Anda di halaman 1dari 9

Internsip Kedokteran Gigi dan Realita: Rekomendasi Teknis

Internsip Dokter Gigi

Achmad Zam Zam Aghasy, S.KG


Komisi F Kajian Strategis dan Advokasi PSMKGI

Internsip adalah salah satu dari sekian banyak isu pokok yang terkandung dalam UU
Pendidikan Kedokteran. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam UU Pendidikan Kedokteran,
Internsip merupakan program yang merupakan kelanjutan dari program pendidikan profesi
dokter gigi, yang diselenggarakan secara nasional bersama oleh kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan (Kemenristek-Dikti), kementerian
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan (Kemenkes), asosiasi institusi
pendidikan kedokteran (AFDOKGI), asosiasi rumah sakit pendidikan (ARSGMP), Organisasi
Profesi (PDGI), dan konsil kedokteran Indonesia (KKI). Internsip pada kedokteran gigi ,
menurut UU Pendidikan Kedokteran, disusun dalam rangka meningkatkan pemahiran dan
pemandirian dokter dilaksanakan yang merupakan bagian dari program penempatan wajib
sementara. Program penempatan wajib sementara bertujuan untuk menjamin pemerataan lulusan
terdistribusi ke seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain internsip, berbagai
isu pokok yang terkandung dalam UU Pendidikan Kedokteran dan memiliki berbagai implikasi,
diharapkan juga menjadi perhatian stakeholder terkait.

Redefinisi Internsip Dokter Gigi

Penting untuk dipahami, bahwa internsip pada kedokteran gigi seyogyanya dibedakan
dengan internsip yang selama ini berlangsung pada rangkaian pendidikan dokter umum.
Pendidikan dokter gigi yang telah berlangsung selama ini, khususnya pada tingkatan profesi,
telah mensyaratkan mahasiswanya untuk dapat menyelesaikan rangkaian perawatan pada kasus-
kasus yang nanti akan menjadi kompetensi dasarnya sebagai seorang dokter gigi, dengan kata
lain berbasis kebutuhan kasus (requirement-based). Berbeda dengan sejawat dokter umum, yang
pada pendidikan profesinya berbasis pada waktu (time-based).
Internsip, dalam penjelasan UU Pendidikan Kedokteran, memiliki dua makna penting,
yakni sebagai bentuk pemahiran dan pemandirian, yang keduanya merupakan bagian dari
program penempatan wajib sementara. Singkat kata, seorang dokter gigi yang telah melalui
program internsip diharapkan jauh lebih mahir dan mandiri, serta terdistribusi secara merata di
wilayah NKRI.

Pada beberapa opini dan usulan yang sempat diusulkan dosen-dosen senior, program
pendidikan profesi dokter gigi dapat diterjemahkan sebagai internsip yang dimaksudkan oleh UU
Pendidikan Kedokteran. Benarkan demikian? Dalam hemat penulis, secara obyektif, program
pendidikan profesi dan program internsip merupakan 2 program yang linier dan tidak dapat
disamakan definisinya. Seperti yang telah disebutkan dalam UU Pendidikan Kedokteran, bahwa
internsip merupakan program yang merupakan kelanjutan dari program pendidikan profesi
dokter gigi.

Pemahiran dan Pemandirian

Dalam upaya pemahiran dan pemandirian seorang dokter gigi, maka dibutuhkan sebuah
kurikulum dan kompetensi yang harus dicapai. Kompetensi seorang dokter gigi, seperti yang
telah kita ketahui bersama, telah dicapai melalui pendidikan profesi yang menganut sistem
requirement-based. Hal ini pun sejalan dengan usulan PDGI dan AFDOKGI, bahwa internsip
dokter gigi adalah proses peyesuaian dalam penerapan kompetensi di RS/Wahana yang berbeda-
beda dan/atau hubungan antar profesi yang berbeda-beda sebagai bagian dari program
penempatan sementara, yang kemudian menegaskan kembali bahwa pemahiran dan pemandirian
seorang dokter gigi telah didapatkan melalui pendidikan profesi.

