Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN

KASUS KEJANG DEMAM

A. Konsep Dasar Teori


1. Defenisi
Kejang demam adalah serangan kejang yang terjadi karena kenaikan
suhu tubuh (suhu rektal di atas 38°C). Kondisi yang menyebabkan kejang
demam antara lain : infeksi yang mengenai jaringan ekstrakranial seperti
tonsilitis, otitis media akut, bronkitis (Riyadi, Sujono & Sukarmin, 2009).
Kejang demam merupakan kelainan neurologis akut yang paling sering
dijumpai pada anak. Bangkitan kejang ini terjadi karena adanya kenaikan
suhu tubuh (suhu rektal diatas 38°C) yang disebabkan oleh proses
ekstrakranium. Penyebab demam terbanyak adalah infeksi saluran
pernapasan bagian atas disusul infeksi saluran pencernaan. Insiden terjadinya
kejang demam terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai 4 tahun.
Hampir3% dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderita
kejang demam. Kejang demam lebih sering didapatkan pada laki-laki dari
pada perempuaan. Hal tersebut disebabkan karena pada wanita didapatkan
maturasi serebral yang lebih cepat dibandingkan laki-laki (Judha & Rahil,
2011).
Pada saat mengalami kejang, anak akan terlihat aneh untuk beberapa saat,
kemudian kaku, dan memutar matanya. Anak tidak responsif untuk beberapa
waktu, nafas akan terganggu, dan kulit akan tampak lebih gelap dari biasanya.
Setelah kejang, anak akan segera normal kembali. Serangan kejang pada
penderita kejang demam dapat terjadi satu, dua, tiga kali atau lebih selama
satu episode demam. Jadi, satu episode kejang demam dapat terdiri dari satu,
dua, tiga atau lebih serangan kejang.
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kejang demam
adalah bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh yang
sering dijumpai pada anak usia di bawah umur 5 tahun.Dari pengertian diatas
maka penulis menyimpulkan bahwa yang di maksud kejang demam adalah

1
perubahan potensial listrik cerebral yang berlebihan akibat kenaikan suhu
dimana suhu rectal diatas 38°C sehingga mengakibatkan renjatan kejang yang
biasanya terjadi pada anak dengan usia 3 bulan sampai 5 tahun.

2. Klasifikasi
Kejang demam dibagi menjadi 2 golongan. Terdapat perbedaan kecil
dalam penggolongan tersebut, menyangkut jenis kejang, tingginya demam,
usia penderita, lamanya kejang berlangsung, gambaran rekaman otak, dan
lainnya (Lumbantobing, 2004).
a. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure) Adapun ciri-ciri kejang
demam sederhana antara lain :
1) Berlangsung singkat (< 15 menit)
2) Menunjukkan tanda-tanda kejang tonik dan atau klonik.
3) Kejang hanya terjadi sekali / tidak berulang dalam 24 jam.
b. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure) Adapun ciri-ciri
kejang demam kompleks antara lain :
1) Berlangsung lama (> 15 menit).
2) Menunjukkan tanda-tanda kejang fokal yaitu kejang yang hanya
melibatkan salah satu bagian tubuh.
3) Kejang berulang/multipel atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
4) Kejang tonik yaitu serangan berupa kejang/kaku seluruh tubuh. Kejang
klonik yaitu gerakan menyentak tiba-tiba pada sebagian anggota tubuh.

3. Etiologi
Etiologi dari kejang demam masih tidak diketahui. Namun pada sebagian
besar anak dipicu oleh tingginya suhu tubuh bukan kecepatan peningkatan
suhu tubuh. Biasanya suhu demam diatas 38,8oC dan terjadi disaat suhu tubuh
naik dan bukan pada saat setelah terjadinya kenaikan suhu tubuh (Dona Wong
L, 2008).
Bangkitan kejang pada bayi dan anak disebabkan oleh kenaikan suhu
badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi diluar susunan
syaraf pusat misalnya tonsilitis, ostitis media akut, bronkitis(Judha & Rahil,

2
2011).Kondisi yang dapat menyebabkan kejang demam antara lain infeksi
yang mengenai jaringan ekstrakranial sperti tonsilitis, otitis media akut,
bronkitis (Riyadi, Sujono & Sukarmin, 2009).
Demam merupakan faktor pencetus terjadinya kejang demam pada
anak. Demam sering disebabkan oleh berbagai penyakit infeksi seperti infeksi
saluran pernafasan akut, otitis media akut, gastroenteritis, bronkitis, infeksi
saluran kemih, dan lain-lain. Setiap anak memiliki ambang kejang yang
berbeda. Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang paling tinggi. Pada anak
dengan ambang kejang yang rendah, serangan kejang telah terjadi pada suhu
38°C bahkan kurang, sedangkan padaanak dengan ambang kejang tinggi,
serangan kejang baru terjadi pada suhu 40°C bahkan lebih.
Beberapa faktor yang berperan menyebabkan kejang demam antara lain
adalah demam, demam setelah imunisasi DPT dan morbili, efek toksin dari
mikroorganisme, respon alergik atau keadaan imun yang abnormal akibat
infeksi, perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit (Dewanto et al, 2009).
Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah (IDAI, 2009) :
a. Riwayat kejang demam dalam keluarga
b. Usia kurang dari 18 bulan
c. Temperatur tubuh saat kejang. Makin rendah temperatur saat kejang
makin sering berulang
d. Lamanya demam.
e. Adapun faktor risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari adalah
(IDAI, 2009)
f. Adanya gangguan perkembangan neurologis
g. kejang demam kompleks
h. riwayat epilepsi dalam keluarga
i. lamanya demam

4. Patofisiologi
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi di pecah
menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari
permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam

3
keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion K+
dan sangat sulit dilalui oleh ion Na+ dan elektrolit lainya kecuali ion Cl-.
Akibatnya konsentrasi ion kalium dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi
natrium rendah, sedang di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya.
Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka
terdapat perbedaan potensial membran yang disebut potensial membran dari
neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran di perlukan energi
dan bantuan enzim NA-K ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh perubahan
konsentrasi ion di ruang ekstraseluler. Rangsangan yang datang mendadak
misalnya mekanisme, kimiawi, atau aliran listrik dari sekitarnya.
Perubahanpatofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan.Pada keadaan demam kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan
kenaikan metabolisme basal 10 sampai 15% dan kebutuhan oksigen akan
meningkat 20%. Pada anak 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh
tubuh dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%.Oleh karena itu
kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel
neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun
ion natrium akibat terjadinya lepas muatan listrik.
Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas
keseluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan
“neurotransmitter” dan terjadi kejang. Kejang demam yang berlangsung lama
biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk
kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hiposemia, hiperkapnia, asidosis
laktat disebabkan oleh metabolisme anerobik, hipotensi, artenal disertai
denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh meningkat yang disebabkan
makin meningkatnya aktivitas otot dan mengakibatkan metabolisme otak
meningkat (Judha & Rahil, 2011).
Infeksi yang terjadi pada jaringan di luar kranial seperti tonsilitis, otitis
media akut, bronkitis penyebab terbanyak adalah bakteri yang bersifat toksik.
Toksik yang dihasilkan oleh mikroorganisme dapat menyebar keseluruh
tubuh melalui hematogen maupun limfogen.

