Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-


negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh
bakteri Salmonella 1poradi 1poradic typhi (Salmonella typhi) dan merupakan
penyakit menular.1 Penyakit ini ditularkan melalui konsumsi makanan atau
minuman yang terkontaminasi oleh tinja atau urin orang yang terinfeksi.2
Menurut data WHO tahun 2003, diprediksikan sekitar 17 juta kasus
demam tifoid di seluruh dunia dengan angka insidensi 600.000 kasus kematian
tiap tahun. Di Indonesia kasus demam tifoid masih merupakan penyakit 1poradi.
Penyakit ini jarang ditemukan secara 1poradic, lebih bersifat 1poradic yang
terpencar-pencar di suatu daerah. Frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia
pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan menjadi
15,4 per 10.000 penduduk. Insiden demam tifoid di Indonesia bervariasi di tiap
daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan. Pada daerah pedesaan
(Jawa Barat) insidennya sekitar 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di
daerah perkotaan ditemukan 760-810 kasus per 100.000 penduduk per tahun.
Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91%
kasus demam tifoid.3
Penegakan diagnosis demam tifoid cukup sulit karena gejala klinik
penyakit ini tidak khas, sehingga diperlukan pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis penyakit ini antara lain
pemeriksaan darah rutin, pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan
kuman, pemeriksaan serologis, dan pemeriksaan kuman secara molekuler.1

1
BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : A.K.L
No.Rm : 42.74.31
Tanggal lahir : 19/02/2013
Umur : 4 tahun 8 bulan
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Gentungan
Agama ` : Islam
Ruang : Perawatan II, kelas III D

B. IDENTITAS KELUARGA
Nama ayah :H
Umur : 26 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Pend. Terakhir : SMP
Status Kesehatan : Sehat

Nama ibu :M
Umur : 25 tahun
Perkerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pend. Terakhir : SMA
Status Kesehatan : Sehat

C. ANAMNESIS
Anamnesis : alloanamnesis (ibu kandung pasien)
Keluhan utama: demam

2
Anamnesis terpimpin:
Seorang anak perempuan masuk ke rumah sakit diantar oleh
ibunya dengan keluhan demam sejak +- 1 minggu sebelum kerumah sakit,
demamnya naik turun, yang dirasa lebih tinggi terutama sore hingga
malam hari agak turun pada pagi hari pasien juga muntah frekuensi >10
kali berisi makanan, air, lendir (-), batuk (-), kejang (-), sesak (-), nyeri
tenggorok (-), flu (-)

BAB: 4 hari belum BAB


BAK :Lancar, berwarna kuning
Nafsu Makan : Menurun
Nafsu Minum : Menurun
Riwayat penyakit sebelumnya :
- Riwayat menderita sakit seperti ini, pernah sebulan yang lalu (demam)
- Riwayat menderita mencret tapi tidak sampai mondok di rumah sakit
- Riwayat sering batuk tidak sembuh-sembuh disangkal, riwayat kontak
dengan penderita batuk lama disangkal, riwayat berkeringat pada
malam hari disangkal.
- Riwayat berasal dari daerah endemis malaria atau riwayat bepergian ke
daerah endemis malaria disangkal.
Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga : -
Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga : -
Status Imunisasi :Lengkap

D. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status present
Keadaan umum : Lemas/compos mentis
Berat Badan : 15 kg
Panjang Badan : 82 cm
Status Gizi : Gizi baik
2. Tanda Vital

3
Nadi : 94x/ menit

Pernapasan : 26 x/menit
Suhu : 380C
3. Status generalis
Pucat (-) Telinga : otore (-)
Cyanosis (-) Mata : conjungtivitis (-)
Tonus : Baik Hidung : Rinore (-)
Ikterus (-) Bibir : Kering (+)
Turgor : Baik Lidah : Kotor (+)
Kepala : Normocephal Sel. Mulut : stomatitis (-)
Muka : simetris Leher : Kaku kuduk (-)
Rambut : Hitam, tidak mudah di cabut Kulit : DBN
Ubun ubun besar: menutup (+) Tenggorok : DBN
Tonsil : DBN
Skor dehidrasi : 9
Thorax Jantung
Inspeksi : Inspeksi:
 Simetris kiri dan kanan  Ictus cordis tidak tampak
 Retraksi dinding dada (-) Palpasi :
Palpasi :  Ictus cordis tidak teraba
 Vocal fremitus : TDE Perkusi :
Perkusi:  Batas kiri : linea midclavicularis
 Sonor sinistra
Auskultasi  Batas kanan : line parasternalis
 Bunyi Pernapasan : vesikuler dextra
 Bunyi tambahan: Rh -/- Wh -/-  Batas atas ICS III sinistra
Auskultasi :
 Bunyi Jantung I dan II murni,
regular
 Bising jantung (-)
Abdomen
Inspeksi : Alat kelamin :

