Anda di halaman 1dari 17

INTERNSIP

Masa penuh kemudahan “setelah lulus bisa langsung praktek” agaknya akan tinggal
kenangan bagi dokter gigi baru. Kondisi yang sempat dinikmati ketika Program Dokter
Gigi Pegawai Tidak Tetap (PTT) tidak diwajibkan lagi, terhenti saat dokter gigi baru wajib
mengikuti internsip setelah lulus dari uji kompetensi. Yang dimaksud dengan internsip
adalah pemahiran dan pemandirian dokter atau dokter gigi yang merupakan bagian dari
program penempatan wajib sementara, paling lama 1 (satu) tahun.

Program internsip diselenggarakan secara nasional bersama oleh kementerian yang


menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan, kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, asosiasi institusi
pendidikan kedokteran, asosiasi rumah sakit pendidikan, Organisasi Profesi, dan konsil
kedokteran Indonesia.

Kedepan, lulus uji kompetensi saja tidak akan cukup sebagai syarat bisa praktek mandiri
karena dokter gigi lulusan baru akan diwajibkan mengikuti internsip selama satu tahun di
rumah sakit atau Puskesmas yang ditunjuk, jika mekanisme internsip KG ini sama seperti
mekanisme internsip yang dilaksanakan dalam pendidikan kedokteran umum. Praktik
kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi
terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan, termasuk di dalamnya adalah
program internsip. Dengan adanya program internsip, setelah mendapat Sertifikat
Kompetensi, seorang dokter akan mendapat Surat Tanda Registrasi (STR) sementara
yang hanya dapat dipergunakan untuk membuat Surat Izin Praktek (SIP) di tempat
internsip saja. STR yang bersifat tetap untuk pengajuan Surat Izin Praktek (SIP), baru
akan diperoleh setelah seorang dokter menyelesaikan program internsip.

Tetapi bagaimana bentuk internsip di bidang kedokteran gigi? Apakah dengan


penempatan ke daerah terpencil dengan infrastruktur kesehatan yang tidak memadai
dapat mengakomodasi kerja seorang dokter gigi internsip menjadi optimal? Melalui
program internsip, pemerintah ingin memastikan bahwa dokter atau dokter gigi yang
dihasilkan memiliki kompetensi yang sesuai standar, profesional serta mandiri,
sedangkan selama ini dokter gigi selama masa pendidikan, baik akademik maupun
profesi, sudah dirasa cukup memenuhi standar, professional serta mandiri karena terjun
langsung merawat pasien.

Internsip umumnya diadakan untuk dokter yang telah lulus uji komptensi, agar dapat
melakukan praktik difasilitas dan daerah yang membutuhkan, tetapi jika seorang dokter
gigi ditempatkan ditempat terpencil dengan fasilitas yang tidak memadai, hal ini justru
akan menimbulkan berbagai permasalahan baru.

DASAR HUKUM INTERNSIP

Terdapat beberapa dasar hukum yang melatarbelakangi diadakannya internsip pada


pendidikan kedokteran gigi. Pertama, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang
Pendidikan Kedokteran Pasal 7 Ayat (7): Program profesi dokter dan dokter gigi
dilanjutkan dengan Program Internsip, penjelasan pasal 7 ayat (7): Internsip adalah
pemahiran dan pemandirian dokter yang merupakan bagian dari Program penempatan
wajib sementara paling lama 1 (satu) tahun. Internsip diharapkan akan menambah
keterampilan dan menambah kesempurnaan dari kompetensi seorang dokter dalam
menjalankan profesinya kelak.

Berdasarkan Permenkes nomor 229/MENKES/PER/II/2010 Pasal 38 ayat 1 dan 2: (1)


Mahasiswa yang telah lulus dan telah mengangkat sumpah sebagai Dokter atau Dokter
Gigi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) harus mengikuti program internsip.
(2) Penempatan wajib sementara pada program internsip sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diperhitungkan sebagai masa kerja. Dasar hukum Permenkes tersebut adalah
UU 20 / 2003 tentang SISDIKNAS, UU 29 / 2004 tentang Praktik Kedokteran, UU 36 /
2009 tentang Kesehatan, UU 44 / 2009 tentang Rumah Sakit.

INTERNSIP KEDOKTERAN DAN KEDOKTERAN GIGI

Berdasarkan UU Pendidikan Kedokteran tahun 2013 yang menyebutkan bahwa dokter


dan dokter gigi harus menempuh internsip sebagai lanjutan dari program profesi, berarti
dalam pasal tersebut terdapat sebuah kesetaraan antara dokter dengan dokter gigi
karena harus melaksanakan internsip setelah lulus uji kompetensi. Kesetaraan yang
dimaksud dalam hal ini bias, apakah dalam arti dokter gigi akan diakui sama sebagai
dokter yang dapat melakukan praktik terhadap pasien secara umum atau mekanisme dari
internsip yang dimaksud dalam pasal tersebut haruslah sama. Tentu, praktik dokter
umum dan dokter gigi harus sesuai dengan kompetensinya yang dicapai dalam proses
akademik dan profesi.

Namun apakah mekanisme internsip kedokteran gigi akan sama dengan mekanisme
internsip yang dilakukan oleh sejawat dari kedokteran umum? Mari kita bandingkan alur
pendidikan kedokteran umum dan kedokteran gigi saat ini.

Gambar 1. Alur Pendidikan dan Internsip Kedokteran Umum

Alur pendidikan kedokteran umum dimulai dengan pendidikan akademik selama 3,5
tahun, dilanjutkan dengan program profesi selama 2 tahun. Setelah program tersebut
selesai, dilakukan uji kompetensi di wilayah akademiknya. Dokter yang telah lulus uji
kompetensi ditandai dengan kepemilikan Surat Tanda Registrasi (STR) Sementara.
Dokter tersebut hanya boleh praktik di tempat praktik internsip saja selama 1 tahun atau
hingga requirement yang tercantum dalam pedoman internsip selesai dilakukan. Hal
tersebut bertujuan untuk memantapkan kompetensi dokter umum yang dinilai sebagai
poin. Gaji yang dihasilkan oleh Dokter Muda ini dahulu sekitar Rp 1.500.000 dan
sekarang sekitar Rp 2.500.000. Apabila requirement sudah selesai, maka proses
internsip tersebut telah selesai dilaksanakan dan akan menjadi tanggung jawab dari
Kementerian Kesehatan untuk pengangkatan dokter tersebut menjadi dokter umum yang
sesungguhnya dan memiliki STR penuh.
Gambar 2. Alur Pendidikan Kedokteran Gigi saat ini

