Masa penuh kemudahan “setelah lulus bisa langsung praktek” agaknya akan tinggal
kenangan bagi dokter gigi baru. Kondisi yang sempat dinikmati ketika Program Dokter
Gigi Pegawai Tidak Tetap (PTT) tidak diwajibkan lagi, terhenti saat dokter gigi baru wajib
mengikuti internsip setelah lulus dari uji kompetensi. Yang dimaksud dengan internsip
adalah pemahiran dan pemandirian dokter atau dokter gigi yang merupakan bagian dari
program penempatan wajib sementara, paling lama 1 (satu) tahun.
Kedepan, lulus uji kompetensi saja tidak akan cukup sebagai syarat bisa praktek mandiri
karena dokter gigi lulusan baru akan diwajibkan mengikuti internsip selama satu tahun di
rumah sakit atau Puskesmas yang ditunjuk, jika mekanisme internsip KG ini sama seperti
mekanisme internsip yang dilaksanakan dalam pendidikan kedokteran umum. Praktik
kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi
terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan, termasuk di dalamnya adalah
program internsip. Dengan adanya program internsip, setelah mendapat Sertifikat
Kompetensi, seorang dokter akan mendapat Surat Tanda Registrasi (STR) sementara
yang hanya dapat dipergunakan untuk membuat Surat Izin Praktek (SIP) di tempat
internsip saja. STR yang bersifat tetap untuk pengajuan Surat Izin Praktek (SIP), baru
akan diperoleh setelah seorang dokter menyelesaikan program internsip.
Internsip umumnya diadakan untuk dokter yang telah lulus uji komptensi, agar dapat
melakukan praktik difasilitas dan daerah yang membutuhkan, tetapi jika seorang dokter
gigi ditempatkan ditempat terpencil dengan fasilitas yang tidak memadai, hal ini justru
akan menimbulkan berbagai permasalahan baru.
Namun apakah mekanisme internsip kedokteran gigi akan sama dengan mekanisme
internsip yang dilakukan oleh sejawat dari kedokteran umum? Mari kita bandingkan alur
pendidikan kedokteran umum dan kedokteran gigi saat ini.
Alur pendidikan kedokteran umum dimulai dengan pendidikan akademik selama 3,5
tahun, dilanjutkan dengan program profesi selama 2 tahun. Setelah program tersebut
selesai, dilakukan uji kompetensi di wilayah akademiknya. Dokter yang telah lulus uji
kompetensi ditandai dengan kepemilikan Surat Tanda Registrasi (STR) Sementara.
Dokter tersebut hanya boleh praktik di tempat praktik internsip saja selama 1 tahun atau
hingga requirement yang tercantum dalam pedoman internsip selesai dilakukan. Hal
tersebut bertujuan untuk memantapkan kompetensi dokter umum yang dinilai sebagai
poin. Gaji yang dihasilkan oleh Dokter Muda ini dahulu sekitar Rp 1.500.000 dan
sekarang sekitar Rp 2.500.000. Apabila requirement sudah selesai, maka proses
internsip tersebut telah selesai dilaksanakan dan akan menjadi tanggung jawab dari
Kementerian Kesehatan untuk pengangkatan dokter tersebut menjadi dokter umum yang
sesungguhnya dan memiliki STR penuh.
Gambar 2. Alur Pendidikan Kedokteran Gigi saat ini
Kita dapat mencermati alur pendidikan Kedokteran Gigi saat ini. Dimulai dari pendidikan
akademik selama 4 tahun, kemudian dilanjutkan dengan pendidikan profesi dengan
sistem requirement atau dikenal dengan inhaus-training dengan estimasi waktu 2 tahun.
Sistem pendidikan profesi kedokteran gigi menempatkan mahasiswa profesi sebagai
tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut di Rumah Sakit
Gigi dan Mulut Pendidikan (RSGM-P) secara utuh namun berada dalam supervisi dan
tanggung jawab institusi pendidikan. Mahasiswa profesi bertugas melakukan perawatan
berdasarkan requirement yang telah ditentukan. Perawatan tersebut meliputi
pemeriksaan subyektif, pemeriksaan obyektif, pemeriksaan penunjang, merencanakan
perawatan, hingga melakukan perawatan dan mengevaluasi perawatan tersebut secara
mandiri namun masih dalam pengawasan instruktur klinik atau supervisi. Mahasiswa
profesi tersebut dapat dibuktikan lulus setelah mengikuti uji kompetensi untuk
mendapatkan gelar dokter gigi. Surat Tanda Registrasi (STR) penuh dapat langsung
diurus ke Konsil Kedokteran Indonesia setelah dokter gigi tersebut dinyatakan lulus uji
kompetensi.
