Dibuat oleh:
Iwan Setiawan (09-010)
Pembimbing :
dr. Persadaan Bukit Sp.A
Alhamdulillah kami ucapkan puji dan syukur pada Allah SWT, karena atas rahmat dan
hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Penatalaksanaan DM pada
Anak” dengan baik.
Makalah ini disusun untuk memenuhi syarat mengikuti ilmu kepaniteraan anak di
fakultas kristen Indonesia. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini masih belum sempurna karena
menemukan berbagai kesulitan. Sehingga Penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun.
Iwan setiawan
Pendahuluan
Diabetes mellitus adalah penyakit endokrin yang paling umum di dunia dan merupakan
salah satu masalah kesehatan yang sedang meningkat drastis di seluruh dunia. Insidens diabetes
pada anak dilaporkan dari berbagai negara di antaranya ada 15.000/100.000 anak menderita
diabetes mellitus tipe 1 dan 3.200/100.000 anak mederita diabetes mellitus tipe 2.
Pada anak diabetes mellitus terbagi menjadi 2 etiologi yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2.
DM tipe-1 merupakan salah satu penyakit kronis yang sampai saat ini belum dapat disembuhkan.
Walaupun demikian berkat kemajuan dunia teknologi kedokteran kualitas hidup penderita DM-
tipe1 tetap dapat sepadan dengan anak-anak normal lainnya jika mendapat tatalaksana yang
adekuat. Namun, akhir-akhir ini prevalensi DM tipe-2 pada anak juga meningkat. Hal ini
diakibatkan karena pola hidup anak yang bebas dari orangtua. DM tipe-2 merupakan penyakit
endokrin yang biasanya terjadi pada orangtua akibat pancreas tidak mampu lagi menghasilkan
insulin atau insulin yang dihasilkan bersifat resisten. Dalam tatalaksananya penderita DM tipe-1
dan DM tipe-2 mendapatkan cara penanganan yang hampir sama.
Berbagai macam faktor yang memengaruhi terjadinya diabetes mellitus, seperti pengaruh
faktor lingkungan seperti adanya infeksi virus maupun bacterial, faktor diet dan gizi, faktor
hormon regulasi serta faktor stress emosional.
Insiden DM tipe-1 sangat bervariasi baik antar negara maupun di dalam suatu negara.
Insidens tertinggi terdapat di Finlandia yaitu 43/100.000 dan insiden yang rendah di Jepang yaitu
1,5-2/100.000 untuk usia kurang dari 15 tahun. Insiden DM tipe-1 lebih tinggi pada ras kakasia
dibandingkan ras-ras lainnya. Di Indonesia insidens terjadinya masih rendah sehingga tidak
jarang terjadi kesalahan diagnosis dan keterlambatan diagnosis.
Berdasarkan data dari rumah sakit terdapat 2 puncak insidens DM tipe-1 pada anak yaitu
pada usia 5-6 tahun dan 11 tahun. Patut dicatat bahwa lebih dari 50% penderita DM tipe-1
berusia < 20 tahun. Faktor genetik dan lingkungan sangat berperan dalam terjadinya DM tipe-1.
Hampir 80% penderita DM tipe-1 tidak mempunyai riwayat keluarga dengan penyakit
serupa, namun faktor genetik diakui berperan dalam pathogenesis DM tipe-1. Faktor genetik
dikaitkan dengan pola Human Leukosit Antigen (HLA) tertentu, tetapi sistim HLA bukan
merupakan faktor satu-satunya ataupun faktor utama pada pathogenesis DM tipe-1. Sistim HLA
berperan sebagai suatu susceptibility gene atau faktor kerentanan. Diperlukan suatu faktor
pemicu yang berasal dari lingkungan untuk menimbulkan gejala klinis DM tipe-1 pada seseorang
yang rentan.
Kembar monozigot mempunyai faktor resiko sekitar 60% terkena DM tipe-1, walau
dalam 10 tahun ini ± 30% kembar pertama terdiagnosa. 2-3% Anak dapat terkena diabetes
apabila ibunya mempunyai riwayat diabetes. Apabila ayah yang terdapat diabetes dapa
meningkatkan faktor resiko 5-6% terkena DM tipe-1. Apabila kedua orangtuanya menderita
diabetes, hampir 30% anak beresiko diabetes. Human Leukosit Antigen (HLA) class II molekul
DR3 dan DR4 mempunyai hubungan erat dengan DM tipe-1. Lebih dari 90% kulit putih anak
dengan DM tipe-1 menampilkan 1 atau lebih molekul dibandingkan 50-60% populasi umum.
