Anda di halaman 1dari 5

DEFINISI

Internship merupakan suatu program magang bagi dokter yang baru menyelesaikan masa
pendidikan profesi, dengan tujuan meningkatkan kesempatan untuk mengaplikasikan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperoleh selama pendidikan.

Latar Belakang
Tuntutan global dunia kedokteran menghantarkan Indonesia untuk ikut memajukan kinerja
lulusan Pendidikan Kedokteran. Guna mencapai kesetaraan global dengan Negara lain dengan
adanya STR/bukti pelaksanaan program Internsip dipersyaratkan untuk dapat melanjutkan
pendidikan atau bekerja di Luar Negeri. Berdasarkan hasil studi orientasi proyek World Medical
Education (WFME), setiap negara di dunia melaksanakan program Internship bagi setiap Dokter
yang baru lulus. Indonesia adalah Negara terakhir di ASEAN yang melaksanakan Internship.
Sesuai dengan UU no 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran untuk memberikan
kompentensi kepada dokter maka dilaksanakan pendidikan dan pelatihan kedokteran sesuai
dengan standar pendidikan profesi kedokteran. Semua lulusan Fakultas Kedokteran atau Program
Studi Pendidikan Dokter yang telah menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi harus
mengikuti program ini untuk memperoleh sertifikat kompetensi sebagai Dokter Layanan Primer.
ISU
program Internship Dokter Indonesia (PIDI) adalah salah satu usaha pemerintah dalam
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang No. 29
tahun 2004 dinyatakan bahwa pasien tidak boleh dijadikan objek praktik mahasiswa kedokteran.
Oleh karena itu, selama masa koas atau kepaniteraan klinik mahasiswa kedokteran akan diawasi
secara ketat oleh supervisinya. Tanggung jawab terletak pada supervisi masing-masing. Oleh
karena itu dilaksanakanlah Program Internship Dokter Indonesia (PIDI) (Depkes RI, 2014).

Program internship ini tidak hanya dilakukan di Indonesia. Di berbagai negara seperti Malaysia
dikenal pula dengan sebutan housemanship. Internship adalah suatu proses pemantapan
kompetensi mahasiswa kedokteran antara ilmu yang diperoleh di bangku kuliah dengan keadaan
di masyarakat secara terintegratif, komprehensif, madiri, dan menggunakan pendekatan
kedokteran keluarga. Program ini telah dilaksanakan sejak Maret 2010. Program ini bukanlah
bagian dari pendidikan kedokteran. Menurut UU dikdok No 20 tahun 2013, pendidikan
kedokteran yang diselenggarakan oleh FK terdiri atas pendidikan akademik (sarjana, magister,
doktor) dan profesi (dokter, dokter layanan primer, dokter spesialis, dan dokter subspesialis).
Saat menjalani program ini, dokter yang ada sudah menerima Bantuan Biaya Hidup (BBH).
BBH yang diterima dokter dalam program ini lebih murah dengan BBH pada program Pegawai
Tidak Tetap (PTT). Berbeda dengan negara lain, di Indonesia BBH yang diterima sekitar 2,5 juta
per bulan saat ini. Hal ini disepakati pemerintah mulai dari bulan Oktober 2013 melalui surat
Menteri Keuangan nomor S-76/MK.02/2013 (Badan PPSDM Kesehatan). Sedangkan di
Malaysia gajinya sekitar RM 4300 atau 13 juta per bulan. Apakah program ini sebuah strategi
agar dokter di Indonesia dibayar lebih murah dengan kedok pemerataan pelayanan kesehatan di
pelosok Nusantara?

Sudah menjadi rahasia umum kalau di berbagai tempat pembayaran BBH sering mengalami
keterlambatan pembayaran. Contohnya saja Surat Edaran Kementerian Kesehatan Nomor
HK.03.03/I/II/00417/2013 dimana terjadi keterlambatan pembayaran bulan Januari-Maret 2014.
Padahal dengan BBH 2,5 juta masih tergolong sangat murah. Berdasarkan Permenakertrans No.
7 tahun 2013 bahwa Upah Minimum Provinsi (UMP) paling lambat ditetapkan tanggal 1
November 2013. UMP merupakan suatu standar minimum yang digunakan para pengusaha atau
pelaku industri untuk memberikan upah kepada pegawai, karyawan, atau buruh di dalam
lingkungan usaha atau kerjanya. Padahal UMP non sektor per Januari 2014 di Jakarta saja Rp
2.441.301,00 (Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi). Itu berarti mahasiswa kedokteran
yang kuliah selama lima tahun dibandingkan dengan pekerja (khusunya buruh) yang mungkin
tidak kuliah mendapatkan gaji relatif beda tipis. Adilkah ini?

