Anda di halaman 1dari 9

Sekilas tentang UKDI/Exit Exam dan Internsip

Oleh : Andina Dwi Kurnia, Dyan Riza Indah Tami,


Isnainia Azarine Khairul, Rizki Agusmai
-Bidang Pendidikan & Profesi Wilayah 1-

Pada tahun 2004, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi mengeluarkan kebijakan


mengenai penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada proses pendidikan
kedokteran. Berdasarkan SK Dirjen Dikti, ditetapkan bahwa Program Studi Kedokteran
Dasar mengacu ke KBK untuk dokter layanan primer dengan pendekatan dokter keluarga.
Selama perjalanannya, kurikulum KBK ini dirasa perlu dilengkapi dengan proses-proses
tertentu, sehingga mutu dokter yang dihasilkan bisa sangat baik. Maka, muncullah UKDI dan
Internship.

UKDI-Exit Exam
Mahasiswa fakultas kedokteran dalam masa pendidikannya akan menjalani dua tahap
pembelajaran, yaitu tahap pre-klinik dan klinik. Setelah selesai melewati tahapan klinik, perlu
adanya suatu uji kompetensi untuk membuktikan bahwa mahasiswa yang telah melewati
seluruh proses pembelajaran ini telah benar-benar layak untuk mandiri mengabdi di
masyarakat. Uji kompetensi, yang selanjutnya dikenal sebagai UKDI juga dilaksanakan
sebagai standarisasi mutu lulusan. Seiring dengan meningkatnya pengetahuan dan masalah
kesehatan, UKDI dianggap merupakan langkah yang sangat baik dalam mengembangkan
pengetahuan seorang dokter. Seorang dokter dituntut untuk terus mengupdate ilmu
pengetahuannya. Hal ini dianggap mampu menjamin kualitas seorang dokter dalam
pengabdiannya kepada masyarakat
Ujian Kompetensi Dokter Indonesia atau UKDI, dilakukan sejak tahun 2007 dengan
landasan UU No. 20 tahun 2003, yang kemudian secara khusus diatur dalam Undang-Undang
No. 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran serta Peraturan Konsil Kedokteran No. 1 tahun
2005 tentang registrasi dokter dan dokter gigi.
UKDI dilakukan setelah dokter muda dinyatakan lulus dari institusinya. Namun dari
sistem yang telah dirancang, pelaksanaan di lapangannya tak selancar yang dibayangkan.
Jalannya ujian kompetensi profesi dokter di Indonesia tidak selalu mulus. Faktanya, ada
mahasiswa yang tidak lulus-lulus walau sudah ikut beberapa kali ujian. Pertanyaannya, pada
nilai berapakah peserta UKDI akan dinyatakan lulus? Salah satu parameter kualitas
implementasi uji kompetensi adalah adanya Nilai Batas Lulus (NBL) yang ditetapkan melalui
proses Standard Setting. NBL UKDI mengalami peningkatan mulai UKDI I hingga UKDI
XXXIII, yaitu mulai dari 40 hingga 62. Awalnya proses standard setting ini dilakukan 4 kali
dalam setahun (setiap periode ujian). Tapi terkait dengan peningkatannya yang progresif,
disepakatilah bahawa standard setting hanya dilakukan setahun sekali. Ditambah lagi karena
NBL 62 dinilai sudah mencapai titik stabil. Nilai 62 ini disepakati pada Forum Dekan
Fakultas Kedokteran pada Februari 2012.
Permasalahan muncul setelah dua tahun implementasi UKDI. Yaitu semakin
bertambahnya jumlah peserta yang tidak lulus (retaker). Setelah lulus dari institusi
pendidikan, mahasiswa dianggap bukan lagi menjadi tanggung jawab insitusi. Sehingga,
program penanganan terhadap retaker menjadi sulit karena status retaker yang tidak memiliki
institusi induk (home base). Di sini mereka kehilangan wadah untuk bernaung.
Melihat fakta yang terjadi, Ikatan Dokter Indonesia, yang juga selaku organisasi
profesi mengambil alih untuk menaungi para dokter yang belum lulus uji kompetensi. Meski
para dokter ini belum dikatakan menjadi seorang profesional sebelum melewati ujian
