LAPORAN KASUS
1. Identitas Pasien
a. Nama : Tn. N
b. Jenis kelamin : Laki laki
c. Tempat, tanggal lahir : Malang, 1-1-1952
d. Umur : 65 tahun
e. Alamat : Suko -Sidoarjo
f. Status : Menikah
g. Pekerjaan : Pedagang
h. Suku : Jawa
i. Agama : Islam
j. MRS : 14 Maret 2017
k. Pemeriksaan : 18 Maret 2017
2. Anamnesis
a. Keluhan Utama : Nyeri perut kanan atas.
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Anamnesis dilakukan secara Heteroanamnesis dan
autoanamnesis tanggal 18 Maret 2017 di Mawar Kuning RSUD
Sidoarjo.
Pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan atas disertrai
benjolan yang dirasakan sejak 1 bulan sebelum MRS. Nyeri dirasakan
semakin parah seperti ditusuk-tusuk, terus menerus, bertambah sakit
saat bergerak dan sedikit mereda saat pasien diam. Perut kanan atas
terasa mengeras dan perut terasa penuh sejak 5 hari sebelum MRS.
Nafsu makan pasien berkurang semenjak perutnya membesar. Pasien
merasa lemas sejak 5 hari sebelum MRS. Disertai mual sejak 5 hari
yang lalu dan tidak muntah.
1
Pasien tidak pernah muntah darah. Pasien tidak juga mengeluh
bengkak pada kedua kaki. BAB lancar normal, tidak ada mencret /
darah / lendir. BAK lancar normal, tidak ada darah, tidak nyeri, tidak
panas.
e. Riwayat Kebiasaan
a. Riwayat merokok : disangkal
b. Konsumsi minum kopi : disangkal
c. Konsumsi konsumsi alkohol : disangkal
d. Konsumsi obat : disangkal
e. Konsumsi jamu : disangkal
f. Konsumsi minuman energi : disangkal
2
f. Riwayat Sosial Ekonomi dan Gizi
Pasien adalah kepala rumah tangga, bekerja sebagai pedagang di
pasar dekat rumahnya, pendapatannya cukup untuk makan dan
keperluan sehari-hari keluarganya. Pasien berobat dengan fasilitas BPJS.
3. Pemeriksaan Fisik
A. Pemeriksaan Umum
a. Keadaan Umum : Lemah
b. Kesadaran : compos mentis (GCS 4-5-6)
c. Vital Sign : Tekanan darah : 140/90 mmHg
Nadi : 85x/menit
Respiratory Rate : 19x/menit
Suhu badan : 36.5C
d. Kulit : Turgor kulit normal, elastisitas baik, tidak
ada ptekiae
e. Kelenjar Limfe : Tidak ada pembesaran kelenjar limfe di
leher, axilla, dan inguinal
f. Otot : Tidak ada atropi otot
g. Tulang : Tidak ada deformitas
3
b. Leher
Kelenjar limfe : Tidak ada pembesaran
Trakea : Di tengah
Tiroid : Tidak didapat pembesaran kelenjar
Vena Jugularis : Tidak ada distensi
Arteri Carotis : Teraba pulsasi
c. Thorax
Paru
Inspeksi Bentuk: simetris
Spider navi : tidak ditemukan
Gynekomasti : tidak ditemukan
Pergerakan: simetris
Tidak didapatkan retraksi otot-otot pernapasan
Palpasi Pergerakan: simetris
Fremitus raba: simetris
Nyeri: tidak didapatkan
4
Jantung
Inspeksi Iktus: tidak tampak
Palpasi Iktus: tidak kuat angkat
Thrill: tidak didapat
Perkusi Batas kanan atas: SIC III parasternal dex
Batas kanan bawah: SIC IV parasternal dex
Batas kiri atas: SIC III parasternal sin
Batas kiri bawah: SIC V midclavicula sin
Auskultasi S1, S2: tunggal, regular
Murmur: tidak didapatkan
Gallop : tidak didapatkan
d. Abdomen
Inspeksi Asimetris, caput medusa (-),venektasi (-), distended (-)
Perkusi Shifting dullness (+), sonor-pekak-timpani
hepatomegali (+), dengan liver span 16 cm di regio
hipokondriaka dextra.
Palpasi Nyeri tekan (+), teraba hepar, 3 jari di bawah arcus
costae dengan permukaan tidak rata/ berdungkul-
dungkul, konsistensi keras pada regio hipokondriaka
dextra.
Auskultasi Bising usus: positif, normal.
