di Indonesia sebesar 6.427. Angka tersebut merujuk pada perkiraan
angka TB-MDR sebesar 2% dari kasus TB baru dan 20% dari kasus TB
pengobatan ulang.7

C. Etiologi
Ada beberapa hal penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu:
1. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberculosis.
2. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang
kurang atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi terhadap
obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja
pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut sudah
cukup tinggi.
3. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau
tiga minggu lalu berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian
bepindah dokter mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan
lalu berhenti lagi, demikian seterusnya.
4. Fenomena “addition syndrome” yaitu suatu obat ditambahkan dalam
suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu
terjadi karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama,
maka “penambahan” (addition) satu macam obat hanya akan
menambah panjangnya daftar obat yang resisten saja.
5. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan
secara baik sehingga mengganggu bioavailabilitas obat.
6. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang terhenti
pengirimannya sampai berbulan-bulan.5
7. Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga kadang
menimbulkan kebosanan.
8. Pengetahuan penderita kurang tentang penyakit TB.

4
9. Belum menggunakan strategi DOTS.
10. Kasus MDR-TB rujuk ke ahli paru.5

D. Patofisiologi
Jalur yang terlibat dalam perkembangan dan penyebaran MDR TB
akibat mutasi dari gen mikobakterium tuberkulosis. Basil tersebut mengalami
mutasi menjadi resisten terhadap salah satu jenis obat akibat mendapatkan
terapi OAT tertentu yang tidak adekuat. Terapi yang tidak adekuat dapat
disebabkan oleh konsumsi hanya satu jenis obat saja (monoterapi direk) atau
konsumsi obat kombinasi tetapi hanya satu saja yang sensitif terhadap basil
tersebut (indirek monoterapi). Pasien TB dengan resistensi obat sekunder
dapat menginfeksi yang lain dimana orang yang terinfeksi tersebut dikatakan
resistensi primer. Transmisi difasilitasi oleh adanya infeksi HIV, dimana
perkembangan penyakit lebih cepat, adanya prosedur kontrol infeksi yang
tidak adekuat; dan terlambatnya penegakkan diagnostik.6
1. Mekanisme Resistensi Terhadap INH (Isoniazide)
Isoniazid merupakan hydrasilasi dari asam isonikotinik, molekul
yang larut air sehingga mudah untuk masuk ke dalam sel. Mekanisme
kerja obat ini dengan menghambat sintesis dinding sel asam mikolik
(struktur bahan yang sangat penting pada dinding sel mykobakterium)
melalui jalur yang tergantung dengan oksigen seperti rekasi katase
peroksidase.8
Mutasi mikobakterium tuberkulosis yang resisten terhadap
isoniazid terjadi secara spontan dengan kecepatan 1 dalam 105-106
organisme. Mekanisme resistensi isoniazid diperkirakan oleh adanya
asam amino yang mengubah gen katalase peroksidase (katG) atau
promotor pada lokus 2 gen yang dikenal sebagai inhA. Mutasi
missense atau delesi katG berkaitan dengan berkurangnya aktivitas
katalase dan peroksidase.11

5
2. Mekanisme Resistensi Terhadap Rifampisin
Rifampisin merupakan turunan semisintetik dari Streptomyces
mediterranei, yang bekerja sebagai bakterisid intraseluler maupun
ekstraseluler. Obat ini menghambat sintesis RNA dengan mengikat
atau menghambat secara khusus RNA polymerase yang tergantung
DNA.8,9
Rifampisin berperan aktif invitro pada kokus gram positif dan
gram negatif, mikobakterium, chlamydia, dan poxvirus. Resistensi
mutannya tinggi, biasanya pada semua populasi miikobakterium terjadi
pada frekuensi 1: 107 atau lebih 12. Resistensi terhadap rifampisin ini
disebabkan oleh adanya permeabilitas barier atau adanya mutasi dari
RNA polymerase tergantung DNA. Rifampisin mengahambat RNA
polymerase tergantung DNA dari mikobakterium, dan menghambat
sintesis RNA bakteri yaitu pada formasi rantai (chain formation) tidak
pada perpanjangan rantai (chain elongation), tetapi RNA polymerase
manuisia tidak terganggu. Resistensi rifampisin berkembang karena
terjadinya mutasi kromosom dengan frekuensi tinggi dengan kecepatan
mutasi tinggi yaitu 10-7 sampai 10-3, dengan akibat terjadinya
perubahan pada RNA polymerase. Resistensi terjadi pada gen untuk
beta subunit dari RNA polymerase dengan akibat terjadinya perubahan
pada tempat ikatan obat tersebut.8
3. Mekanisme Resistensi Terhadap Pyrazinamide
Pyrazinamid merupakan turunan asam nikotinik yang berperan
penting sebagai bakterisid jangka pendek terhadap terapi
tuberkulosis14. Obat ini bekerja efektif terhadap bakteri tuberkulosis
secara invitro pada pH asam (pH 5,0-5,5). Pada keadaan pH netral,
pyrazinamid tidak berefek atau hanya sedikit ber efek (Riyanto, et al.
2006). Obat ini merupakan bakterisid yang memetabolisme secara
lambat organisme yang berada dalam suasana asam pada fagosit atau
granuloma kaseosa. Obat tersebut akan diubah oleh basil tuberkel
menjadi bentuk yang aktif asam pyrazinoat.9