kompetensi. Disini IDI tak hanya sebagai wadah aspirasi dan tempat bernaung para dokter
retaker, tapi juga memberikan solusi berupa UKRK (Ujian Kompetensi Retaker Khusus)
melalui Surat Keputusan Bersama yang telah beredar.
Di sisi lain, hal ini menyebabkan institusi kehilangan sedikit peran dan tanggung
jawabnya dalam proses pendidikan calon dokter. Dengan adanya IDI sebagai home base bagi
retaker, institusi bisa saja melupakan bahwa para retaker ini sebenarnya merupakan cerminan
dari mutu institusi sendiri. Maka, akan banyak muncul hal-hal yang tidak sesuai standar,
mulai dari kuota penerimaan mahasiswa yang berlebih, sarana prasarana yang kurang
menunjang, dan lain-lain. Khusus untuk penerimaan mahasiswa, banyak hal yang harus
dijadikan pertimbangan perhitungan. Diantaranya adalah rasio mahasiswa dosen (10:1 untuk
tahap akademik dan 5:1 untuk tahap profesi), akreditasi, dan persentase kelulusan UKDI.
Akhirnya UU Dikdok membuat suatu keputusan yang mengatakan bahwa lulusan
dokter yang belum lulus uji kompetensi masih berada di bawah naungan institusi. Ini lah
sebabnya kenapa uji kompetensi yang dulu namanya Ujian Kompetensi Dokter Indonesia
sekarang berubah menjadi Uji Kompetensi dan diharapkan dapat menjadi suatu bentuk Exit
Exam. Pada tahun 2010, sudah dimulai persiapan implementasi UKDI sebagai Ujian
Kompetensi sebelum kelulusan. Dibuat pula suatu keputusan bahwa para dokter umum yang
sudah tiga kali tidak lulus ujian kompetensi, maka tidak boleh mengikuti ujian lagi. Dengan
kata lain, para dokter ini tidak mendapat SIP dan tidak bisa praktik sendiri.
Banyak sekali dampak yang diharapkan timbul dari keputusan ini. Dari hal ini
diharapkan para dokter yang belum lulus uji kompetensi masih memiliki wadah yang tepat
dan peduli akan nasib mereka. Dampak lainnya akan memaksa institusi untuk lebih berbenah
dimulai dari input dan proses pembelajaran. Sehingga output yang dihasilkan pun akan
memuaskan dan memberikan impact yang berkualitas untuk masyarakat.
Didasari oleh UU Dikdok yang menetapkan ujian kompetensi sekarang adalah sebagai
suatu bentuk exit exam dan masih menjadi tanggung jawab institusi, maka AIPKI mengambil
alih kembali pertanggungjawaban terhadap dokter retaker. AIPKI (Asosiasi Pendidikan
Kedokteran Indonesia) adalah suatu organisasi yang menaungi sistem dan pembelajaran di
institusi, sedangkan IDI adalah organisasi profesi yang menanungi mereka yang telah dapat
dikatakan profesional di bidangnya khususnya bidang ilmu kedokteran.
Peraturan dan sistem seperti ini dianggap lebih baik dari sistem sebelumnya. Akibat
dari ujian kompetensi yang dicanangkan sebagai bentuk exit exam ini, maka institusi
diharapkan akan lebih gencar lagi meningkatkan mutu lulusannya.
Tidak hanya memberikan solusi untuk retaker yang awalnya tanpa home base, uji
kompetensi sebagai exit exam juga memberikan pencerahan mengenai pembiayaan.
Pembiayaan uji kompetensi menjadi bagian dari biaya pendidikan, dan berlaku sejak periode
uji kompetensi tahun 2014.

APA PENTINGNYA UKDI BAGI NEGARA?

• Penjaminan mutu.
Tanpa mengeliminir mekanisme lain, UKDI akan menjadi salah satu alat yang
menjamin dokter-dokter di masyarakat adalah dokter-dokter berkompeten. Selain itu,
Perlu diingat bahwa pada 2015, Perjanjian ASEAN Free Trade Area akan menjadikan
praktek dokter di ASEAN lintas negara. UKDI akan menjadi filter pemerintah untuk
memilihkan dokter-dokter berkompeten bagi masyarakatnya. Dengan banyaknya
dokter luar yang masuk, juga akan menuntut dokter dalam negeri untuk lebih
berkompeten.