Nyeri tekan:
+ + +
+ + -
- + -
e. Extremitas
Extremitas Clubbing finger (-), palmar eritem (-)
Edema dan pitting edema (-), akral hangat (+)
5
4. Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap 14 Maret 2017
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal Interpretasi
WBC 11,01 uL 4,80-10,80
RBC 6,3 uL 4,2-6,1
HGB 15,8 g/dl 12,0-18,0 N
HCT 48,2 % 37,0-52,0 N
PLT 375 uL 150-450 N
MCV 76,8 Fl 79,0-99,0
MCH 25,2 Pg 27,0-31,0
MCHC 32,8 g/dl 33,0-37,0
RDW-SD 51,6 Fl 35,0-47,0 N
RDW-CV 20,8 % 11,5-14,5
PDW 14,7 Fl 9,0-17,0 N
6
B. Pemeriksaan laboratorium kimia klinik tanggal 14 Maret 2017
7
F. USG
Usg Abdomen atas & bawah
Hepar : Membesar
Tampak mass solid uk +/- 14,71x13,35cm
V. Porta & V. Hepatika tak melebar
Tak tampak pelebaran IHBD/EHBD
Gall Blader : Besar normal, dinding tak melebar, tak tampak
batu/nodul solid/bile sludge
Pancreas/Lien : Besar normal. Tak tampak nodul solid/kiista
Ren D/S : Besar normal.
Intensitas echocortex tak meningkat.
Systemapelviocalyceal tak melebar
Tak tampak batu/nodul solid/kista
Buli-buli : Out line rata, dinding tak melebar, tak tampak batu/nodul
solid
Prostat : Besar normal tak tampak nodul/kalsifikasi
8
Tampak cairan bebas dalam cavum abdomen
Tak tampak pembesaran kelenjar para aorta
Kesimpulan : Hepatomegali (hepatoma lobus dextra) & ascites.
5. Diagnosis
Hepatoma + HT stage II JNC VII
6. Penatalaksanaan
Inf. PZ : Aminoleban 1: 1 14tpm
Inj. Antrain 3x1
Inj. Ranitidin 2x1
Curcuma 3x1 p.o
Sucralfat syr. 3xc1 p.o
Amlodipin 10mg 1x1 p.o
UDCA 3x1 p.o
9
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
10
B. Epidemiologi
Hepatoma meliputi 5,6% dari seluruh kasus kanker pada manusia
serta menempati peringkat kelima pada laki-laki dan kesembilan pada
perempuan sebagai kanker yang paling sering terjadi di dunia yang
menyebabkan kematian. Di Amerika Serikat sekitar 80%-90% dari tumor
ganas hati primer adalah hepatoma. Angka kejadian tumor ini di Amerika
Serikat hanya sekitar 2% dari seluruh karsinoma yang ada. Sebaliknya di
Afrika dan Asia hepatoma adalah karsinoma yang paling sering ditemukan
dengan angka kejadian 100/100.000 populasi. Sekitar 80% dari kasus
hepatoma di dunia berada di negara berkembang seperti Asia Timur dan
Asia Tenggara serta Afrika Tengah yang diketahui sebagai wilayah
dengan prevalensi tinggi hepatitis virus. Indonesia adalah wilayah dengan
angka insidens infeksi hepatitis B virus, maka angka hepatoma juga tinggi.
Hepatoma jarang ditemukan pada usia muda, kecuali di wilayah yang
endemic infeksi hepatitis B virus (HBV) serta banyak terjadi transmisi
HBV perinatal. Umumnya di wilayah dengan kekerapan hepatoma tinggi,
umur pasian hepatoma 10-20 tahun lebih muda daripada umur pasien
hepatoma di wilayah dengan angka kekerapan hepatoma rendah. Di
wilayah dengan angka kekerapan hepatoma tinggi, rasio kasus laki-laki
dan perempuan dapat sampai 8:1 (Budihusodo, 2007).
C. Faktor Resiko
Sekitar 70% kasus hepatoma berhubungan dengan infeksio kronis
Hepatitis B Virus (HBV) atau Hepatitis C Virus (HCV). Semua pasien
sirosis hati juga beresiko untuk hepatoma (Tjokroprawiro, 2015). Faktor
resiko yang paling berperan adalah :
1. Infeksi HBV
Peran HBV sebagai faktor resiko dari hepatoma telah terbukti.
Walaupun tidak setiap pasien yang terinfeksi HBV pasti akan
menderita hepatoma, American Association for the Study of Liver
Diseases (AASLD) tetap merekomendasikan deteksi dini kepada
11
seluruh pasien hepatitis B ketika mereka mencapai usia tertentu yang
menyebabkan peningkatan risiko terserang hepatoma (Morris, 2009).
