Anda di halaman 1dari 20

BAB I

LAPORAN KASUS ANAK

1. IDENTITAS PENDERITA

Nama : An. A

Jenis Kelamin : Perempuan

Nomor RM : 1820596

TTL : 28 juli 2016

Umur : 8 bulan

Agama : Islam

Alamat : Gedang PS RT 15/ RW 5 Porong, Sidoarjo

Bahasa : Indonesia

Datang Ke UGD : Tanggal 17 April 2017 - Jam 10.00 WIB

MRS : Tanggal 17 April 2017 – Jam 10.00 WIB

Anamnesa : Heteroanamnesa (diperoleh dari ibu pasien)

2. ANAMNESIS

a. Keluhan Utama

Panas

b. Riwayat Penyakit Sekarang

Badan panas ± 6 hari, keluar bintik-bintik merah seluruh tubuh,pusing (+),

mual (+), batuk (+), pilek (+) sejak 2 hari yang lalu, muntah (-), BAB

berlendir, BAK terakhir jam 09.00, makan minum (+) cukup.

1
c. Riwayat Penyakit Dahulu

Tidak didapatkan riwayat penyakit dahulu

d. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak didapatkan riwayat penyakit keluarga

e. Riwayat Penggunaan Obat

Pernah menggunakan Paracetamol, Amoxycilin

f. Riwayat alergi

Tidak didapatkan riwayat alergi

g. Riwayat Prenatal

Lama Kehamilan : 9 bulan

Komplikasi : Ya

Masalah Maternal : Muntah

h. Riwayak Natal

Persalinan : SC

Penyulit Persalinan : HT (+)

i. Riwayat Post Natal : Prematur

j. Riwayat Imunisasi : Hepatitis, DPT, Polio

k. Riwayat Tumbuh Kembang

Lahir umur kehamilan : 9 bulan

Pernah dirawat sebelumnya : Tidak

Masalah Neonatus : Tidak ada

2
3. Pemeriksaan Fisik

A. Status Generalis

a. Keadaan Umum : Cukup

b. Kesadaran : Komposmentis

c. GCS : E4 V5 M6

d. BB/TB : 25 kg / -

e. Vital Sign

Tensi :-

Nadi : 92 kali/menit

Suhu : 40° C

RR : 21 x /menit

f. Kepala

A/I/C/D : -/-/-/-

Mata cowong : -

Faring Hiperemi : -

g. Leher

Dalam batas normal

h. Thorak

Paru : Rh -/- , Wh -/-

Jantung : S1S2 TR

i. Abdomen

Bising Usus (+), perut supel. Hepar tidak teraba

3
j. Genetalia

Dalam batas normal

k. Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), CRT < 2dtk (+)

B. Pemeriksaan Penunjang

WBC : 3,96

RBC : 4,90

HB : 11,3 dL/g

HCT : 35,7

PLT : 212

C. Diagnosis

Morbili

D. Planning

- Inf. KAEN 3B 1500 cc/24 jam

- Inj. Ondansetron 3 x 3 mg

- Inj. Sanmol 4 x 500 mg

- Topexyl Syr. 3 x 5cc

- Neokaolana Syr. 3 x 5cc

- Cefixime 2 x cth I

4
BAB II

PEMBAHASAN

1. DEFINISI

Campak juga dikenal dengan nama morbili atau morbillia dan

rubeola (bahasa Latin), yang kemudian dalam bahasa Jerman disebut dengan

nama masern, dalam bahasa Islandia dikenal dengan nama mislingar dan

measles dalam bahasa Inggris. Campak adalah penyakit infeksi yang sangat

menular yang disebabkan oleh virus, dengan gejala-gejala eksantem akut,

demam, kadang kataral selaput lendir dan saluran pernapasan, gejala-gejala

mata, kemudian diikuti erupsi makulopapula yang berwarna merah dan

diakhiri dengan deskuamasi dari kulit.