4
Penyebaran toksik ke seluruh tubuh akan direspon oleh hipotalamus
dengan menaikkan pengaturan suhu di hipotalamus sebagai tanda
tubuhmengalami bahaya secara sistemik. Naiknya pengaturan suhu di
hipotalamus akan merangsang kenaikan suhu di bagian tubuh yang lain
seperti otot, kulit sehingga terjadi peningkatan kontraksi otot.
Naiknya suhu di hipotalamus, otot, kulit jaringan tubuh yang lain akan
disertai pengeluaran mediator kimia seperti epinefrin dan prostaglandin.
Pengeluaran mediator kimia ini dapat merangsang peningkatan potensial aksi
pada neuron . Peningkatan potensial inilah yang merangsang perpindahan ion
natrium, ion kalium dengan cepat dari luar sel menuju ke dalam sel. Peristiwa
inilah yang diduga dapat menaikkan fase depolarisasi neuron dengan cepat
sehingga timbul kejang.
Serangan cepat itulah yang dapat menjadikan anak mengalami penurunan
kesadaran, otot ekstremitas maupun bronkus juga dapat mengalami spasma
sehingga anak beresiko terhadap injuri dan kelangsungan jalan nafas oleh
penutupan lidah dan spasma bronkus (Price, 2005).

5. Tanda Dan Gejala


Menurut, Riyadi, Sujono & Sukarmin (2009), manifestasi klinik yang
muncul pada penderita kejang demam :
a. Suhu tubuh anak (suhu rektal) lebih dari 38°C.
b. Timbulnya kejang yang bersifat tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau
kinetik. Beberapa detik setelah kejang berhenti anak tidak memberikan
reaksi apapun tetapi beberapa saat kemudian anak akan tersadar
kembali tanpa ada kelainan persarafan.
c. Saat kejang anak tidak berespon terhadap rangsangan seperti panggilan,
cahaya (penurunan kesadaran)
Selain itu pedoman mendiagnosis kejang demam menurut Livingstone
juga dapat kita jadikan pedoman untuk menetukan manifestasi klinik kejang
demam. Ada 7 kriteria antara lain:
a. Umur anak saat kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun.
b. Kejang hanya berlangsung tidak lebih dari 15 menit.

5
c. Kejang bersifat umum (tidak pada satu bagian tubuh seperti pada otot
rahang saja).
d. Kejang timbul 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
e. Pemeriksaan sistem persarafan sebelum dan setelah kejang tidak ada
kelainan.
f. Pemeriksaan elektro Enchephalography dalam kurun waktu 1 minggu
atau lebih setelah suhu normal tidak dijumpai kelainan
g. Frekuensi kejang dalam waktu 1 tahun tidak lebih dari 4 kali.
Serangan kejang biasanya terjadi 24 jam pertama sewaktu demam,
berlangsung singkat dengan sifat kejang dapat berbentuk tonik-klonik, tonik,
klonik, fokal atau kinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang
berhenti anak tidak memberi reaksi apapun sejenak tapi setelah beberapa
detik atau menit anak akan sadar tanpa ada kelainan saraf.(Judha & Rahil,
2011)

6. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaannya meliputi:
a. Darah
1) Glukosa darah:hipoglikemia merupakan predisposisi kejang
(N<200mq/dl)
2) BUN:peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan
indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
3) Elektrolit:Kalium, natrium.Ketidakseimbngan elektrolit merupakan
predisposisi kejang
4) Kalium (N 3,80-5,00 meq/dl)
5) Natrium (N 135-144 meq/dl)
b. Cairan cerebo spinal:mendeteksi tekanan abnormal dari CCS tanda
infeksi,pendarahan penyebab kejang
c. X Ray:untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi
d. Tansiluminasi: suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan UUB masih
terbaik (di bawah 2 tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus untuk
transiluminasi kepala

6
e. EEG: teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak yang
utuh untuk mengetahui fokus aktivitas kejang,hasil biasanya normal.
f. CT Scan: untuk mengidentifikasi lesi cerebral infark hematoma,cerebral
oedema,trauma,abses,tumor dengan atau tanpa kontras.

7. Penatalaksanaan Medis
a. Pengobatan Saat Terjadi Kejang Demam
Dalam penanganan kejang demam, orang tua harus mengupayakan diri
setenang mungkin dalam mengobservasi anak. Beberapa hal yang harus
diperhatikan adalah sebagai berikut :
1) Anak harus dibaringkan di tempat yang datar dengan posisi
menyamping, bukan terlentang, untuk menghindari bahaya tersedak.
2) Jangan meletakkan benda apapun dalam mulut si anak seperti
sendok, karena justru benda tersebut dapat menyumbat jalan napas.
3) Jangan memegangi anak untuk melawan kejang
4) Sebagian besar kejang berlangsung singkat dan tidak memerlukan
penanganan khusus.
5) Jika kejang terus berlanjut selama 10 menit, anak harus segera
dibawa ke fasilitas kesehatan terdekat.
6) Setelah kejang berakhir, anak perlu dibawa menemui dokter untuk
meneliti sumber demam, terutama jika ada kekakuan leher, muntah-
muntah yang berat, atau anak terus tampak lemas.
Menurut, Riyadi, Sujono & Sukarmin (2009), menyatakan
bahwapenatalaksanaan yang dilakukan saat pasien dirumah sakit antara
lain:
1) Saat timbul kejang maka penderita diberikan diazepam intravena
secara perlahan dengan panduan dosis untuk berat badan yang
kurang dari 10 kg dosisnya 0,5-0,75 mg/kg BB, diatas 20 kg 0,5
mg/kg BB. Dosis rata-rata yang diberikan adalah 0,3 mg/kg BB/ kali
pemberian dengan maksimal dosis pemberian 5 mg pada anak
kurang dari 5 tahun dan maksimal 10 mg pada anak yang berumur
lebih dari 5 tahun. Pemberian tidak boleh melebihi 50 mg

7
persuntikan. Setelah pemberian pertama diberikan masih timbul
kejang 15 menit kemudian dapat diberikan injeksi diazepam secara
intravena dengan dosis yang sama. Apabila masih kejang maka
ditunggu 15 menit lagi kemudian diberikan injeksi diazepam ketiga
dengan dosis yang sama secara intramuskuler.
2) Pembebasan jalan napas dengan cara kepala dalam posisi
hiperekstensi miring, pakaian dilonggarkan, dan pengisapan lendir.
Bila tidak membaik dapat dilakukan intubasi endotrakeal atau
trakeostomi.
3) Pemberian oksigen, untuk membantu kecukupan perfusi jaringan.
4) Pemberian cairan intravena untuk mencukupi kebutuhan dan
memudahkan dalam pemberian terapi intravena. Dalam pemberian
cairan intravena pemantauan intake dan output cairan selama 24
jamperlu dilakukan, karena pada penderita yang beresiko terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial kelebihan cairan dapat
memperberat penurunan kesadaran pasien. Selain itu pada pasien
dengan peningkatan intraklanial juga pemberian cairan yang
mengandung natrium perlu dihindari.
5) Pemberian kompres hangat untuk membantu suhu tubuh dengan
metode konduksi yaitu perpindahan panas dari derajat tinggi (suhu
tubuh) ke benda yang mempunyai derajat yang lebih rendah (kain
kompres). Kompres diletakkan pada jaringan penghantar panas yang
banyak seperti kelenjar limfe di ketiak, leher, lipatan paha, serta area
pembuluh darah yang besar seperti di leher. Tindakan ini dapat
dikombinasikan dengan pemberian antipiretik seperti prometazon 4-
6 mg/kg BB/hari (terbagi dalam 3 kali pemberian).
6) Apabila terjadi peningkatan tekanan intrakranial maka perlu
diberikan obat-obatan untuk mengurang edema otak seperti
dektametason 0,5-1 ampul setiap 6 jam sampai keadaan
membaik.Posisi kepala hiperekstensi tetapi lebih tinggi dari anggota
tubuh yang lain dengan craa menaikan tempat tidur bagian kepala
lebih tinggi kurang kebih 15° (posisi tubuh pada garis lurus)