Dalam paparan PDGI pada bulan Oktober 2016 di FKG UGM, disebutkan bahwa dalam
pelaksanaan program internsip, terdapat dokter gigi pendamping, serta STR yang diterbitkan
adalah STR sementara/STR Internsip. Keberadaan dokter gigi pendamping, menjadi polemik
dalam pemahaman internsip dokter gigi, yang seharusnya menempatkan dokter gigi sebagai
seorang tenaga medis yang telah mahir dan mandiri, dan tidak lagi dipandang sebagai peserta
didik yang harus memiliki pendamping. Kebijakan dokter gigi pendamping pun akan menjadi
pekerjaan rumah yang cukup berat untuk AFDOKGI dan PDGI.
Maka bagaimana kurikulum yang tepat untuk program internsip dokter gigi ? Tentu
sistem time-based menjadi sebuah sistem yang bijaksana untuk diimplementasikan. Dalam
sistem ini, penulis mengusulkan dokter gigi yang menjalani internsip adalah dokter gigi yang
berpraktik secara berkelompok di suatu daerah tertentu, dengan supervisi dari organisasi
keprofesian setempat, dalam jangka waktu tertentu, yang terhitung sebagai masa kerja. Dokter
gigi pun secara legal memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) Definitif.

Program internsip dokter gigi ini, mengingatkan penulis pada pelaksanaan program
Pegawai Tidak Tetap (PTT) yang dilaksanakan Kemenkes beberapa tahun lalu. Kewenangan
yang dilakukan dokter gigi PTT antara lain; mewawancarai pasien, memeriksa fisik dan mental
pasien, menentukan pemeriksaan penunjang, menegakkan diagnosis, menentukan
penatalaksanaan dan pengobatan pasien. Kewenangan ini, secara garis besar juga dapat
dilakukan dokter gigi yang telah melalui UKMP2DG dan berkewajiban mengikuti program
internsip, dengan perspektif internsip dokter gigi yang telah mahir dan mandiri, dan hanya
ditempatkan secara wajib di daerah. Dengan kata lain, program internsip dokter gigi yang ideal
adalah tidak lebih dari sekedar implementasi program penempatan wajib.

Durasi yang Tepat

Melanjutkan pembahasan mengenai sistem time-based dalam program internsip dokter


gigi, yang tidak lain adalah program penempatan wajib dokter gigi, maka yang perlu dipikirkan
dengan matang adalah durasi dalam pengimplementasian program tersebut. Berapa lama
program tersebut idealnya berjalan?

UU Pendidikan Kedokteran menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan internsip adalah


pemahiran dan pemandirian dokter yang merupakan bagian dari program penempatan wajib
sementara, paling lama 1 (satu) tahun. PPSDM Kemenkes dalam salah satu paparannya
menyebutkan bahwa opsi dan rencana pelaksanaan internsip dokter gigi usulan AFDOKGI dan
PDGI, terkait waktu penempatan adalah 6 bulan, yang terdiri dari 2 bulan di RS dan 4 bulan di
Puskesmas. Apakah dasar dari usulan tersebut? Hal inilah yang sampai dengan saat ini masih
menjadi persoalan.

Menelaah kembali penempatan seorang tenaga medis pada suatu daerah, maka yang perlu
dipahami adalah daerah tersebut memang membutuhkan tenaga medis tersebut. Dalam hal ini
terkait dengan jumlah kunjungan dalam masyarakat tersebut dan tenaga medis yang ada. Jika
demikian, maka angka utilisasi total secara nasional yang telah lebih dahulu ditentukan
Kemenkes dapat digunakan sebagai acuan penentuan durasi program penempatan wajib/internsip
dokter gigi.