Menurut penelitian, pasien hepatitis B yang berisiko tinggi terserang
hepatoma adalah laki-laki yang selain terinfeksi HBV juga menderita
sirosis hati serta memiliki riwayat keluarga menderita kanker hati. Hal
ini terjadi karena materi genetik dari HBV menyerupai materi genetik
dari sel kanker. Oleh karena itu, bagian spesifik dari genom HBV
(kode genetik) yang memasuki materi genetik dari sel hati akan
menganggu materi genetik normal dari sel tersebut sehingga
menyebabkan sel hati menjadi ganas (Keith, 2011).
2. Infeksi HCV
Hepatoma lebih jarang terjadi pada pasien yang terinfeksi oleh HCV
dibandingkan pasien dengan infeksi HBV. Bila terserang hepatoma,
pasien hepatitis C biasanya memiliki faktor risiko lain, seperti sirosis
hati, usia tua, jenis kelamin laki-laki, peminum alkohol, kadar alpha-
fetoprotein (AFP) tinggi, dan koinfeksi HBV. Beberapa penelitian
juga menyatakan bahwa genotipe 1b pada HCV menjadi salah satu
faktor risiko terjadinya hepatoma. Akan tetapi, bagaimana HCV dapat
menyebabkan terjadinya hepatoma belum terlalu dimengerti karena
tidak seperti HBV, materi genetik dari HCV tidak menyerupai materi
genetik pada sel-sel hati (Keith, 2011).
3. Alfalotoksin
Alfalotoksin adalah segolongan senyawa toksik yang sangat
berpotensi menyebabkan hepatoma karena bersifat karsinogenik.
Toksin ini merupakan produk dari jamur Aspergillus flavus yang
ditemukan pada makanan yang disimpan di lingkungan panas ataupun
lembab. Jamur ini sering ditemukan pada biji kacang-kacangan,
seperti kacang tanah, kacang kedelai, beras, jagung, maupun gandum.
Aflatoxin-b1 ini dapat menyebabkan mutasi gen p53 di sel hati. Gen
p53 merupakan gen penekan tumor yang sangat penting sehingga
12
apabila terjadi mutasi pada gen ini maka akan terjadi kerusakan siklus
mitosis sel-sel hati (Keith, 2011).
4. Alkohol
Pada negara berkembang, sirosis yang disebabkan oleh konsumsi
alkohol kronis erat kaitannya denga terjadinya hepatoma. Selain itu,
sebagian besar dari peminum alkohol tersebut juga terinfeksi oleh
HCV. Hepatoma ini biasanya terjadi pada peminum alkohol yang
menderita sirosis yang telah berhenti minum selama sepuluh tahun.
Karena ketika konsumsi alkohol dihentikan, hati berusaha
memperbaiki sel-selnya yang telah rusak akibat paparan alkohol
melalui proses regenerasi sel secara aktif. Selama proses tersebut,
dapat terjadi mutasi genetik pada sel-sel hati. Maka dari itu, hepatoma
justru terjadi ketika alkohol berhenti dikonsumsi (Keith, 2011).
5. Hemakromatosis
Hepatoma dapat berkembang pada 30% pasien yang menderita
hemakromatosis herediter. Hemakromatosis merupakan suatu kelainan
dimana terjadi penyimpanan zat besi yang berlebih di dalam tubuh,
khususnya di hati. Pasien yang berisiko tinggi terserang hepatoma
adalah mereka yang juga mengalami sirosis disamping
hematokromatosis. Ketika mereka terserang sirosis, pembersihan zat
besi yang berlebih dari hati tidak akan menurunkan risiko terjadinya
hepatoma pada pasien tersebut (Keith, 2011).
6. Sirosis
Sirosis hati merupakan faktor risiko utama kanker hati di dunia dan
melatarbelakangi lebih dari 80% kasus kanker hati. Setiap tahun 3-5%
dari pasien sirosis hati akan menderita kanker hati, dan kanker hati
merupakan salah satu penyebab kematian pada sirosis hati.21 Pada
tahun 2002, PMR sirosis hati di dunia yaitu 1,7%.11 Waktu yang
dibutuhkan dari sirosis hati untuk berkembang menjadi kanker hati
sekitar 3 tahun (Dalimarhta, 2004).
