Anda di halaman 1dari 4

Pro dan

Oleh: Zahratul Jannah (Jamaah


Kontra
Poplitea)
UU No 20 tahun 2013 memperkenalkan istilah
Dokter Layanan Primer sebagai strata
baru pendidikan
kedokteran di Indonesia. Sebagai tambahan, hanya dokter layanan
Dokter
primer, dokter spesialis, dokter subspesialis yang bisa masuk dan berada dalam system
Jaminan Kesehatan
Nasional. Kelak, hanya dokter layanan primer dan dokter praktik
Layanan
umum yang telah mengikuti program yang dapat menjadi dokter-dokter penyedia
Primer
pelayanan kesehatan
primer bila ingin menjadi bagian dari system sebagai penyedia
pelayanankesehatan primer. Bila tidak, seorang dokter praktik umum tanpa kompetensi
dokter layanan primer hanya bisa berpraktik swasta ditengah-tengah system JKN yang
membuat masyarakat tak perlu membayar tiap kali berobat
Program Dokter Layanan Primer ini bukan utk mempersulit tp utk meningkatkan
kompetensi dokter layanan primer (terlepas dari sistem BPJS) dan meningkatkan
derajat dokter layanan primer itu sendiri, termasuk dlm hal insentif dan remunerasi.
Serta utk menekan angka kesakitan penduduk shg anggaran negara tdk membengkak.
Karena DLP ini hrs menguasai 155 penyakit yg mrpkan 80 persen mslh kesehatan di
masyarakat. Tp utk masa peralihan ini, dokter umum yg skrg tetap bebas berpraktik.
Akan ad pemutihan bertahap dgn standar terukur. Negara lain sudah melakukan
pemutihan sejak thn 70-an. Kita sudah tertinggal 30 tahun.
Lulusan Dokter layanan Primer di negara lain dikenal dengan sebutan GP ataupun
family medicine specialist (Sp.FM) yang pasti memang standarnya harus menempuh
tambahan pendidikan lagi setelah internship. Jika Indonesia tidak mampu
menyamainya, maka Indonesia akan tersingkir di era AFTA 2015 di mana dokter asing
boleh bekerja di Indonesia atau sebaliknya.
Sesuai dengan pasal 8 ayat 3 No 20 tahun 2013, dijelaskan bahwa pendidikan dokter
layanan primer merupakan jenjang pendidikan lanjutan setara spesialis yang dapat
diikuti oleh dokter lulusan program studi pendidikan dokter. Program pendidikan dokter
layanan primer ini tidak diwajibkan, namun diharuskan untuk dokter-dokter baru lulusan
program studi pendidikan dokter yang menginginkan untuk dibiayai system sebagai
dokter layanan primer pada Jaminan Kesehatan Nasional. Diisukan bahwa seluruh
biaya pendidikan Dokter Layanan Primer akan dibiayai oleh negara.
Dokter Layanan Primer diharapkan bisa berperan sebagai gate keeper yang akan
menangani 80% kasusnya sendiri hingga tuntas, sedangkan 20% kasus kan diserahkan
ke pelayanan kesehatan jenjang berikutnya. Hal ini harus dilakukan karena akan terjadi
pemborosan biaya apabila setiap kasus yang diitangani harus dirujuk
Walaupun disetarakan, dokter layanan primer berbeda dengan dokter spesialis.
Menurut Direktur Utama RS Cipto Mangunkusumo, Dr. dr. Czeresna. H. Soedjono,