Utilisasi pelayanan kesehatan adalah interaksi antara konsumen dan penyedia layanan
kesehatan. Konsumen adalah masyarakat atau keluarga atau juga individu-individu sebagai
sasaran dari pelayanan kesehatan. Sementara penyedia layanan kesehatan adalah para tenaga
kesehatan yang langsung bekerja melayani masyarakat yang membutuhan pelayanan akan
kesehatan. Interaksi ini tidak hanya melibatkan faktor konsumen dan penyedia layanan
kesehatan, tetapi juga faktor sosial budaya dan pengorganisasian dari interaksi tersebut. Hasil
akhir dari interaksi ini adalah adanya pemahaman bersama antara konsumen dan penyedia
layanan kesehatan, akan kebutuhan kesehatan itu sendiri. Hal ini penting karena fakta dilapangan
pada umumnya menunjukkan bahwa interaksi yang terjadi hanya merupakan suatu keinginan,
dan belum dianggap sebagai suatu kebutuhan.

Tingkat utilisasi (utilization rate) merupakan probabilitas terjadinya suatu jenis


pelayanan kesehatan, dimana jumlah utilisasi di banding populasi (rerata perbulan). Rasio
utilisasi perbulan adalah jumlah kunjungan pasien dalam satu bulan dibagi dengan jumlah
peserta dikalikan dengan 100%. Secara sederhana angka utilisasi adalah tingkat pemanfaatan
fasilitas pelayanan yang dimiliki sebuah klinik, yang dinyatakan dalam persen (prosentase).
Utilisasi dapat memberikan gambaran tentang kualitas pelayanan dan risiko suatu populasi
(angka kesakitan). Apabila utilisasi tinggi berarti menunjukkan kualitas pelayanan buruk atau
derajat kesehatan peserta buruk.

Data utilisasi yang digunakan dalam perhitungan BPJS dengan menggunakan metode
diskusi (focus group discussion) dan kesepakatan yang mengacu pada data-data retrospektif yang
dikumpulkan PDGI, menghasilkan total utilisasi sebesar 3,26. Kemudian, dikarenakan keputusan
besaran kapitasi untuk Dokter Gigi oleh pemerintah sesuai dengan SK Menkes Nomor 69 Tahun
2013 adalah sebesar Rp. 2.000,-/orang/bulan maka perlu dilakukan penyesuaian pada
perhitungan utilisasi dan jenis pelayanan yang telah diusulkan. Angka total utilisasi yang
kemudian mencul adalah sebesar 2,03, yang kemudian dapat dibaca sebagai 3 dari 100 orang
perlu mendapatkan pelayanan kesehatan gigi dalam setiap bulannya. Data ini tentu lemah secara
akademik, dikarena pengambilan data secara retrospektif tidaklah cukup representatif.

Untuk memahami pengunaan angka utilisasi sebagai acuan dalam penentuan durasi,
maka penulis mencoba membuat suatu contoh model:

Pulau Bawean adalah sebuah pulau yang terletak di Laut Jawa, sekitar 80 Mil atau 120
kilometer sebelah utara Gresik. Bawean memiliki dua kecamatan yaitu Sangkapura dan Tambak.
Jumlah penduduknya sekitar 70.000 jiwa yang merupakan akulturasi dari beberapa etnis yang
berasal dari pulau Jawa, Madura, Kalimantan ,Sulawesi dan Sumatera. Kita asumsikan masing-
masing kecamatan memiliki 35.000 penduduk dan dilayani 1 Puskesmas. Berdasarkan angka
utilisasi total pelayanan kesehatan gigi dan mulut PDGI, yakni 2,03, maka dapat diperkirakan
ada kurang lebih 711 penduduknya yang memerlukan pelayanan kesehatan gigi setiap bulannya.
Masing-masing puskesmas beroperasi Senin-Sabtu, 7 jam kerja dengan 2 shift, pagi dan siang.
Shift pagi dimulai pukul 09.00 dan selesai pukul 12.00. Shift siang dimulai pukul 13.00 dan
selesai pukul 16.00. Kita asumsikan kembali, pengerjaan 1 pasien adalah 15 menit. Berarti,
dalam 1 shift dapat dikerjakan 12 pasien, dalam 1 hari dapat dikerjakan 24 pasien. 1 kelompok
internsip dapat terdiri dari 6 orang dokter gigi, dengan 2 shift dalam setiap minggunya. Untuk
bisa menuntaskan 711 penduduk dibutuhkan waktu 29 hari dalam setiap bulannya. Maka, dapat
diasumsikan bahwa untuk merawat keseluruhan pasien, 1 kelompok dokter gigi internsip hanya
memerlukan waktu ± 1-1.5 bulan.