13
Konsumsi alkohol merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
sirosis hati. Penggunaan alkohol sebagai minuman, saat ini sangat
meningkat di masyarakat. Peminum berat alkohol (>50-70 gr/ hari dan
berlangsung lama) berisiko untuk menderita kanker hati melalui
sirosis hati alkoholik. Mekanisme penyakit hati akibat konsumsi
alkohol masih belum pasti, diperkirakan mekanismenya yaitu sel hati
mengalami fibrosis dan destruksi protein yang berkepanjangan akibat
metabolisme alkohol yang menghasilkan acetaldehyde. Fibrosis yang
terjadi merangsang pembentukan kolagen. Regenenerasi sel tetap
terjadi tetapi tidak dapat mengimbangi kerusakan sel. Penimbunan
kolagen terus berlanjut, ukuran hati mengecil, berbenjol-benjol dan
mengeras sehingga terjadi sirosis hati (Budihusodo, 2007).
7. Obesitas
Obesitas merupakan faktor risiko utama untuk non-alcoholic fatty
liver disease (NAFLD), khususnya nonalcoholic steatohepatitis
(NASH) yang dapat berkembang menjadi sirosis hati dan kemudian
dapt berlanjut menjadi Hepatocelluler Carcinoma (HCC)
(Budihusodo, 2007).
8. Diabetes mellitus
Pada penderita DM, terjadi perlemakan hati dan steatohepatis non-
alkoholik (NASH). Di samping itu, DM dihubungkan dengan
peningkatan kadar insulin dan insulin-like growth hormone faktors
(IGFs) yang merupakan faktor promotif potensial untuk kanker
(Budihusodo, 2007).
D. Patofisiologi
agen penyebab
14
regenerasi kronik dalam bentuk
inflamasi
transformasi maligna
hepatosit
HEPATOMA
15
atau inaktivasi gen suppressor tumor, yang mungkin bersama dengan
kurang baiknya penanganan DNA mismatch, aktivasi telomerase, serta
induksi faktor-faktor pertumbuhan dan angiogenik.
E. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis berupa :
Rasa nyeri tumpul umumnya dirasakan oleh penderita dan
mengenai perut bagian kanan atas, di epigastrium atau pada kedua
tempat epigastrium dan hipokondrium kanan. Rasa nyeri tersebut
tidak berkurang dengan pengobatan apapun juga. Nyeri yang
terjadi terus menerus sering menjadi lebih hebat bila bergerak.
Nyeri terjadi sebagai akibat pembesaran hati, peregangan glison
dan rangsangan peritoneum.
Terdapat benjolan di daerah perut bagian kanan atas atau di
epigastrium.
16
Perut membesar karena adanya asites yang disebabkan oleh sirosis
atau karena adanya penyebaran karsinoma hati ke peritoneum.
Demam timbul karena nekrosis tumor, disertai infeksi dan
metabolit tumor, umumnya tidak disertai menggigil.
F. Diagnosis
Melakukan pemeriksaan berkala bagi kelompok risiko tinggi antara
lain pengidap virus Hepatitis B dan C, dokter, promiskus, dan bagi orang
yang mempunyai anggota keluarga penderita kanker hati. Pemeriksaan
dilakukan setiap 3 bulan sekali pada penderita sirosis hati dengan HBsAg
positif dan pada penderita hepatitis kronis dengan HBsAg negatif atau
penderita penyakit hati kronis atau dengan sirosis dengan HBsAg negatif
pernah mendapat transfusi atau hemodialisa diperiksa 6 bulan sekali.
Diagnosis dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Sebagian besar penderita yang datang berobat sudah dalam
fase lanjut dengan keluhan nyeri perut kanan atas. Sifat nyeri
ialah nyeri tumpul, terus-menerus, kadang- kadang terasa hebat
apabila bergerak. Di samping keluhan nyeri perut ada pula
keluhan seperti benjolan di perut kanan atas tanpa atau dengan
17
nyeri, perut membuncit karena adanya asites dan keluhan yang
paling umum yaitu merasa badan semakin lemah, anoreksia,
perasaan lekas kenyang, feses hitam, demam, bengkak kaki,
perdarahan dari dubur (Sujono, 2000).
2. Pemeriksaan fisik
Biasanya hati terasa besar dan berdungkul-dungkul, tepi
tidak rata, tumpul, kadang-kadang terasa nyeri bila ditekan.
18
setiap tiga bulan. Untuk tumor kecil pada pasien dengan
risiko tinggi USG lebih sensitif dari pada AFP serum
berulang. Sensitivitas USG untuk neoplasma hati bekisar
anatara 70%-80%. Tampilan USG yang khas untuk hepatoma
kecil adalah gambaran mosaik, formasi septum, bagian
perifer sonolusen, bayangan lateral yang dibentuk oleh
pseudokapsul fibrotik, serta penyangatan eko posterior.