6
Mekanisme resistensi pyrazinamid berkaitan dengan hilangnya
aktivitas pyrazinamidase sehingga pyrazinamid tidak banyak yang
diubah menjadi asam pyrazinoat. Kebanyakan kasus resistensi
pyrazinamide ini berkaitan dengan mutasi pada gen pncA, yang
menyandikan pyrazinamidase.9
4. Mekanisme Resistensi Terhadap Ethambutol
Ethambutol merupakan turunan ethylenediamine yang larut air
dan aktif hanya pada mycobakteria. Ethambutol ini bekerja sebagai
bakteriostatik pada dosis standar. Mekanisme utamanya dengan
menghambat enzim arabinosyltransferase yang memperantarai
polymerisasi arabinose menjadi arabinogalactan yang berada di dalam
dinding sel.9
Resistensi ethambutol pada M.tuberculosis paling sering
berkaitan dengan mutasi missense pada gen embB yang menjadi sandi
untuk arabinosyltransferase. Mutasi ini telah ditemukan pada 70%
strain yang resisten dan keterlibatan pengganti asam amino pada
posisi 306 atau 406 pada sekitar 90% kasus.9
5. Mekanisme Resistensi Terhadap Streptomysin
Streptomysin merupakan golongan aminoglikosida yang
diisolasi dari Streptomyces griseus. Obat ini bekerja dengan
menghambat sintesis protein dengan menganggu fungsi ribosomal14.
Pada 2/3 strain M.tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin
telah diidentifikasi oleh karena adanya mutasi pada satu dari dua
target yaitu pada gen 16S rRNA (rrs) atau gen yang menyandikan
protein ribosomal S12 (rpsl). Kedua target diyakini terlibat pada
ikatan streptomysin ribosomal14. Mutasi yang utama terjadi pada rpsl.
Mutasi pada rpsl telah diindetifikasi sebanyak 50% isolat yang
resisten terhadap streptomysin dan mutasi pada rrs sebanyak 20%15.
Pada sepertiga yang lainnya tidak ditemukan adanya mutasi.
Frekuensi resistensi mutan terjadi pada 1 dari 105 sampai 107
organisme. Strain M.tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin

7
tidak mengalami resistensi silang terhadap capreomysin maupun
amikasin.9

E. Diagnosis
Tuberkulosis paru dengan resistensi dicurigai kuat jika kultur basil
tahan asam (BTA) tetap positif setelah terapi 3 bulan atau kultur kembali
positif setelah terjadi konversi negatif. Beberapa gambaran demografik dan
riwayat penyakit dahulu dapat memberikan kecurigaan TB paru resisten obat,
yaitu :
1. TB aktif yang sebelumnya mendapat terapi, terutama jika terapi yang
diberikan tidak sesuai standar terapi.
2. Faktor risiko untuk TB-MDR
3. Kontak dengan kasus TB resistensi ganda
4. Gagal terapi atau kambuh:
- Batuk tidak membaik yang seharusnya membaik dalam waktu 2
minggu pertama setelah pengobatan.
- Tanda kegagalan: sputum tidak konversi, batuk tidak berkurang,
demam, berat badan menurun atau tetap
5. Infeksi human immnodeficiency virus (HIV)
6. Riwayat rawat inap dengan wabah MDR TB.8

Diagnosis TB resistensi tergantung pada pengumpulan dan proses


kultur spesimen yang adekuat dan harus dilakukan sebelum terapi diberikan.
Jika pasien tidak dapat mengeluarkan sputum dilakukan induksi sputum dan
jika tetap tidak bisa, dilakukan bronkoskopi. Tes sensitivitas terhadap obat
lini pertama dan kedua harus dilakukan pada laboratorium rujukan yang
memadai. Hasil uji kepekaan diperlukan untuk diagnosis resistensi dan
sebagai acuan pengobatan. Bila kecurigaan resistensi sangat kuat kirim
sampel sputum ke laborstorium untuk uji resitensi kemudian rujuk ke pakar.8

8
Beberapa metode telah digunakan untuk deteksi resistensi obat pada TB.
Deteksi resistensi obat di masa lalu yang disebut dengan metode konvensional
berdasarkan deteksi pertumbuhan M.tuberculosis.10

F. Penatalaksanaa
F.1 Strategi Pengobatan TB-MDR
Idealnya regimen pengobatan kasus TB dengan resistensi obat
disusun berdasarkan hasil in vitro drug susceptibility (DST) yang
dilakukan pada masing-masing pasien. Namun yang menjadi kendala
adalah hasil pemeriksaan ini baru dapat diperoleh dalam 1-2 bulan. Oleh
karena itu pada beberapa kondisi berikut ini antara lain pasien dengan
riwayat gagal pengobatan sebelumnya, pasien yang sebelumnya pernah
mendapat terapi OAT, pasien yang ada kontak dengan kasus TB resisten
OAT dan pasien yang lahir dan tinggal pada daerah endemis TB,
resistensi obat harus di antisipasi dan terapi harus dimulai tanpa
menunggu hasil DST.1
Beberapa strategi pengobatan TB-MDR :
1. Pengobatan standar.
Data drugs resistancy survet (DRS) dari populasi pasien yang
representatif digunakan sebagai dasar regimen pengobatan karena
tidak tersedianya hasil uji kepekaan individual. Seluruh pasien akan
mendapatkan regimen pengobatan yang sama. Pasien yang dicurigai
TB-MDR sebaiknya dikonfirmasi dengan uji kepekaan.1
2. Pengobatan empiris.
Setiap regimen pengobatan dibuat berdasarkan riwayat pengobatan
TB pasien sebelumnya dan data hasil uji kepekaan populasi
representatif. Biasanya regimen empiris akan disesuaikan setelah
ada hasil uji kepekaan individual.1
3. Pengobatan individual.
Regimen pengobatan berdasarkan riwayat pengobatan TB
sebelumnya dan hasil uji kepekaan.1