Tentu model diatas harus disesuaikan kembali dengan jumlah daerah tertinggal dan
perifer, populasi jumlah penduduk, angka utilisasi di daerah tersebut, serta jumlah unit pelayanan
kesehatan yang tersedia. Namun, melalui model penghitungan ini, diharapkan penentuan durasi
program internsip/penempatan wajib memiliki dasar yang kuat, sehingga dapat mencapai tujuan
pemerataan yang telah diamanahkan UU Pendidikan Kedokteran itu sendiri.

Durasi pelaksanaan program penempatan wajib/internsip dokter gigi juga harus


menyesuaikan dengan jadwal pelaksanaan exit exam/UKMP2DG yang dilaksanakan 4 kali
dalam setahun. Ini menjadi catatan penting, karena berdasarkan evaluasi pelaksanaan internsip
dokter umum, seringkali terjadi back-log atau antrian panjang dokter untuk memulai program
internsipnya. Konsekuensi yang secara langsung dapat terlihat adalah jumlah pengangguran yang
semakin bertambah, dan resiko praktik dokter ilegal. Maka, waktu yang penulis rekomendasikan
untuk pelaksanaan program penempatan wajib/internsip dokter gigi adalah tidak lebih dari 3
bulan masa kerja.

Pemerataan Dokter Gigi

Pemerataan dokter gigi menjadi isu yang sangat berkaitan dengan pelaksanaan program
penempatan wajib/internsip dokter gigi. Di Indonesia, jumlah rasio ideal antara dokter gigi
dengan penduduknya adalah 1:9.000. Namun karena masih kurangnya tenaga dokter gigi di
Indonesia, rasio itu membengkak hingga 1 berbanding 24.000. Jumlah rasio ideal ini sangat jauh
dengan standar yang ditetapkan World Health Organization (WHO), yaitu 1:2.000. Kondisi
memprihatinkan ini masih ditambah dengan belum meratanya persebaran dokter gigi, di mana 70
persennya masih terpusat di Pulau Jawa.

Maka, data demografi penduduk Indonesia menjadi sangat penting untuk ditelaah.
Pendistribusian dokter gigi yang menjalani program penempatan wajib/internsip haruslah tepat
sasaran, yakni menyasar daerah dengan jumlah dokter gigi yang minim, dan mengupayakan rasio
yang sebesar-besarnya, serta fokus pada daerah terpencil dan sangat terpencil. Jumlah dokter gigi
dalam setiap kelompok dapat disesuaikan dengan jumlah penduduk dan angka utilisasi, perlu
pula mempertimbangkan data epidemiologis yang menunjukkan daerah-daerah dengan
prevalensi karies yang tinggi, serta OHI-S yang buruk. Dengan memperhatikan berbagai aspek
tersebut, diharapkan, pendistribusian dokter gigi ke daerah tidak menjadi sia-sia, dan
pencapaiannya dapat terukur dengan jelas.