8
7) Untuk pengobatan rumatan setelah pasien terbebas dari kejang pasca
pemberian diazepam, maka perlu diberikan obat fenobarbital dengan
dosis awal 30 mg pada neonatus, 50 mg pada anak usia 1 bulan-
1tahun, 75 mg pada anak usia 1 tahun keatas dengan tehnik
pemberian intramuskuler. Setelah itu diberikan obat rumatan
fenobarbital dengan dosis pertama 8-10 mg/kg BB /hari (terbagi
dalam 2 kali pemberian) hari berikutnya 4-5 mg/kg BB/hari yang
terbagi dalam 2 kali pemberian.
8) Pengobatan penyebab, karena yang menjadi penyebab timbulnya
kejang adalah kenaikan suhu tubuh akibat infeksi seperti di telinga,
saluran pernapasan, tonsil maka pemeriksaan seperti angka leukosit,
foto rongent, pemeriksaan penunjang lain untuk mengetahui jenis
mikroorganisme yang menjadi penyebab infeksi sangat perlu
dilakukan. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memilih jenis antibiotik
yang cocok diberikan pada pasien anak dengan kejang demam.
b. Setelah Kejang Demam Berhenti
Bila kejang berhenti dan tidak berlanjut, pengobatan cukup
dilanjutkan dengan pengobatan intermitten yang diberikan pada anak
demam untuk mencegah terjadinya kejang demam. Obat yang diberikan
berupa :
1) Antipiretik
Paracetamol atau asetaminofen 10-15 mg/kgBB diberikan 4 kali atau
tiap 6 jam. Berikan dosis rendah dan pertimbangkan efek samping
berupa hiperhidrosis. Ibuprofen 10 mg/kgBB diberikan 3 kali (8
jam).
2) Antikonvulsan
Berikan diazepam oral dosis 0,3-0,5 mg/kgBB setiap 8 jam pada saat
demam untuk menurunkan resiko berulangnya kejang atau diazepam
rectal dosis 0,5 mg/kgBB sebanyak 3 kali per hari.
c. Pencegahan Kejang Demam
1) Pencegahan Primordial

9
Yaitu upaya pencegahan munculnya faktor predisposisi terhadap
kasus kejang demam pada seorang anak dimana belum tampak
adanya faktor yang menjadi risiko kejang demam. Upaya primordial
dapat berupa:
a) Penyuluhan kepada ibu yang memiliki bayi atau anak tentang
upaya untuk meningkatkan status gizi anak, dengan cara
memenuhi kebutuhan nutrisinya. Jika status gizi anak baik maka
akan meningkatkan daya tahan tubuhnya sehingga dapat
terhindar dari berbagai penyakit infeksi yang memicu terjadinya
demam.
b) Menjaga sanitasi dan kebersihan lingkungan. Jika lingkungan
bersih dan sehat akan sulit bagi agent penyakit untuk
berkembang biak sehingga anak dapat terhindar dari berbagai
penyakit infeksi.
2) Pencegahan Primer
Pencegahan Primer yaitu upaya awal pencegahan sebelum
seseorang anak mengalami kejang demam. Pencegahan ini ditujukan
kepada kelompok yang mempunyai faktor risiko. Dengan adanya
pencegahan ini diharapkan keluarga/orang terdekat dengan anak
dapat mencegah terjadinya serangan kejang demam.
Upaya pencegahan ini dilakukan ketika anak mengalami
demam. Demam merupakan faktor pencetus terjadinya kejang
demam. Jika anak mengalami demam segera kompres anak dengan
air hangat dan berikan antipiretik untuk menurunkan demamnya
meskipun tidak ditemukan bukti bahwa pemberian antipiretik dapat
mengurangi risiko terjadinya kejang demam.
3) Pencegahan Sekunder
Yaitu upaya pencegahan yang dilakukan ketika anak sudah
mengalami kejang demam. Adapun tata laksana dalam penanganan
kejang demam pada anak meliputi:
a) Pengobatan Fase Akut

10
Anak yang sedang mengalami kejang, prioritas utama adalah
menjaga agar jalan nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan,
posisi anak dimiringkan untuk mencegah aspirasi. Sebagian besar
kasus kejang berhenti sendiri, tetapi dapat juga berlangsung terus
atau berulang. Pengisapan lendir dan pemberian oksigen harus
dilakukan teratur, bila perlu dilakukan intubasi. Keadaan dan
kebutuhan cairan, kalori dan elektrolit harus diperhatikan. Suhu
tubuh dapat diturunkan dengan kompres air hangat dan
pemberian antipiretik. Pemberantasan kejang dilakukan dengan
cara memberikan obat antikejang kepada penderita. Obat yang
diberikan adalah diazepam. Dapat diberikan melalui intravena
maupun rektal.
b) Mencari dan mengobati penyebab
Pada anak, demam sering disebabkan oleh infeksi saluran
pernafasan akut, otitis media, bronkitis, infeksi saluran kemih,
dan lain-lain. Untuk mengobati penyakit infeksi tersebut
diberikan antibiotik yang adekuat. Kejang dengan suhubadan
yang tinggi juga dapat terjadi karena faktor lain, seperti
meningitis atau ensefalitis. Oleh sebab itu pemeriksaan cairan
serebrospinal (lumbal pungsi) diindikasikan pada anak penderita
kejang demam berusia kurang dari 2 tahun. Pemeriksaan
laboratorium lain dilakukan atas indikasi untuk mencari
penyebab, seperti pemeriksaan darah rutin, kadar gula darah dan
elektrolit. Pemeriksaan EEG dilakukan pada kejang demam
kompleks atau anak yang mempunyai risiko untuk mengalami
epilepsi.
c) Pengobatan profilaksis terhadap kejang demam berulang
Pencegahan kejang demam berulang perlu dilakukan karena
menakutkan keluarga dan bila berlangsung terus dapat
menyebabkan kerusakan otak yang menetap. Terdapat 2 cara
profilaksis, yaitu:
 Profilaksis intermitten pada waktu demam

11
Pengobatan profilaksis intermittent dengan antikonvulsan
segera diberikan pada saat penderita demam (suhu rektal lebih
dari 38ºC). Pilihan obat harus dapat cepat masuk dan bekerja
ke otak. Obat yang dapat diberikan berupa diazepam,
klonazepam atau kloralhidrat supositoria
 Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari.
Indikasi pemberian profilaksis terus menerus adalah:
 Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan
atau gangguan perkembangan neurologis.
 Terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat
genetik pada orang tua atau saudara kandung.
 Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti
kelainan neurologis sementara atau menetap. Kejang
demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan
atau terjadi kejang multipel dalam satu episode demam.
Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama
1-2 tahun setelah kejang terakhir, kemudian dihentikan
secara bertahap selama 1-2 bulan. Pemberian profilaksis
terus menerus hanya berguna untuk mencegah
berulangnya kejang demam berat, tetapi tidak dapat
mencegah timbulnya epilepsi di kemudian hari. Obat yang
dapat diberikan berupa fenobarbital dan asam valproat.
4) Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier adalah mencegah
terjadinya kecacatan, kematian, serta usaha rehabilitasi. Penderita
kejang demam mempunyai risiko untuk mengalami kematian
meskipun kemungkinannya sangat kecil. Selain itu, jika penderita
kejang demam kompleks tidak segera mendapat penanganan yang
tepat dan cepat akan berakibat pada kerusakan sel saraf (neuron).
Oleh karena itu, anak yang menderita kejang demam perlu mendapat
penanganan yang adekuat dari petugas kesehatan guna mencegah
timbulnya kecacatan bahkan kematian.