Di Indonesia, perspektif negara mengenai dokter internship masih belum jelas. Ada yang
mengatakan sebagai dokter magang, namun melaksanakan peran yang sama dengan dokter
lainnya. Sedangkan di negeri Jiran, dokter housemanship disana dianggap pegawai negara tidak
tetap. Mereka dipandang sebagai pegawai fungsional sehingga negara memasukkan mereka ke
dalam sistem pelayanan kesehatan. Mereka juga memiliki hak kesejahteraan dan kewajiban
pelayanan sesuai tingkatan kompetensi masing-masing.

Di negeri Jiran, dokter yang menjalani program internship mendapatkan suatu perlindungan
hukum dan jaminan asuransi karena telah diakomodir dalam sistem (di Malaysia disebut pegawai
perubatan). Dengan demikian, otomatis tempat housemanship mereka yaitu di Rumah Sakit
menjadi penanggung jawab terhadap risiko kerja dokter internship. Di Indonesia, dokter yang
mejalani internship tidak mendapatkan perlindungan hukum dan asuransi atas risiko kerja
mereka. Legal penyelenggaraan program ini berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 299/Menkes/Per/II/2010 tentang Registrasi Dokter Pasca Internship dan Peraturan
Konsil Kedokteran Indonesia No. 1/KKI/Per/2010 tentang Registrasi Dokter Program Internship
serta UU No. 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Akan tetapi masih belum diatur
secara jelas hak dan kewajiban dokter internship sehingga mengancam mereka secara hukum
apabila kemudian terjadi kecelakaan kerja maupun kesalahan keprofesian. Lalu sudah jelaskah
dalam UU aturan mengenai hak dan kewajiban dokter internship di Indonesia? Siapa yang
bertanggung jawab terhadap risiko kerja dokter internship?
Di Indonesia, saat menjalani program internship ini dilaksanakan selama setahun dengan rincian
8 bulan dokter bertugas di rumah sakit dan 4 bulan bertugas di puskesmas. Sebenarnya program
ini sudah merancang adanya dokter pendamping yang memiliki kriteria dan kewajiban sesuai
dengan yang telah ditetapkan berdasarkan Buku 1 Pedoman Pelaksanaan Internship Dokter
Indonesia tahun 2009 pada BAB III poin B hal 16 dalam buku tersebut. Setiap pendamping
mendampingi 5-10 peserta internship pada waktu bersamaan dan TIDAK bertanggung jawab
terhadap tindakan keprofesian yang diilakukan oleh peserta internship. Sedangkan di Malaysia,
housemanship hanya dilakukan di Rumah Sakit dengan pengawasan dari supervisi dokter ahli.
Apabila dalam proses housemanship ini peserta tersebut bagus dalam mengikutinya maka disana
bisa langsung direkomendasikan untuk mengikuti jenjang yang lebih tinggi yaitu Program
Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) sehingga memiliki proyeksi yang jelas akan kemana
mengembangkan karirnya. Sedangkan di Indonesia tidak ada hal seperti itu dan setelah
mendapatkan STR bisa vakum selama berbulan-bulan sambil menunggu kesempatan berkarir
yang baru. Vakumnya ini bisa karena menunggu terbitnya Surat Izin Praktik (SIP) dari pejabat
kesehatan kabupaten/kota maupun sebab yang lainnya.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pertama, PIDI merupakan program yang penting yang
perlu diikuti oleh dokter yang belum memiliki STR guna memantapkan kompetensi dokter
tersebut. Akan tetapi masih perlu ditinjau ulang mengenai kesejahteraan peserta PIDI agar bisa
seadil-adilnya dibandingkan dengan pekerjaan lain. Pada masa internship ini timbul keengganan
untuk meminta uang ke orang tua karena sudah bergelar dokter tapi tidak langsung boleh praktik
sendiri maka BBH harus dibayar setiap bulan bukan per tiga bulan sekali dan seharusnya
meningkat besar BBH yang dibayarkan. Kedua, Hak dan kewajiban yang diatur UU juga masih
belum jelas sehingga harus didesak kepada pihak terkait untuk memikirkan nasib beribu-ribu
dokter setiap tahunnya. Apalagi dokter pendamping tidak bertanggung jawab terhadap segala
tindakan keprofesian yang dilakukan oleh peserta internship. Dokter pendamping sebaiknya juga
menjalankan kewajibannya dengan maksimal agar cita-cita luhur peningkatan kesehatan dan
kesejahteraan seluruh warga Negara Indonesia dapat terwujud. Ketiga, masa depan peserta PIDI
juga sebaiknya diperhatikan agar terlihat manfaat lebihnya dari program ini. Kalau memang
program ini bisa merekomendasikan peserta untuk mengikuti PPDS bukankah lebih baik
hasilnya. Karena peserta pasti berjuang lebih baik dan profesional kepada pasien dan dokter
penanggung jawab. Keempat, agar para peserta internship mendapatkan asuransi kesehatan
karena tugasnya yang setiap saat terpapar penyakit. Pihak yang bertanggung jawab terhadap
semua permasalahan ini adalah Institusi FK itu sendiri dan Departemen Kesehatan.