Sarana dan Prasarana

Dituntut dapat menjadi penyedia layanan kesehatan yang baik di daerah-daerah terpencil
dan sangat terpencil, maka seorang dokter gigi peserta program penempatan wajib/internsip
haruslah didukung dengan adanya sarana dan prasarana praktik yang memadai. Hal ini juga guna
mendukung pelayanan yang maksimal untuk masyarakat.

Penyediaan sarana dan prasarana kedokteran gigi yang sederhana dan ideal, dapat
disesuaikan dengan kredensialing BPJS Kesehatan terhadap FKTP/Faskes Tingkat 1, yang
sebaiknya juga disesuaikan dengan jenis pelayanan yang dapat diberikan. Pencabutan 1 Gigi +
Injeksi (Gigi Sulung dan Permanen), Pencabutan 1 Gigi + Topikal Anastesi (Gigi Sulung dan
Permanen), Tumpatan Komposite Direct (Gigi Sulung dan Permanen), Konsultasi dan
premedikasi, Tumpatan GIC Direct ( Gigi Sulung dan Gigi Permanen), Kegawat-daruratan, serta
Scaling (1 tahun sekali) adalah jenis tindakan yang terhitung nilai utilisasinya dalam perhitungan
kapitasi BPJS Kesehatan yang diusulkan oleh PDGI. Dengan kata lain, pelaksanaan program
penempatan wajib/internsip dokter gigi turut mendorong penyediaan unit-unit pelayanan
kesehatan gigi yang layak di daerah-daerah terpencil.

Kesejahteraan Dokter Gigi Peserta Program Penempatan Wajib/Internsip

Sebagai tenaga medis profesional, seorang dokter gigi yang mengikuti program
penempatan wajib/internsip berhak untuk mendapatkan kesejahteraan yang layak. Komponen
kesejahteraan tersebut antara lain; upah/gaji, insetif khusus, akomodasi, serta akses layanan
kesehatan.

Berdasarkan pemahaman industry manufaktur, kesejahteraan adalah balas jasa lengkap,


baik materi maupun non materi, yang diberikan oleh pihak perusahaan berdasarkan
kebijaksanaan. Tujuannya untuk mempertahankan dan memperbaiki kondisi fisik dan mental
karyawan agar produktifitasnya meningkat. Pada perspektif tenaga kesehatan, dengan
meningkatkan produktifitas, maka akan pula meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup
masyrakat pada umumnya.

Pembahasan mengenai upah/gaji dan insetif insentif khusus merupakan hal yang sensitif.
Keseragaman adalah poin yang harus dicapai. Evaluasi dari pemberian upah/gaji dan insentif
khusus pada pelaksanaan internsip kedokteran umum, adalah terjadinya kesenjangan penerimaan
upah/gaji dan insetif pada tenaga medis yang melaksanakan program internsip di wahana milik
pemerintah dan swasta, serta terjadi pula pada daerah dengan kebijakan pembiayaan yang
berbeda.

Besaran gaji yang diberikan kepada dokter gigi yang mengikuti program penempatan
wajib/internsip dapat disetarakan dengan besaran gaji dan insentif khusus dokter gigi Pegawai
Tidak Tetap (PTT), dengan pertimbangan kewenangan yang dimiliki dokter gigi yang mengikuti
program penempatan wajib/internsip tidak jauh berbeda dengan dokter gigi PTT, begitu pula
hak-hak yang dimiliki.
Dalam pelaksanaan program penempatan wajib/internsip, dokter gigi harus memperoleh
perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional, kemudian diberikan kewenangan penuh dalam memberikan pelayanan
medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional, memperoleh informasi yang
lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya, serta menerima imbalan jasa. Selain itu, seorang
dokter gigi yang mengikuti program penempatan wajib/internsip berhak untuk memperoleh biaya
perjalanan dari provinsi lulusan ke provinsi penugasan dan biaya perjalanan pulang setelah
mengakhiri masa penugasan yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN),
seperti yang terlaksana pada program dokter gigi PTT. Biaya perjalanan dari provinsi penugasan
ke kabupaten penempatan dibiayai oleh Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Kemudian, dokter gigi yang mengikuti program penempatan wajib/internsip pun berhak
memperoleh jaminan pemeliharaan kesehatan dari BPJS Kesehatan. Gubernur/Bupati/Walikota
dapat memberikan tunjangan lain sesuai kemampuan masing-masing daerah di luar tunjangan
pemerintah pusat.