12
8. Komplikasi
Gangguan-gangguan yang dapat terjadi akibat dari kejang demam anak
antara lain:
a. Kejang Demam Berulang.
Kejang demam berulang adalah kejang demam yang timbul pada lebih
dari satu episode demam. Beberapa hal yang merupakan faktor risiko
berulangnya kejang demam yaitu :
1) Usia anak < 15 bulan pada saat kejang demam pertama
2) Riwayat kejang demam dalam keluarga
3) Kejang demam terjadi segera setelah mulai demam
4) Riwayat demam yang sering
5) Kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.
Berdasarkan penelitian kohort prospektif yang dilakukan Bahtera, T.,
dkk (2009) di RSUP dr. Kariadi Semarang, dimana subjek penelitian
adalah penderita kejang demam pertama yang berusia 2 bulan - 6 tahun,
kemudian selama 18 bulan diamati. Subjek penelitian berjumlah 148
orang. Lima puluh enam (37,84%) anak mengalami bangkitan kejang
demam berulang.30
b. Kerusakan Neuron Otak.
Kejang yang berlangsung lama (>15 menit) biasanya disertai dengan
apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot
yang akhirnya menyebabkan hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat
karena metabolisme anaerobik, hipotensi arterial, denyut jantung yang tak
teratur, serta suhu tubuh yang makin meningkat sejalan dengan
meningkatnya aktivitas otot sehingga meningkatkan metabolisme otak.
Proses di atas merupakan faktor penyebab terjadinya kerusakan neuron
otak selama berlangsung kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan
peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meningkatkan
permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan
kerusakan neuron otak.

13
c. Retardasi Mental
Terjadi akibat kerusakan otak yang parah dan tidak mendapatkan
pengobatan yang adekuat.
d. Epilepsi
Terjadi karena kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah
mendapat serangan kejang yang berlangsung lama. Ada 3 faktor risiko yang
menyebabkan kejang demam menjadi epilepsi dikemudian hari, yaitu :
1) Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung.
2) Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang
demam pertama.
3) Kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.
Menurut American National Collaborative Perinatal Project, 1,6% dari
semua anak yang menderita kejang demam akan berkembang menjadi
epilepsi, 10% dari semua anak yang menderita kejang demam yang
mempunyai dua atau tiga faktor risiko di atas akan berkembang menjadi
epilepsi.
e. Hemiparesis
Heperemesis yaitu kelumpuhan atau kelemahan otot-otot lengan,
tungkai serta wajah pada salah satu sisi tubuh. Biasanya terjadi pada
penderita yang mengalami kejang lama (kejang demam kompleks). Mula-
mula kelumpuhan bersifat flaksid, setelah 2 minggu timbul spasitas.

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Gawat Darurat


1. Pengkajian
Survey Primer
Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan
manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang
mengancam kehidupan. Tujuan dari Primary survey adalah untuk
mengidentifikasi dan memperbaiki dengan segera masalah yang mengancam
kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada primary survey antara lain (Fulde,
2009) :
a. Airway maintenance dengan cervical spine protection

14
b. Breathing dan oxygenation
c. Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
d. Disability-pemeriksaan neurologis singkat
e. Exposure dengan kontrol lingkungan
Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary survey
bahwa setiap langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan langkah
berikutnya hanya dilakukan jika langkah sebelumnya telah sepenuhnya
dinilai dan berhasil. Setiap anggota tim dapat melaksanakan tugas sesuai
urutan sebagai sebuah tim dan anggota yang telah dialokasikan peran tertentu
seperti airway, circulation, dll, sehingga akan sepenuhnya menyadari
mengenai pembagian waktu dalam keterlibatan mereka (American College of
Surgeons, 1997). Primary survey perlu terus dilakukan berulang-ulang pada
seluruh tahapan awal manajemen. Kunci untuk perawatan trauma yang baik
adalah penilaian yang terarah, kemudian diikuti oleh pemberian intervensi
yang tepat dan sesuai serta pengkajian ulang melalui pendekatan AIR
(assessment, intervention, reassessment).
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain
(Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009)
a. Airway ( jalan nafas )
karena pada kasus kejang demam Inpuls-inpuls radang dihantarkan
ke hipotalamus yang merupakan pusat pengatur suhu tubuh Hipotalamus
menginterpretasikan impuls menjadi demam Demam yang terlalu tinggi
merangsang kerja syaraf jaringan otak secara berlebihan , sehingga
jaringan otak tidak dapat lagi mengkoordinasi persyarafan-persyarafan
pada anggota gerak tubuh. wajah yang membiru, lengan dan kakinya
tesentak-sentak tak terkendali selama beberapa waktu. Gejala ini hanya
berlangsung beberapa detik, tetapi akibat yang ditimbulkannya dapat
membahayakan keselamatan anak balita. Akibat langsung yang timbul
apabila terjadi kejang demam adalah gerakan mulut dan lidah tidak
terkontrol. Lidah dapat seketika tergigit, dan atau berbalik arah lalu
menyumbat saluran pernapasan.

15
Diagnosa:
- Ketidakefektifan bersihan jalan nafas bd spasme jalan nafas
- Risiko aspirasi bd penurunan reflek menelan
Tindakan yang dilakukan :
- Semua pakaian ketat dibuka
- Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung
- Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen
- Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan
oksigen.
Evaluasi :
- Inefektifan jalan nafas tidak terjadi
- Jalan nafas bersih dari sumbatan
- RR dalam batas normal
- Suara nafas vesikuler

b. Breathing (pola nafas)


Karena pada kejang yang berlangsung lama misalnya lebih 15 menit
biasanya disertai apnea, Na meningkat, kebutuhan O2 dan energi
meningkat untuk kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi hipoxia dan
menimbulkan terjadinya asidosis.
Diagnosa:
- Gangguan pertukaran gas
- Gangguan ventilasi spontan
Tindakan yang dilakukan :
- Mengatasi kejang secepat mungkin
- Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih dalam
keadaan kejang, ditunggu selama 15 menit, bila masih terdapat kejang
diulangi suntikan kedua dengan dosis yang sama juga secara intravena.
Setelah 15 menit suntikan ke 2 masih kejang diberikan suntikan ke 3
dengan dosis yang sama tetapi melalui intramuskuler, diharapkan
kejang akan berhenti. Bila belum juga berhenti dapat diberikan
fenobarbital atau paraldehid 4 % secara intravena.

16
- Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen
Evaluasi :
- RR dalam batas normal
- Tidak terjadi asfiksia
- Tidak terjadi hipoxia

c. Circulation
Karena gangguan peredaran darah mengakibatkan hipoksia sehingga
meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang
mngakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah medial
lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung
lama dapat menjadi matang dikemudian hari sehingga terjadi serangan
epilepsi spontan, karena itu kejang demam yang berlangsung lama dapat
menyebabkan kelainan anatomis diotak hingga terjadi epilepsi.
Tindakan yang dilakukan :
- Mengatasi kejang secepat mungkin
- Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih dalam
keadaan kejang, ditunggu selama 15 menit, bila masih terdapat kejang
diulangi suntikan kedua dengan dosis yang sama juga secara intravena.
Setelah 15 menit suntikan ke 2 masih kejang diberikan suntikan ke 3
dengan dosis yang sama tetapi melalui intramuskuler, diharapkan
kejang akan berhenti. Bila belum juga berhenti dapat diberikan
fenobarbital atau paraldehid 4 % secara intravena.
Pengobatan penunjang saat serangan kejang adalah :
- Semua pakaian ketat dibuka
- Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung
- Usahakan agar jalan napas bebasuntuk menjamin kebutuhan oksigen
- Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen
Evaluasi :
- Tidak terjadi gangguan peredaran darah
- Tidak terjadi hipoxia
- Tidak terjadi kejang

17
- RR dalam batas normal

d. Disability
Klien bisa sadar atau tidak tergantung pada jenis serangan atau
karakteristik dari epilepsi yang diderita. Biasanya pasien merasa bingung,
dan tidak teringat kejadian saat kejang
- Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
e. Exposure
Pakaian klien di buka untuk melakukan pemeriksaan thoraks, apakah
ada cedera tambahan akibat kejang, dan periksa suhu tubuh pasien untuk
mengetahui suhu tubuh yangmana kejang mungkin disebabkan atau
didahului oleh terjadinya demam.
Diagnosa:
- Risiko ketidakefektifan termoregulasi
Tindakan:
- Temukan adanya tanda-tanda kemungkinan terjadinya fraktur akibat
kejang yang dialami
- Berikan suhu ruangan yang sesuai untuk pasien dengan gangguan
termoregulasi.