2. EPIDEMOLOGI

a. Menurut Orang

Campak adalah penyakit yang sangat menular yang dapat menginfeksi

anak anak pada usia dibawah 15 bulan, anak usia sekolah atau remaja dan

kadang kala orang dewasa. Campak endemis di masyarakat metropolitan dan

mencapai proporsi untuk menjadi epidemi setiap 2-4 tahun ketika terdapat 30-

40% anak yang rentan atau belum mendapat vaksinasi. Pada kelompok dan

masyarakat yang lebih kecil, epidemi cenderung terjadi lebih luas dan lebih

berat. Setiap orang yang telah terkena campak akan memiliki imunitas

seumur hidup.

5
b. Menurut Tempat

Penyakit campak dapat terjadi dimana saja kecuali di daerah yang

sangat terpencil. Vaksinasi telah menurunkan insiden morbili tetapi upaya

eradikasi belum dapat direalisasikan. Di Amerika Serikat pernah ada

peningkatan insidensi campak pada tahun 1989-1991. Kebanyakan kasus

terjadi pada anak-anak yang tidak mendapatkan imunisasi, termasuk anak-

anak di bawah umur 15 bulan. Di Afrika dan Asia, campak masih dapat

menginfeksi sekitar 30 juta orang setiap tahunnya dengan tingkat kefatalan

900.000 kematian.

Berdasarkan data yang dilaporkan ke WHO, terdapat sekitar 1.141

kasus campak di Afganistan pada tahun 2007. Di Myanmar tercatat sebanyak

735 kasus campak pada tahun 2006.

c. Menurut Waktu

Virus penyebab campak mengalami keadaan yang paling stabil pada

kelembaban dibawah 40%. Udara yang kering menimbulkan efek yang positif

pada virus dan meningkatkan penyebaran di rumah yang memiliki alat

penghangat ruangan seperti pada musim dingin di daerah utara. Sama halnya

dengan udara pada musim kemarau di Persia atau Afrika yang memiliki

insiden kejadian campak yang relatif tinggi pada musim-musim tersebut.

Bagaimanapun, kejadian campak akan meningkat karena kecenderungan

manusia untuk berkumpul pada musim-musim yang kurang baik tersebut

sehingga efek dari iklim menjadi tidak langsung dikarenakan kebiasaan

manusia.

6
Kebanyakan kasus campak terjadi pada akhir musim dingin dan awal

musim semi di negara dengan empat musim dengan puncak kasus terjadi pada

bulan Maret dan April. Lain halnya dengan di negara tropis dimana

kebanyakan kasus terjadi pada musim panas. Ketika virus menginfeksi

populasi yang belum mendapatkan kekebalan atau vaksinasi maka 90-100%

akan menjadi sakit dan menunjukkan gejala klinis.

3. ETIOLOGI

Virus campak merupakan virus RNA famili paramyxoviridae dengan

genus Morbili virus. Sampai saat ini hanya diketahui 1 tipe antigenik yang

mirip dengan virus Parainfluenza dan Mumps. Virus bisa ditemukan pada

sekret nasofaring, darah dan urin paling tidak selama masa prodromal hingga

beberapa saat setelah ruam muncul. Virus campak adalah organisme yang

tidak memiliki daya tahan tinggi apabila berada di luar tubuh manusia. Pada

temperatur kamar selama 3-5 hari virus kehilangan 60% sifat infektifitasnya.

Virus tetap aktif minimal 34 jam pada temperatur kamar, 15 minggu di dalam

pengawetan beku, minimal 4 minggu dalam temperatur 35˚C, beberapa hari

pada suhu 0˚C, dan tidak aktif pada pH rendah (Soegeng Soegijanto, 2002).