Anak yang menampilkan molekul DR3 juga meningkatkan resiko penyakit autoimun
endocrinopathies dan pada pasien ini meningkatkan resiko diabetes kemudian hari. Anak yang
menampilkan DR4 biasanya lebih dini terdiagnosa dan biasanya terdapat positif pada antibody
insulinnya. Adanya DR3 dan DR4 carier meningkatkan terjadinya resiko terkena DM tipe-1.
Fakta lain menunjukkan bahwa 95% DM tipe-1 disebabkan oleh faktor lingkungan yang
berhubungan dengan adanya kemungkinan genetic. Hubungan ini menyebabkan timbulnya
penyakit autoimun yang berperan langsung dalam proses memproduksi insulin.
Perlahan insulin secara progresif akan hancur dan menyebabkan terjadinya defisiensi
insulin yang beresiko 90% menghancurkan sel islet dipulau langerhans. Penyebab faktor
lingkungan bisa dipicu oleh berbagai faktor berikut :
1. Infeksi virus
Infeksi virus merupakan faktor utama terjadinya DM tipe-1, virus dapat memodifikasi
terjadinya proses autoimun. Dilaporkan bahwa efek toksik langsung pada infeksi congenital
rubella. Sebuah survey mengatakan bahwa infeksi enteroviral selama kehamilan dapat
meningkatkan resiko DM tipe-1.
2. Faktor diet
Pengonsumsian susu sapi dapat meningkatkan resiko insiden diabetes. Zat dalam susu
sapi mengandung bovine serum albumin yang mempunyai persamaan sifat dengan antigen sel
islet.
3. Nitrosamine
Zat kimia yang ditemukan pada makanan yang proses pengolahannya dibakar.
4. Faktor lain-lain
Mengurangi terkenanya paparan sinar UV dan pada anak dengan kekurangan vitamin D
berhubungan dengan resiko terkenanya DM tipe-1.
Zat kimia, streptozotocin dan RH 787, racun tikus, menyerang sel islet dan menyebabkan
DM tipe-1.
Penyakit congenital seperti tidak adanya pancreas atau sel islet.
Pada penyakit pancreas, contoh pancreatitis.
Pancreactomy .
Wolfram syndrome.
Kelainan kromosom.
Pada anak dengan DM tipe-2 pada akhir abad ke-20 meningkat secara drastis sekitar 8-
45% kasus. Dalam kasus dilaporkan bahwa banyak pada kaum minoritas. Pada anak usia 15-19
tahun pada ras American Indians dilaporkan terbanyak kasusnya. Tertinggi kedua dan ketiga
yaitu dibenua asia-pasifik dengan 22.7 kasus per 100.000 anak dan ras hitam dengan kasus 19.4
kasus per 100.000 anak pertahun.
C. PATOFISIOLOGI
Insulin sangat penting dalam proses metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Insulin
bekerja menurunkan kadar gula darah dengan cara mengkonversikan gula darah menjadi ke sel
otot dan mengubah glukosa menjadi glikogen (glycogenesis). Insulin juga menghambat produksi
glukosa dari hati (glycogenolysis) dan menurunkan kadar lemak atau trigliserida, asam lemak
dan keton. Pemberian insulin dapat menghambat penghancuran protein dan lemak untuk
memproduksi glukosa dihati dan ginjal (gluconeogenesis).
Glucagon adalah hormone yang diproduksi oleh sel dibagian pancreas yang dikenal
sebagai pulau Langerhans. Hormone ini memainkan peran aktif dalam memungkinkan tubuh
untuk mengatur pemanfaatan glukosa dan lemak. Glucagon dilepaskan saat kadar glukosa darah
rendah dan ketika tubuh membutuhkan glukosa tambahan, seperti setelah olahraga berat. Ketika
glucagon dilepaskan hormone ini merangsang hati untuk memecah glikogen yang akan
dilepaskan ke dalam darah sebagai glukosa, mengaktifkan glukoneogenesis dan lemak turun
disimpan menjadi asam lemak untuk digunakan sebagai bahan bakar oleh sel. Glucagon
berfungsi menjaga kadar glukosa darah cukup tinggi bagi tubuh berfungsi dengan baik. Ketika
kadar glukosa darah rendah, flucagon dilepaskan dan sinyal hati untuk melepaskan glukosa
dalam rendah.