Survey sekunder
a. Identitas klien meliputi: nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal
pengkajian dan diagnosa medis.
b. Keluhan utama:
Klien masuk dengan kejang, dan disertai penurunan kesadaran
c. Riwayat penyakit:
Klien yang berhubungan dengan faktor resiko bio-psiko-
spiritual. Kapan klien mulai serangan, pada usia berapa. Frekuansi
serangan, ada faktor presipitasi seperti suhu tinggi, kurang tidur, dan emosi
yang labil. Apakah pernah menderita sakit berat yang disertai hilangnya
kesadaran, kejang, cedera otak operasi otak. Apakah klien terbiasa

18
menggunakan obat-obat penenang atau obat terlarang, atau mengkonsumsi
alcohol. Klien mengalami gangguan interaksi dengan orang lain / keluarga
karena malu ,merasa rendah diri, ketidak berdayaan, tidak mempunyai
harapan dan selalu waspada/berhati-hati dalam hubungan dengan orang
lain.
1) Riwayat kesehatan
2) Riwayat keluarga dengan kejang
3) Riwayat kejang demam
4) Tumor intrakranial
5) Trauma kepala terbuka, stroke
d. Riwayat kejang :
1) Bagaimana frekuensi kejang.
2) Gambaran kejang seperti apa
3) Apakah sebelum kejang ada tanda-tanda awal.
4) Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan
5) Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
6) Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
e. Pemeriksaan fisik
1) Kepala dan leher : Sakit kepala, leher terasa kaku
2) Thoraks : Pada klien dengan sesak, biasanya menggunakan otot bantu
napas
3) Ekstermitas : Keletihan, kelemahan umum, keterbatasan dalam
beraktivitas, perubahan tonus otot, gerakan involunter/kontraksi otot
4) Eliminasi : Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter.
Pada post iktal terjadi inkontinensia (urine/fekal) akibat otot relaksasi
5) Sistem pencernaan : Sensitivitas terhadap makanan, mual/muntah yang
berhubungan dengan aktivitas kejang, kerusakan jaringan lunak.
Selain pengkajian tersebut, focus pengkajian pada sekondari survey adalah
sebagai berikut.
Menurut Doenges (1993 : 259) dasar data pengkajian pasien adalah:
1) Aktifitas / Istirahat
Gejala : Keletihan, kelemahan umum

19
Keterbatasan dalam beraktifitas / bekerja yang ditimbulkan oleh diri
sendiri / orang terdekat / pemberi asuhan kesehatan atau orang lain.
Tanda : Perubahan tonus / kekuatan otot
Gerakan involunter / kontraksi otot ataupun sekelompok otot
2) Sirkulasi
Gejala : Iktal : Hipertensi, peningkatan nadi sianosis
Posiktal : Tanda vital normal atau depresi dengan penurunan nadi dan
pernafasan.
3) Eliminasi
Gejala : Inkontinensia episodik.
Tanda : Iktal : Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter.
Posiktal : Otot relaksasi yang menyebabkan inkontenensia ( baik urine
/ fekal ).
4) Makanan dan cairan
Gejala : Sensitivitas terhadap makanan, mual / muntah yang
berhubungan dengan aktifitas kejang.
5) Neurosensori
Gejala : Riwayat sakit kepala, aktifitas kejang berulang, pingsan,
pusing. Riwayat trauma kepala, anoksia dan infeksi cerebral.
6) Nyeri / kenyaman
Gejala : Sakit kepala, nyeri otot / punggung pada periode posiktal.
Tanda : Sikap / tingkah laku yang berhati –hati.
Perubahan pada tonus otot.
Tingkah laku distraksi / gelisah.
7) Pernafasan
Gejala : Fase iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan menurun /
cepat, peningkatan sekresi mukus.
Fase posiktal : apnea.

2. Diagnosa
a. Risiko aspirasi
b. Ketidakefektifan termoregulasi

20
c. Risiko Ketidakefektifan perfusi jaringan otak
d. Gangguan ventilasi spontan
e. Gangguan pertukaran gas
f. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas

21
3. Intervensi

NO. DIAGNOSA NOC NIC


1. Risiko Aspirasi NOC Label : NIC Label
Definisi: risiko, masuknya Aspiration Control Aspiration precaution
sekresi gastrointestinal, □ klien dapat bernafas □ monitor tingkat
sekresi orofaring, dengan mudah kesadaran, reflek batuk
kotoran/debu atau cairan □ frekuensi nafas dan kemampuan
kedalam saluran normal menelan
trakeobronkial □ jalan nafas paten □ lakukan suction jika
Faktor risiko: □ tidak ada suara nafas diperlukan
□ penurunan motilitas abnormal □ monitor status oksigen,
gastrointestinal pelihara kepatenan
□ pengosongan jalan nafas
lambung yang
lambat
□ penurunan tingkat
kesadaran
□ rahang kaku
2 Ketidakefektifan NOC Label : NIC Label :
Termoregulasi 1. Thermoregulation 1. Temperature
(outcome keseluruhan) Regulation
Definisi: fluktuasi suhu di □ Tidak merasa □ Pasang alat monitor
antara hipotermia dan merinding saat dingin suhu inti secara
hipertermia □ Tidak berkeringat kontinu, sesuai
saat panas kebutuhan
Batasan karakteristik: □ Tidak menggigil saat □ Monitor suhu paling
□ Dasar kuku sianotik dingin tidak setiap 2 jam,
□ Fluktuasi suhu tubuh □ Mampu melaporkan sesuai kebutuhan
di atas dan di bawah kenyamanan suhu □ Monitor dan laporkan
kisaran normal tanda dan gejala
□ Hipertensi

22
□ Kejang □ Tidak terjadi hipotermia dan
□ Kulit dingin peningkatan suhu hipertermia
□ Kulit hangat kulit □ Monitor suhu dan
□ Kulit kemerahan □ Ptidak terjadi warna kulit
□ Menggigil ringan penurunan suhu kulit □ Monitor tekanan darah,
□ Pengisian ulang □ Tidak terdapat tanda- nadi dan respirasi,
kapiler yang lambat tanda hipertermia sesuai kebutuhan.
□ Peningkatan □ Tidak terdapat tanda- □ Tingkatkan intake
frekuensi pernapasan tanda hipotermia cairan dan nutrisi
□ Peningkatan suhu □ Tidak terdapat sakit adekuat.
tubuh di atas kisaran kepala □ Berikan medikasi yang
normal □ Tidak terdapat sakit tepat untuk mencegah
□ Penurunan suhu otot atau mengontrol
tubuh di bawah menggigil.
□ Tidak terdapat sifat
kisaran normal □ Diskusikan pentingnya
lekas marah
□ Piloereksi termoregulasi dan
□ Tidak mengantuk
□ Pucat sedang kemungkinan efek
□ Tidak menimbulkan
□ Takikardia negatif dari demam
perubahan warna
kulit yang berlebihan, sesuai