4
 Datar, ikut gerak napas  Tidak dievaluasi
Palpasi : Tasbeh (-)
 Limpa : tidak teraba Col. Vertebralis : skoliosis (-)
 Hati : tidak teraba Gibbus (-)
 Nyeri tekan (-)
Perkusi :
 Tympani
Auskultasi
 Peristaltik kesan normal

E. HASIL LABORATORIUM
Darah Rutin (15 Oktober 2017)
 Wbc : 8,2 x103/µL
 Rbc : 4,70 x106/µL
 Hgb : 11,4 g/dl
 Hct : 35,0%
 Mcv : 74,5fL
 Mch : 24,3pg
 Mchc : 32,6 g/dl
 Plt : 510x103/µL

Hasil Widal Tes


 S. Typhi(O) : 1/320
 S. Typhi (H) : 1/320
 S. Paratyphi (AH) : negatif
 S. Paratyphi (BH) : negatif

TANGGAL HASIL PEMERIKSAAN, ANALISIS INSTRUKSI DOKTER


DAN TINDAK LANJUT
Tanggal masuk S Seorang anak perempuan masuk ke - IVFD RL Wida KDN z
perawatan 16-10- rumah sakit diantar oleh ibunya dengan 500/24
2017 keluhan demam sejak +- 1 minggu - Rumple leede test

5
(17.05) sebelum kerumah sakit, demamnya naik - Ranitidine ½ amp/8jam
turun, yang dirasa lebih tinggi terutama /iv
sore hingga malam hari agak turun pada - Domperidon syr 3x ½ cth
pagi hari pasien juga muntah frekuensi - Paracetamol syr 3x1 cth
>10 kali berisi makanan, air, lendir (-), - Zink 20 mg 1x1
batuk (-), kejang (-), sesak (-), nyeri
tenggorok (-), flu (-)
BAB: belum BAB 4 hari, hari kamis
BAB encer 1 kali
BAK : Lancar
Selera makan : menurun
Selera minum : baik

KU : Lemas, GCS : Composmentis


O Nadi: 85 x/ menit
Pernapasan: 26x/menit
Suhu :36,6OC
Paru : vesikuler, Rh -/-, Wh-/-
CV : BJ I/II murni reguler, bising (-)
Abd : peristaltic (+) kesan normal
Metabolik : ikterus (-), udem (-)

A
Follow up 1 S Demam (-), menggigil (-), sesak (-), - IVFD RL : dextrose 5%
17-10-2017 mual (-), muntah (-), sakit kepala (-), 500 cc/24 jam
sakit perut (-), batuk (-). - Ceftriaxon 750 mg/12
BAB : belum pernah sudah 5 hari jam/iv
BAK : lancar, warna kuning muda - Ranitidine ½ amp/8jam
Nafsu makan : mulai membaik /iv
Nafsu minum : baik - Paracetamol syr 3x1 cth
(k/p)
O Ku : Lemas - Zink syr 1x1 cth

6
Nadi: 100 x/menit - Bc/C 2x1 tab
Pernapasan: 24x/menit
Suhu: 36,9’C
Paru : Bronchovesicular, Rh -/-, Wh-/-
CV: Bunyi jantung I/II murni regular
Abdomen: Peristaltik (+) kesan normal
Metabolik : Ikterus (-), udem (-)
Rumple leede ; negatif

A Demam tifoid
Follow up 2 S Demam (-), menggigil (-), sesak (-), - IVFD RL : dextrose 5%
18-10-2017 mual (-), muntah (-), sakit kepala (-), 500 cc/24 jam
sakit perut (-), batuk (-). - Ceftriaxon 750 mg/12
BAB : belum 6 hari belum BAB jam/iv
BAK : lancar, warna kuning muda - Ranitidine ½ amp/8jam
Nafsu makan : baik /iv
Nafsu minum : mulai membaik - Paracetamol syr 3x1 cth
Ku : Baik (k/p)
O Nadi: 124 x/menit - Zink syr 1x1 cth
Pernapasan: 24 x/menit - BC/C 2x1 tab
Suhu: 36,5 ’C
Paru : Bronchovesicular, Rh -/-, Wh-/-
CV: Bunyi jantung I/II murni regular
Abdomen: Peristaltik (+) kesan normal
Metabolik : Ikterus (-), udem (-)
A Demam tifoid

7
Follow up 3 S Demam (-), menggigil (-), sesak (-), - IVFD RL : dextrose 5%
19-10-2017 mual (-), muntah (-), sakit kepala (-), 500 cc/24 jam
sakit perut (-), batuk (-). - Ceftriaxon 750 mg/12
BAB : Sudah BAB 1 x jam/iv
BAK : Lancar - Ranitidine ½ amp/8jam
Nafsu makan : Baik /iv
Nafsu minum : Baik - Paracetamol syr 3x1 cth
O Nadi : 108x/menit (k/p)
Pernapasan : 22x/menit - Zink syr 1x1cth
Suhu : 36,5’C - Bc/C 2x1 tab
Paru : bronchovesicular, Rh -/- Wh-/-
CV: Bunyi jantung I/II murni regular
Abdomen: Peristaltik (+) kesan normal
Metabolik : ikterus (-), udem (-)
A Demam tifoid