Selain kesejahteraan yang bersifat materi, mengingat program penempatan


wajib/internsip memiliki tujuan awal sebagai wadah pemahiran, maka program-program
pembinaan dokter gigi pun perlu dipersiapkan. Program-program tersebut antara lain; Pertemuan
ilmiah; Penyuluhan hukum dan etika profesi; Pelatihan keterampilan melaksanakan program;
Pemberian penghargaan; Rekomendasi Program Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis
(PPDGS) dengan afiliasi daerah.

Masa Pemberlakuan Program

Dalam penjelasan UU Pendidikan Kedokteran, disebutkan bahwa masa transisi dalam


pembentukan kebijakan lanjutan mengenai internsip dokter gigi dalam bentuk Peraturan
Pemerintah (PP) adalah 2 tahun sejak UU Pendidikan Kedokteran disahkan. Internsip kedokteran
umum, yang sebelumnya diatur oleh Permenkes 299/2010 tentang Penyelenggaraan Program
Internsip dan Penempatan Dokter Pasca Internsip dan Perkonsil No. 1/2010 tentang Internsip,
juga akan mengalami peralihan kebijakan. PP yang mengatur internsip dokter gigi akan
mengandung posisi dan pengelolaan internsip, pembagian wewenang Kemenristekdikti dan
Kemenkes dalam implementasi internsip, serta skema pembiayaannya.
UU Pendidikan Kedokteran telah disahkan pada tahun 2013, maka jika disesuaikan
dengan masa transisi pembentukan kebijakan lanjutan yakni 2 tahun, seharusnya PP yang
mengatur mengenai internsip dokter gigi telah disahkan pada akhir 2015 atau setidaknya pada
awal 2016.

Mengenai pemberlakuan PP mengenai internsip dokter gigi, menurut hemat penulis, akan
menjadi jika bijak jika diwajibkan kepada angkatan yang baru akan masuk preklinik, dengan
catatan sudah ada sosialisasi yang dilakukan pada masa orientasi. Maka, dapat diasumsikan jika
PP Internsip KG dirilis pada 2017, angkatan penempatan wajib/internsip pertama dokter gigi
dapat dilaksanakan pada 2022. Dalam jeda waktu ± 5 tahun tersebut, stakeholder terkait dapat
mempersiapkan segala persiapan yang diperlukan dalam pelaksanaan program tersebut, dan
menjadi opsi yang berkeadilan untuk mahasiswa KG, karena mahasiswa KG tersebut telah
terlebih dahulu mendapatkan penjelasan diawal masa studinya mengenai keberlanjutan masa
studinya sebelum akhirnya dapat menjadi dokter gigi yang legal.

Penawaran Kerja Sama Pengkajian Bersama PSMKGI-PDGI-AFDOKGI

Mengevaluasi penentuan kapitasi dokter gigi dalam JKN yang data-data angka
utilisasinya didasarkan pada penelitian yang retrospektif dan dapat diasumsikan kurang
representatif, penulis mengkhawatirkan pengkajian terhadap konten-konten yang bersifat teknis
dalam perencanaan program penempatan wajib/internsip pun akan mengalami kendala yang
sama. Maka, penulis mengusulkan adanya suatu kerja sama antara PSMKGI, PDGI, serta
AFDOKGI, dalam pengkajian program penempatan wajib/internsip, sebelum kemudian
diusulkan kepada Kemenkes dan Kemenristekdikti sebagai lembaga pembuat peraturan
pemerintah (PP).

Anda mungkin juga menyukai