Pendidikan profesi dan uji kompetensi dalam pendidikan kedokteran gigi, dengan segala
proses didalamnya, telah dapat dipandang sebagai proses penyempurnaan kompetensi
kedokteran gigi, serta telah memenuhi konsep pemahiran dan pemandirian yang diawasi
oleh dokter gigi/dosen sesuai dengan spesialisasinya selama sekitar 2 tahun.
Internsip adalah program berkelanjutan yang, mau tidak mau, harus dilalui seseorang
yang telah menyelesaikan pendidikan akademik dan profesi dokter gigi, sebagai syarat
untuk mendapatkan izin bepraktek. Hal ini telah diamanahkan dalam Undang-undang
Pendidikan Kedokteran.
Internsip menjadi suatu wadah yang potensial untuk menambahkan nilai-nilai yang
dibutuhkan para dokter gigi agar lebih mandiri dan percaya diri dalam terjun langsung di
tengah-tengah masyarakat.
Aspek-aspek akademik, seperti aspek kognitif, psikomotor, dan afektif yang dibutuhkan
untuk menjadi seorang dokter gigi yang berkompeten telah ditanamkan dalam pendidikan
akademik maupun profesi. Kompetensi dokter gigi yang telah melalui ujian kompetensi
pun, seharusnya tidak perlu dipertanyakan kembali. Jika lulus ujian kompetensi, maka
sudah pasti kompeten dokter gigi tersebut. Lalu, apakah kemudian internsip kedokteran
gigi diperlukan?
Berkenan atau tidak, nampaknya internsip dalam pendidikan kedokteran gigi sudah
menjadi suatu hal yang pasti. Lantas, komponen apa lagi yang bisa menjadi nilai tambah
dalam program internsip? Menurut hemat kami, terdapat beberapa nilai yang kemudian
juga menjadi solusi untuk permasalahan kedokteran gigi di Indonesia saat ini, salah satu
diantaranya adalah tidak meratanya dokter gigi di Indonesia.
Pada kajian bertajuk “Potret Ketersediaan dan Kebutuhan Tenaga Dokter Gigi”
oleh Research and Development Team HPEQ pada tahun 2011, disebutkan bahwa 70%
dokter gigi umum Indonesia ternyata bekerja di Pulau Jawa, baru sisanya 30% tersebar
di berbagai wilayah lain Indonesia. Bahkan untuk dokter gigi spesialis kondisinya lebih
parah lagi karena hanya ada 7% dokter gigi spesialis yang bekerja di luar Pulau Jawa,
sisanya sebanyak 93% berdesakan di Pulau Jawa. Pada tahun 2013, berdasarkan data
Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), sebagian besar dokter gigi berada di daerah DKI
Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, dan DI Yogyakarta. Data
terakhir dari KKI pada tahun 2015 menyebutkan terdapat 26.908 dokter gigi dan 2.728
dokter gigi spesialis teregistrasi yang tersebar di seluruh Indonesia. 85% dokter gigi dan
93% dokter gigi spesialis teregistrasi berada di wilayah Indonesia bagian barat, dan
mayoritas terkonsentrasi pada pulau Jawa. Kondisi distribusi dokter gigi dan dokter
spesialis yang tidak merata ini akan menghambat upaya mengoptimalkan pelayanan
kesehatan gigi dan mulut di Indonesia.
Dengan menempatkan para dokter gigi yang telah lulus ujian kompetensi di seluruh
wilayah Indonesia tanpa terkecuali, berarti permasalahan pemerataan dokter gigi
Indonesia dapat teratasi. Hal ini tentu juga harus didukung dengan adanya sarana dan
prasarana yang memadai. Kesejahteraan para dokter gigi ini pun harus menjadi prioritas
utama.