9
Dasar pengobatan terutama untuk keperluan membuat regimen
obat-obat anti TB, WHO guidelines membagi obat MDR-TB menjadi 5
group berdasarkan potensi dan efikasinya, sebagai berikut :
1. Grup pertama.
Pirazinamid dan ethambutol, karena paling efektif dan dapat
ditoleransi dengan baik. Obat lini pertama yang terbukti sebaiknya
digunakan dan digunakan dalam dosis maksimal.1
2. Grup kedua.
Obat injeksi bersifat bakterisidal, kanamisin (amikasin), jika alergi
digunakan kapreomisin, viomisin. Semua pasien diberikan injeksi
sampai jumlah kuman dibuktikan rendah melalui hasil kultur
negative.1
3. Grup ketiga.
Fluorokuinolon, obat bekterisidal tinggi, misal levofloksasin. Semua
pasien yang sensitif terhadap grup ini harus mendapat kuinolon
dalam regimennya.1
4. Grup empat.
Obat bakteriostatik lini kedua, PAS (paraaminocallicilic acid),
ethionamid, dan sikloserin. Golongan obat ini mempunyai toleransi
tidak sebaik obat-obat oral lini pertama dan kuinolon.1
5. Grup kelima.
Obat yang belum jelas efikasinya, amoksisilin, asam klavulanat, dan
makrolid baru (klaritromisin). Secara in vitro menunjukkan
efikasinya, akan tetapi data melalui uji klinis pada pasien MDR TB
masih minimal.1

F.2 Prinsip pengobatan TB-MDR


Secara umum, prinsip pengobatan TB resist obat, khususnya TB dengan
MDR adalah sebagai berikut:
1. Pengobatan menggunakan minimal 4 macam OAT yang masih
efektif.3

10
2. Jangan menggunakan obat yang kemungkinan menimbulkan resistan
silang (cross-resistance).3
3. Membatasi pengunaan obat yang tidak aman.3
4. Gunakan obat dari golongan/kelompok 1-5 secara hirarkis
sesuaipotensinya. Penggunaan OAT golongan 5 harus didasarkan
pada pertimbangan khusus dari Tim Ahli Klinis (TAK) dan
disesuaikan dengan kondisi program.3
5. Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal
dan tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan
dengan lama minimal 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi
biakan.3
6. Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi biakan.3
7. Dikatakan konversi bila hasil pemeriksaan biakan 2 kali berurutan
dengan jarakpemeriksaan 30 hari.3
8. Pemberian obat selama periode pengobatan tahap awal dan
tahaplanjutan menganut prinsip DOT = Directly/Daily Observed
Treatment,dengan PMO diutamakan adalah tenaga kesehatan atau
kaderkesehatan.3

F.3 Panduan obat TB-MDR


Paduan obat TB MDR yang diberikan kepada semua pasien TB
MDR (standardized treatment) adalah:
6Z-(E)-Kn-Lfx-Eto-Cs/18Z-(E)-Lfx-Eto-Cs
Keterangan:
- Z: Pirazinamid - Lfx: Levofloksasin
- E: Etambutol - Eto: Etionamid
- Kn: Kanamisin - Cs: Sikloserin
*Etambutol tidak diberikan bila terbukti resisten.3
Paduan ini hanya diberikan pada pasien yang sudah terbukti TB
MDR. Paduan obat standard diatas harus disesuaikan kembali
berdasarkan keadaan di bawah ini:

11
1. Hasil uji kepekaan OAT lini kedua menunjukkan resisten terhadap
salah satu obat diatas. Etambutol dan pirazinamid tetap digunakan.3
2. Ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut di atas
sebelumnya sehingga dicurigai ada resistensi, misalnya: pasien
sudah pernah mendapat kuinolon untuk pengobatan TB
sebelumnya, maka dipakai levofloksasin dosis tinggi. Apabila
sudah terbukti resisten terhadap levofloksasin regimen pengobatan
ditambah PAS, atas pertimbangan dan persetujuan dari tim ahli
klinis atau tim terapeutik.3
3. Terjadi efek samping yang berat akibat salah satu obat yang sudah
dapat diidentifikasi sebagi penyebabnya.3
4. Terjadi perburukan keadaan klinis, sebelum maupun setelah
konversi biakan. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah kondisi
umum, batuk, produksi dahak, demam, penurunan berat badan.3

Tingkatan OAT untuk pengobatan MDR TB

Rasio kadar

Ting- Aktiviti Puncak


Obat DosisHarian
katan Antibakteri Serum
terhadap MIC

1 Aminoglikosid 15 mg/kg Bakterisid


menghambat
a.Streptomisin 20-30
organisme
b. Kanamisin yang 5-7,5
multiplikasi
atau
aktif
amikasin
10-15
c. Kapreomisin