□ Tidak terdapat otot kebutuhan.

berkedut
□ Tidak timbul 2. Vital Signs Monitoring
dehidrasi □ Monitor tekanan darah,
nadi, suhu, dan status

2. Vital Signs pernapasan yang tepat

□ Suhu tubuh dalam □ Monitor suara paru-

rentang: 36 C-37,5 C paru

□ Irama jantung sinus □ Monitor Oksimetri nadi

ritem □ Monitor akan adanya

□ Denyut nadi 60- kuku clubbing

100x/menit

23
□ Frekuensi □ Monitor warna
pernapasan 15- kulit,suhu, dan
20x/menit kelembaban
□ Irama pernapasan □ Identifikasi
teratur kemungkinan penyebab
□ Tekanan darah perubahan tanda-tanda
sistolik 100-120 vital
mmHg □ Monitor sianosis sentral
□ Tekanan darah dan perifer
diastolic 60-90
mmHg 3. Hyperthermia Treatment
□ Tekanan nadi kuat □ Pastikan kepatenan
jalan nafas
3. Risk Control: □ Berikan oksigen sesuai
Hyperthermia kebutuhan
□ Mampu mencari □ Hentikan aktifitas fisik
informasi terkait □ Longgarkan atau
hipertermia lepaskan pakaian pasien
□ Mampu □ Berikan cairan IV,
mengidentifikasi gunakan cairan yang
factor risiko sudah didinginkan
hipertermia sesuai kebutuhan
□ Mampu mengenali □ Lakukan pemeriksaan
faktor risiko individu laboratorium, serum
terkait hipertermia elektrolit, urinalisis,
□ Mampu mengenali enzim jantung, enzim
kondisi tubuh yang hati dan hitung darah
dapat mempercepat lengkap, monitor
produksi panas hasilnya
□ Mampu memonitor □ Monitor hipoglikemi
lingkungan terkait □ Monitor urine output

24
factor yang □ Monitor hasil EKG
meningkatkan suhu □ Monitor AGD
tubuh □ Instruksikan pasien
□ Mampu mengetahui mengenai tanda dan
hubungan usia gejala awal dari kondisi
dengan suhu tubuh sakit yang berhubungan
□ Mampu dengan panas dan kapan
memodifikasi mencari bantuan
lingkungan sekitar petugas kesehatan
untuk mengontrol
suhu tubuh 4. Environmental
□ Mampu memonitor Management
perubahan status □ Singkirkan benda-
tubuh benda yang berbahaya
□ Mampu dari pasien
memodifikasi intake □ Sediakan tempat tidur
cairan sesuai dan lingkungan yang
kebutuhan bersih dan nyaman
□ Mampu □ Sesuaikan suhu
memodifikasi lingkungan dengan
aktivitas fisik untuk kebutuhan pasien, jika
mengontrol suhu suhu tubuh berubah
tubuh □ Hindari dari paparan
□ Mampu memakai dan aliran udara yang
pakaian yang sesuai tidak perlu terlalu
untuk melindungi panas dan terlalu dingin
kulit □ Edukasi pasien dan
□ Mampu pengunjung mengenai
mempertahankan perubahan/tindakan
keutuhan kulit pencegahan,sehingga
□ Mampu mereka tidak akan
berpartisipasi dalam sengaja mengganggu

25
menskrining masalah lingkungan yang
kesehatan yang direncanakan
meningkatkan risiko
□ Mampu melakukan
tindakan mandiri
untuk mengontrol
suhu tubuh
□ Mampu mengenali
obat-obatan yang
berefek pada suhu
tubuh
□ Mampu mencegah
aktivitas berlebih
untuk mengurangi
risiko
□ Mampu mencegah
konsumsi alkohol

4. Comfort Status:
Environment
□ Peralatan yang
dibutuhkan berada
dalam jangkauan
□ Lingkungan yang
kondusif untuk tidur
□ Adanya kepuasan
dengan lingkungan
fisik
□ Terciptanya
ketertiban
lingkungan

26
□ Terjaganya
kebersihan
lingkungan
□ Tidak ada yang
berserakan di lantai
□ Perangkat
keselamatan
digunakan dengan
tepat
□ Pencahayaan
ruangan cukup
□ Privasi terjaga
□ Ketersediaan ruang
untuk pengunjung
□ Tempat tidur yang
nyaman
□ Dapat melakukan
kontrol terhadap
suara ribut

3. Risiko Ketidakefektifan Setelah dilakukan asuhan Cerebral perfusion


Perfusi Jaringan Otak keperawatan selama ...x... promotion
Faktor Risiko: jam tidak terjadi □ Konsultasi dengan
□ Agens farmaseutikal
peningkatan tekanan intra dokter untuk
□ Aterosklerosis aortic
kranial dengan kriteria menentukan parameter
□ Baru terjadi infark
hasil : hemodinamik, dan
miokardium
NOC : mempertahankan
□ Diseksi arteri
Tissue Perfusion: hemodinamik dalam
□ Embolisme
Cerebral rentang yg diharapkan
□ Endocarditis infektif
□ Tekanan darah □ Monitor MAP
□ Fibrilasi atrium
(sistolik dan □ Berikan agents yang
□ Hiperkoleterolimia
memperbesar volume

27
□ Hipertensi diastolik) dalam intravaskuler misalnya
□ Kardiomiopati batas normal (koloid, produk darah,
dilatasi □ MAP dalam batas atau kristaloid)
□ Katup prostetik normal □ Konsultasi dengan
mekanis □ Sakit kepala dokter untuk
□ Koagulasi berkurang/hilang mengoptimalkan posisi
intravascular □ Tidak gelisah kepala (15-30 derajat)
diseminata □ Tidak mengalami dan monitor respon
□ Koagulapati (mis. muntah pasien terhadap
Anemia sel sabit) □ Tidak mengalami pengaturan posisi kepala
□ Masa prothrombin penurunan kesadaran □ Berikan calcium channel
abnormal blocker, vasopressin,
□ Masa trombaplastin anti nyeri, anti
parsial abnormal coagulant, anti platelet,
□ Miksoma atrium anti trombolitik
□ Neoplasma otak □ Monitor nilai PaCO2,
□ Penyalahgunaan zat SaO2 dan Hb dan
□ Segmen ventrikel cardiac out put untuk
kiri akinetic menentukan status
□ Sindrom sick sinus pengiriman oksigen ke
□ Stenosis carotid jaringan
□ Stenosis mitral
□ Terapi trombolitik
□ Tumor otak (mis.
Gangguan
serebrovaskular,
penyakit neurologis,
trauma, tumor)

4 Gangguan ventilasi Setelah dilakukan Bantuan Ventilasi


□ Pertahankan kepatenan
spontan tindakan keperawatan ..x..
jalan nafas
Batasan Karakteristik : jam diharapkan mampu

28
□ Dispnea mempertahankan □ Posisikan pasien untuk
□ Gelisah pernafasan yang adekuat mengurangi dispnea
□ Ketakutan dengan kriteria : □ Posisikan untuk
□ Peningkatan NOC : memfasilitasi
frekuensi jantung Respiratory status : pencocokan
□ Peningkatan laju Ventilation ventilasi/perfusi (good
metabolisme □ Respirasi dalam lung down) dengan
□ Peningkatan PCO2 batas normal tepat
□ Peningkatan (dewasa: 16- □ Monitor efek-efek
penggunaan otot 20x/menit) perubahan posisi pada
aksesorius □ Irama pernafasan oksigenasi : ABG,
□ Penurunan kerja teratur SaO2, tidak akhir CO2,
sama □ Kedalaman QSP/QT, Tingkat A-
□ Penurunan PO2 pernafasan normal aDO2
□ Penurunan SaO2 □ Suara perkusi dada □ Anjurkan pernafasan
Faktor yang normal (sonor) lambat yang dalam,
berhubungan : □ Tidak ada retraksi berbalik dan batuk
□ Gangguan otot dada □ Auskultasi suara nafas,
metabolisme □ Suara nafas catat area-area
□ Keletihan otot vesikuler penurunan atau tidak
pernafasan □ Tidak terdapat adanya venrilasi dan
orthopnea suara tambahan
□ Taktil fremitus □ Mulai dan pertahankan
normal antara dada oksigen tambahan
kiri dan dada kanan □ Kelola pemberian obat
□ Tidak ada dispnea nyeri yang tepat untuk
□ Ekspansi dada mencegah hipoventilasi
simetris □ Monitor pernafasan dan
□ Tidak terdapat status oksigenasi
akumulasi sputum □ Beri obat (misalnya
bronkodilator dan
inhaler) yang