Solusi potensial lain yang dapat dikembangkan melalui internsip kedokteran gigi adalah
peran aktif dokter gigi dalam merencanakan dan mengimplementasikan program
pelayanan kesehatan yang bersifat preventif, promotif, serta kuratif dengan berlandaskan
penelitian epidemiologi atau data-data statistik dari suatu wilayah. Hal ini guna menjadi
solusi dari angka kejadian penyakit kesehatan gigi dan mulut yang cenderung stagnan
dari tahun ke tahun. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar, pada tahun 2007 indeks DMF-
T Indonesia sebesar 4,85, kemudian pada tahun 2013 sebesar 4,6. Hal ini menunjukkan
bahwa kesehatan gigi dan mulut masyarakat Indonesia tidak mengalami peningkatan
yang signifikan. Kita mengetahui bahwa jumlah institusi pendidikan kedokteran gigi, baik
yang sudah menjadi fakultas ataupun yang masih berupa program pendidikan, semakin
bertambah dari masa ke masa. Saat ini, berdasarkan data yang dimiliki Konsil
Kedokteran Gigi, terdapat 30 institusi pendidikan kedokteran gigi. Hal ini menunjukkan
bahwa sebaran lulusan dokter gigi Indonesia masih belum cukup efektif dan efisien dalam
menanggulangi permasalahan-permasalahan terkait kesehatan gigi dan mulut di
Indonesia.
Analisis SWOT di bawah ini merupakan analisis teknis-konseptual dari rencana internsip
kedokteran gigi yang dapat menjadi pertimbangan sikap terhadap rencana internsip ini.
Strength. Internsip merupakan salah satu bentuk pengabdian kepada bangsa dan
membantu pemerintah untuk pemerataan dokter gigi di Indonesia, agar dokter-dokter
yang telah lulus tidak banyak berdomisili di kota besar. Tidak hanya itu saja, internsip
juga membantu dokter gigi dalam mencari pengalaman menangani pasien secara
langsung dengan kondisi pasien yang berbeda-beda sesuai epidemologinya.
Weakness. Dokter internsip akan rentan terhadap penyakit karena tugasnya yang
berhadapan dengan orang sakit, dan mereka bekerja tanpa dilengkapi asuransi
kesehatan. Mekanisme internsip yang kurang jelas juga menyebabkan dokter internsip
merasa bingung untuk menjalankannya. Kemudian, kemungkinan terjadinya back-
log atau penumpukan peserta internsip KG.
Opportunity. Memberikan kesempatan kepada dokter gigi yang baru lulus untuk
memahirkan kompetensi yang diperoleh selama pendidikan, sehingga didapatkan
pematangan untuk dokter gigi dalam melanjutkan kompetensi selanjutnya.
Treath. Kesejahteraan dokter yang kurang baik, yang notabene tidak sesuai dengan
biaya hidup di daerah pelosok yang berbeda-beda.
Berdasarkan fakta-fakta dan analisis yang kami lakukan, terdapat beberapa rekomendasi
yang kemudian kami ajukan sebagai model ideal dari Internsip KG. Internsip KG adalah
program pendidikan lanjutan yang wajib dijalani dokter gigi yang telah menyelesaikan
pendidikan profesi, yang berfokus pada upaya pemerataan dan pengabdian masyarakat
selama 6 bulan dan dianggap sebagai wajib kerja sementara setelah lulus uji kompetensi
dan mendapat STR sementara. Artinya, dokter gigi tersebut dapat mengajukan SIP untuk
melakukan praktik dimana saja sesuai dengan SIP namun di 6 bulan awal setelah
dinyatakan lulus uji kompetensi, dokter gigi tersebut harus menjalankan praktik wajib
kerja sementara tersebut sebagai implementasi program internsip KG, baru kemudian
mendapatkan STR penuh. Dokter gigi akan dikelompokkan dan ditempatkan di seluruh
pelosok Indonesia sesuai dengan wilayah regional.
Internsip KG haruslah didukung dengan sarana dan prasarana praktik kedokteran gigi
yang memadai sesuai dengan standarnya, serta menjamin kesehatan dan keselamatan
kerja, dan kesejahteraan dokter gigi yang ditempatkan di pelosok Indonesia. Internsip KG
tidak boleh dipandang sebagai upaya mengeksploitasi dokter gigi yang baru saja lulus
dengan ditempatkan di pelosok-pelosok Indonesia, namun secara positif dimaknai
sebagai proses yang mampu memberikan kebermanfaatan, baik kepada dokter gigi, dan
lebih luas lagi, untuk seluruh masyarakat Indonesia.