Sp.PD-KGer, yang membedakan dokter spesialis, dokter umum dan dokter layanan
primer adalah kompetensi, area dan pekerjaannya.
Dibanding dokter umum biasa, dokter layanan primer memiliki 10 atau 11 item yang
akan membedakan bukan hanya jenis area kompetensinya saja tapi bagaimana
pendekatan kepada pasien dalam masalah kesehatan. Misalnya, dokter yang
mengobati batuk pilek di layanan primer. Dia harus periksa dan menetapkan obat ini.
Mungkin dokter umum akan langsung memberikan obat tapi dokter layanan primer tidak
begitu.
Dokter layanan primer tidak akan memberikan obat langsung karena dia akan mencari
tahu lebih dalam lagi mengenai sebab pasien batuk pilek. Seperti faktor-faktor apa yang
menyebabkan pasien batuk pilek. Apakah virusnya dari diri sendiri, keluarga,
lingkungan atau sekitar rumahnya ada yang mengalami batuk pilek. Kemudian apakah
batuk pilek ang dialami hanya sekali atau berulang dan tidak pernah terpikirkan oleh
dokter sebelumnya.
Untuk pendidikan dokter layanan primer perlu waktu 2-3 tahun untuk setiap
angkatannya dengan bobot 50-90 SKS. Dan saat ini, proses pendidikan ini masih dalam
tahap penyusunan standar kompetensi dan membutuhkan waktu sekitar 5 tahun.
Artinya, dokter layanan primer baru ada pada 2019. Nanti proses pendidikan akan
mengacu pada RSCM karena idealnya dokter layanan primer akan bekerja di
pelayanan primer dan bukan berarti tidak perlu mengenal RS.
Untuk menjadi dokter layanan primer, Czeresna menyampaikan bahwa semua dokter
umum berpotensi menjadi dokter layanan primer karena dia setara dengan spesialis.
Sebelumnya, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sendiri baru akan membuka
program pendidikan dokter layanan primer pada 2016. Nantinya, dokter layanan primer
akan memiliki gelar dokter Sp. FM (Family Medicine-dokter keluarga).
Program Sp.FM ini juga untuk mengimbangi perawat yang pendidikannya sudah
S.Kep.Ners dengan masa studi hampir mirip dengan dokter umum yang sekarang,
bahkan memiliki spesialisasi dan S2 dan S3. Hal ini tidak bisa dicegah karena di luar
negeri, RS saja dimanaged oleh perawat. Rekan perawat saja bisa sekolah terus
dengan biaya sendiri. Sehingga tidak masuk akal jika dokter umum sekarang minta
kenaikan insentif dll di saat sekolahnya saja sudah kalah lama dengan perawat. Dan
akan aneh juga jika Sp.FM tidak didukung dokter spesialis yang lain karena mereka
bahkan selama ini juga mengajar teman-teman perawat yg mengambil spesialiasi, S2
dan S3.

Muhammad Akbar dari Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin dan Wawang S