12
2 Thionamides 10-20 mg/kg Bakterisid 4-8

(etionamid

Protinamid)

3 Pirazinamid 20-30 mg/kg Bakterisid 7,5-10


pada pH asam

4 Ofloksasin 7,5-15 mg/kg Bakterisid 2,5-5


mingguan

5 Ethambutol 15-20 mg/kg Bakteriostatik 2-3

6 Sikloserin 10-20 mg/kg Bakteriostatik 2-4

7 PAS asam 10-12 g Bakteriostatik 100

Tabel 1. Tingkatan OAT untuk pengobatan MDR-TB 5

Fluorokuinolon

Fluorokuinolon (moksifloksasin, levofloksasin, ofloksasin dan


siprofloksasin) dapat digunakan untuk kuman TB yang resisten terhadap
lini-1.5

Resistensi silang

Pada pengobatan MDR TB harus dipertimbangkan resistensi silang


dalam memilih jenis OAT. Tidak efektif memberikan OAT dari golongan
yang sama atau paduan OAT yang berpotensi terjadi resistensi silang.5

1. Tionamid dan tiosetason


Etionamid adalah golongan tionamid yang dapat menginduksi
terjadinya resistensi silang dengan proteonamid karena satu golongan.
Sering ditemukan resistensi silang antara tionamid dengan tiosetason,

13
galur yang biasanya resisten dengan tiosetason biasanya masih sensitif
dengan etionamid dan proteonamid. Galur yang resisten terhadap
etionamaid dan proteonamid biasanya juga resisten terhadap
tiosetason pada lebih dari 70% kasus.5
2. Aminoglikosid
Galur yang resisten terhadap streptomisin biasanya sensitif
terhadap kanamisin dan amikasin. Galur yang resisten terhadap
kanamisin dapat menyebabkan resisten silang terhadap amikasin.
Galur yang resisten terhadap kanamisisn dan amikasin juga
menimbulkan resisten terhadap steptomisin. Galur yang resisten
terhadap streptomisin, kanamisin, amikasin biasanya masih sensitif
terhadap kapreomisin.5
Kesimpulan :
- Resistensi terhadap streptomisin gunakan kanamisin atau
amikasin.
- Resisten terhadap kanamisin atau amikain gunakan
kapreomisin
3. Fluorokuinolon
Ofloksasin dan siprofloksasin dapat menginduksi terjadinya
resistensi silang untuk semua fluorokuinolon. Itulah sebabnya
penggunaan ofloksasin harus hati-hati karena beberapa kuinolon yang
lebih aktif (levofloksasin dan moksifloksasin) dapat menggantiakn
ofloksasin di masa datang.5
4. Sikloserin dan terizidon
Terdapat resistensi silang antara dua macam obat ini. Tidak
terdapat resistensi silang dengan obat golongan lain.5
 Hingga saat ini belum ada panduan pengobatan yang distandarisasi
untuk pasien MDR TB. Pemberian pengobatan pada dasarnya ”tailor
mode”, bergantung dari hasil uji resistensi dengan menggunakan
minimal 4 OAT masih sensitif.1,5

14
 Obat lini-2 yang digunakan yaitu golongan fluorokuinolon,
aminoglikosida, etionamid, sikloserin, klofazimin, amoksilin + as
klavulanat.1,5
 Saat ini panduan yang dianjurkan ialah OAT yang masih sensitif
minimal 2-3 OAT lini 1 ditambah dengan obat lini 2, yaitu
Siprofloksasin dengan dosis 1000-1500 mg atau ofloksasin 600-800
(obat dapat diberikan single dose atau 2 kali sehari).1
 Pengobatan pasien MDR TB terdiri atas dua tahap, tahap awal dan
tahap lanjutan. Pengobatan MDR TB memerlukan waktu lebih lama
daripada pengobatan TB bukan MDR, yaitu sekitar 18-24 bulan. Pada
tahap awal pasien akan mendapat Obat anti tuberkulosis lini kedua
minimal 4 jenis OAT yang masih sensitif, dimana salah satunya adalah
obat injeksi. Pada tahap lanjutan semua OAT lini kedua yang dipakai
pada tahap awal. Prioriti yang dianjurkan bukan pengobatan MDR,
tetapi pencegahan MDR TB.1,5

F.4 Prinsip Panduan Pengobatan TB-MDR


1. Setiap rejimen TB MDR terdiri dari paling kurang 4 macam obat
dengan efektifitas yang pasti atau hampir pasti.3
2. PAS ditambahkan ketika ada resistensi diperkirakan atau hampir
dipastikan ada pada fluorokuinolon. Kapreomisin diberikan bila
terbukti resisten kanamisin.3
3. Dosis obat berdasarkan berat badan.
Obat suntikan (kanamisin atau kapreomisin) digunakan
sekurangkurangnya selama 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi
konversi biakan. Periode ini dikenal sebagai fase intensif. Lama fase
intensif: Pemberian obat suntik atau fase intensif yang
direkomendasikan adalah berdasarkan kultur konversi. Obat suntik
diteruskan sekurang-kurangnya 6 bulan dan minimal 4 bulan setelah
hasil sputum atau kultur yang pertama menjadi negatif. Pendekatan