Dewasa ini pemerintah telah mengeluarkan keputusan bahwa lulusan dokter gigi baru
harus menjalani program internship. Program internship atau kerap disebut sebagai
magang dokter baru ini dicanangkan oleh Menteri Kesehatan RI kala itu, dr. Endang
Rahayu dan sudah dimulai sejak tahun 2010. Internship sendiri telah menjadi topik
hangat yang ramai diperbincangkan dan telah menuai berbagai pro dan kontra dari
kalangan mahasiswa kesehatan sendiri. Saat ini sikap yang ditunjukkan oleh mahasiswa-
mahasiswa kesehatan terbagi menjadi sikap mendukung untuk tetap dilanjutkan
internship, menginginkan evaluasi dan kaji kembali program internship dan tidak
mendukung adanya program internship.
Untuk menjadi dokter gigi, mahasiswa di Indonesia harus menempuh masa studi kurang
lebih selama 4 tahun untuk menyelesaikan strata 1 nya dan mendapatkan gelar S.KG
tersemat dibelakang nama mahasiswa tersebut. Kemudian setelah menyelesaikan strata
1, mahasiswa harus menjalani program kepaniteraan klinik atau sering disebut co-ass
kurang lebih selama 2 tahun. Maka mahasiswa kedokteran gigi akan menempuh kurang
lebih 6 tahun, untuk mendapatkan gelar dokter gigi. Bahkan beberapa mahasiswa dapat
menyelesaikan studinya dalam kurun waktu 5 tahun untuk mendapatkan gelar dokter gigi.
Tidak jarang pula mahasiswa menyelesaikan studinya melebihi kurun waktu 6 tahun
tersebut. Setelah kurang lebih 6 tahun menyelesaikan pendidikan profesi dokter gigi,
mereka masih harus mengikuti Uji Kompetensi Dokter Gigi Indonesia (UKDGI) lagi.Kini
lulus uji kompetensi saja bahkan tidak akan cukup sebagai syarat bisa praktek mandiri
karena kewajiban mengikuti internship tersebut selama satu tahun di rumah sakit atau
puskesmas yang ditunjuk.
Tujuan dari internship secara garis besar ada 2 yaitu agar lulusan dokter gigi baru bisa
memperoleh kemahiran dengan cara mempraktekkan kompetensi yang dimiliki dan
membantu pelaksanaan program pemerintah untuk pemerataan persebaran dokter gigi.
Jika dilihat dari tujuan yang pertama agar dokter gigi tersebut dapat memperoleh
kemahiran serta dapat mempraktekkan langsung kepada masyarakat, maka bukankah
mahasiswa kedokteran gigi semasa perkuliahan mempunyai jadwal skills lab dan pada
pendidikan profesi (co-ass) mahasiswa kedokteran gigi juga mencari pasien sendiri
dengan kasus yang telah ditentukan pada requirements? Jadi secara langsung mereka
sudah mempraktekkan teori-teori yang dipelajari semasa perkuliahan lewat kegiatan
skills lab dan pada masa pendidikan profesi mereka tentu sudah memperdalam kembali
kemampuannya dalam menangani kasus-kasus pasien. Kemudian untuk tujuan
pemerataan dokter gigi Indonesia, harusnya diatur kembali sesuai dalam UU Kesehatan.
Mengapa tidak langsung PTT saja agar lebih terjamin, karena dengan tujuan yang sama
seharusnya programnya tidak perlu dibedakan.
Pelaksanaan internship dikatakan merupakan salah satu upaya agar dokter gigi lulusan
Indonesia dapat diakui secara internasional. Untuk hal ini seharusnya sejak mahasiswa
menjalani pendidikan dokter gigi acuan standar pendidikan dan standar kurikulum yang
dipakai harus sama dan sudah mengacu pada standar internasional.
Kata ‘intership’ yang kini menghantui para calon dokter gigi di Indonesia, menyebabkan
banyak sekali pro dan kontra mengenai isu yang hangat akhir akhir ini. Terdapat
beberapa dasar hukum yang melatarbelakangi diadakannya internship pada pendidikan
kedokteran gigi. Pertama, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan
Kedokteran Pasal 7 Ayat (7): Program profesi dokter dan dokter gigi dilanjutkan dengan
program Internship.
Penjelasan pasal 7 ayat (7): “Internship adalah pemahiran dan pemandirian dokter yang
merupakan bagian dari Program penempatan wajib sementara paling lama 1 (satu)
tahun. Internship diharapkan akan menambah keterampilan dan menambah
kesempurnaan dari kompetensi seorang dokter dalam menjalankan profesinya kelak”.