Saat seseorang makan asupan kaya protein, kadar glucagon dalam darah akan meningkat.
Pada penderita diabetes, kehadiran glucagon dapat mendorong kadar glukosa darah terlalu tinggi
karena tidak adanya cukup insulin yang tersedia atau bagi diabetes tipe 2, tubuh menanggapi
insulin tidak secara baik.
Ada juga peran glucagon yang dapat membuat tubuh tidak merasa adanya perasaan
kenyang setelah makan makanan yang banyak. Penelitian dari Chariti University Medicine
Jerman berupaya mengembangkan pengobatan bagi penderita obesitas dan diabetes tipe 1 untuk
menekan rasa lapar.
Faktor lain yang membuat hiperglikemik adanya keadaan hormone counterregulator. Ada
4 hormon counterregulator glucagon, adrenalin, cortisol dan growth hormone. Hormon ini timbul
selama keadaan hipoglikemia dan kondisi stress. Hormon-hormon ini mempunyai sifat antagoni-
insulin pada hati dan jaringan perifer. Antagonis insulin pada glucagon dan adrenaline
mempunyai onset cepat disbanding cortisol dan growth hormon yang berefek lebih lama.
Glucagon adalah hormone terpenting pada proses akut glukosa counterregulation. Saat
glucagon menurun, pasien dengan diabetes 1, adrenaline menjadi hormon terpenting selama
terjadinya hipoglikemia. Kortisol dan growth hormone berkontribusi pada proses
counterregulation selama hipoglikemia berkepanjangan. Adrenalin, kortisol dan growth hormon
merupakan faktor terjadinya resistensi insulin.
Obesitas sangat berhubungan dengan kejadian DM tipe-2 pada anak. 80% anak DM tipe-
2 merupakan anak yang obesitas. Biasanya ditemukan pada anak diatas persentil lebih dari 85%.
Acanthosis nigricans, penanda adanya resisten insulin. Pada kulit biasanya terjadi
penebalan yang bersifat hiperpigmentasi terutama pada bagian leher. Hal ini ditemukan pada
anak DM tipe-2.
Policyistic ovary syndrome adalah kelainan pada bagian reproduksi pada anak wanita
dengan acanthosis nigricans. PCOS terlihat dari adanya hiperandrogenism dan kelainan
metabolik.
Hipertensi pada anak DM tipe-2 sering terjadi. Faktor resiko terjadinya macrovascular
dan microvascular merupakan komplikasi yang berhubungan dengan meningkatnya sistolik
blood pressure.
D. DIAGNOSIS
Sebagian besar penderita DM mempunyai riwayat perjalan klinis yang akut. Gejala klasik
pada penderita diabetes seperti poliuria, polifagia, polifagia dan berat badab yang cepat menurun
terjadi antara 1 sampai 2 minggu sebelum diagnosis ditegakkan. Apabila gejala-gejala klinis ini
disertai dengan hiperglikemia maka diagnosis DM tidak diragukan lagi.
Perjalanan alamiah penyakit DM tipe-1 ditandai dengan adanya fase remisi yang dikenal
honeymoon periode. Fase ini terjadi akibat berfungsinya kembali jaringan residual pancreas
sehingga pancreas menghasilkan kembali sisa insulin. Fase ini akan berakhir apabila pancreas
sudah menghabiskan seluruh sisa insulin. Secara klinis ada tidaknya fase ini harus dicurigai
apabila seorang anak penderita DM baru sering mengalami serangan hipoglikemia. Apabila dosis
insulin yang dibutuhkan sudah mencapai < 0,25 U/KgBB/hari maka dapat dikatakan penderita
berada dalam fase remisi total. Pada saat cadangan insulin sudah habis, penderita akan
membutuhkan kembali insulin dan apabila tidak segera mendapatkan insulin , penderita akan
jatuh kembali ke keadaan ketoasidosis dengan segala konsekuensinya.
Kriteria diagnostic secara laboratorium memastikan nilai kadar glukosa darah puasa.
Kadar glukosa darah puasa dianggap normal bila kadar glukosa darah kapiler <126 mg/dL
(7mmol/L). glukosuria saja tidak spesifik untuk DM sehingg a perlu dikonfirmasi dengan
pemeriksaan glukosa darah.