15
individual termasuk hasil kultur, sputum, foto thorax dan keadaan
klinis pasien juga dapat membantu memutuskan menghentikan
pemakaian obat suntik.3
4. Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi biakan.3
5. Definisi konversi dahak: pemeriksaan dahak dan biakan 2 kali
berurutan dengan jarak pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil
negatif.3
6. Suntikan diberikan 5x/minggu selama rawat inap dan rawat jalan.
Obat per oral diminum setiap hari. Pada fase intesif obat oral diminum
didepas petugas kesehatan kecuali pada hari libur diminum didepan
PMO. Sedangkan pada fase lanjutan obat oral diberikan maksimum 1
minggu dan diminum didepan PMO. Setiap pemberian suntikan
maupun obat oral dibawah pengawasan selama masa pengobatan.3
7. Pada pasien yang mendapat sikloserin harus ditambahkan Piridoxin
(vit.B6), dengan dosis 50 mg untuk setiap 250 mg sikloserin.3
8. Semua obat sebaiknya diberikan dalam dosis tunggal.3

F.5 Fase-Fase Pengobatan TB-MDR


I. Fase Pengobatan intensif
Fase intensif adalah fase pengobatan dengan menggunakan obat
injeksi (kanamisin atau kapreomisin) yang digunakan sekurang-
kurangnya selama 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi
biakan.3
a. Fase rawat inap di RS 2-4 minggu
Pada fase ini pengobatan dimulai dan pasien diamati untuk:
 Menilai keadaan pasien secara cermat.
 Tatalaksana secepat mungkin bila terjadi efek samping.
 Melakukan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang
intensif.3
Dokter menentukan kelayakan pasien untuk rawat jalan
berdasarkan:

16
 Tidak ditemukan efek samping.
 Pasien sudah mengetahui cara minum obat dan suntikan
sesuai dengan pedoman pengobatan TB MDR.3
b. Fase rawat jalan
Selama fase intensif baik obat injeksi dan obat minum diberikan
oleh petugas kesehatan dengan disaksikan PMO kepada pasien.
Pada fase rawat jalan ini obat oral ditelan di rumah pasien hanya
pada libur.3
II. Fase pengobatan lanjutan
 Fase setelah pengobatan injeksi dihentikan
 Fase lanjutan minimum 18 bulan setelah konversi biakan
 Pasien yang memilih menjalani pengobatan di RS Rujukan TB
MDR mengambil obat setiap minggu dan berkonsultasi dengan
dokter setiap 1 bulan.3

G. Pemantauan Dan Hasil Pengobatan


Pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons terhadap
pengobatan dan mengidentifikasi efek samping pengobatan. Gejala klasik TB
batuk, berdahak, demam dan BB menurun umumnya membaik dalam
beberapa bulan pertama pengobatan. Penilaian respons pengobatan adalah
konversi dahak dan biakan. Hasil uji kepekaan TB MDR dapat diperoleh
setelah 2 bulan. Pemeriksaan dahak dan biakan dilakukan setiap bulan pada
fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan. Evaluasi pada pasien TB
MDR adalah:
1. Penilaian klinis termasuk berat badan.
2. Penilaian segera bila ada efek samping.
3. Pemeriksaan dahak setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan
pada fase lanjutan
 Pemeriksaan biakan setiap bulan pada fase intensif sampai konversi
biakan

17
 Uji kepekaan obat sebelum pengobatan dan pada kasus kecurigaan
akan kegagalan pengobatan
 Periksa kadar kalium dan kreatinin sepanjang pasien mendapat
suntikan (Kanamisin dan Kapreomisin)
 Pemeriksaan TSH dilakukan setiap 6 bulan dan jika ada tanda-tanda
hipotiroid.8

Konversi dahak
Definisi konversi dahak: pemeriksaan dahak dan biakan 2 kali
berurutan dengan jarak pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif.
Tanggal set pertama dari sediaan apus dahak dan kultur yang negatif
digunakan sebagai tanggal konversi (dan tanggal ini digunakan untuk
menentukan lamanya pengobatan fase intensif dan lama pengobatan).8

Penyelesaian pengobatan fase intensif


 Lama pemberian suntikan atau fase intensif di tentukan oleh hasil
konversi kultur.8
 Anjuran minimal untuk obat suntikan harus dilanjutkan paling kurang
6 bulan dan sekurang-kurangnya 4 bulan setelah pasien menjadi
negatif dan tetap negatif untuk pemeriksaan dahak dan kultur.8

H. Hasil pengobatan TB-MDR


 Sembuh.
Pasien kategori IV yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai
protokol program dan telah mengalami sekurang-kurangnya 5 kultur
negatif berturut-turut dari sampel dahak yang diambil berselang 30 hari
dalam 12 bulan terakhir pengobatan. Jika hanya satu kultur positif
dilaporkan selama waktu tersebut, dan bersamaan waktu tidak ada bukti
klinis memburuknya keadaan pasien, pasien masih dianggap sembuh,
asalkan kultur yang positif tersebut diikuti dengan paling kurang 3 hasil