Kita dapat mencermati alur pendidikan Kedokteran Gigi saat ini. Dimulai dari pendidikan
akademik selama 4 tahun, kemudian dilanjutkan dengan pendidikan profesi dengan
sistem requirement atau dikenal dengan inhaus-training dengan estimasi waktu 2 tahun.
Sistem pendidikan profesi kedokteran gigi menempatkan mahasiswa profesi sebagai
tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut di Rumah Sakit
Gigi dan Mulut Pendidikan (RSGM-P) secara utuh namun berada dalam supervisi dan
tanggung jawab institusi pendidikan. Mahasiswa profesi bertugas melakukan perawatan
berdasarkan requirement yang telah ditentukan. Perawatan tersebut meliputi
pemeriksaan subyektif, pemeriksaan obyektif, pemeriksaan penunjang, merencanakan
perawatan, hingga melakukan perawatan dan mengevaluasi perawatan tersebut secara
mandiri namun masih dalam pengawasan instruktur klinik atau supervisi. Mahasiswa
profesi tersebut dapat dibuktikan lulus setelah mengikuti uji kompetensi untuk
mendapatkan gelar dokter gigi. Surat Tanda Registrasi (STR) penuh dapat langsung
diurus ke Konsil Kedokteran Indonesia setelah dokter gigi tersebut dinyatakan lulus uji
kompetensi.

Pendidikan profesi dan uji kompetensi dalam pendidikan kedokteran gigi, dengan segala
proses didalamnya, telah dapat dipandang sebagai proses penyempurnaan kompetensi
kedokteran gigi, serta telah memenuhi konsep pemahiran dan pemandirian yang diawasi
oleh dokter gigi/dosen sesuai dengan spesialisasinya selama sekitar 2 tahun.

INTERNSIP KEDOKTERAN GIGI

Internsip adalah program berkelanjutan yang, mau tidak mau, harus dilalui seseorang
yang telah menyelesaikan pendidikan akademik dan profesi dokter gigi, sebagai syarat
untuk mendapatkan izin bepraktek. Hal ini telah diamanahkan dalam Undang-undang
Pendidikan Kedokteran.

Internsip menjadi suatu wadah yang potensial untuk menambahkan nilai-nilai yang
dibutuhkan para dokter gigi agar lebih mandiri dan percaya diri dalam terjun langsung di
tengah-tengah masyarakat.

Aspek-aspek akademik, seperti aspek kognitif, psikomotor, dan afektif yang dibutuhkan
untuk menjadi seorang dokter gigi yang berkompeten telah ditanamkan dalam pendidikan
akademik maupun profesi. Kompetensi dokter gigi yang telah melalui ujian kompetensi
pun, seharusnya tidak perlu dipertanyakan kembali. Jika lulus ujian kompetensi, maka
sudah pasti kompeten dokter gigi tersebut. Lalu, apakah kemudian internsip kedokteran
gigi diperlukan?

Mahkamah Konstitusi dalam penjelasan yang bersamaan dengan amar putusan


penolakan permohonan Uji UU Pendidikan Kedokteran oleh Pengurus Pusat
Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) pada awal Desember 2015, menjelaskan
bahwa untuk meningkatkan kemahiran dan kemandirian pendidikan kedokteran, maka
memang perlu dilaksanakan program internsip yang merupakan bagian dari program
penempatan wajib sementara. Program penempatan wajib sementara bertujuan untuk
menjamin pemerataan lulusan terdistribusi ke seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Hal tersebut telah bersesuaian dengan amanat yang ditentukan dalam Pasal
31 ayat (5) UUD 1945. Seperti yang telah kita pahami bersama, suatu peraturan
perundang-undangan hanya dapat diuji kembali jika bertentangan dengan UUD 1945.

Berkenan atau tidak, nampaknya internsip dalam pendidikan kedokteran gigi sudah
menjadi suatu hal yang pasti. Lantas, komponen apa lagi yang bisa menjadi nilai tambah
dalam program internsip? Menurut hemat kami, terdapat beberapa nilai yang kemudian
juga menjadi solusi untuk permasalahan kedokteran gigi di Indonesia saat ini, salah satu
diantaranya adalah tidak meratanya dokter gigi di Indonesia.

Pada kajian bertajuk “Potret Ketersediaan dan Kebutuhan Tenaga Dokter Gigi”
oleh Research and Development Team HPEQ pada tahun 2011, disebutkan bahwa 70%
dokter gigi umum Indonesia ternyata bekerja di Pulau Jawa, baru sisanya 30% tersebar
di berbagai wilayah lain Indonesia. Bahkan untuk dokter gigi spesialis kondisinya lebih
parah lagi karena hanya ada 7% dokter gigi spesialis yang bekerja di luar Pulau Jawa,
sisanya sebanyak 93% berdesakan di Pulau Jawa. Pada tahun 2013, berdasarkan data
Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), sebagian besar dokter gigi berada di daerah DKI
Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, dan DI Yogyakarta. Data
terakhir dari KKI pada tahun 2015 menyebutkan terdapat 26.908 dokter gigi dan 2.728
dokter gigi spesialis teregistrasi yang tersebar di seluruh Indonesia. 85% dokter gigi dan
93% dokter gigi spesialis teregistrasi berada di wilayah Indonesia bagian barat, dan
mayoritas terkonsentrasi pada pulau Jawa. Kondisi distribusi dokter gigi dan dokter
spesialis yang tidak merata ini akan menghambat upaya mengoptimalkan pelayanan
kesehatan gigi dan mulut di Indonesia.

Dengan menempatkan para dokter gigi yang telah lulus ujian kompetensi di seluruh
wilayah Indonesia tanpa terkecuali, berarti permasalahan pemerataan dokter gigi
Indonesia dapat teratasi. Hal ini tentu juga harus didukung dengan adanya sarana dan
prasarana yang memadai. Kesejahteraan para dokter gigi ini pun harus menjadi prioritas
utama.