4. GEJALA KLINIS

a. Stadium kataral (prodormal)

Biasanya stadium ini berlangsung selama 4-5 hari dengan gejala

demam, malaise, batuk, fotofobia, konjungtivitis dan koriza. Menjelang akhir

stadium kataral dan 24 jam sebelum timbul eksantema, timbul bercak koplik

7
bercak Koplikberwarna putih kelabu, sebesar ujung jarum timbul pertama kali

pada mukosa bukal yang menghadap gigi molar dan menjelang kira-kira hari

ke 3 atau 4 dari masa prodormal dapat meluas sampai seluruh mukosa mulut.

Secara klinis, gambaran penyakit menyerupai influenza dan sering

didiagnosis sebagai influenza.

b. Stadium erupsi

Stadium ini berlangsung selama 4-7 hari. Gejala yang biasanya terjadi

adalah koriza dan batuk-batuk bertambah. Timbul eksantema di palatum

durum dan palatum mole. Kadang terlihat pula bercak Koplik. Terjadinya

ruam atau eritema yang berbentuk makula-papula disertai naiknya suhu

badan. Mula-mula eritema timbul di belakang telinga, di bagian atas tengkuk,

sepanjang rambut dan bagian belakang bawah. Kadang-kadang terdapat

perdarahan ringan pada kulit. Rasa gatal, muka bengkak. Ruam kemudian

akan menyebar ke dada dan abdomen dan akhirnya mencapai anggota bagian

bawah pada hari ketiga dan akan menghilang dengan urutan seperti terjadinya

yang berakhir dalam 2-3 hari.

c. Stadium konvalesensi

Erupsi berkurang meninggalkan bekas yang berwarna lebih tua

(hiperpigmentasi) yang lama-kelamaan akan menghilang sendiri. Selain

hiperpigmentasi pada anak Indonesia sering ditemukan pula kulit yang

bersisik. Selanjutnya suhu menurun sampai menjadi normal kecuali bila ada

komplikasi.

8
5. DETERMINAN PENYAKIT CAMPAK

a. Host (Penjamu)

Beberapa faktor Host yang meningkatkan risiko terjadinya campak antara lain:

a.1. Umur

Pada sebagian besar masyarakat, maternal antibodi akan melindungi

bayi terhadap campak selama 6 bulan dan penyakit tersebut akan

dimodifikasi oleh tingkat maternal antibodi yang tersisa sampai bagian

pertama dari tahun kedua kehidupan. Tetapi, di beberapa populasi, khususnya

Afrika, jumlah kasus terjadi secara signifikan pada usia dibawah 1 tahun, dan

angka kematian mencapai 42% pada kelompok usia kurang dari 4 tahun. Di

luar periode ini, semua umur sepertinya memiliki kerentanan yang sama

terhadap infeksi. Umur terkena campak lebih tergantung oleh kebiasaan

individu daripada sifat alamiah virus. Di Amerika Utara, Eropa Barat, dan

Australia, anak-anak menghabiskan lebih banyak waktu di rumah, tetapi

ketika memasuki sekolah jumlah anak yang menderita menjadi meningkat.

Sebelum imunisasi disosialisasiksan secara luas, kebanyakan kasus campak

di negara industri terjadi pada anak usia 4-6 tahun ataupun usia sekolah dasar

dan pada anak dengan usia yang lebih muda di negara berkembang. Cakupan

imunisasi yang intensif menghasilkan perubahan dalam distribusi umur

dimana kasus lebih banyak pada anak dengan usia yang lebih tua, remaja, dan

dewasa muda. Penelitian Casaeri dengan desain kasus kontrol di Kabupaten

9
Kendal menyebutkan bahwa anak dengan usia rentan yakni kurang dari 15

tahun memiliki kemungkinan risiko 4,9 kali lebih besar untuk terinfeksi

campak dibanding pada anak umur kurang rentan.