Sukarya dari Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung mengungkapkan
kerugian akibat adanya ketentuan mengenai DLP.
Sementara itu, terkait dengan dalil mengenai DLP, Akbar menjelaskan semua dokter
yang mengikuti pendidikan kedokteran menempuh pendidikan di fakultas kedokteran.
Lulusan fakultas kedokteran disebut dengan dokter umum. Seiring dengan
berkembangnya ilmu kedokteran, munculah cabang-cabang spesialis seperti spesialis
penyakit dalam dan spesialis saraf dan lulusannya disebut dokter spesialis.
Sepanjang pengetahuannya dan menilik UU Praktik Kedokteran, Akbar mengatakan
surat registrasi sebagai pengakuan kompetensi dokter hanya ada dua yakni kompetensi
sebagai dokter atau sebagai dokter umum, tidak ada kompetensi dokter layanan primer.
Lebih lanjut, Akbar mengatakan dokter atau dokter umum itulah yang dikembangkan
oleh Kementerian Kesehatan dan BPJS untuk bekerja pada fasilitas pelayanan
kesehatan primer. Akbar juga menjelaskan mengenai hierarki dalam pelayanan
kesehatan yang telah dikembangkan untuk proses rujukan yaitu pelayanan primer,
sekunder, tersier. Sistem rujukan yang kita kenal selama ini ada fasilitas kesehatan
primer, ada fasilitas kesehatan sekunder yang diladeni oleh dokter spesialis, dan ada
fasilitas kesehatan tersier yang diladeni oleh dokter spesialis. Akbar tidak melihat di
mana nantinya dokter layanan primer yang konon katanya setara dengan spesialis
bertempat di dalam hierarki ini.
Hampir senada dengan Akbar, Wawang menyampaikan DLP tidak jelas definisinya.
Wawang juga sulit mengkategorikan DLP sebagai dokter spesialis atau dokter umum.
Sebab, surat registrasi sebagai syarat praktik dokter hanya dikeluarkan untuk dokter
dan dokter spesialis. Terlebih, surat tanda registrasi tersebut hanya akan diterbitkan
berdasarkan ijazah. Bila pada ijazah dinyatakan sebagai dokter spesialis, maka pada
surat tanda registrasi akan ditulis sebagai spesialis tertentu sesuai bidangnya.
Sedangkan, DLP tidak ada ijazahnya. Sebab, DLP di Indonesia sebetulnya merupakan
dokter yang memberikan pelayanan pertama dan kemudian merawatnya atau memberi
rujukan bila tidak bisa menangani (primary care decision).
Sementara itu, Muhammad Ardiansyah yang sehari-hari bekerja sebagai dokter di
fasilitas pelayanan primer yaitu di rumah sakit maupun di tempat praktik dokter.
Ardiansyah menjelaskan bahwa tugasnya sehari-hari adalah melakukan interpretasi
klinis terhadap pasien yang dapat berupa pemeriksaan labolatorium sederhana hingga
menjatuhkan diagnosa. Namun, bila tidak interpretasi klinis sudah tidak sesuai dengan
kompetensinya, Ardiansyah mengaku akan merujuk kepada dokter spesialis di layanan
sekunder.

Terkait dengan ketentuan mengenai DLP, Ardiansyah selaku dokter umum mengaku
merasa dikesampingkan kompetensinya. Sebab, untuk memperoleh gelar DLP,
Ardiansyah dan rekan sejawatnya harus menempuh pendidikan lagi selama dua tahun.
Ardiansyah bahkan merasa pendidikan dua tahun untuk memeroleh gelar DLP sia-sia
sebab nantinya mereka akan bekerja di layanan primer, sama seperti dokter umum.
Ardiansyah juga merasa khawatir profesinya akan tidak bisa menyokong perekonomian
keluarganya. Sebab, hanya DLP-lah yang dapat bekerja sama dengan BPJS.
Menurutnya, Jaminan Kesehatan Nasional keluar peraturan bahwa yang bisa bekerja
sama dengan BPJS yang gratis dan ada klaimnya dalam soal ekonom ihanyalah yang
sudah DLP. Sementara paradokter umum tidak bisa apa-apa.
Kesimpulan
Dokter layanan primer yang dicanangkan oleh pemerintah masih memiliki pro kontra
yang simpang siur. Nantinya, hanya dokter layanan primer dan dokter praktik umum
yang telah mengikuti program yang dapat menjadi dokter-dokter penyedia pelayanan
kesehatan primer. Semua dokter-dokter fresh graduated harus mengikuti pendidikan
dokter layanan primer bila ingin menjadi bagian dari system sebagai penyedia
pelayanan kesehatan primer. Hal ini menjadi pukulan keras untuk para dokter umum
yang harus melanjutkan studinya. Akan tetapi, mereka masih ditetapkan bekerja pada
layanan primer. Sebaiknya system dokter layanan primer ini diperbaiki lagi sehingga
tidak berdampak buruk bagi banyak orang. Tidak adanya ijazah, kurangnya
penempatan, dan belum jelasnya program dokter layanan primer ini masih menjadi
kendala. Sehingga perlu adanya strata baru mengenai dokter layanan primer ini.
Terlebih lagi belum adanya sosialisasi dari pemerintah mengenai program dokter
layanan primer ini.

Anda mungkin juga menyukai