29
□ Tidak terdapat meningkatkan patensi
penggunaan otot jalan nafas dan
bantu napas pertukaran gas
Respon Ventilasi □ Ajarkan teknik
Mekanik : Dewasa pernafasan dengan
□ Respirasi dalam mengerucutkan bibir
batas normal dengan tepat
(dewasa: 16- Manajemen Jalan Nafas
20x/menit) □ Buka jalan nafas
□ Irama pernafasan menggunakan teknik
teratur chin lift atau jaw thrust
□ Kedalaman □ Posisikan pasien untuk
pernafasan normal memaksimalkan
□ PaO2 dalam batas ventilasi
normal (80 mmHg- □ Identifikasi kebutuhan
100 mmHg) aktual/potensial pasien
□ PaCO2 dalam batas untuk memasukkan alat
normal (35 mmHg- membuka jalan nafas
45 mmHg) □ Lakukan fisioterapi
□ SaO2 dalam bats dada
normal (95%-100%) □ Buang sekret dengan
□ Tidak kesulitan memotivasi pasien
bernafas untuk melakukan batuk
menggunakan atau menyedot lendir
ventilator □ Anjurkan pasien untuk
□ Pasien tenang batuk efektif
□ Auskultasi suara nafas,
catat area yang
ventilasinya menurun
atau tidak ada dan
adanya suara tambahan

30
□ Kelola pemberian
bronkodilator
□ Kelola pemberian
nebulizer
□ Posisikan untuk
meringankan sesak
nafas
□ Monitor status
pernafasan dan
oksigenasi
Manajemen Ventilasi
Mekanik : Non Invasif
□ Monitor kondisi yang
memerlukan dukungan
ventilasi noninvasive
□ Monitor kontraindikasi
dukungan ventilasi
non-invasive
□ Informasikan kepada
klien dan keluarga
mengenai rasionalisasi
dan, sensasi yang
diharapkan sehubungan
dengan penggunaan
ventilasi non-invasive
□ Tempatkan klien pada
posisi semi fowler
□ Observasi klien secara
berkelanjutan pada jam
pertama penggunaan
ventilator untuk

31
mengkaji toleransi
klien
□ Pastikan alarm
ventilator dalam
keadaan hidup
□ Monitor penurunan
volume ekspirasi dan
peningkatan tekanan
inspirasi
□ Monitor aktivitas-
aktivitas yang dapat
meningkatkan
konsumsi oksigen yang
bisa merubah
pengaturan ventilator
dan menyebabkan
desaturasi oksigen
□ Monitor gejala-gejala
yang menunjukkan
peningkatan pernafasan
(misalnya, peningkatan
denyut nadi dan
pernafasan,
peningkatan tekanan
darah, diaphoresis,
perubahan status
mental)
□ Monitor efektifitas
ventilasi mekanik
terhadap status
fisiologis dan
psikologis klien

32
□ Inisiasi teknik relaksasi
yang sesuai
□ Berikan perawatan
untuk mengurangi
distress klien
(misalnya, memberikan
posisi, merawat efek
samping seperti
rhinitis, kerongkongan
kering atau berikan
sedative atau anastesi;
periksa peralatan secara
berkala, bersihkan dan
ganti peralatan non-
invasive
□ Kosongkan air yang
sudah keruh dari tabung
air
□ Pastikan pergantian
sirkuit ventilator setiap
24 jam
□ Monitor kerusakan
mukosa ke mulut, nasal,
trakea, atau jaringan
laring
□ Monitor sekresi paru-
paru terkait dengan
jumlah, warna dan
konsistensi, serta
dokumentasikan semua
hasil temuan

33
□ Lakukan fisioterapi
dada yang sesuai
□ Tingkatkan pengkajian
rutin untuk kriteria
penyapihan (misalnya,
perbaikan kondisi
sebelum ventilasi,
kemampuan untuk
mempertahankan
pernafasan yang
adekuat)
□ Berikan perawatan
mulut secara rutin
dengan kapas yang
lunak dan basah,
antiseptic dan
melakukan suksion
secara perlahan
□ Dokumentasikan
semua respon klien
terhadap ventilator dan
perubahan ventilator
(misalnya, observasi
pergerakan
dada/auskultasi,
perubahan x-ray,
perubahan ABGs)
□ Pastikan peralatan
kegawatdaruratan
berada disisi tempat
tidur sepanjang waktu
(misalnya, manual

34
resusitasi yang
tersambung ke oksigen,
masker, peralatn
suksion) termasuk
persiapan untuk
kehilangan daya
mati/mati listrik
5 Gangguan pertukaran gas Setelah dilakukan NIC
Batasan Karakteristik : tindakan keperawatan ..x.. Acid Base Management
□ Diaforesis jam diharapkan hasil □ Pertahankan kepatenan
□ Dispnea AGD pasien dalam batas jalan nafas
□ Gangguan normal dengan kriteria □ Posisikan pasien untuk
pengelihatan hasil : mendapatkan ventilasi
□ Gas darah arteri NOC: yang adekuat(mis.,
abnormal Respiratory status: Gas buka jalan nafas dan
□ Gelisah Exchange tinggikan kepala dari
□ Hiperkapnia □ PaO2 dalam batas tempat tidur)
□ Hipoksemia normal (80-100 □ Monitor hemodinamika
□ Hipoksia mmHg) status (CVP & MAP)
□ Iritabilitas □ PaCO2 dalam batas □ Monitor kadar pH,
□ Konfusi normal (35-45 PaO2, PaCO2, dan
□ Nafas cuping mmHg) HCO3 darah melalui
hidung □ pH normal (7,35- hasil AGD
□ Penurunan karbon 7,45) □ Catat adanya
dioksida □ SaO2 normal (95- asidosis/alkalosis yang
□ pH arteri abnormal 100%) terjadi akibat
□ Pola pernafasan □ Tidak ada sianosis kompensasi
abnormal (mis., □ Tidak ada metabolisme, respirasi
kecepatan, irama, penurunan atau keduanya atau
kedalaman) kesadaran tidak adanya
□ Sakit kepala saat kompensasi
bangun