Diagnosis DM dapat ditegakkan apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut :
1. Ditemukannya gejala klinis poliuria, polidipsia, polifagia, berat badab yang menurun dan
kadar glukosa darah sewaktu > 200 mg/dL (11.1mmol/L)
2. Pada penderita yang asimptomatis ditemukan kadar glukosa darah sewaktu > 200mg/dL atau
kadar glukosa darah puasa lebih tinggi dari normal dengan tes toleransi glukosa yang terganggu
pada lebih dari satu kali pemeriksaan.
3. C-peptide dan peningkatan kebutuhan insulin ditemukan pada DM tipe-2. Penanda autoimun
(glutamic acid decarboxylase [GAD] dan sel islets antibody) positif pada DM tipe-1.
Untuk membedakan gejala dan tanda pada diabetes mellitus tipe 1 atau 2 ,karaterisktik pada DM
tipe-2 :
Onsetnya perlahan
Pada anak yang obesitas
Resisten terhadap insulin
Terdapat riwayat penyakit diabetes pada keluarga
Obesitas
Acanthosis nigricans
Polisistik ovary sindrom
Hipertensi
Retinopati
Guideline diagnosa pada DM tipe-2 pada anak, 2 diantara hal-hal dibawah ini :
1. riwayat keluarga
2. ras minoritas (American Indian, black, Hispanic, asian)
3. tanda-tanda resistensi insulin
Hal pertama yang harus dipahami oleh semua pihak adalah bahwa DM tipe-1 tidak dapat
disembuhkan, tetapi kualitas hidup penderita dapat dipertahankan seoptimal mungkin dengan
kontrol metabolic yang baik. Yang dimaksud kontrol metabolik yang baik adalah mengusahakan
kadar glukosa darah berada dalam batas normal atau mendekati nilai normal, tanpa menyebabkan
hipoglikemia. Walaupun masih dianggap ada kelemahan, parameter HbA1c merupakan
parameter kontrol metabolik standar pada DM. Nilai HbA1c < 7% berarti kontrol metabolik
baik; HbA1c < 8% cukup dan HbA1c > 8% dianggap buruk.
Kriteria ini pada anak perlu disesuaikan dengan usia karena semakin rendah HbA1c
semakin tinggi risiko terjadinya hipoglikemia. Untuk mencapai kontrol metabolik yang baik
pengelolaan DM tipe-1 pada anak sebaiknya dilakukan secara terpadu oleh suatu tim yang terdiri
dari ahli endokrinologi anak/dokter anak/ahli gizi/ahli psikiatri/psikologi anak, pekerja sosial,
dan edukator. Kerjasama yang baik antara tim dan pihak penderita akan lebih menjamin
tercapainya kontrol metabolik yang baik.
Untuk mencapai sasaran dan tujuan tersebut, komponen pengelolaan DM tipe-1 meliputi
pemberian insulin, pengaturan makan, olahraga, dan edukasi, yang didukung oleh pemantauan
mandiri (home monitoring). Keseluruhan komponen berjalan secara terintegrasi untuk
mendapatkan kontrol metabolik yang baik. Dari faktor penderita juga terdapat beberapa kendala
pencapaian kontrol metabolik yang baik. Faktor pendidikan, sosioekonomi dan kepercayaan
merupakan beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam pengelolaan penderita terutama
dari segi edukasi
3.2. Olahraga
Olahraga sebaiknya menjadi bagian dari kehidupan setiap orang, baik anak, remaja,
maupun, dewasa; baik penderita DM atau bukan. Olahraga dapat membantu menurunkan berat
badan, mempertahankan berat badan ideal, dan meningkatkan rasa percaya diri. Untuk penderita
DM berolahraga dapat membantu untuk menurunkan kadar gula darah, menimbulkan perasaan
‘sehat’ atau ‘well being’, dan meningkatkan sensitivitas terhadap insulin, sehingga mengurangi
kebutuhan insulin. Pada beberapa penelitian terlihat bahwa olahraga dapat meningkatkan
kapasitas kerja jantung dan mengurangi terjadinya komplikasi DM jangka panjang. Bukan tidak
mungkin bagi penderita DM untuk menjadi atlit olahraga profesional. Banyak olahragawan/atlit
terkenal di dunia yang ternyata adalah penderita DM tipe-1. Namun, untuk penderita DM,
terutama bagi yang tidak terkontrol dengan baik, olah raga dapat menyebabkan timbulnya
keadaan yang tidak diinginkan seperti hiperglikemia sampai dengan ketoasidosis diabetikum,
makin beratnya komplikasi diabetik yang sudah dialami, dan hipoglikemia.