Berbeda dari metastasis, hepatoma dengan diameter kurang
dari dua sentimeter mempunyai gambaran bentuk cincin yang
khas. USG color Doppler sangat berguna untuk membedakan
hepatoma dari tumor hepatik lain. Tumor yang berada di
bagian atas -belakang lobus kanan mungkin tidak dapat
terdeteksi oleh USG. Demikian juga yang berukuran terlalu
kecil dan isoekoik. Modalitas imaging lain seperti CT-scan,
MRI dan angiografi kadang diperlukan untuk mendeteksi
hepatoma, namun karena beberapa kelebihannya, USG masih
tetap merupakan alat diagnostik yang paling populer dan
bermanfaat (Budihusodo, 2007).
3. Strategi Skrining Dan Surveilans
Skrining dimaksudkan sebagai aplikasi pemeriksaan
diagnostik pada populasi umum, sedangkan surveillance
adalah aplikasi berulang pemeriksaan diagnostik pada
populasi yang beresiko untuk suatu penyakit sebelum ada
bukti bahwa penyakit tersebut sudah terjadi. Karena sebagian
dari pasien hepatoma dengan atau tanpa sirosis adalah tanpa
gejala untuk mendeteksi dini hepatoma diperlukan strategi
khusus terutama bagi pasien sirosis hati dengan HBsAg atau
anti HCV positif. Berdasarkan atas lamanya waktu
penggandaan ( doubling time) diameter HCC yang berkisar
antara 3 sampai 12 bulan (rerata 6 bulan) dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan AFP serum dan USG abdomen setia
19
3 hingga 6 bulan bagi pasien sirosis maupun hepatitis kronik
B atau C. Cara ini di Jepang terbukti dapat menurunkan
jumlah pasien hepatoma yang terlambat dideteksi dan
sebaliknya meningkatkan identifikasi tumor kecil (dini).
Namun hingga kini masih belum jelas apakah dengan
demikian juga terjadi penurunan mortalitas (liver-related
mortality) (Budihusodo, 2007).
4. Computed Tomography Scanning (CT Scann)
CT Scann adalah pemeriksaan kanker dengan menggunakan
prinsip daya tembus sinar-X digunakan untuk mendeteksi
ukuran, jumlah tumor, lokasi dan sifat kanker hati dengan
tepat. Pemeriksaan dengan CT scann letak kanker dengan
jaringan tubuh sekitarnya terlihat jelas, dan kanker yang
paling kecil pun sudah dapat terdeteksi (Budihusodo, 2007).
5. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI adalah pemeriksaan kanker dengan menggunakan
gelombang magnet (nonradiasi). Pemeriksaan dengan MRI
dilakukan bila ada gambaran CT scann yang masih
meragukan atau pada penderita ada risiko bahaya radiasi
sinar-X. MRI dapat menampilkan dan membuat peta
pembuluh darah kanker hati serta menampilkan saluran
empedu dalam hati, memperlihatkan struktur internal jaringan
hati dan kanker hati (Budihusodo, 2007).
6. Biopsi
Biopsi dapat dipertimbangkan sebagai pengganti pemeriksaan
imaging kedua dengan tetap mempertimbangkan
kemungkinan penyebaran metastasis melalui jalan jarum
biopsy. Walaupun beberapa pusat penelitian penyakit hati,
misalnya JSH masih menganjurkan kombinasi antara faktor
risiko, seromarker tumor dan MDCT/MRI, penegakkan
diagnosis tetap bersandat pada gambaran imaging dengan
20
MDCT/MRI atau biopsy nodul jika diperlukan. Banyak pusat
penelitian penyakit hati yang sangat menghindari biopsi
(Hirlan, 2011).
G. Penatalaksanaan
Banyak sistem stadium hepatoma yang dipakai. Dengan
memperhatikan modalitas terapi, prognosis dan segi praktis maka sistem
stadium dari Barcelona clinic liver cancer:
Fungsi
Stadium Ukuran tumor Pilihan tatalaksana Harapan hidup
hati
Stadium A
(awal)
A1 HP (-), bil.
Normal
Tunggal < 5 cm Tatalaksana kuratif
HP (+), bil.
A2 Tunggal < 5 cm A1: reseksi 50-70% pada 5
Normal
tahun
3 tumor, < 3 cm
A4 Child pugh
A-B
21
t) (Transarterial
embolization)
Transplantasi (bila
Simptomatis
Keterangan:
HP: Hipertensi Porta
(Setiawan, 2007).
Terdapat beberapa modalitas pengelolaan karsinoma hepatosleuler.