Ketua Konsil Kedokteran Indonesia, Prof. Dr. dr. Bambang Suprayitno, mengemukakan bahwa
umumnya para lulusan dokter menunggu maksimal tiga bulan sebelum diberangkatkan ke lokasi
penempatan. Namun, saat ini mereka terpaksa menunggu dari enam bulan hingga lebih dari
setahun. Hal inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya backlog atau penumpukan peserta
internsip. Pada bulan Februari 2015, sebanyak 2.500 dokter telah ditempatkan beserta 2.300
dokter lainnya pada Mei 2015. Kebanyakan dari mereka berasal dari lulusan 2013-2014 yang
surat tanda registrasi (STR)-nya terlambat terbit. Di luar 4.800 dokter tersebut, masih ada 506
dokter yang seharusnya ditempatkan Juli ini. Dikarenakan anggaran yang tidak mencukupi, 506
dokter itu pun terancam mengalami penundaan waktu keberangkatan. Padahal, Oktober-
November nanti ada sekitar 3.500 dokter yang juga harus diberangkatkan. Nantinya, sekian
persen dari 3.500 dokter itu pun juga akan terancam mengalami penundaan waktu
keberangkatan. Backlog peserta internsip ini dapat terjadi berulang-ulang hingga seterusnya
apabila pemerintah tidak mengambil kebijakan terkait hal ini. Seperti yang telah dikatakan
sebelumnya, salah satu penyebab backlog atau penumpukan ialah terlambatnya penerbitan
surat tanda registrasi. Menurut Ketua KKI, masalahnya bukan terletak pada Konsil Kedokteran
Indonesia yang mengeluarkan surat tanda registrasi program pemahiran, namun karena
terdapatnya dualisme penyelenggara ujian kompetensi pada tahun 2014 (klik frase di samping
untuk membaca lebih lanjut). Kami butuh pekerjaan yg sesuai dgn profesi kami. Ada saran jd
asdos, guru bimbel dll. Buat 2.000 dokter cukup? #dokterinternsipIndonesia -@beladirk Ketua
Ikatan Dokter Indonesia, dr. Zaenal Abidin, menduga bahwa keterlambatan ini juga disebabkan
oleh jumlah peserta melampaui kapasitas wahana. Wahana yang dimaksud mencakup layanan
kesehatan primer dan rumah sakit. Alhasil, pemerintah harus menambah wahana agar sepadan
dengan jumlah peserta. Tetapi sayangnya penentuan wahana bagi peserta juga tidak mudah. Ada
beberapa aspek yang harus dipenuhi, seperti adanya sarana dan prasarana yang memadai, adanya
dokter pembimbing, dan jumlah pasien yang mencukupi. Lokasi penempatan juga harus
memungkinkan peserta internsip untuk meningkatkan kemahirannya. Minimnya jumlah wahana
juga disebabkan oleh ketidakpastian anggaran program internsip dokter Indonesia 2015 yang
tersedia. Padahal, menurut Ketua Komite Internsip Dokter Indonesia (KIDI), dr. Nur Abadi,
program internsip dokter Indonesia sangat bergantung pada ketersediaan anggaran. Penambahan
jumlah wahana tidak akan terjadi apabila anggaran tidak mencukupi. Kondisi itu kian memburuk
lantaran pemerintah memotong anggaran perjalanan dinas di semua kementerian. Anggaran
transportasi dokter internsip dianggap sebagai anggaran perjalanan dinas sehingga ikut
terpotong.
Solusi

Salah satu tindakan yang telah dilakukan Kementerian Kesehatan ialah meminta Kementerian
Keuangan untuk kembali mengalokasikan anggaran bagi dokter internsip. Hasilnya, Kemenkeu
pun setuju untuk melakukan refocusing. Harapannya, Oktober-November anggaran transportasi
dokter internsip sudah tersedia kembali. Alternatif lain untuk menambah anggaran (selain
transportasi) ialah dengan mengajukan dana segar kepada Komisi X yang ruang lingkupnya
mencakup pendidikan (internsip adalah bagian dari pendidikan, bukan?). Selain itu, Komisi IX
juga dapat memperjuangkan adanya Pos Anggaran Internsip dari Kementerian Kesehatan pada
APBN 2016, sehingga Kemenkes dan Kemenristek Dikti dapat melakukan share, jika dana tidak
cukup berasal dari Dikti. Di sisi lain, mengenai isu minimnya wahana, salah satu solusi yang
dapat dilakukan ialah melibatkan institusi FK dalam menjaring wahana agar direkomendasikan
kepada KIDI sebagai wahana baru siap tampung, dengan syarat wahana tersebut berkomitmen
untuk menampung dokter internsip.
Solusi lainnya ialah dengan menyelenggarakan diskusi publik yang mempertemukan
stakeholder-stakeholder terkait mengenai program internsip dokter Indonesia

Anda mungkin juga menyukai