18
kultur negatif berturut-turut yang diambil sampelnya berselang
sekurangnya 30 hari.8
 Pengobatan lengkap.
Pasien kategori IV yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai
protokol program tetapi tidak memenuhi definisi sembuh karena tidak
ada hasil pemeriksaan bakteriologis.8
 Meninggal.
Pasien kategori IV meninggal karena sebab apapun selama masa
pengobatan TB MDR.8
 Gagal.
Pengobatan dianggap gagal jika 2 atau lebih dari 5 kultur yang dicatat
dalam 12 bulan terakhir masa pengobatan adalah positif, atau jika salah
satu dari 3 kultur terakhir hasilnya positif. Pengobatan juga dapat
dikatakan gagal apabila tim ahli klinis memutuskan untuk
menghentikan pengobatan secara dini karena perburukan respons klinis,
radiologis atau efek samping.8
 Lalai/Defaulted.
Pasien kategori IV yang pengobatannya terputus selama berturut-turut
dua bulan atau lebih dengan alasan apapun tanpa persetujuan medik.8
 Pindah.
Pasien kategori IV yang pindah ke unit pencatatan dan pelaporan lain
dan hasil pengobatan tidak diketahui.8

I. Pengobatan TB-MDR Pada Keadaan Khusus


1. Pengobatan TB-MDR pada wanita usia subur
 Semua pasien wanita usia subur harus didahului pemeriksaan
kehamilan.3
 Pemakaian kontrasepsi dianjurkan bagi semua wanita usia produktif
yang akan mendapat pengobatan TB MDR.3
2. Pengobatan TB-MDR pada ibu hamil

19
 Kehamilan bukan kontraindikasi untuk pengobatan TB MDR tetapi
sampai saat ini keamanannya belum diketahui.3
 Pasien hamil tidak disertakan pada uji pendahuluan ini.3
 Sebagian besar efek teratogenik terjadi pada trimester pertama
sehingga pengobatan bisa ditangguhkan sampai trimester kedua.3
3. Pengobatan TB-MDR pada ibu menyusui
 Ibu yang sedang menyusui dan mendapat pengobatan TB MDR harus
mendapat pengobatan penuh.3
 Sebagian besar OAT akan ditemukan kadarnya dalam ASI dengan
konsentrasi yang lebih kecil.3
 Jika ibu dengan BTA positif, pisahkan bayinya beberapa waktu
sampai BTA nya menjadi negatif atau ibu menggunakan masker N-
95.3
4. Pengobatan TB-MDR pada pasien yang sedang memakai kontrasepsi
hormon
 Tidak ada kontraindikasi untuk menggunakan kontrasepsi oral dengan
rejimen yang tidak mengandung riyfamycin.3
 Seorang wanita yang mendapat kontrasepsi oral sementara mendapat
pengobatan dengan rifampycin bisa memilih salah satu metode
berikut: gunakan kontrasepsi oral yang mengandung dosis oestrogen
yang lebih besar (50 μg) atau menggunakan kontrasepsi bentuk lain.3
5. Pengobatan pasien TB-MDR dengan diabetes mellitus
 Diabetes mellitus bisa memperkuat efek samping OAT, terutama
gangguan ginjal dan neuropati perifer.3
 Obat-obatan hypoglycaemi oral tidak merupakan kontraindikasi
selama pengobatan TB MDR, tetapi mungkin memerlukan dosis yang
lebih tinggi sehingga perlu penanganan khusus.3
 Penggunaan ethionamida lebih sulit penanganannya.3
 Kadar Kalium dan kreatinin harus dipantau, setiap minggu selama
bulan pertama dan selanjutnya sekurang-kurangnya sekali sebulan.3

20
6. Pengobatan pasien TB-MDR dengan gangguan ginjal
 Pemberian OAT lini kedua pada pasien dengan gangguan ginjal harus
dilakukan dengan hati – hati.3
 Kadar Kalium dan kreatinin harus dipantau, setiap minggu selama
bulan pertama dan selanjutnya sekurang-kurangnya sekali sebulan.3
 Pemberian obat, dosis dan atau interval antar dosis harus disesuaikan
dengan tabel diatas (jika terjadi gangguan ginjal).3
7. Pengobatan pasien TB-MDR dengan gangguan hati
 OAT lini kedua kurang toksis terhadap hati dibanding OAT lini
pertama.3
 Pasien dengan riwayat penyakit hati bisa mendapat pengobatan TB
MDR jika tidak ada bukti klinis penyakit hati kronis, karier virus
hepatitis, riwayat akut hepatitis dahulu atau pemakaian alkohol
berlebihan.3
 Reaksi hepatotoksis lebih sering terjadi pada pasien diatas sehingga
harus lebih diawasi.3
 Pasien dengan penyakit hati kronik tidak boleh diberikan
Pirazinamid.3
 Pemantauan kadar enzim secara ketat dianjurkan dan jika kadar enzim
meningkat, OAT harus dihentikan dan dilaporkan kepada tim
therapeutic advisory.3
 Jika diperlukan, untuk mengobati pasien TB MDR selama hepatitis
akut, kombinasi empat OAT yang tidak hepatotoksis merupakan
pilihan yang paling aman.3
8. Pengobatan pasien TB-MDR dengan gangguan kejang-kejang (epilepsi)
 Tentukan apakah gangguan kejang terkendali atau telah menelan obat
anti kejang.3
 Jika kejangnya tidak terkendali, pengobatan atau penyesuaian
pengobatan anti kejang diperlukan sebelum mulai pengobatan.3
 Bila tidak terkendali tidak masuk dalam proyek ini.3

21
 Jika ada sebab lain yang menyebabkan kejang, kejangnya harus
diatasi.3
 Cycloserine harus dihindarkan pada pasien dengan gangguan kejang
yang aktif dan tidak cukup terkontrol dengan pengobatan
dengan gangguan psikiatris.3