Sekitar 40% kejadian hipoglikemia pada penderita DM dicetuskan oleh olahraga. Oleh
karena itu penderita DM tipe-1 yang memutuskan untuk berolahraga teratur, terutama olahraga
dengan intensitas sedang-berat diharapkan berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter yang
merawatnya sebelum memulai program olahraganya. Mereka diharapkan memeriksakan status
kesehatannya dengan cermat dan menyesuaikan intensitas, serta lama olahraga dengan keadaan
kesehatan saat itu. Bagi penderita DM tipe-1 ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum,
selama, dan setelah berolahraga. Ada beberapa penyesuaian diet, insulin, dan cara monitoring
gula darah agar aman berolahraga, antara lain:
1. Sebelum berolahraga
a. Tentukan waktu, lama, jenis, intensitas olahraga. Diskusikan dengan pelatih/guru olah
raga dan konsultasikan dengan dokter.
b. Asupan karbohidrat dalam 1-3 jam sebelum olahraga.
c. Cek kontrol metabolik, minimal 2 kali sebelum berolahraga.
d. Kalau Gula Darah (GD) <90 mg/dL dan cenderung turun, tambahkan ekstra
karbohidrat.
e. Kalau GD 90-250 mg/dL, tidak diperlukan ekstra karbohidrat (tergantung lama aktifi
tas dan respons individual).
f. Kalau GD >250 mg/dL dan keton urin/darah (+), tunda olahraga sampai GD normal
dengan insulin.
g. Bila olah raga aerobik, perkirakan energi yang dikeluarkan dan tentukan apakah
penyesuaian insulin atau tambahan karbohidrat diperlukan.
h. Bila olah raga anaerobik atau olah raga saat panas, atau olahraga kompetisi insulin
dapat dinaikkan.
i. Pertimbangkan pemberian cairan untuk menjaga hidrasi (250mL pada 20 menit
sebelum olahraga).
2. Selama berolah raga
a. Monitor GD tiap 30 menit.
b. Teruskan asupan cairan (250 ml tiap 20-30 menit).
c. Konsumsi karbohidrat tiap 20-30 menit, bila diperlukan.
3. Setelah berolah raga
a. Monitor GD, termasuk sepanjang malam (terutama bila tidak biasa dengan program
olahraga yang sedang dijalani).
b. Pertimbangkan mengubah terapi insulin.
c. Pertimbangkan tambahan karbohidrat kerja lambat dalam 1-2 jam
Setelah olahraga untuk menghindari hipoglikemia awitan lambat. Hipoglikemia awitan lambat
dapat terjadi dalam interval 2 x 24 jam setelah latihan. Respons penderita DM tipe-1 terhadap
suatu jenis olahraga sangat individual, karena itu acuan di atas merupakan acuan umum. Seorang
atlit berpengalaman pun perlu waktu yang cukup lama, untuk mendapatkan pola pengelolaan
yang benar-benar sesuai untuk jenis olahraganya.
[Na+] darah sesungguhnya = [Na+] darah terlihat + 1.6 (kadar glukosa darah – 100/100)
Bila angka koreksi natrium masih dalam kisaran hipernatremia, mengindikasikan bahwa
ruang intraseluler sangat hiperosmoler dan ini menunjukkan masih terjadi dehidrasi berat. Angka
koreksi natrium juga dapat menunjukkan kecepatan rehidrasi. Penurunan yang drastis
kadar natrium sesungguhnya, memperlihatkan cairan yang diberikan terlalu cepat dan perlu di
perlambat. Asidosis yang ditemukan pada KAD seringkali sudah amat berat (pH< 7,1), Natrium
bikarbonat sebaiknya hanya diberikan bila pH darah mencapai < 7,1 karena pada nilai pH yang
serendah itu bisa terjadi gagal organ yang mengancam jiwa. Pemberian koreksi Natrium
bikarbonat sebaiknya dilakukan perdrip.
Kesimpulan
Pada anak diabetes mellitus terbagi menjadi 2 etiologi yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2.