(1) Mahasiswa yang telah lulus dan telah mengangkat sumpah sebagai Dokter atau
Dokter Gigi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) harus mengikuti program
internship.
(2) Penempatan wajib sementara pada program internsip sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diperhitungkan sebagai masa kerja.
Lalu, jika kita lihat pada pasal 2 ayat 3 hingga ayat 5 Permenkes no 39 tahun 2017,
terdapat pendikotomian antara internship dokter dan dokter gigi yang sebelumnya pada
UU dirancang pada tahun 2013 dianggap memiliki kesetaraan yang masih samar oleh
PSMKGI. Pasal ini menjawab kajian PSMKGI terkait Internship kedokteran dan
kedokteran gigi yakni “Berdasarkan UU Pendidikan Kedokteran tahun 2013 yang
menyebutkan bahwa dokter dan dokter gigi harus menempuh internship sebagai
lanjutan dari program profesi”, berarti dalam pasal tersebut terdapat sebuah kesetaraan
antara dokter dengan dokter gigi karena harus melaksanakan internsip setelah lulus uji
kompetensi. Kesetaraan yang dimaksud dalam hal ini masih belum cukup jelas, apakah
dalam arti dokter gigi akan diakui sama sebagai dokter yang dapat melakukan praktik
terhadap pasien secara umum atau mekanisme dari internship yang dimaksud dalam
pasal tersebut haruslah sama. Sebagaimana tertera pada pasal 2 ayat 5 “Ketentuan
mengenai program Internship dokter gigi diatur dengan peraturan menteri”, aturan ini
seperti memberi syarat bahwa akan ada perbedaan dalam hal sistem dan teknis antara
Internship dokter dan dokter gigi.
Sempat mereda setelah beberapa diskusi dan upaya advokasi yang dilakukan, saat ini
internsip kedokteran gigi kembali memanas setelah keluarnya Permenkes no 39 tahun
2017 tentang Penyelenggaraan program internsip Dokter dan Dokter Gigi Indonesia.
Keluarnya aturan ini menjadi babak baru perjuangan mahasiswa dalam
pengadvokasian internsip KG : dari sekedar mempertanyakan keberadaan hingga
dirancang sistem internship KG ideal.
Permenkes no 39 tahun 2017 ini belum menjelaskan secara detail bagaimana teknis
internsip dokter gigi. Namun jika kita lihat pada pasal 2 ayat 3 hingga ayat 5 terdapat
pendikotomian antara internsip dokter dan dokter gigi yang sebelumnya pada UU
dikdok 2013 dianggap memiliki kesetaraan yang bias oleh PSMKGI. Pasal ini menjawab
kajian PSMKGI terkait Internsip kedokteran dan kedokteran gigi yakni “Berdasarkan UU
Pendidikan Kedokteran tahun 2013 yang menyebutkan bahwa dokter dan dokter gigi
harus menempuh internsip sebagai lanjutan dari program
profesi, berarti dalam pasal tersebut terdapat sebuah kesetaraan antara dokter dengan
dokter gigi karena harus melaksanakan internsip setelah lulus uji kompetensi.
Kesetaraan yang dimaksud dalam hal ini bias, apakah dalam arti dokter gigi
akan diakui sama sebagai dokter yang dapat melakukan praktik terhadap pasien
secara umum atau mekanisme dari internsip yang dimaksud dalam pasal tersebut
haruslah sama”. Sebagaimana tertera pada pasal 2 ayat 5 “Ketentuan mengenai
program Internsip dokter gigi diatur dengan peraturan menteri”, aturan ini seperti
memberi syarat bahwa akan ada perbedaan dalam hal sistem dan teknis antara
Internsip dokter dan dokter gigi, Keluarnya permenkes no 39 tahun 2017 adalah babak
baru perjuangan
rekan-rekan mahasiswa kedokteran gigi dalam mengadvokasikan Internsip kedokteran
gigi. Upaya advokasi tidak lagi hanya mempertanyakan keberadaan program melainkan
diskusi konsep dan sistem internsip yang relevan bagi dokter gigi.