• Perlindungan.
Perlindungan pasien adalah manfaat nyata tidak langsung dari adanya UKDI.

• Pemetaan.
UKDI dapat menjadi bahan pemetaan sebagai feedback dari proses pendidikan
kedokteran di Indonesia. Saat ini, Hasil UKDI telah menjadi bahan bagi Dirjen Dikti
Kemendikbud dalam menentukan angka input mahasiswa baru (kuota mahasiswa),
selain akreditasi.

Lain UKDI, lain pula Internsip.

Semua mahasiswa kedokteran tentu pernah mendengar kata internsip, tapi apakah
semuanya sudah mengetahui apa, mengapa, dan bagaimana internsip itu sendiri? Diluar
banyaknya pro-kontra yang terjadi, tidak ada salahnya bukan, kita sebagai calon pelaku
mengenal sedikit lebih banyak lagi tentang ini? Kira-kira seberapa pentingkah internsip ini
diadakan dan bagaimana fakta yang terjadi di lapangan setelah lebih kurang 3 tahun
pelaksanaannya?
Internsip adalah proses pemantapan mutu profesi dokter untuk menerapkan
kompetensi yang diperoleh selama pendidikan, secara terintegrasi, komprehensif, mandiri,
serta menggunakan pendekatan dokter keluarga, dalam rangka pemahiran dan penyelarasan
antara hasil pendidikan dengan praktik di lapangan—Peraturan Menteri Kesehatan No.
299/menkes/per/II/2010.
Legal penyelenggaraan program internsip dokter di Indonesia adalah Peraturan
Menteri kesehatan Republik Indonesia No.299/Menkes/Per/II/2010 tentang Penyelengaraan
Program Internsip dan Penempatan Dokter Pasca Internsip. Pada peraturan Menkes ini
dijelaskan bahwa setiap dokter yang ingin menjalankan praktik kedokteran dan/atau
mengambil pendidikan dokter spesialis, harus mengikuti internsip. Sehingga, selain
diperlukan untuk pemantapan mutu, internsip pun berguna sebagai jembatan menuju karir
spesialisasi.
Pelaksanaan Progam Internsip Dokter untuk pertama kali dilaksanakan di Sumatra
Barat pada bulan Maret 2010. Pelaksanaan ditandai dengan Soft Launching Internsip oleh
Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, dan Wakil Menteri Pendidikan Nasional di
Padang pada tanggal 22 Februari 2010. Peserta pertama adalah dokter lulusan Fakultas
Kedokteran Universits Andalas, karena universitas yang pertama kali menerapkan PBL di
Indonesia adalah FK Unand.
Mulai dari pelaksanaan pertama kali, 2010 sampai Agustus 2013 sebanyak 9275
dokter dari 39 FK telah melaksanakan PIDI. Saat ini 4774 dokter yang berasal dari 39 FK
baik pemerintah maupun swasta sedang melaksanakan PIDI dengan melibatkan 1509 dokter
pendamping di 429 Rumah Sakit dan 598 Puskesmas di 26 Propinsi yaitu Aceh, Sumatera
Utara, Sumatera Barat, Riau, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Jawa
Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Papua. Mengingat banyaknya
jumlah peserta yang akan mengikuti PIDI, maka pada Tahun 2013 pelaksanaan PIDI
diperluas ke 32 Propinsi di seluruh Indonesia. Untuk melaksanakan operasional Internsip di
propinsi sampai dibentuk KIDI (Komite Internsip Dokter Indonesia) Provinsi di 32 Provinsi
beserta sekretariatnya.
Peserta PIDI melaksanakan kinerja sebagaimana tugas dan fungsi dokter pada wahana
RS dan Puskemas. Atas kinerjanya tersebut, peserta PIDI memperoleh imbalan sebagai
penunjang kebutuhan hidupnya yang diberikan dalam bantuk bantuan Biaya Hidup (BBH)
sebesar Rp. 1.200.000,-/bulan. Pada tanggal 23 Oktober 2013, Kementerian Keuangan atas
persetujuan Komisi IX DPR RI telah menetapkan kenaikan BBH menjadi Rp.2.500.000 per
bulan.
Seperti yang tertera di atas, untuk mengikuti program internsip, dokter yang baru lulus
akan mendapatkan sertifikat kompetensi setelah lulus Ujian Kompetensi. Kemudian akan
diberikan STR untuk kewenangan internsip oleh Konsil Kedokteran Indonesia. Surat Izin
Praktek Internsip (SIP Internsip) selanjutnya akan diberikan pemerintah kepada dokter yang
akan menjalankan praktik selama intensip.