Solusi potensial lain yang dapat dikembangkan melalui internsip kedokteran gigi adalah
peran aktif dokter gigi dalam merencanakan dan mengimplementasikan program
pelayanan kesehatan yang bersifat preventif, promotif, serta kuratif dengan berlandaskan
penelitian epidemiologi atau data-data statistik dari suatu wilayah. Hal ini guna menjadi
solusi dari angka kejadian penyakit kesehatan gigi dan mulut yang cenderung stagnan
dari tahun ke tahun. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar, pada tahun 2007 indeks DMF-
T Indonesia sebesar 4,85, kemudian pada tahun 2013 sebesar 4,6. Hal ini menunjukkan
bahwa kesehatan gigi dan mulut masyarakat Indonesia tidak mengalami peningkatan
yang signifikan. Kita mengetahui bahwa jumlah institusi pendidikan kedokteran gigi, baik
yang sudah menjadi fakultas ataupun yang masih berupa program pendidikan, semakin
bertambah dari masa ke masa. Saat ini, berdasarkan data yang dimiliki Konsil
Kedokteran Gigi, terdapat 30 institusi pendidikan kedokteran gigi. Hal ini menunjukkan
bahwa sebaran lulusan dokter gigi Indonesia masih belum cukup efektif dan efisien dalam
menanggulangi permasalahan-permasalahan terkait kesehatan gigi dan mulut di
Indonesia.

ANALISA INTERNSIP KEDOKTERAN GIGI

Analisis SWOT di bawah ini merupakan analisis teknis-konseptual dari rencana internsip
kedokteran gigi yang dapat menjadi pertimbangan sikap terhadap rencana internsip ini.

Strength. Internsip merupakan salah satu bentuk pengabdian kepada bangsa dan
membantu pemerintah untuk pemerataan dokter gigi di Indonesia, agar dokter-dokter
yang telah lulus tidak banyak berdomisili di kota besar. Tidak hanya itu saja, internsip
juga membantu dokter gigi dalam mencari pengalaman menangani pasien secara
langsung dengan kondisi pasien yang berbeda-beda sesuai epidemologinya.

Weakness. Dokter internsip akan rentan terhadap penyakit karena tugasnya yang
berhadapan dengan orang sakit, dan mereka bekerja tanpa dilengkapi asuransi
kesehatan. Mekanisme internsip yang kurang jelas juga menyebabkan dokter internsip
merasa bingung untuk menjalankannya. Kemudian, kemungkinan terjadinya back-
log atau penumpukan peserta internsip KG.

Opportunity. Memberikan kesempatan kepada dokter gigi yang baru lulus untuk
memahirkan kompetensi yang diperoleh selama pendidikan, sehingga didapatkan
pematangan untuk dokter gigi dalam melanjutkan kompetensi selanjutnya.

Treath. Kesejahteraan dokter yang kurang baik, yang notabene tidak sesuai dengan
biaya hidup di daerah pelosok yang berbeda-beda.

Berdasarkan analisis diatas, dapat disimpulkan bahwa Internsip KG sangat mungkin


untuk dilakukan, namun haruslah didahului dengan persiapan yang matang. Persiapan
tersebut mencakup teknis penyebaran dokter gigi serta wilayah penyebaran, sarana dan
prasarana KG di daerah Internsip, kesehatan dan keselamatan kerja serta kesejahteraan
dokter gigi internsip.

INTERNSIP KEDOKTERAN GIGI IDEAL

Berdasarkan fakta-fakta dan analisis yang kami lakukan, terdapat beberapa rekomendasi
yang kemudian kami ajukan sebagai model ideal dari Internsip KG. Internsip KG adalah
program pendidikan lanjutan yang wajib dijalani dokter gigi yang telah menyelesaikan
pendidikan profesi, yang berfokus pada upaya pemerataan dan pengabdian masyarakat
selama 6 bulan dan dianggap sebagai wajib kerja sementara setelah lulus uji kompetensi
dan mendapat STR sementara. Artinya, dokter gigi tersebut dapat mengajukan SIP untuk
melakukan praktik dimana saja sesuai dengan SIP namun di 6 bulan awal setelah
dinyatakan lulus uji kompetensi, dokter gigi tersebut harus menjalankan praktik wajib
kerja sementara tersebut sebagai implementasi program internsip KG, baru kemudian
mendapatkan STR penuh. Dokter gigi akan dikelompokkan dan ditempatkan di seluruh
pelosok Indonesia sesuai dengan wilayah regional.

Internsip KG yang kami rekomendasikan adalah program yang berlandaskan pengabdian


masyarakat dan upaya pemerataan tenaga kesehatan, dalam hal ini dokter gigi. Poin
pemerataan dapat diimplementasikan dengan menempatkan dokter gigi di seluruh
Indonesia tanpa terkecuali (secara regional) dengan mempertimbangkan aspek
ketersediaan dokter gigi dan kepadatan distribusi dokter gigi dalam suatu wilayah.

Poin pengabdian masyarakat diimplementasikan dengan tugas dokter gigi tersebut di


daerah penempatan, antara lain : melayani masyarakat yang membutuhkan perawatan
gigi dan mulut, memberikan rujukan ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi, lalu
merencanakan dan melaksanakan program pelayanan kesehatan yang bersifat promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif, berdasarkan penelitian epidemiologis atau data statistik
dari daerah dimana dia ditempatkan. Penelitian epidemiologi dapat memberikan
gambaran bagi dokter gigi internsip mengenai permasalahan yang dimiliki masayarakat,
kemudian dapat digunakan sebagai modal untuk merencanakan intervensi yang tepat
terhadap faktor-faktor resiko yang ada.

Internsip KG yang kami rekomendasikan bersifat time-based dan bukan requirement-


based. Hal ini bermakna bahwa internsip KG dinilai telah selesai ketika dokter gigi yang
menjalani program internsip telah melalui masa 6 bulan yang ditentukan, bukan dari
koleksi kasus atau perawatan yang telah dilakukan. Masa 6 bulan kami nilai cukup
relevan untuk program internsip KG, selain menghindari back-log atau penumpukan
antrian peserta internsip, juga cukup untuk proses pemahiran dari dokter gigi tersebut.
Selama dalam masa internsip, dokter gigi wajib mengisi absensi harian, melakukan
pengisian boring kasus, diskusi kasus, dan presentasi kasus, seperti halnya yang
dilakukan peserta internsip kedokteran umum. Dokter gigi internsip berada dalam
pengawasan dokter gigi Puskesmas.