a.2. Jenis Kelamin

Tidak ada perbedaan insiden dan tingkat kefatalan penyakit campak

pada wanita ataupun pria. Bagaimanapun, titer antibodi wanita secara garis

besar lebih tinggi daripada pria. Kejadian campak pada masa kehamilan

berhubungan dengan tingginya angka aborsi spontan. Berdasarkan penelitian

Suwono di Kediri dengan desain penelitian kasus kontrol mendapatkan hasil

bahwa berdasarkan jenis kelamin, penderita campak lebih banyak pada anak

laki-laki yakni 62%.23

a.3. Umur Pemberian Imunisasi

Sisa antibodi yang diterima dari ibu melalui plasenta merupakan faktor

yang penting untuk menentukan umur imunisasi campak dapat diberikan

pada balita. Maternal antibodi tersebut dapat mempengaruhi respon imun

terhadap vaksin campak hidup dan pemberian imunisasi yang terlalu awal

tidak selalu menghasilkan imunitas atau kekebalan yang adekuat. Pada

umur 9 bulan, sekitar 10% bayi di beberapa negara masih mempunyai

antibodi dari ibu yang dapat mengganggu respons terhadap imunisasi.

Menunda imunisasi dapat meningkatkan angka serokonversi. Secara umum

di negara berkembang akan didapatkan angka serokenversi lebih dari 85%

10
bila vaksin diberikan pada umur 9 bulan. Sedangkan di negara maju, anak

akan kehilangan antibodi maternal saat berumur 12-15 bulan sehingga pada

umur tersebut direkomendasikan pemberian vaksin campak. Namun,

penundaan imunisasi dapat mengakibatkan peningkatan morbiditas dan

mortalitas akibat campak yang cukup tinggi di kebanyakan negara

berkembang. Penelitian kohort di Arkansas menyebutkan bahwa jika

dibandingkan dengan anak yang mendapatkan vaksinasi pada usia >15

bulan, anak yang mendapatkan vaksinasi campak pada usia <12 bulan

memiliki risiko 6 kali untuk terkena campak. Sedangkan anak yang

mendapatkan vaksinasi campak pada usia 12-14 bulan memiliki risiko 3 kali

untuk terkena campak dibanding dengan anak yang mendapat vaksinasi pada

usia 15 bulan. Sedangkan sebuah studi kasus kontrol yang juga dilakukan di

Arkansas menyebutkan bahwa anak yang mendapatkan vaksinasi campak

pada usia 12-14 bulan memiliki kemungkinan risiko terkena campak 5,6 kali

lebih besar dibanding anak yang mendapatkan vaksin pada usia 15 bulan

atau lebih.

a.4. Pekerjaan

Dalam lingkungan sosioekonomis yang buruk, anak-anak lebih

mudah mengalami infeksi silang. Kemiskinan bertanggungjawab terhadap

penyakit yang ditemukan pada anak. Hal ini karena kemiskinan mengurangi

kapasitas orang tua untuk mendukung perawatan kesehatan yang memadai

pada anak, cenderung memiliki higiene yang kurang, miskin diet, miskin

11
pendidikan. Frekuensi relatif anak dari orang tua yang berpenghasilan

rendah 3 kali lebih besar memiliki risiko imunisasi terlambat dan 4 kali lebih

tinggi menyebabkan kematian anak dibanding anak yang orang tuanya

berpenghasilan cukup.

a.5. Pendidikan

Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi bagaimana seseorang

untuk bertindak dan mencari penyebab serta solusi dalam hidupnya. Orang

yang berpendidikan lebih tinggi biasanya akan bertindak lebih rasional. Oleh

karena itu orang yang berpendidikan akan lebih mudah menerima gagasan

baru. Pendidikan juga mempengaruhi pola berpikir pragmatis dan rasional

terhadap adat kebiasaan, dengan pendidikan lebih tinggi orang dapat lebih

mudah untuk menerima ide atau masalah baru. Penelitian Agunawan di desa

Saung Naga Kecamatan Baturaja Barat dengan desain cross sectional

menyebutkan bahwa ada hubungan antara pendidikan ibu dengan kejadian

penyakit campak pada balita (p=0,000).