Pada dasarnya modalitas tersebut dapat dibagi menjadi modalitas yang
bertujuan untuk kuratif, paliatif, dan suportif. Pemilihan pengelolaan
didasarkan pada penyakit hati yang mendasari, status kapasitas fungsi hati,
status fisik pasien, ukuran dan jumlah nodul. Staging system tersebut
sangat penting selain untuk menilai keberhasilan terapi juga berguna untuk
menilai prognosis (Hirlan, 2011).
Beberapa staging system yang dikenal saat ini adalah klasifikasi
TNM, Okuda Staging, The Chinese University Prognostic Index (CUPI),
Cancer of the Liver Italian Program (CLIP), French staging system, dan
The Barcelona-Clinic Liver Cancer (BCLC) staging. Klasifikasi TNM
bukan merupakan gold standard. Di antara klasifikasi-klasifikasi baru,
keberagamanan gambaran survival didiskripsikan pada stadium terbaik (3-
year survival dari 80% hingga 25%) yang merefleksikan bahwa beberapa
penelitian termasuk kebanyakan pasien dengan penyakit stadium lanjut,
dengan sedikit pasien yang mendapatkan pengelolaan. CUPI, CLIP, dan
22
French Staging System disusun untuk pasien dengan stadium lanjut
(Hirlan, 2011).
Sistem BCLC merupakan sistem yang banyak dianut saat ini.5
Sistem BCLC ini telah disahkan oleh beberapa kelompok di Eropa dan
Amerika Serikat, dan direkomendasikan sebagai klasifikasi yang terbaik
sebagai pedoman pengelolaan, khususnya untuk pasien dengan stadium
awal yang bisa mendapatkan terapi kuratif. Sistem ini menggunakan
variabel-variabel yang berhubungan dengan stadium tumor, status
fungsional hati, status fisik pasien, dan gejala-gejala yang berhubungan
kanker. Hubungan antara keempat variabel tersebut akan menggambarkan
hubungannya dengan algoritma pengelolaan (Hirlan, 2011).
23
stadium menengah dapat dilakukan terapi kemoembolisasi. Stage C, pasien
dengan stadium lanjut kemungkinan mendapatkan agen baru dalam
randomized controlled trials (RCTs). Sedangkan pada stage D, pasien
dengan stadium akhir akan menerima pengobatan simptomatik (Hirlan,
2011).
Pengobatan hepatoma masih belum memuaskan, banyak kasus
didasari oleh sirosis hati. Pasien sirosis hati mempunyai toleransi yang
buruk pada operasi segmentektomi pada hepatoma. Selain operasi masih
ada banyak cara misalnya transplantasi hati, kemoterapi, emboli intra
arteri, injeksi tumor dengan etanol agar terjadi nekrosis tumor, tetapi hasil
tindakan tersebut masih belum memuaskan danangka harapan hidup 5
tahun masih sangat rendah(Singgih dan Datau, 2006).
Karena sirosis hati yang melatarbelakanginya serta seringnya
multi-nodularitas, resektabilitas kanker hati sangat rendah. Di samping itu
kanker hati juga sering kambuh meskipun sudah menjalani reseksi bedah
kuratif. Pilihan terapi ditetapkan berdasarkan atas ada-tidaknya sirosis,
jumlah dan ukuran tumor, sertaderajat pemburukan hepatik.
a. Transplantasi hati
Bagi pasien kanker hati dan sirosis hati, transplantasi hati
memberikan kemungkinan untuk menyingkirkan tumor dan
menggantikan parenkim hati yang mengalami disfungsi. Kematian
pasca transplantasi tersering disebabkan olehre kurensi tumor di dalam
maupun di luar transplan. Rekurensi tumor bahkan mungkin
diperkuat oleh obat antirejeksi yang harus diberikan.Tumor
yang berdiameter kurang dari 3 cm lebih jarang kambuh dibandingkan
dengan tumor yang diameternya lebih dari 5 cm (Ryder, 2006).
b. Reseksi hepatik
Untuk pasien dalam kelompok non-sirosis yang biasanya
mempunyai fungsi hati normal pilihan utama terapi adalah reseksi
hepatik. Namun untuk pasien sirosis diperlukan kriteria seleksi
karena operasi dapat memicu timbulnya gagal hati yang harapan
24
hidupnya menurun. Parameter yang dapat digunakan adalah skor
child plug dan derajat hipertensi portal atau kadar bilirubin serum dan
derajat hipertensi portal saja. Subjek yang bilirubin normal tanpa
hipertensi portal yang bermakna, harapan hidup 5 tahunnya dapat
mencapai 70%. Kontra indikasitindakan ini adalah adanya metastatis
ekstrahepatik, kanker hati difus ataumultifokal, sirosis stadium lanjut
dan penyakit penyerta yang dapat mempengaruhiketahanan pasien
menjalani operasi (Ryder, 2006).