Internsip KG haruslah didukung dengan sarana dan prasarana praktik kedokteran gigi
yang memadai sesuai dengan standarnya, serta menjamin kesehatan dan keselamatan
kerja, dan kesejahteraan dokter gigi yang ditempatkan di pelosok Indonesia. Internsip KG
tidak boleh dipandang sebagai upaya mengeksploitasi dokter gigi yang baru saja lulus
dengan ditempatkan di pelosok-pelosok Indonesia, namun secara positif dimaknai
sebagai proses yang mampu memberikan kebermanfaatan, baik kepada dokter gigi, dan
lebih luas lagi, untuk seluruh masyarakat Indonesia.
Dewasa ini pemerintah telah mengeluarkan keputusan bahwa lulusan dokter gigi baru
harus menjalani program internship. Program internship atau kerap disebut sebagai
magang dokter baru ini dicanangkan oleh Menteri Kesehatan RI kala itu, dr. Endang
Rahayu dan sudah dimulai sejak tahun 2010. Internship sendiri telah menjadi topik
hangat yang ramai diperbincangkan dan telah menuai berbagai pro dan kontra dari
kalangan mahasiswa kesehatan sendiri. Saat ini sikap yang ditunjukkan oleh mahasiswa-
mahasiswa kesehatan terbagi menjadi sikap mendukung untuk tetap dilanjutkan
internship, menginginkan evaluasi dan kaji kembali program internship dan tidak
mendukung adanya program internship.

Keluhan yang ramai diperbincangkan mengenai internship adalah tunjangan yang


diberikan tidak sesuai. Dokter gigi internship digaji kementrian kesehatan 1,2 juta per
bulannya dengan masa bakti yg dianggap terlalu lama. Berikut ini ironi yang jelas terjadi.
Ketika buruh yang bekerja rata-rata 8 jam sehari saja menuntut gaji hingga 2 juta per
bulan, dokter gigi internship yang bisa dipekerjakan hingga 24 jam sehari, jerih payahnya
dihargai lebih rendah dari buruh. Sekolah boleh tinggi, gelar bergengsi, tapi gaji hanya
bisa buat makan sehari-hari.

Untuk menjadi dokter gigi, mahasiswa di Indonesia harus menempuh masa studi kurang
lebih selama 4 tahun untuk menyelesaikan strata 1 nya dan mendapatkan gelar S.KG
tersemat dibelakang nama mahasiswa tersebut. Kemudian setelah menyelesaikan strata
1, mahasiswa harus menjalani program kepaniteraan klinik atau sering disebut co-ass
kurang lebih selama 2 tahun. Maka mahasiswa kedokteran gigi akan menempuh kurang
lebih 6 tahun, untuk mendapatkan gelar dokter gigi. Bahkan beberapa mahasiswa dapat
menyelesaikan studinya dalam kurun waktu 5 tahun untuk mendapatkan gelar dokter gigi.
Tidak jarang pula mahasiswa menyelesaikan studinya melebihi kurun waktu 6 tahun
tersebut. Setelah kurang lebih 6 tahun menyelesaikan pendidikan profesi dokter gigi,
mereka masih harus mengikuti Uji Kompetensi Dokter Gigi Indonesia (UKDGI) lagi.Kini
lulus uji kompetensi saja bahkan tidak akan cukup sebagai syarat bisa praktek mandiri
karena kewajiban mengikuti internship tersebut selama satu tahun di rumah sakit atau
puskesmas yang ditunjuk.

Kemudian muncul pertanyaan mengapa harus internship? Sedangkan peserta program


internship adalah mahasiswa yang telah menyelesaikan pendidikan profesi dokter
giginya dan telah lulus uji kompetensi. Jika internship ini bertujuan untuk mengetahui
sejauh mana kompetensi dokter gigi tersebut, maka hasil dari ujian kompetensi telah
dapat membuktikan sejauh mana kompetensi lulusan dokter gigi baru.

Tujuan dari internship secara garis besar ada 2 yaitu agar lulusan dokter gigi baru bisa
memperoleh kemahiran dengan cara mempraktekkan kompetensi yang dimiliki dan
membantu pelaksanaan program pemerintah untuk pemerataan persebaran dokter gigi.
Jika dilihat dari tujuan yang pertama agar dokter gigi tersebut dapat memperoleh
kemahiran serta dapat mempraktekkan langsung kepada masyarakat, maka bukankah
mahasiswa kedokteran gigi semasa perkuliahan mempunyai jadwal skills lab dan pada
pendidikan profesi (co-ass) mahasiswa kedokteran gigi juga mencari pasien sendiri
dengan kasus yang telah ditentukan pada requirements? Jadi secara langsung mereka
sudah mempraktekkan teori-teori yang dipelajari semasa perkuliahan lewat kegiatan
skills lab dan pada masa pendidikan profesi mereka tentu sudah memperdalam kembali
kemampuannya dalam menangani kasus-kasus pasien. Kemudian untuk tujuan
pemerataan dokter gigi Indonesia, harusnya diatur kembali sesuai dalam UU Kesehatan.
Mengapa tidak langsung PTT saja agar lebih terjamin, karena dengan tujuan yang sama
seharusnya programnya tidak perlu dibedakan.

Pelaksanaan internship dikatakan merupakan salah satu upaya agar dokter gigi lulusan
Indonesia dapat diakui secara internasional. Untuk hal ini seharusnya sejak mahasiswa
menjalani pendidikan dokter gigi acuan standar pendidikan dan standar kurikulum yang
dipakai harus sama dan sudah mengacu pada standar internasional.

Karenanya kementrian kesehatan perlu untuk mengevaluasi dan mengkaji kembali


pelaksanaan internship, karena program intership ini sebaiknyatidak untuk dilanjutkan.
Internship membuat sebagian dokter gigi akan terpaksa menjalaninya, sehingga rasa
pengabdiannya kurang mengena. Mungkin karena memang tidak sebandingnya
perjuangan mereka dengan penghargaan yang didapatkan. Niat baik dalam proram
internship ini jelas terbaca, namun kita tak boleh mengabaikan banyaknya kekurangan
dalam aplikasinya dilapangan. Hal ini tak hanya memaksa pihak-pihak berwenang untuk
mereview program tersebut untuk 3,6, atau berapa bulan saja, namun lebih kepada apa
yang menjadi dampak internship ini berpuluh tahun kedepan dalam karir dan pelayanan
dokter gigi – dokter gigi nasional kita
Internship di Kedokteran Gigi? Sebenarnya itu apa sih? Gimana? Dan kenapa mau
diadakan?