Progran internsip sendiri sebenarnya ada dua macam, yang pertama PIDI Ikatan Dinas
dan PIDI mandiri. PIDI Ikatan Dinas dibiayai oleh pemerintah, tapi pesertanya harus bersedia
mengikuti program penempatan yang diatur oleh kementrian kesehatan. Sedangkan pada
PIDI Mandiri, biaya hidup peserta ditanggung sendiri, dengan keuntungan bisa memilih
fasilitas pelayanan kesehatan yang dipakai. Calon peserta PIDI pun dapat menentukan pilihan
program internsip secara sukarela.

Bagaimana perbandingan pelaksanaan Internship di Indonesia dengan negara tetangga?

INTERNSIP INDONESIA VS MALAYSIA

Kita pasti sudah tidak asing lagi mendengar tentang banyaknya masyarakat yang
berobat ke negeri seberang. Dengan berbagai kondisi dan alasan; disana lebih murah,
pelayanan lebih bagus, obat lebih sedikit, dsb. Tidak jarang juga terdapat berbagai cerita
tentang bagaimana seorang pasien sudah didiagnosis dengan penyakit yang parah dan sulit
disembuhkan di Indonesia. Namun setelah periksa di sana diberi beberapa obat dan sembuh.
Efek sampingnya sering masyarakat Indonesia sendiri menyepelekan, ragu, hingga menghujat
dokter Indonesia.
Negara Malaysia memiliki suatu program untuk mengirim mahasiswa-mahasiswa
calon dokter untuk belajar di berbagai negara di seluruh dunia: Eropa, Amerika, daerah
Rusia, dan Asia, termasuk ke Indonesia. Sebagian dibiayai negara, seperti beasiswa namun
nantinya akan dibayar kembali saat sudah bekerja, dan sebagian lain dengan biaya sendiri
bagi yang mampu. Di Indonesia program semacam ini belum kami ketahui, entah kurangnya
pemberitaan ataupun malah tidak ada sama sekali.
Setelah menyelesaikan studi kedokterannya hingga mendapat gelar dokter, semua
dokter baru dari berbagai penjuru dunia itu kembali ke negaranya di Malaysia. Sekembalinya
di Malaysia, mereka tidak bisa langsung bekerja. Ada semacam kerja magang terlebih dahulu
selama 2 tahun yang disebut housemanship, atau lebih dikenal dengan internship di
Indonesia.
Sebelum dilaksanakan housemanship, tidak ada ujian kompetensi yang harus diikuti
terlebih dahulu. Artinya pemerintah Malaysia mempercayakan kompetensi yg didapat dokter
baru tersebut di universitas di negara tempat masing-masing dokter tersebut belajar.
Penempatan internsip tersebut diacak sehingga dalam 1 tempat bisa terdapat dokter-dokter
baru yang telah menyelesaikan pendidikannya dari berbagai negara yang berbeda. Otomatis
di tempat tersebut ilmu dari berbagai negara akan saling bertukar dan saling melengkapi.
Internsip di Malaysia sangat berbeda dengan internsip di Indonesia, dari sistem
pelaksanaan, pekerjaan yg dilakukan, waktu, dan bayaran. Di Indonesia internship
berlangsung selama 1 tahun di daerah yang memiliki wahana yang telah terakreditasi untuk
internsip. Wahana adalah sebutan untuk tempat dokter internsip bekerja, bisa rumah sakit,
puskesmas, klinik, atau balai kesehatan. Setelah dokter baru lulus dari UKDI mereka harus
mendaftar untuk mengikuti internsip, sebagai syarat mendapatkan STR (Surat Tanda
Registrasi). Satu tahun masa internsip ini terbagi menjadi 3 bagian. Empat bulan di
puskesmas dan 8 bulan di rumah sakit (poli dan UGD).
Tugas internsip yang berbeda wahana dan daerah kadang berbeda jauh. Jam kerja juga
bisa sangat berbeda antar daerah, antara 30-80 jam seminggu tergantung stase, wahana, dan