c. Ablasi tumor perkutan
Destruksi dari sel neoplastik dapat dicapai dengan bahan
kimia (alkohol, asamasetat) atau dengan memodifikasi suhunya
(radiofrequency,microwave, laser, cryoablation). Injeksi etanol
perkutan (PEI) merupakan teknik terpilih untuk tumor kecil karena
efikasinya tinggi, efek sampingnya rendah serta relatif murah. Dasar
kerjanya adalah menimbulkan dehidrasi, nekrosis, oklusi vaskular
Dan fibrosis. Untuk tumor kecil (diameter < 5cm) pada pasien sirosis
Chiild-Pugh A, angka harapan hidup 5 tahun dapat mencapai 50%.
PEI bermanfaat untuk pasien dengan tumorkecil yang
resektabilitasnya terbatas karena adanya sirosis hati non-Child A
(Ryder, 2006).
Radio frequency Ablation (RFA) menunjukkan angka
keberhasilan yang lebihtinggi dari pada PEI dan efikasinya tertinggi
untuk tumor yang lebih besar dari 3cm, namun tetap tidak
berpengaruh terhadap harapan hidup pasien.Selain itu, RFA lebih
mahal dan efek sampingnya lebih banyak dibandingkan dengan PEI.
Guna mencegah terjadinya rekurensi tumor, pemberian asam
poliprenoik (polyprenoic acid)selama 12 bulan dilaporkan dapat
menurunkan angka rekurensi pada bulan ke 38 secara bermakna
dibandingkan dengan kelompok plasebo (kelompok plasebo 49%,
kelompok terapi PEI atau reseksi kuratif 22%) (Ryder, 2006).
25
d. Terapi paliatif
Sebagian besar pasien kanker hati didiagnosis pada stasium
menengah-lanjut (intermediate-advanced stage) yang tidak ada terapi
standarnya. Pada stadium ini hanya TAE/TACE (transarterial
embolization / chemoembolization) saja yang menunjukkan penurunan
pertumbuhan tumor serta dapat meningkatkan harapan hidup pasien
dengan kanker hati yang tidak resektabel. TACE dengan frekuensi 3
hingga 4 kali setahun dianjurkan pada pasien yangfungsi hatinya
cukup baik (Child-Pugh A) serta tumor multi nodular
asimtomatik tanpa invasi vaskular atau penyebaran ekstrahepatik,
yang tidak bisa diberi terapi radikal. Namun bagi pasien yang dalam keadaan
gagal hati (Child-Pugh B-C), serangan iskemik akibat terapi ini dapat
mengakibatkan efek samping berat. Adapun beberapa jenis terapi lain
untuk kanker hati yang tidak resektabe; seperti imunoterapi dengan
interferon, terapi antiestrogen, antiandrogen, oktreotid, radiasi
internal, kemoterapi arterial atau sistemik masih memerlukan
penelitian lebihlanjut untuk mendapatkan penilaian yang
meyakinkan(Ryder, 2006).
Penatalaksanaan komplikasi
1. Asites dan edema
Untuk mengurangi edema dan asites, pasien dianjurkan
membatasi asupan garam dan air. Jumlah diet garam yang dianjurkan
biasanya sekitar dua gram per hari, dan cairan sekitar satu liter
sehari. Kombinasi diuretik spironolakton dan furosemid dapat
menurunkandan menghilangkan edema dan asites pada sebagian besar
pasien. Bila pemakaian diuretik tidak berhasil (asites refrakter), dapat
dilakukan parasintesis abdomen untuk mengambil cairan asites
sedemikian besar sehingga menimbulkan keluhan nyeri akibat distensi
abdomen, dan ataukesulitan bernapas karena keterbatasan geralan
diafragma, parasintesis dapatdilakukan dalam jumlah lebih dari 5
26
liter (large volume paracentesis = LVP ). Pengobatan lain untuk asites
refrakter adalah TIPS (Transjugular intravenous porto systemic shunting)
atau transplantasi hati.
2. Perdarahan varises
Bila varises telah timbul di bagian diatal esofagus atau
proksimal lambung, pasien sirosis berisiko mengalami perdarahan serius
akibat pecahnya varises.Sekali varises mengalami perdarahan,
bertendensi perdarahan ulangdan setiap kali berdarah, pasien berisiko
meninggal.Karena itu pengobatan ditujukan untuk pencegahan
perdarahan pertama maupun pencegahan perdarahan ulang dikemudian
hari. Untuk tujuan tersebut, ada beberapa cara pengobatan yang
dianjurkan, termasuk pemberian obat dan prosedur untuk menurunkan
tekanan vena porta, maupun prosedur untuk menurunkan tekanan vena
porta, maupun prosedur untuk merusak atau mengeradikasi varises.