Kata ‘intership’ yang kini menghantui para calon dokter gigi di Indonesia, menyebabkan
banyak sekali pro dan kontra mengenai isu yang hangat akhir akhir ini. Terdapat
beberapa dasar hukum yang melatarbelakangi diadakannya internship pada pendidikan
kedokteran gigi. Pertama, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan
Kedokteran Pasal 7 Ayat (7): Program profesi dokter dan dokter gigi dilanjutkan dengan
program Internship.

Penjelasan pasal 7 ayat (7): “Internship adalah pemahiran dan pemandirian dokter yang
merupakan bagian dari Program penempatan wajib sementara paling lama 1 (satu)
tahun. Internship diharapkan akan menambah keterampilan dan menambah
kesempurnaan dari kompetensi seorang dokter dalam menjalankan profesinya kelak”.

Selain itu, berdasarkan Permenkes nomor 229/MENKES/PER/II/2010 Pasal 38 ayat 1


dan 2:

(1) Mahasiswa yang telah lulus dan telah mengangkat sumpah sebagai Dokter atau
Dokter Gigi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) harus mengikuti program
internship.

(2) Penempatan wajib sementara pada program internsip sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diperhitungkan sebagai masa kerja.

Dasar hukum Permenkes tersebut adalah UU 20 / 2003 tentang SISDIKNAS, UU 29 /


2004 tentang Praktik Kedokteran, UU 36 / 2009 tentang Kesehatan, dan UU 44 / 2009
tentang Rumah Sakit.

Lalu, jika kita lihat pada pasal 2 ayat 3 hingga ayat 5 Permenkes no 39 tahun 2017,
terdapat pendikotomian antara internship dokter dan dokter gigi yang sebelumnya pada
UU dirancang pada tahun 2013 dianggap memiliki kesetaraan yang masih samar oleh
PSMKGI. Pasal ini menjawab kajian PSMKGI terkait Internship kedokteran dan
kedokteran gigi yakni “Berdasarkan UU Pendidikan Kedokteran tahun 2013 yang
menyebutkan bahwa dokter dan dokter gigi harus menempuh internship sebagai
lanjutan dari program profesi”, berarti dalam pasal tersebut terdapat sebuah kesetaraan
antara dokter dengan dokter gigi karena harus melaksanakan internsip setelah lulus uji
kompetensi. Kesetaraan yang dimaksud dalam hal ini masih belum cukup jelas, apakah
dalam arti dokter gigi akan diakui sama sebagai dokter yang dapat melakukan praktik
terhadap pasien secara umum atau mekanisme dari internship yang dimaksud dalam
pasal tersebut haruslah sama. Sebagaimana tertera pada pasal 2 ayat 5 “Ketentuan
mengenai program Internship dokter gigi diatur dengan peraturan menteri”, aturan ini
seperti memberi syarat bahwa akan ada perbedaan dalam hal sistem dan teknis antara
Internship dokter dan dokter gigi.

Keluarnya permenkes no 39 tahun 2017 adalah babak baru perjuangan rekan-rekan


mahasiswa kedokteran gigi dalam mengadvokasikan Internsip kedokteran gigi. Upaya
advokasi tidak lagi hanya mempertanyakan keberadaan program melainkan diskusi
konsep dan sistem internsip yang relevan bagi dokter gigi.
Isu Internsip dokter gigi bukanlah isu baru di dunia kedokteran gigi, sejakdikeluarkannya
UU pendidikan kedokteran tahun 2013 mahasiswa kedokteran gigi dibuat kaget dengan
adanya wacana internsip yang wajib dijalani setelah mahasiswa lulus menjadi dokter
gigi. Meminjam kalimat yang dituliskan dalam kajian PSMKGI (Persatuan Senat
Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia), adanya aturan ini menuntut mahasiswa
kedokteran gigi harus mengucapkan selamat tinggal pada masa kemudahan ‘setelah
lulus bisa langsung praktek’.

Sempat mereda setelah beberapa diskusi dan upaya advokasi yang dilakukan, saat ini
internsip kedokteran gigi kembali memanas setelah keluarnya Permenkes no 39 tahun
2017 tentang Penyelenggaraan program internsip Dokter dan Dokter Gigi Indonesia.
Keluarnya aturan ini menjadi babak baru perjuangan mahasiswa dalam
pengadvokasian internsip KG : dari sekedar mempertanyakan keberadaan hingga
dirancang sistem internship KG ideal.

A. 2 Hal penting dari Permenkes no 29 tahun 2017

Pada 7 agustus 2017 permenkes no 39 tahun 2017 tentang Penyelenggaraan program


internsip Dokter dan Dokter Gigi Indonesia resmi diundangkan. Aturan ini menggantikan
permenkes nomor 299/menkes/per/II/2010 yang diniliai sudah tidak sesuai dengan
perkembangan dan kebutuhan hukum dalam mengatur program internsip dokter dan
dokter gigi. Jika kita melihat lagi kedua aturan ini, tidak banyak perbedaan yang
signifikan.

Secara umum permenkes no 39 2017 menghapuskan istilah internsip mandiri dan


ikatan dinas, kemudian menjelaskan terkait waktu, seleksi, bantuan biaya hidup dan
transport dokter internsip. Namun yang perlu kita garis bawahi yakni adanya klausul
‘Dokter Gigi’ di pasal 1 dan 2. Menilik pasal 1 dan 2, aturan ini seperti ingin
menegaskan bahwa dokter gigi wajib menjalankan internsip dan sistem internsip dokter
gigi akan memiliki perbedaan dengan internsip dokter.