DM tipe-1 merupakan salah satu penyakit kronis yang sampai saat ini belum dapat disembuhkan.
Walaupun demikian berkat kemajuan dunia teknologi kedokteran kualitas hidup penderita DM-
tipe1 tetap dapat sepadan dengan anak-anak normal lainnya jika mendapat tatalaksana yang
adekuat.
DM tipe-1 (ketergantungan insulin) adalah kelainan sistemik akibat terjadinya gangguan
metabolisme glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik. Keadaan ini diakibatkan oleh
kerusakan sel-𝛽 pankreas baik oleh proses autoimun maupun idiopatik sehingga produksi insulin
berkurang bahkan terhenti. DM tipe-2 (tidak tergantung insulin) adalah kelainan sistemik akibat
terjadinya gangguan metabolisme glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik. Keadaan ini
diakibatkan oleh kurangnya kemampuan pancreas memproduksi sel-𝛽.
Etiologi yang diperkirakan dapat menimbulkan penyakit diabetes adalah adanya bawaan
genetik, infeksi virus, zat yang mengandung nitrosamine dan berbagai faktor lain. Pola hidup
yang menyebabkan obesitas pada anak merupakan faktor utama resiko terhadap diabtes mellitus
tipe-2.
Mendiagnosa tipe-1 atau 2 pada diabetes anak adalah dengan cara melakukan
pemeriksaan lab yang telah diketahui. Penanda autoimun GAD, yang khas dan hanya ditemukan
pada diabetes tipe-1. Oleh karena itu diagnose pasti untuk membedakan tipe dari diabetes adalah
dengan melakukan pemeriksaan tersebut.
Dalam penanganan diabetes 1 dan 2 pada anak umumnya hampir sama dengan
penanganan diabetes pada orangtua. Pola hidup yang sehat, pemakain obat antidiabetes dan
insulin pada umumnya hampir sama namun beda dalam jumlah dosisnya. Hal lain yang perlu
diperhatikan dalam penanganan diabetes pada anak adalah kepatuhannya dalam meminum obat
atau menyuntikkan insulin. Faktor keluarga terutama orangtua harus memperhatikan anak secara
lebih intensif. Anak harus dapat perhatian dalam pola hidupnya apalagi apabila menggunakan
suntik insulin. Orangtua yang mengajarkan bagaimana cara menyuntikkan insulin yang baik dan
benar.
Daftar pustaka
1. Tridjaja B. Konsensus nasional pengelolaan diabetes mellitus tipe 1. Edisi 2, Jakarta : 2009. 7-
17.
2. Copeland KC, Silverstein J, Moore KR et al. Management of Newly Diagnosed Type 2
Diabetes Mellitus (T2DM) in Children and adolescents. Pediatrics 2013;131;364.
3. Tucker ME. Disordered Eating Common in Youth with Type 1 diabetes. Diunduh dari
www.medscape.com/viewarticle/810127. September 6, 2013.
4. Wisting L, Skirvarhaug T et al. Behavior and omission of insulin in adolescents Receiving
Intensified Insulin Treatment : A nationwide population-based study. Diabetes care. Aug 20
2013.
5. Diagnosis and classification diabetes mellitus. Diabetes care. Jan 2010;33 suppl1:s62-9.
6. Robertson K, Adolfsson P, Scheiner G et al. exercise in children and adolescents with
diabetes. Pediatric diabetes. Sep 2009;10 suppl 12: 154-68.
7. Smart C, Aslander-van Vliet bE, Waldron S. Nutrional management in children and
adolescents with diabetes. Pediatric diabetes. Sep 2009;10 suppl 12:100-12.
8. Bobo WV, Cooper WO, Stein CM et al. antipsychotics and the risk of type 2 diabetes mellitus
in children and youth. JAMA psychiatry. Aug 21 2013.
9. Fagot-Campagna A, Pettitt DJ, Engelgau MM et al. Type 2 diabetes among north American
children and adolescents; an epidemiologic review and a public health perspective. J pediatric.
May 2000;136(5):664-72.
10. Management of dyslipidemia in children and adolescents with diabetes. Diabetes care. Jul
2003;26(7):2194-7.
11. William W, Anthony R, Hayward MD. Pediatric diagnostic and treatment. Edisi 15. Lange
medical books, Mc Graw-Hill. Diabetes. 2001:30:p874-8.