35
□ Sianosis □ Monitor tanda-tanda
□ Somnolen gagal napas
□ Takikardia □ Monitor status
□ Warna kulit neurologis
abnormal (mis., □ Monitor status
pucat, kehitaman ) pernapasan dan status
Faktor yang oksigenasi klien
berhubungan : □ Atur intake cairan
□ Ketidakseimbangan □ Auskultasi bunyi napas
ventilasi-perfusi dan adanya suara napas
□ Perubahan tambahan (ronchi,
membran alveolar- wheezing, krekels, dll)
kapiler □ Kolaborasi pemberian
nebulizer, jika
diperlukan
□ Kolaborasi pemberian
oksigen, jika
diperlukan.
6 Ketidakefektifan bersihan Setelah dilakukan Airway Management
□ Buka jalan nafas
jalan nafas tindakan keperawatan ..x..
menggunakan head tilt
Batasan Karakteristik : jam diharapkan mampu
chin lift atau jaw thrust
□ Batuk yang tidak mempertahankan
bila perlu
efektif kebersihan jalan nafas
□ Posisikan pasien untuk
□ Dispnea dengan kriteria :
memaksimalkan
□ Gelisah NOC :
ventilasi
□ Kesulitan Respiratory status :
□ Identifikasi pasien
verbalisasi Airway Patency
perlunya pemasangan
□ Mata terbuka lebar □ Respirasi dalam
alat jalan nafas buatan
□ Ortopnea batas normal
(NPA, OPA, ETT,
□ Penurunan bunyi □ Irama pernafasan
Ventilator)
nafas teratur

36
□ Perubahan □ Kedalaman □ Lakukan fisioterpi dada
frekuensi nafas pernafasan normal jika perlu
□ Perubahan pola □ Tidak ada □ Bersihkan secret
nafas akumulasi sputum dengan suction bila
□ Sianosis □ Batuk diperlukan
□ Sputum dalam berkurang/hilang □ Auskultasi suara nafas,
jumlah yang catat adanya suara
berlebihan tambahan
□ Suara nafas □ Kolaborasi pemberian
tambahan oksigen
□ Tidak ada batuk □ Kolaborasi pemberian
Faktor yang obat bronkodilator
berhubungan : □ Monitor RR dan status
Lingkungan : oksigenasi (frekuensi,
□ Perokok irama, kedalaman dan
□ Perokok pasif usaha dalam bernapas)
□ Terpajan asap □ Anjurkan pasien untuk
Obstruksi jalan nafas : batuk efektif
□ Adanya jalan nafas □ Berikan nebulizer jika
buatan diperlukan
□ Benda asing dalam Asthma Management
jalan nafas □ Tentukan batas dasar
□ Eksudat dalam respirasi sebagai
alveoli pembanding
□ Hiperplasia pada □ Bandingkan status
dinding bronkus sebelum dan selama
□ Mukus berlebih dirawat di rumah sakit
□ Penyakit paru untuk mengetahui
obstruksi kronis perubahan status
□ Sekresi yang pernapasan
tertahan □ Monitor tanda dan
□ Spasme jalan nafas gejala asma

37
Fisiologis : □ Monitor frekuensi,
□ Asma irama, kedalaman dan
□ Disfungsi usaha dalam bernapas
neuromuskular
□ Infeksi
□ Jalan nafas alergik

Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan merupakan aplikasi secara langsung dari
intervensi keperawatan yang ditujukan pada pasien.

Evaluasi
Merupakan fase akhir dari proses keperawatan adalah evaluasi terhadap
asuhan keperawatan yang diberikan (Gaffar, 1997). Evaluasi asuhan keperawatan
adalah tahap akhir proses keperawatan yang bertujuan untuk menilai hasil akhir dari
keseluruhan tindakan keperawatan yang dilakukan.
Hasil akhir yang diinginkan dari perawatan pasien Kejang Demam meliputi
pola pernafasan kembali efektif, suhu tubuh kembali normal, anak menunjukkan
rasa nymannya secara verbal maupun non verbal, kebutuhan cairan terpenuhi
seimbang, tidak terjadi injury selama dan sesudah kejang dan pengatahuan orang
tua bertambah.
Evaluasi ini bersifat formatif, yaitu evaluasi yang dilakukan secara terus
menerus untuk menilai hasil tindakan yang dilakukan disebut juga evaluasi tujuan
jangka pendek. Dapat pula bersifat sumatif yaitu evaluasi yang dilakukan sekaligus
pada akhir dari semua tindakan yang pencapaian tujuan jangka panjang.
Komponen tahapan evaluasi :
1. Pencapaian kriteria hasil
Pencapaian dengan target tunggal merupakan meteran untuk pengukuran.
Bila kriteria hasil telah dicapai, kata “ Sudah Teratasi “ dan datanya ditulis di
rencana asuhan keperawatan. Jika kriteria hasil belum tercapai, perawat mengkaji
kembali klien dan merevisi rencana asuhan keperawatan.

38
2. Keefektifan tahap – tahap proses keperawatan
Faktor – faktor yang mempengaruhi pencapaian kriteria hasil dapat terjadi di
seluruh proses keperawatan.
a. Kesenjangan informasi yang terjadi dalam pengkajian tahap satu.
b. Diagnosa keperawatan yang salah diidentifikasi pada tahap dua
c. Instruksi perawatan tidak selaras dengan kriteria hasil pada tahap tiga
d. Kegagalan mengimplementasikan rencana asuhan keperawatan tahap
empat.
e. Kegagalan mengevaluasi kemajuan klien pada tahap ke lima.

39
DAFTAR PUSTAKA

Arif Mansjoer, dkk (2000), Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media Aesculapius,
Jakarta
Dewanto, George, et al. 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit
Saraf. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Doenges, Marillyn E, dkk (2000), Penerapan Proses Keperawatan dan Diagnosa
Keperawatan, EGC, Jakarta
Doenges, Marillyn E, et all (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC,
Jakarta
Eisai, 2012. Pathophysiology of Epilepsy, 2. Eisai Inc. Available from
http://www.focusonepilepsy.com/pdfs/pathophys.pdf [Accessed 3 Oktober
2017].
Engel Jr., Jerome, 2006. ILAE Classification of Epilepsy Syndromes. Epilepsy
Research, 70S: S5-S10.
Hawari, Irawaty, 2012. Epilepsi di Indonesia. Available from: http://www.ina-
epsy.org/ [Accessed 3 Oktober 2017].
IDAI. 2009. Pedoman Pelayanan Medis, hal: 253, Jakarta, IDAI.
Judha M & Rahil H.N. 2011 Sistem Persarafan Dalam Asuhan Keperawatan.
Yogyakarta: Gosyen Publishing
Krisanty P,. Dkk (2008), Asuhan Keperawatan Gawat darurat, Trans info Media,
Jakarta
Lowenstein, Daniel H., 2010. Seizures and Epilepsy. In: Hauser, Stephen L. (Ed.).
Harrison’s: Neurology and Clinical Medicine. 2nd Edition. USA: The
McGraw-Hill Companies, 222-245.
Lumbantobing, SM. 2004. Neurogeriatri. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. p. 111-122
Markand, Omkar N., 2009. Epilepsy in Adults. In: Biller, Jose (Ed.). Practical
Neurology. 3rd Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 511-
542.
Miller, Laura C., 2009. Epilepsy. In: Savitz, Sean I. and Ronthal, Michael (Ed.).
Neurology Review for Psychiatrists. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins, 106-125.

40
Miller, Laura C., 2009. Epilepsy. In: Savitz, Sean I. and Ronthal, Michael (Ed.).
Neurology Review for Psychiatrists. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins, 106-125.
Ngastiyah (1997), Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta
Price and Wilson. 2005. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Vol.2.
Jakarta : EGC.
Riyadi, Sujono & Sukarmin. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi 1,
Yogyakarta : Graha Ilmu
Rudzinski, Leslie A. and Shih, Jerry J., 2011. The Classification of Seizures and
Epilepsy Syndromes. Novel Aspects on Epilepsy: 69-88.
Sunaryo, Utoyo, 2007. Diagnosis Epilepsi. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya
Kusuma, 1.
Sylvia A. Price, dkk (1995), Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi 4, EGC,
Jakarta
WHO, 2005. Atlas: Epilepsy Care in the World. Geneva. WHO.
WHO, 2012. Neurological disorders: A Public Health Approach. WHO.

41

Anda mungkin juga menyukai