a.6. Imunisasi

Vaksin campak adalah preparat virus yang dilemahkan dan berasal

dari berbagai strain campak yang diisolasi. Vaksin dapat melindungi tubuh

dari infeksi dan memiliki efek penting dalam epidemiologis penyakit yaitu

mengubah distribusi relatif umur kasus dan terjadi pergeseran ke umur yang

lebih tua. Pemberian imunisasi pada masa bayi akan menurunkan penularan

12
agen infeksi dan mengurangi peluang seseorang yang rentan untuk terpajan

pada agen tersebut. Anak yang belum diimunisasi akan tumbuh menjadi

besar atau dewasa tanpa pernah terpajan dengan agen infeksi tersebut. Pada

campak, manifestasi penyakit yang paling berat biasanya terjadi pada anak

berumur kurang dari 3 tahun. Pemberian imunisasi pada umur 8-9 bulan

diprediksi dapat menimbulkan serokonversi pada sekurang-kurangnya 85%

bayi dan dapat mencegah sebagian besar kasus dan kematian. Dengan

pemberian satu dosis vaksin campak, insidens campak dapat diturunkan

lebih dari 90%. Namun karena campak merupakan penyakit yang sangat

menular, masih dapat terjadi wabah pada anak usia sekolah meskipun 85-

90% anak sudah mempunyai imunitas. Sebuah penelitian kohort yang

dilakukan terhadap 627 siswa di Arkansas mendapatkan bahwa anak yang

tidak mendapatkan vaksinasi berisiko 20 kali untuk terkena campak daripada

anak yang memiliki riwayat vaksinasi pada usia 15 bulan atau lebih.

Berdasarkan penelitian I Made Suardiyasa di kabupaten Tolitoli Sulawesi

Tengah menyebutkan bahwa anak yang tidak diimunisasi berisiko 29 kali

untuk terkena campak dibanding anak yang mendapat imunisasi.

a.7. Status Gizi

Kejadian kematian karena campak lebih tinggi pada kondisi

malnutrisi, tetapi belum dapat dibedakan antara efek malnutrisi terhadap

kegawatan penyakit campak dan efek yang ditimbulkan penyakit campak

terhadap nutrisi yang dikarenakan penurunan selera makan dan kemampuan

13
untuk mencerna makanan. Scrimshaw mencatat bahwa kematian karena

campak pada anak-anak yang ada di desa Guatemala menurun dari 1%

menjadi 0,3% tiap tahunnya ketika anak-anak tersebut diberikan suplemen

makanan dengan kandungan protein tinggi. Sedangkan pada desa yang

menjadi kontrol dimana anak-anak tersebut tidak diberikan suplemen

protein, angka kematian menunjukkan angka 0,7%. Tetapi karena hanya

27% saja dari anak anak tersebut yang secara teratur mengkonsumsi protein

ekstra, dapat disimpulkan bahwa perubahan rate yang didapatkan pada kasus

observasi tidak seluruhnya disebabkan oleh suplemen makanan. Dari sebuah

studi dinyatakan bahwa elemen nutrisi utama yang menyebabkan kegawatan

campak bukanlah protein dan kalori tetapi vitamin A. Ketika terjadi

defisiensi vitamin A, kematian atau kebutaan menyertai penyakit campak.

Apapun urutan kejadiannya, kematian yang berhubungan dengan penyakit

campak mencapai tingkat yang tinggi, biasanya lebih dari 10% terjadi pada

keadaan malnutrisi. Penelitian I Made Suardiyasa di kabupaten Tolitoli

Sulawesi Tengah menyebutkan bahwa risiko anak yang memiliki status gizi

kurang untuk terkena campak adalah 5,4 kali dibanding anak dengan status

gizi baik. Sedangkan penelitian Sulung di Puskesmas Kori Kecamatan Kodi

Utara Kabupaten Sumba Barat dengan desain cross sectional terhadap anak

berumur 6 bulan -15 tahun mendapatkan hasil bahwa kejadian campak ada

hubungannya dengan status gizi dimana anak dengan status gizi kurang

mempunyai kemungkinan risiko 2,9 kali lebih besar untuk terkena campak.