Penegasan ini ditunjukkan melalui perubahan judul aturan dari “Penyelenggaraan


Program Internsip dan Penempatan Dokter Pasca Internsip” menjadi “Penyelenggaraan
Program Internsip Dokter dan Dokter Gigi”. Kemudian ditunjukkan pula pada pasal 1
ayat 1, dimana pada permenkes 2010 “internsip adalah proses pemantapan mutu
profesi dokter untuk…” sedangkan permenkes no.39 tahun 2017 menjelaskan “Internsip
adalah proses pemantapan mutu profesi dokter dan dokter gigi untuk…”. Maka secara
tersirat aturan ini dibuat untuk menegaskan adanya internsip bagi dokter gigi yang
sempat disinggung di UU dikdok 2013. Lalu bagaimana dengan sistem Internsip dokter
gigi ?

Permenkes no 39 tahun 2017 ini belum menjelaskan secara detail bagaimana teknis
internsip dokter gigi. Namun jika kita lihat pada pasal 2 ayat 3 hingga ayat 5 terdapat
pendikotomian antara internsip dokter dan dokter gigi yang sebelumnya pada UU
dikdok 2013 dianggap memiliki kesetaraan yang bias oleh PSMKGI. Pasal ini menjawab
kajian PSMKGI terkait Internsip kedokteran dan kedokteran gigi yakni “Berdasarkan UU
Pendidikan Kedokteran tahun 2013 yang menyebutkan bahwa dokter dan dokter gigi
harus menempuh internsip sebagai lanjutan dari program
profesi, berarti dalam pasal tersebut terdapat sebuah kesetaraan antara dokter dengan
dokter gigi karena harus melaksanakan internsip setelah lulus uji kompetensi.

Kesetaraan yang dimaksud dalam hal ini bias, apakah dalam arti dokter gigi
akan diakui sama sebagai dokter yang dapat melakukan praktik terhadap pasien
secara umum atau mekanisme dari internsip yang dimaksud dalam pasal tersebut
haruslah sama”. Sebagaimana tertera pada pasal 2 ayat 5 “Ketentuan mengenai
program Internsip dokter gigi diatur dengan peraturan menteri”, aturan ini seperti
memberi syarat bahwa akan ada perbedaan dalam hal sistem dan teknis antara
Internsip dokter dan dokter gigi, Keluarnya permenkes no 39 tahun 2017 adalah babak
baru perjuangan
rekan-rekan mahasiswa kedokteran gigi dalam mengadvokasikan Internsip kedokteran
gigi. Upaya advokasi tidak lagi hanya mempertanyakan keberadaan program melainkan
diskusi konsep dan sistem internsip yang relevan bagi dokter gigi.

B. Internsip Kedokteran Gigi : Biasnya landasan program

Suatu program tentu harus dilandasi latar belakang permasalahan yang menjadi titik
tolak keberadaannya. Dimana latar belakang ini begitu penting karena ialah alasan
suatu tindakan dilakukan. Maka kejelasan masalah yang hendak diselesaikan sangat
memengaruhi kejelasan tujuan suatu program. Bahkan kejelasan masalah juga akan
memengaruhi bagaimana pembuatan sistem dan pengambilan kebijakan yang banyak
alternatif dan kemungkinannya. Sebagaimana pepatah mengatakan “banyak jalan
menuju roma”: jalan ke roma memang banyak, namun bagaimana kita bisa
memilih jalan tepat sedangkan tidak diketahui kondisi kesehatan, ekonomi, ataupun
kegentingannya untuk menuju roma. Inilah pentingnya latar belakang. Lantas apa yang
melatarbelakangi Internsip kedokteran gigi ?

Menilik landasan hukum pertama internsip KG yakni UU no 20 tahun 2013 tentang


pendidikan kedokteran, maka latar belakangnya seharusnya bisa ditemukan pada
naskah akademik peraturan tersebut. Namun sayang, dari naskah akademik tersebut
hanya dapat ditemukan 2 hal pada kebijakan Internsip kedokteran gigi : landasan yang
asumtif dan mengeneralisir sistem pendidikan kedokteran dan kedokteran gigi.

– Landasan yang asumtif

“Sesuai dengan UU 29/2004,pelaksanaan pelayanan kedokteran hanya boleh


dilaksanakan oleh seorang dokter, oleh karena itu tidak mungkin dalam pendidikan
profesi dokter mahasiwa akan mendapatkan kemahiran yang diinginkan. Diperlukan
pelatihan pemahiran setelah menjadi dokter yang disebut internsip dokter.” (Naskah
akademik UU no 20 tahun 2013) Statement diatas menjelaskan bahwa program
internsip hadir atas asumsi ketidakmungkinan pencapaian kemahiran melalui
pendidikan profesi. Pemerintah tidak menjelaskan data, apa yang membuat seorang
dokter gigi yang notabene nya sudah lulus ujian kompetensi dikatakan belum mahir ?
persentase kepercayaan diri dokter gigi baru kah ? atau jumlah kasus kesalahan
diagnosis maupun penanganan oleh dokter gigi baru ? Lantas bagaimana dokter gigi
yang dikatakan mahir ?

Di sisi lain, UU no 20 tahun 2013 pasal 18 ayat 1 menerangkan bahwa “Untuk


pembelajaran klinik dan pembelajaran komunitas, Mahasiswa diberi kesempatan terlibat
dalam pelayanan kesehatan dengan bimbingan dan pengawasan Dosen” dan
dilanjutkan pasal 18 ayat 2 “Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetap
harus mematuhi kode etik Dokter atau Dokter Gigi, dan/atau ketentuan Peraturan
Perundangundangan yang mengatur keprofesian” . Dari aturan ini dapat diketahui
bahwa tidak hanya dokter yang boleh melaksanakan pelayanan kesehatan, mahasiswa
pun boleh ikut terlibat dalam melayani seorang pasien asalkan dibawah bimbingan
dokter dan sesuai kode etik. Inilah yang menjadi landasan mahasiswa kepaniteraan
kedokteran gigi boleh bahkan harus menangani pasien sesuai requirement yang telah
ditetapkan tentu dalam pengawasan dokter pembimbing. Sehingga latar belakang yang
dikemukakan pada naskah akademik di atas bukan hanya miskin data tapi juga tidak
sesuai realita sistem pendidikan kedokteran gigi.