Propanolol atau nadolol, merupakan obat penyekat reseptor beta non-
selektif.Efektif menurunkan tekanan vena porta, dan dapat dipakai
untuk mencegah perdarahan pertama maupun perdarahan ulang varises
pasiensirosis.
3. Ensefalopati hepatik
Pasien dengan siklus tidur abnormal, gangguan berpikir,
perubahankepribadian, atau tanda-tanda lain enselopati hepatik, biasanya
harus mulaidiobati dengan diet rendah protein dan laktulosa oral.Untuk
mendapat efek laktulosa, dosisnya harus sedemikian rupa sehingga
pasien buang air besar duasampai tiga kali sehari.Bila gejala enselopati
masih tetap ada, antibiotika oralseperti neomisin atau metronidazol dapat
ditambahkan. Pada pasien ensefalopatihepatik yang semakin jelas, ada
tiga tindakan yang harus segera diberikan:
a. singkirkan penyebab enselopati yang lain,
b. perbaiki atau singkirkan faktor pencetus dan
c. segera mulai pengobatan empiris yang dapat berlangsung lama,
seperti : klisma, diet rendah atau tanpa protein, laktulosa,
27
natibiotika(neomisin, metronidazol atau vankomisin), asam amino
rantai cabang, bromokriptin, preparat zenk, dan atau ornitin
aspartat. Bila enselopati tetapada, atau timbul berulang kali dengan
pengobatan empiris, dapatdipertimbangkan transplantasi hati
(Rasyid, 2006).
H. Prognosis
Pada umumnya prognosis karsinoma hati adalah jelek. Tanpa
pengobatan, kematian rata-rata terjadi sesudah 6-7 bulan setelah timbul
keluhan pertama. Dengan pengobatan, hidup penderita dapat diperpanjang
sekitar 11-12 bulan. Bila karsinoma hati dapat dideteksi secara dini, usaha-
usaha pengobatan seperti pembedahan dapat segera dilakukan misalnya
dengan cara sub-segmenektomi, maka masa hidup penderita dapat menjadi
lebih panjang lagi. Sebaliknya, penderita karsinoma hati fase lanjut
mempunyai masa hidup yang lebih singkat. Kematian umumnya
disebabkan oleh karena koma hepatik, hematemesis dan melena, syok
yang sebelumnya didahului dengan rasa sakit hebat karena pecahnya
karsinoma hati. Oleh karena itu langkahlangkah terhadap pencegahan
karsinoma hati haruslah dilakukan. Pencegahan yang paling utama adalah
menghindarkan infeksi terhadap HBV dan HCV serta menghindari
konsumsi alkohol untuk mencegah terjadinya sirosis (Siregar, 20011).
28
BAB III
KESIMPULAN
29
Daftar Pustaka
Budihusodo, U. 2007. Karsinoma Hati dalam Buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1
Edisi Keempat.Jakarta: Balai Pernerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Pp 455-59.
Dalimarhta, S., 2004. Deteksi Dini Kanker dan Simplisia Antikanker. Penerbit
Penebar Swadana, Jakarta.
Hirlan, Purnomo HD. 2011. Karsinoma Hepatoseluler (KHS)
Gastroenterohepatology Current Issues in Gastroenterohepatologi. From
Theory to Clinical Practice. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.
Keith E. Stuart. 2011. Http://www.medicinenet.com/liver_cancer/article.htm
[Accessed March 22, 2017.]
Morris Sherman. 2009. Risk of Hepatocellular Carcinoma in Hepatitis B and
Prevention through Treatment. Cleveland Clinic Journal of Medicine. Pp
76.
Ryder , S.D. 2006. Guidelines For The Diagnosis And Treatment Of Hepatocellular
Carcinoma(HCC) In Adults. Gut 2003; 52 56.
Setiawan, P.B., Kusumobroto, H.O., Oesman, N., Pangestu, A.,Nusi, I.A., Heri P.
2007. Karsinoma Hepatoselular dalam Buku Ajar Penyakit Dalam.
Surabaya: Airlangga University Press. pp 137-38.
Siregar, G. 2011. Penatalaksanaan non bedah dari karsinoma hati. Vol 24 No 1.
Sumatera : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Pp 36-42.
Sujono,H., 2000. Hepatologi. Bandung: Mandar Maju.
30