a.8. ASI Eksklusif


14
Sebanyak lebih dari tiga puluh jenis imunoglobulin terdapat di

dalam ASI yang dapat diidentifikasi dengan teknik-teknik terbaru. Delapan

belas diantaranya berasal dari serum si ibu dan sisanya hanya ditemukan di

dalam ASI/kolostrum. Imunoglobulin yang terpenting yang dapat ditemukan

pada kolostrum adalah IgA, tidak saja karena konsentrasinya yang tinggi

tetapi juga karena aktivitas biologiknya. IgA dalam kolostrum dan ASI

sangat berkhasiat melindungi tubuh bayi terhadap penyakit infeksi. Selain

daripada itu imunoglobulin G dapat menembus plasenta dan berada dalam

konsentrasi yang cukup tinggi di dalam darah janin/bayi sampai umur

beberapa bulan, sehingga dapat memberikan perlindungan terhadap

beberapa jenis penyakit. Adapun jenis antibodi yang dapat ditransfer dengan

baik melalui plasenta adalah difteri, tetanus, campak, rubela, parotitis, polio,

dan stafilokokus.

Suatu penelitian dengan desain kohort yang dilakukan di Swedia

mendapatkan hasil bahwa pemberian ASI selama >3 bulan dapat memberi

perlindungan terhadap infeksi penyakit campak dengan kata lain pemberian

ASI merupakan faktor protektif terhadap kejadian campak (OR = 0,69).

b. Agent

Penyebab infeksi adalah virus campak, anggota genus Morbilivirus dari

famili Paramyxoviridae.

c. Lingkungan

15
Epidemi campak dapat terjadi setiap 2 tahun di negara berkembang dengan

cakupan vaksinasi yang rendah. Kecenderungan waktu tersebut akan hilang pada

populasi yang terisolasi dan dengan jumlah penduduk yang sangat kecil yakni <

400.000 orang. Status imunitas populasi merupakan faktor penentu. Penyakit akan

meledak jika terdapat akumulasi anak-anak yang suseptibel. Ketika penyakit ini

masuk ke dalam komunitas tertutup yang belum pernah mengalami endemi, suatu

epidemi akan terjadi dengan cepat dan angka serangan mendekati 100%. Pada

tempat dimana jarang terjangkit penyakit, angka kematian bisa setinggi 25%.

6. KOMPLIKASI

Pada penderita campak dapat terjadi komplikasi yang terjadi sebagai

akibat replikasi virus atau karena superinfeksi bakteri antara lain.

6.1. Otitis Media Akut

Dapat terjadi karena infeksi bakterial sekunder.

6.2. Ensefalitis

Dapat terjadi sebagai komplikasi pada anak yang sedang menderita

campak atau dalam satu bulan setelah mendapat imunisasi dengan vaksin

virus campak hidup, pada penderita yang sedang mendapat pengobatan

imunosupresif dan sebagai Subacute sclerosing panencephalitis (SSPE).

Angka kejadian ensefalitis setelah infeksi campak adalah 1 : 1.000 kasus,

sedangkan ensefalitis setelah vaksinasi dengan virus campak hidup adalah

1,16 tiap 1.000.000 dosis. SSPE jarang terjadi hanya sekitar 1 per 100.000

dan terjadi beberapa tahun setelah infeksi dimana lebih dari 50% kasus-kasus
16
SSPE pernah menderita campak pada 2 tahun pertama umur kehidupan.

Penyebabnya tidak jelas tetapi ada bukti-bukti bahwa virus campak

memegang peranan dalam patogenesisnya. SSPE yang terjadi setelah

vaksinasi campak didapatkan kira-kira 3 tahun kemudian.