J. Pembedahan TB-MDR

Berbagai prosedur pembedahan dilakukan terhadap pasien TB-MDR,


mulai dari reseksi segmental sampai pleuro-pneumoectomy. Berdasarkan
pengalaman yang ada, tindakan operasi pada penderita TB-MDR dengan
mortalitas rendah (<3%). Tetapi angka komplikasi yang terjadi cukup tinggi
dimana fistula bronkopleural dan empiema yang menjadi komplikasi utama.
Lebih dari 90 persen pasien pemeriksaan sputumnya menjadi negatif setelah
dilakukan tindakan operasi. Pembedahan reseksional saat ini
direkomendasikan pada penderita TB-MDR yang diterapi dengan obat-obatan
cukup jelek. Indikasi pembedahan yaitu:
1. Kultur sputum positif yang menetap meskipun sudah diterapi
dengan obat yang cukup banyak; dan atau
2. Adanya resistensi obat yang luas yang dikaitkan dengan
kegagalan terapi atau bertambahnya resistensi; dan atau
3. Adanya kavitas lokal, nekrosis/destruksi pada sebuah lobus atau
sebagian paru yang disetujui untuk dilakukannya operasi tanpa
adanya insufisiensi respiratori dan atau hipertensi pulmonal yang
berat.
Hal tersebut dilakukan setelah minimum tiga bulan terapi intensif
dengan regimen obat-obatan, dimana diharapkan status sputum menjadi
negative jika memungkinkan. Dengan tindakan operasi ketahanan hidup
jangka panjang dapat diperbaiki daripada meneruskan terapi obat-obatan saja.
Walaupun begitu, pemakaian obat-obatan tetap dilanjutkan setelah operasi

22
dilakukan, selama 12-24 bulan, sebaliknya ketahanan hidup yang jelek
mungkin saja terjadi.11

K. Strategi Dots Plus


Penerapan strategi DOTS plus mempergunakan kerangka yang sana
dengan strategi DOT, dimana setiap komponen yang ada lebih ditekankan
kepada penanganan TB MDR.3
Strategi DOTS plus juga sama terdiri dari 5 komponen kunci :
1. Komitmen politis yang berkesinambungan untuk masalah MDR.
2. Strategi penemuan kasussecara rasional yang akurat dan tepat waktu
menggunakan pemeriksaan hapusan dahak secara mikroskopis ,biakan
dan uji kepekaan yang terjaminmutunya.
3. Pengobatan standar dengan menggunakan OAT lini kedua ,dengan
pengawasan yang ketat (Direct Observed Treatment/DOT).
4. Jaminan ketersediaan OAT lini kedua yang bermutu.
5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang baku.
Setiap komponen dalam penanganan TB MDR lebih kompleks dan
membutuhkan biaya lebih banyak dibandingkan dengan pasien TB bukan
MDR Pelaksanaan program DOTS plus akan memperkuat Program
Penanggulangan TB Nasional.3

L. Penanganan Efek Samping


1. Pemantauan efek samping selama pengobatan
 OAT lini kedua mempunyai efek samping yang lebih banyak, lebih
berat dan lebih sering dari pada OAT lini pertama
 Deteksi dini efek samping penting karena makin cepat ditemukan dan
ditangani makin baik prognosanya, jadi pasien harus di monitor tiap
hari
 Efek samping sering terkait dosis

23
 Gejala efek samping harus diketahui oleh PMO dan pasien sehingga
pasien tidak menjadi takut saat mengalaminya dan drop-out
 Efek samping bisa ringan, sedang dan berat atau serius. Semua hal
harus tercatat dalam pencatatan dan pelaporan.5
2. Tempat penatalaksanaan efek samping
 RS rujukan TB MDR dan UPK satelit menjadi tempat penatalaksanaan
efek samping tergantung berat ringan gejala.
 Dokter Puskesmas akan menatalaksana efek samping ringan dan
sedang. Tim klinis TB MDR di RS rujukan TB MDR akan mendapat
laporannya
 Pasien dengan efek samping berat atau serius dan pasien yang tidak
menunjukkan perbaikan setelah penanganan efek samping ringan atau
sedang harus segera dirujuk ke Tim Klinis RS rujukan MDR dengan
transportasi dari Puskesmas.8
3. Efek samping berat atau serius
Pasien harus menghentikan semua obat, segera dirujuk dengan
didampingi ke RS rujukan TB MDR Contoh
 kulit dan mata pasien nampak kuning
 Pendengaran berkurang (tuli) atau telinga berdengung
 mendengar suara-suara, halusinasi, delusi/waham, bingung
 Reaksi alergi berat yaitu Syok anafilaktik dan angionerotik edema,
harus segera ditangani oleh dokter puskesmas sesuai standard
penanganan syok sebelum segera dirujuk ke RS rujukan TB-MDR
 Reaksi alergi berat yang lain yang berupa kemerahan pada mukosa
(selaput lendir) seperti mulut, mata dan dapat mengenai seluruh tubuh
berupa pengelupasan kulit (Steven Johnsons Syndrome).8

M. Pencegahan Terjadinya Resistensi Obat


WHO merekomendasikan strategi DOTS dalam penatalaksanaan kasus
TB, selain relative tidak mahal dan mudah, strategi ini dianggap dapat
menurunkan risiko terjadinya kasus resistensi obat terhadap TB.