– mengeneralisir sistem pendidikan kedokteran dan kedokteran gigi

Adapun hal yang membuat adanya kebijakan yang tidak sesuai realita sistem
pendidikan kedokteran gigi adalah adanya pola pikir yang menyamakan antara sistem
pendidikan kedokteran dan kedokteran gigi. PSMKGI telah membandingkan antara
pendidikan kedokteran dan kedokteran gigi dalam kajiannya terkait Internsip kedokteran
gigi. Secara singkat letak utama perbedaannya adalah pada pendidikan profesi dimana
Sistem pendidikan profesi
kedokteran gigi menempatkan mahasiswa profesi sebagai tenaga kesehatan yang
memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut di Rumah Sakit Gigi dan Mulut
Pendidikan (RSGM-P) secara utuh namun berada dalam supervisi dan tanggung jawab
institusi pendidikan. Mahasiswa profesi bertugas melakukan perawatan berdasarkan
requirement yang telah ditentukan. Perawatan tersebut meliputi pemeriksaan subyektif,
pemeriksaan obyektif, pemeriksaan penunjang, merencanakan perawatan, hingga
melakukan perawatan dan mengevaluasi perawatan tersebut secara
mandiri namun masih dalam pengawasan instruktur klinik atau supervisi.

Maka ketika pemerintah membuat program internsip bagi kedokteran gigi dengan
melihat sistem internsip kedokteran (berdasarkan kesamaan landasan hukum), wajar
saja langsung menuai banyak kritik dari kalangan dokter gigi, pasalnya
Pendidikanprofesi dan uji kompetensi dalam pendidikan kedokteran gigi, dengan segala
proses didalamnya, telah dapat dipandang sebagai proses penyempurnaan kompetensi
kedokteran gigi, serta telah memenuhi konsep pemahiran dan pemandirian yang
diawasi oleh dokter gigi/dosen sesuai dengan spesialisasinya selama sekitar 2 tahun
(kajian internsip PSMKGI )Mengeneralisir kebijakan antara pendidikan kedokteran dan
kedokteran gigi berujung pada tidak tepatnya kebijakan yang dikeluarkan karena latar
belakang permasalahan yang inkontekstual. Bahkan latar belakang yang dikemukakan
pada naskah akademik cenderung lebih relevan dengan pendidikan kedokteran
sehingga program internsip bagi kedokteran gigi bisa dikatakan tidak berlandasan.

C. Tentukan tujuan utama: pemerataan atau pemahiran

Masih soal ketidakjelasan latar belakang, hal ini mengakibatkan kaburnya tujuan dari
internsip kedokteran gigi. Mari perhatikan penjelasan mengenai internsip dibawah ini :

“Untuk meningkatkan pemahiran dan pemandirian Dokter dilaksanakan program


internsip yang merupakan bagian dari program penempatan wajib sementara. Program
penempatan wajib sementara bertujuan untuk menjamin pemerataan lulusan
terdistribusi ke seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia” (UU no.20 tahun
2013 tentang pendidikan kedokteran). Dari peraturan diatas dapat kita ketahui bahwa
ada dua hal yang menjadi tujuan Internsip yakni Pemahiran dan Pemerataan.
Pemerintah secara tidak langsung sedang mendayung dan berharap melampaui dua
atau tiga pulau dengan kata lain pemerintah berupaya mengimplementasikan
peribahasa “sambil menyelam minum air”. Salahkah ? sebenarnya sah-sah saja
menyelesaikan dua permasalahan sekaligus, selagi “pulau yang dituju” berada di satu
arah yang sama dan selagi jelas tujuan utamanya, menyelam ataukah minum air.

Dalam konteks internsip ini, perlu kita lihat kembali apakah pemahiran dan pemerataan
merupakan tujuan yang searah. Pemahiran keterampilan klinik menurut Suryadi (2008)
dipengaruhi oleh banyak faktor seperti konten materi keterampilanya, metode
pelatihannya, peserta didiknya, instruktur, peralatan, serta lingkungan baik fisik maupun
non fisik. Jika hal ini dikorelasikan dengan penempatan dokter internsip di daerah-
daerah kecil yang memiliki fasilitas kesehatan yang kurang memadai tentu proses
pemahiran dokter gigi tidak optimal karena telah kekurangan di salah
satu faktornya.

Sedangkan berbicara soal pemerataan, secara umum untuk mendorong dokter gigi
terjun ke daerah bisa dengan dua cara : meningkatkan motivasi melalui berbagai faktor
(insentif, fasilitas, dsb) atau menjadikannya suatu kewajiban dan bersifatmengikat. Cara
pertama banyak dilakukan negara-negara maju, Di perancis misalnya, menteri
kesehatan prancis pada tahun 2012 mengubah kebijakan lama yang bersifat ‘mengikat’
menjadi kebijakan yang bersifat memberi insentif. Atau di australia yang menggaji dua
kali lipat dokter yang mau kerja di daerah.

Pemerintah sebenarnya sudah berupaya dengan cara pertama, melalui PTT atau
nusantara sehat, namunantusiasme dokter gigi mengikuti kedua program tersebut
masih tergolong rendah dikarenakan tingginya resiko kerja di daerah. Selain itu,
pemerintah membutuhkan biaya yang cukup besar untuk membiayai sang dokter gigi
hidup didaerah. Kegagalan (ketidakmauan atau ketidakmampuan) pemerintah dalam
memotivasi para dokter gigi baik melalui peningkatan fasilitas di daerah DPTK, insentif,
asuransi jiwa, hingga menumbuhkan jiwa pengabdian membuat pemerintah harus
menempuh jalan lain.
Salah satunya dengan penempatan dokter gigi ke daerah yang besifat wajib dan
mengikat : internsip. Padahal pemerataan bukan hanya soal jumlah tapi juga kualitas.
Jika kita korelasikan dengan program pemahiran maka secara tidak langsung dokter
gigi yang disebar ke daerah dianggap dokter yang kurang mahir. Sehingga tidak
menutup kemungkinan masalah pemerataan yang terselesaikan hanya sebatas
kuantitas bukan kualitas. Namun, penempatan di daerah tidak sepenuhnya
menghalangi proses pemahiran dokter gigi dikarenakan adanya dokter pembimbing dan
bertambahnya pengalaman dalam menangani kasus yang bervariasi. Kurang mahirnya
dokter gigi pun tidak
sepenuhnya menjadikan kualitas pelayanannya buruk karena bagaimanapun ia telah
lulus uji kompetensi.