Suatu program tentu harus dilandasi latar belakang permasalahan yang menjadi titik
tolak keberadaannya. Dimana latar belakang ini begitu penting karena ialah alasan
suatu tindakan dilakukan. Maka kejelasan masalah yang hendak diselesaikan sangat
memengaruhi kejelasan tujuan suatu program. Bahkan kejelasan masalah juga akan
memengaruhi bagaimana pembuatan sistem dan pengambilan kebijakan yang banyak
alternatif dan kemungkinannya. Sebagaimana pepatah mengatakan “banyak jalan
menuju roma”: jalan ke roma memang banyak, namun bagaimana kita bisa
memilih jalan tepat sedangkan tidak diketahui kondisi kesehatan, ekonomi, ataupun
kegentingannya untuk menuju roma. Inilah pentingnya latar belakang. Lantas apa yang
melatarbelakangi Internsip kedokteran gigi ?
Adapun hal yang membuat adanya kebijakan yang tidak sesuai realita sistem
pendidikan kedokteran gigi adalah adanya pola pikir yang menyamakan antara sistem
pendidikan kedokteran dan kedokteran gigi. PSMKGI telah membandingkan antara
pendidikan kedokteran dan kedokteran gigi dalam kajiannya terkait Internsip kedokteran
gigi. Secara singkat letak utama perbedaannya adalah pada pendidikan profesi dimana
Sistem pendidikan profesi
kedokteran gigi menempatkan mahasiswa profesi sebagai tenaga kesehatan yang
memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut di Rumah Sakit Gigi dan Mulut
Pendidikan (RSGM-P) secara utuh namun berada dalam supervisi dan tanggung jawab
institusi pendidikan. Mahasiswa profesi bertugas melakukan perawatan berdasarkan
requirement yang telah ditentukan. Perawatan tersebut meliputi pemeriksaan subyektif,
pemeriksaan obyektif, pemeriksaan penunjang, merencanakan perawatan, hingga
melakukan perawatan dan mengevaluasi perawatan tersebut secara
mandiri namun masih dalam pengawasan instruktur klinik atau supervisi.
Maka ketika pemerintah membuat program internsip bagi kedokteran gigi dengan
melihat sistem internsip kedokteran (berdasarkan kesamaan landasan hukum), wajar
saja langsung menuai banyak kritik dari kalangan dokter gigi, pasalnya
Pendidikanprofesi dan uji kompetensi dalam pendidikan kedokteran gigi, dengan segala
proses didalamnya, telah dapat dipandang sebagai proses penyempurnaan kompetensi
kedokteran gigi, serta telah memenuhi konsep pemahiran dan pemandirian yang
diawasi oleh dokter gigi/dosen sesuai dengan spesialisasinya selama sekitar 2 tahun
(kajian internsip PSMKGI )Mengeneralisir kebijakan antara pendidikan kedokteran dan
kedokteran gigi berujung pada tidak tepatnya kebijakan yang dikeluarkan karena latar
belakang permasalahan yang inkontekstual. Bahkan latar belakang yang dikemukakan
pada naskah akademik cenderung lebih relevan dengan pendidikan kedokteran
sehingga program internsip bagi kedokteran gigi bisa dikatakan tidak berlandasan.
Masih soal ketidakjelasan latar belakang, hal ini mengakibatkan kaburnya tujuan dari
internsip kedokteran gigi. Mari perhatikan penjelasan mengenai internsip dibawah ini :
Dalam konteks internsip ini, perlu kita lihat kembali apakah pemahiran dan pemerataan
merupakan tujuan yang searah. Pemahiran keterampilan klinik menurut Suryadi (2008)
dipengaruhi oleh banyak faktor seperti konten materi keterampilanya, metode
pelatihannya, peserta didiknya, instruktur, peralatan, serta lingkungan baik fisik maupun
non fisik. Jika hal ini dikorelasikan dengan penempatan dokter internsip di daerah-
daerah kecil yang memiliki fasilitas kesehatan yang kurang memadai tentu proses
pemahiran dokter gigi tidak optimal karena telah kekurangan di salah
satu faktornya.
Sedangkan berbicara soal pemerataan, secara umum untuk mendorong dokter gigi
terjun ke daerah bisa dengan dua cara : meningkatkan motivasi melalui berbagai faktor
(insentif, fasilitas, dsb) atau menjadikannya suatu kewajiban dan bersifatmengikat. Cara
pertama banyak dilakukan negara-negara maju, Di perancis misalnya, menteri
kesehatan prancis pada tahun 2012 mengubah kebijakan lama yang bersifat ‘mengikat’
menjadi kebijakan yang bersifat memberi insentif. Atau di australia yang menggaji dua
kali lipat dokter yang mau kerja di daerah.