daerahnya. Setelah internship selesai, dokter baru akan menerima STR dan baru bisa
melanjutkan profesinya. Kelanjutan ini tergantung dari usaha individu masing-masing, mau
PTT, menjadi dokter RS, dokter puskesmas, dokter perusahaan, melanjutkan sekolah spesialis
atau yang lainnya.
Di Malaysia, internsip dilaksanakan lebih lama, pekerjaan relatif lebih berat, lebih
terstruktur dan tentunya dengan bayaran lebih besar dan masa depan lebih terjamin daripada
di Indonesia. Internship di Malaysia dilaksanakan selama 2 tahun, terbagi menjadi 6 bagian
yakni orthopedi, pediatri, bedah, penyakit dalam, obsgyn, dan anestesi atau ugd. Masing-
masing bagian dilewati dalam waktu 4 bulan. Jam kerja 60-80 jam per minggu dengan sistem
shift dan on call (panggilan).
Pekerjaan yang dilakukan semacam anamnesis, memeriksa, mengambil darah, hingga
tercapai diagnosis. Selanjutnya memberikan terapi sesuai dengan tuntunan spesialis atau
residen yang berwenang. Kurang lebih pekerjaannya mirip dengan residen semester awal di
Indonesia. Ya, dokter internsip disana berada di bawah bimbingan residen dan spesialis ditiap
bagiannya.
Jika pekerjaan yang dilakukan di bagian tersebut baik, dokter internsip bisa langsung
di”tarik” untuk mengambil sekolah spesialis di bagian tersebut. Setiap bulannya dokter
internsip di Malaysia digaji sekitar RM 4300, separo dari gaji dokter negara Singapura. Jika
dirupiahkan kurang lebih sekitar 13juta rupiah, 10 kali lipat dari “gaji” dokter internship di
Indonesia. Dengan biaya hidup setara kota besar di Indonesia, tentunya gaji tersebut lebih
dari cukup untuk bertahan hidup tanpa memikirkan pekerjaan sampingan. Selepas intersip
dokter baru bisa memilih bekerja di bagian yang mereka sukai atau di puskesmas, tergantung
kekosongan saat itu.
Banyaknya pekerjaan medis dan bimbingan senior di Malaysia membuat dokter baru
disana mempunyai kesempatan belajar lebih baik dan lebih banyak. Kesejahteraan yang
dijamin oleh negara membuat dokter-dokter baru juga lebih fokus ke peningkatan kualitas
dan kemampuan medisnya.
Perbandingan diatas tidak bermaksud untuk menjelekkan atau tidak setuju dengan
program internsip di Indonesia. Semoga program-program internsip dan program pendidikan
kedokteran lain di Indonesia semakin baik, baik bagi dokternya baik pula untuk
masyarakatnya. Semoga para pemegang kuasa bisa belajar dari tetangga sebelah, tidak hanya
studi banding jauh-jauh ke benua lain. Dan masyarakat tahu, siapa yang harus didorong,
diprotes, diingatkan supaya sistem pelayanan kesehatan di Indonesia lebih baik untuk
masyarakat sekaligus kesejahteraan tenaga medis lebih terjamin.

Penutup
Selaku mahasiswa kedokteran di Indonesia, sudah seharusnya-lah kita memahami
betul tahapan apa saja yang akan dilalui sebelum benar- benar legal diakui sebagai dokter.
Terlepas dari kekurangan yang ada pada uji kompetensi dan internsip, jelas bahwa keduanya
dilaksanakan untuk menghasilkan dokter berkompeten. Tidak hanya menerima semua
kebijakan para stakeholder, mahasiswa kedokteran diharapkan aktif dalam mengawal
kebijakan-kebijakan yang ada untuk selalu berjalan sebagaimana mestinya. Ke-sinkron-an
antara kebijakan dan pemaksimalan peran masing-masing pihak terkait (stakeholder, institusi,
mahasiswa, masyarakat) akan mampu menghasilkan pelayanan kedokteran yang paripurna
demi terciptanya Indonesia sehat.

Anda mungkin juga menyukai