6.3. Bronkopneumonia

Dapat disebabkan oleh virus morbilia atau oleh Pneuomococcus,

Streptococcus, Staphylococcus. Bronkopneumonia ini dapat menyebabkan

kematian bayi yang masih muda, anak dengan malnutrisi energi protein,

penderita penyakit menahun misalnya tuberkulosis, leukemia dan lain-lain.

6.4. Kebutaan

Terjadi karena virus campak mempercepat episode defisiensi vitamin

A yang akhirnya dapat menyebabkan xeropthalmia atau kebutaan.

7. PENCEGAHAN

7.1. Pencegahan Tingkat Awal (Priemordial Prevention)

Pencegahan tingkat awal berhubungan dengan keadaan penyakit yang

masih dalam tahap prepatogenesis atau penyakit belum tampak yang dapat

dilakukan dengan memantapkan status kesehatan balita dengan memberikan

makanan bergizi sehingga dapat meningkatkan daya tahan tubuh.

7.2. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)

Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mencegah

seseorang terkena penyakit campak, yaitu :3,35 a. Memberi penyuluhan

17
kepada masyarakat mengenai pentingnya pelaksanaan imunisasi campak

untuk semua bayi. b. Imunisasi dengan virus campak hidup yang dilemahkan,

yang diberikan pada semua anak berumur 9 bulan sangat dianjurkan karena

dapat melindungi sampai jangka waktu 4-5 tahun.

7.3. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)

Pencegahan tingkat kedua ditujukan untuk mendeteksi penyakit sedini

mungkin untuk mendapatkan pengobatan yang tepat. Dengan demikian

pencegahan ini sekurang-kurangnya dapat menghambat atau memperlambat

progrefisitas penyakit, mencegah komplikasi, dan membatasi kemungkinan

kecatatan, yaitu :

a. Menentukan diagnosis campak dengan benar baik melalui pemeriksaan

fisik atau darah.

b. Mencegah perluasan infeksi. Anak yang menderita campak jangan masuk

sekolah selama empat hari setelah timbulnya rash. Menempatkan anak pada

ruang khusus atau mempertahankan isolasi di rumah sakit dengan melakukan

pemisahan penderita pada stadium kataral yakni dari hari pertama hingga hari

keempat setelah timbulnya rash yang dapat mengurangi keterpajanan

pasienpasien dengan risiko tinggi lainnya.

c. Pengobatan simtomatik diberikan untuk mengurangi keluhan penderita

yakni antipiretik untuk menurunkan panas dan juga obat batuk. Antibiotika

hanya diberikan bila terjadi infeksi sekunder untuk mencegah komplikasi.

d. Diet dengan gizi tinggi kalori dan tinggi protein bertujuan untuk

meningkatkan daya tahan tubuh penderita sehingga dapat mengurangi

18
terjadinya komplikasi campak yakni bronkhitis, otitis media, pneumonia,

ensefalomielitis, abortus, dan miokarditis yang reversibel.

7.4. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)

Pencegahan tingkat ketiga bertujuan untuk mencegah terjadinya

komplikasi dan kematian. Adapun tindakan-tindakan yang dilakukan pada

pencegahan tertier yaitu :

a. Penanganan akibat lanjutan dari komplikasi campak.

b. Pemberian vitamin A dosis tinggi karena cadangan vitamin A akan turun

secara cepat terutama pada anak kurang gizi yang akan menurunkan imunitas

mereka.

19
DAFTAR PUSTAKA

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia


(1985), ”Infeksi”, dalam: Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak jilid 2, Bagian
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,
hal. 624-628
Pedoman Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat
Sanglah Denpasar : 2011
Rudolph, A.M. (1991), ”Bacterial and Viral Infections”, dalam: Rudolph’s
Pediatrics, 19th ed, Appleton & Lange, Connecticut, hal. 676-680
Khuri-Bolos (2001), “Measles”, dalam: Elzouki, A.Y., Harfi, H.A., Nazer, H.
(eds), Textbook of Clinical Pediatrics, Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia, hal. 381-383

20

Anda mungkin juga menyukai