Pemerintah sebenarnya sudah berupaya dengan cara pertama, melalui PTT atau
nusantara sehat, namunantusiasme dokter gigi mengikuti kedua program tersebut
masih tergolong rendah dikarenakan tingginya resiko kerja di daerah. Selain itu,
pemerintah membutuhkan biaya yang cukup besar untuk membiayai sang dokter gigi
hidup didaerah. Kegagalan (ketidakmauan atau ketidakmampuan) pemerintah dalam
memotivasi para dokter gigi baik melalui peningkatan fasilitas di daerah DPTK, insentif,
asuransi jiwa, hingga menumbuhkan jiwa pengabdian membuat pemerintah harus
menempuh jalan lain.
Salah satunya dengan penempatan dokter gigi ke daerah yang besifat wajib dan
mengikat : internsip. Padahal pemerataan bukan hanya soal jumlah tapi juga kualitas.
Jika kita korelasikan dengan program pemahiran maka secara tidak langsung dokter
gigi yang disebar ke daerah dianggap dokter yang kurang mahir. Sehingga tidak
menutup kemungkinan masalah pemerataan yang terselesaikan hanya sebatas
kuantitas bukan kualitas. Namun, penempatan di daerah tidak sepenuhnya
menghalangi proses pemahiran dokter gigi dikarenakan adanya dokter pembimbing dan
bertambahnya pengalaman dalam menangani kasus yang bervariasi. Kurang mahirnya
dokter gigi pun tidak
sepenuhnya menjadikan kualitas pelayanannya buruk karena bagaimanapun ia telah
lulus uji kompetensi.
Bahkan data KKI pada tahun 2015 menyebutkan dari 20.655 dokter gigi dan 1592
dokter gigi spesialis teregistrasi yang tersebar di seluruh Indonesia, 85% dokter gigi dan
93% dokter gigi spesialis teregistrasi berada di wilayah Indonesia bagian barat, dan
mayoritas terkonsentrasi pada pulau Jawa. Sejalan dengan hal ini, persebaran institusi
pendidikan dokter gigi pun tidak merata, pada tahun 2011 ada 16 IPDG di jawa
sedangkan di maluku, papua, dan nusa
tenggara belum ada IPDG. Disamping itu, jika mengacu indikator indonesia sehat
(2010), rasio penduduk dan dokter gigi ideal adalah 9000 : 1 , namun saat ini -dengan
asumsi penduduk indonesia sebanyak 238 juta- rasio penduduk dan dokter gigi adalah
11.521 : 1. Hal tersebut berartipermasalahan bukan hanya pada tidak meratanya dokter
gigi tapi
juga kurangnya jumlah dokter gigi.
Dari analisa awal permasalahan dapat diketahui bahwa maldistribusi dokter gigi
merupakan masalah yang lebih kongkrit dan krusial dibandingkan kemahiran dokter
gigi. Sehingga kebijakan internsip kedokteran gigi kedepan perlu menitikberatkan pada
solusi pemerataan dokter gigi di Indonesia.
F. Kesimpulan
Berdasarkan permenkes no 39 tahun 2017 dapat diketahui 2 hal : Internsip kedokteran
gigi pasti akan dilaksanakan dan Sistem Internsip kedokteran gigi akan berbeda dengan
internsip kedoktera.. Namun, internsip kedoteran gigi memang masih menyimpan
banyak tanya terutama dari segi latar belakang permasalahan : tidak mahirnya dokter
gigi atau tidak meratanya dokter gigi ? karena ini akan memengaruhi tujuan internsip
KG : pemahiran sekaligus pengabdian atau pengabdian sekaligus pemahiran.
Pemerintah harus dapat menentukan secara jelas karena analisa masalah dan
penentuan tujuan akan mempengaruhi konsep internsip KG itu sendiri. Berdasarkan
analisa awal permasalahan dapat diketahui bahwa maldistribusi dokter gigi merupakan
masalah yang lebih kongkrit dan krusial dibandingkan kemahiran dokter gigi. Sehingga
kebijakan internsip kedokteran gigi kedepan perlu menitikberatkan pada solusi
pemerataan dokter gigi di Indonesia.
Adapun sistem internsip KG yang dipandang ideal adalah bersifat time based dengan
penempatan di daerah melalui analisa ketersediaan dan kepadatan dokter gigi di
wilayah tersebut.