24
Pencegahanan yang terbaik adalah dengan standarisasi pemberian regimen
yang efektif, penerapan strategi DOTS dan pemakaian obat FDC adalah yang
sangat tepat untuk mencegah terjadinya resistensi OAT.3
Pencegahan terjadinya MDR TB dapat dimulai sejak awal penanganan
kasus baru TB antara lain : pengobatan secara pasti terhadap kasus BTA
positif pada pertama kali, penyembuhan secara komplit kasih kambuh,
penyediaan suatu pedoman terapi terhadap TB, penjaminan ketersediaan OAT
adalah hal yang penting, pengawasan terhadap pengobatan, dan adanya OAT
secar gratis. Jangan pernah memberikan terapi tunggal pada kasus TB.
Peranan pemerintah dalam hal dukungan kelangsungan program dan
ketersediaan dana untunk penanggulangan TB (DOTS). Dasar pengobatan TB
oleh klinisi berdasarkan pedoman terapi sesuai “evidence based” dan tes
kepekaan kuman.3

N. Prognosis
Ada beberapa hal yang dapat menjadi petanda untuk mengetahui
prognosis pada penderita TB-MDR. Dari beberapa studi yang ada
menyebutkan bahwa adanya keterlibatan ekstrapulmoner, usia tua, malnutris,
infeksi HIV, riwayat mengunakan OAT dengan jumlah cukup banyak
sebelumnya, terapi yang tidak adekuat (<2 macam obat yang aktif) dapat
menjadi petanda prognosis buruk pada penderita tersebut.12
Dengan mengetahui beberapa petanda diatas dapat membantu klinisi
intuk mengamati penderita lebih seksama dan dapat memperbaiki hal yang
menjadi penyebab seperti malnutrisi.12

25
BAB III
KESIMPULAN

Prevalensi kasus TB dengan resistensi OAT terutama TB-MDR terus


meningkat. Factor penyebab terbanyak adalah akibat pengobatan TB yang tidak
adekuat dan penularan dari pasien TB-MDR. Oleh karena itu pada setiap pasien
harus dilakukan penilaian resiko kemungkinan terjadinya resistensi OAT.
Selanjutnya terapi empiris harus segera diberikan pada pasien dengan resiko
tinggi resistensi OAT, terutama pada pasien dengan keadaan penyakit yang berat.
Pemilihan regimen OAT yang tepat sangat diperlukan untuk keberhasilan
pengobatan dan mencegah bertambah banyaknya kasus TB-MDR.
Terapi yang dianjurkan dengan memberikan 4 sampai 6 macam obat.
Pilihan obat yang diberikan yaitu obat lini pertama yang masih sensitif disertai
obat lini kedua berdasarkan aktivitas intrinsik terhadap kuman M.tuberculosis.
Pembedahan perlu dipertimbangkan bila setelah 3 bulan terapi OAT tidak terjadi
konversi negatif sputum. Pemberian nutrisi yang baik dapat membantu
keberhasilan terapi.
Konsep ”Direcly Observed Treatment Short Course” (DOTS) merupakan
salah satu upaya penting dalam menjamin keteraturan berobat penderita dan
menaggulangi masalah tuberkulosis khususnya TB-MDR. Perkembangan obat
baru mungkin juga diperlukan untuk menanggulangi hal ini.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. 2008. Guideline For The Programmatic


Management Of Drugresistant Tuberculosis . Emergency Update.
2. WHO Collaborating Center for Tuberculosis. 2000. Tuberkulosis Diagnosis,
Terapi Dan Masalahnya. Edisi III. Lab Mikrobiologi RSUP Persahabatan.
3. Kementrian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan
Penyehatan Lingkungan. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis. Available from http://www.scribd.com
/doc/130737509/Pedoman-Nasional-Penanggulangan-TB-2011.
4. Said KA. 2010. Multi Drug Resistant Tuberculosis (Mdr-Tb); Sebuah
Tinjauan Kepustakaan. Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah Kuala
5. PDPI. 2006. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Tuberkulosis di
Indonesia. Available from http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html
6. Leitch GA. 2000. Management of tuberculosis in Seaton A,et al (eds) ,
Crofton and Douglas’s Respiratory diseases. Vol 1, 15th ed. Berlin.
7. Aditama TY, dkk. 2006. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. PERPARI, Jakarta.
8. Riyanto BS, Wilhan. 2006. Management of MDR TB Current and Future
dalam Buku Program dan Naskah Lengkap Konferensi Kerja Pertemuan
Ilmiah Berkala. PERPARI, Bandung.
9. Wallace RJ, Griffith DE. Antimycrobial Agents in Kasper DL, Braunwald E
(eds). 2004. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th ed. Mc Graw
Hill. New York.
10. Martin A. Portaels F. 2007. Drug Resistance and Drug Resistance detection
in Palmino. JC. et al (eds). Tuberculosis. from basic science to patient care,
1st ed.
11. Syahrini H. 2008. Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda. Departemen Ilmu
Penyakit Dalam RSUP Adam Malik Medan FK USU. Available from
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789 /3375/1/08E00731.pdf.
12. Sharma SK, Mohan A. 2006. Multidrug-Resistant Tuberculosis Control.
Chest.

27

Anda mungkin juga menyukai