Maka sebenarnya hubungan pemahiran dan pemerataan dalam internsip kedokteran


gigi tidak jauh berbeda dengan paradigma ‘study tour’yang memiliki dua pandangan :
jalan-jalan sambil belajar atau belajar sambil jalan-jalan — pemerataan sekaligus
pemahiran atau pemahiran sekaligus pemerataan. Dalam rangka membuat kebijakan
yang tepat dan solutif, pemerintah harus secara cermat menganalisa permasalahan
sebagai landasan menentukan tujaan utama internsip kedokteran gigi: pemerataan
atau pemahiran.

D. Memilih Tujuan Utama Internsip KG : Pemerataan

“Pentingnya menganalisa permasalahan dan menentukan tujuan adalah karena


keduanya memengaruhi konsep bahkan teknis suatu kebijakan” Analisa awal
permasalahan telah dilakukan oleh PSMKGI dalam kajiannya
mengenai internsip kedokteran gigi. PSMKGI memandang bahwa “Pendidikan profesi
dan uji kompetensi dalam pendidikan kedokteran gigi, dengan segala proses
didalamnya, merupakan proses penyempurnaan kompetensi kedokteran gigi, serta
telah memenuhi konsep pemahiran dan pemandirian yang diawasi oleh dokter
gigi/dosen sesuai dengan spesialisasinya selama sekitar 2 tahun.” Kemudian mengutip
data KKI (konsil kedokteran Indonesia) yang dikemukakan pada naskah akademik RUU
tentang pendidikan kedokteran gigi, sebagian besar dokter gigi berada di daerah DKI
Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, dan DI Yogyakarta.

Bahkan data KKI pada tahun 2015 menyebutkan dari 20.655 dokter gigi dan 1592
dokter gigi spesialis teregistrasi yang tersebar di seluruh Indonesia, 85% dokter gigi dan
93% dokter gigi spesialis teregistrasi berada di wilayah Indonesia bagian barat, dan
mayoritas terkonsentrasi pada pulau Jawa. Sejalan dengan hal ini, persebaran institusi
pendidikan dokter gigi pun tidak merata, pada tahun 2011 ada 16 IPDG di jawa
sedangkan di maluku, papua, dan nusa
tenggara belum ada IPDG. Disamping itu, jika mengacu indikator indonesia sehat
(2010), rasio penduduk dan dokter gigi ideal adalah 9000 : 1 , namun saat ini -dengan
asumsi penduduk indonesia sebanyak 238 juta- rasio penduduk dan dokter gigi adalah
11.521 : 1. Hal tersebut berartipermasalahan bukan hanya pada tidak meratanya dokter
gigi tapi
juga kurangnya jumlah dokter gigi.
Dari analisa awal permasalahan dapat diketahui bahwa maldistribusi dokter gigi
merupakan masalah yang lebih kongkrit dan krusial dibandingkan kemahiran dokter
gigi. Sehingga kebijakan internsip kedokteran gigi kedepan perlu menitikberatkan pada
solusi pemerataan dokter gigi di Indonesia.

E. Merancang sistem Internsip kedokteran gigi

Internsip KG yang berlandasarkan pengabdian sebagai upaya pemerataan pelayanan


kesehatan gigi tentu berbeda sistemnya dengan program yang fokus pada pemahiran.
Menyimak kajian PSMKGI, telah dibahas rekomendasi sistem internsip kedokteran gigi
yang ideal. Untuk mencapai pemerataan, dokter gigi hendaknya ditempatnya diseluruh
wilayah dengan mempertimbangkan ketersediaan dan kepadatan dokter gigi di wilayah
tersebut.

Sistem Internsip KG nantinya lebih bersifat time-based bukan requirement-based.


Sehingga waktu lah yang menjadi tolak ukur bukan koleksi kasu., mengingat koleksi
kasus seperti ini telah dilaksanakan saat mahasiswa menempuh stase kepaniteraan
atau koas. Untuk lama waktu internsip KG yang oleh undan-undang disebutkan paling
lama satu tahun, PSMKGI merekomendasikan 6 bulan. Hal ini untuk menghindari back-
log yang banyak terjadi pada program Internsip kedokteran. Belajar dari internsip
kedokteran, back[-log atau penumpukan antiran ini terjadi karena beberapa hal :
terlambatnya penerbitan STR, peserta yang melapaui wahana internsip, dan
ketidakpastian anggaran. Maka demi mencegah terjadinya backlog dan optimalnya
pelayanan kesehatan, pemerintah perlu mencari solusi permasalahan
tersebut. Seperti memastikan rasio peserta dan wahana yang tersedia dan
merencanakan anggaran internsip KG secara jelas.Terakhir, fasilitas pelayanan
kesehatan sangat menentukan kualitas pelayanan kesehatan gigi. Perbaikan maupun
penambahan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan gigi akan sangat mendukung
optimalisasi pelayanan kesehatan gigi di daerah, sehingga tercapai pemerataan
pelayanan kesehatan bukan hanya dari segi
kuantitas dokter gigi tapi juga kualitas pelayanan kesehatan gigi yang diberikan.

F. Kesimpulan
Berdasarkan permenkes no 39 tahun 2017 dapat diketahui 2 hal : Internsip kedokteran
gigi pasti akan dilaksanakan dan Sistem Internsip kedokteran gigi akan berbeda dengan
internsip kedoktera.. Namun, internsip kedoteran gigi memang masih menyimpan
banyak tanya terutama dari segi latar belakang permasalahan : tidak mahirnya dokter
gigi atau tidak meratanya dokter gigi ? karena ini akan memengaruhi tujuan internsip
KG : pemahiran sekaligus pengabdian atau pengabdian sekaligus pemahiran.
Pemerintah harus dapat menentukan secara jelas karena analisa masalah dan
penentuan tujuan akan mempengaruhi konsep internsip KG itu sendiri. Berdasarkan
analisa awal permasalahan dapat diketahui bahwa maldistribusi dokter gigi merupakan
masalah yang lebih kongkrit dan krusial dibandingkan kemahiran dokter gigi. Sehingga
kebijakan internsip kedokteran gigi kedepan perlu menitikberatkan pada solusi
pemerataan dokter gigi di Indonesia.
Adapun sistem internsip KG yang dipandang ideal adalah bersifat time based dengan
penempatan di daerah melalui analisa ketersediaan dan kepadatan dokter gigi di
wilayah tersebut.

Anda mungkin juga menyukai