Follow up 4 S Demam (-), menggigil (-), sesak (-), - Aff infuse


19-10-2017 mual (-), muntah (-), sakit kepala (-), - Zink 20 mg 1x1
sakit perut (-), batuk (-). -Bc/C 2x1 tab
BAB : baik
- boleh pulang
BAK : Lancar
Nafsu makan : Baik
Nafsu minum : Baik

O Nadi : 120x/menit
Pernapasan : 28x/menit
Suhu : 36,5’C
Paru : bronchovesicular, Rh -/- Wh-/-
CV: Bunyi jantung I/II murni regular
Abdomen: Peristaltik (+) kesan normal
Metabolik : ikterus (-), udem (-)
A Demam tifoid

8
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh salmonella thypi.4 penularan demam tifoid melalui fecal dan oral
yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi.5
B. Epidemiologi
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di
berbagai negara sedang berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di
dunia ini sangat sukar ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala
spectrum klinisnya sangat luas. Diperkirakan angka kejadian dari
150/100.000/tahun di Amerika Selatan dan 900/100.000/ tahun di Asia.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah
menyebutkan bahwa insidensi demam tifoid menduduki urutan ketiga setelah
diare dan TBC selaput otak. 4,6
Prevalensi demam tifoid paling tinggi pada usia 3-19 tahun mencapai 91%
kasus karena pada usia tersebut orangorang cenderung memiliki aktivitas fisik
yang banyak, sehingga kurang memperhatikan pola makannya, akibatnya mereka
cenderung lebih memilih makan di luar rumah, yang sebagian besar kurang
memperhatikan higienitas.6
Penyakit ini masih bersifat endemik di Sulawesi Selatan dengan sebaran
kasus tertinggi di Kabupaten Gowa, Insiden Rate (IR=0.28%) 2008 yaitu tertinggi di
Kab.Gowa yaitu 2.391 kasus. Jumlah Penderita Thypoid meningkat dari 165 orang
pada tahun 2011 menjadi 178 orang pada tahun 2012. Sedangkan untuk tahun 2013
hingga tiga bulan terakhir penderita Thypoid sudah mencapai 70 orang. 7
C. Etiologi
Salmonella thypi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri gram
negative, mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif
anaerob. Mempunyai antigen somatic (O) yang terdiri dari oligosakarisa, flagelar
antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelove antigen (K) yang terdiri dari

9
polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang
membentuk lapis luar dari dinding sel yang dinamakan endotoksin.4

D. Patogenesis
Patogenesis demam tifoid merupakan proses yang kompleks yang melalui
beberapa tahapan. Setelah kuman Salmonella thypi tertelan, kuman tersebut dapat
bertahan terhadap asam lambung dan masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus
pada ileum terminalis. Di usus, bakteri melekat pada mikrovili kemudian melalui
barier usus yang melibatkan mekanisme membrane ruffling, actin rearrangement,
dan internalisasi dalam vakuola intraseluler. Kemudian salmonella thypi
menyebar ke sistem limfoid mesenterika dan masuk kedalam pembuluh darah
melalui sistem limfatik. Bakteremia primer terjadi pada tahap ini dan biasanya
tidak didapatkan gejala dan kultur darah biasanya biasanya masih memberikan
hasil yang negatif. Periode inkubasi ini terjadi selama 7-14 hari.2
Bakteri dalam pembuluh darah ini akan menyebar ke seluruh tubuh dan
berkolonisasi dalam organ-organ sistem retikuloendotelial, yakni di hati, limpa,
dan sumsum tulang. Kuman juga dapat melakukan replikasi dalam makrofag.
Setelah periode replikasi, kuman akan disebarkan kembali ke dalam sistem
peredaran darah dan menyebabkan bakteremia sekunder sekaligus menandai
berakhirnya periode inkubasi. Bakteremia sekunder menimbulkan gejala klinis
seperti demam, sakit kepala, dan nyeri abdomen.2
Bakteremia dapat menetap selama beberapa minggu bila tidak diobati
dengan antibiotik. Pada tahapan ini, bakteri tersebar luas di hati, limpa, sumsum
tulang, kandung empedu, dan Peyer’s patches di mukosa ileum terminal. Ulserasi
pada Peyer’s patches dapat terjadi melalui proses infl amasi yang meng-akibatkan
nekrosis dan iskemia. Komplikasi perdarahan dan perforasi usus dapat menyusul
ulserasi.2
Kekambuhan dapat terjadi bila kuman masih menetap dalam organ-organ
sistem retikuloendotelial dan berkesempatan untuk berproliferasi kembali.
Menetapnya Salmonella dalam tubuh manusia diistilahkan sebagai pembawa
kuman atau carrier.2

10
E. Geajala Klinis
Setelah 7-14 hari tanpa keluhan atau gejala, dapat muncul keluhan atau
gejala yang bervariasi mulai dari yang ringan dengan demam yang tidak tinggi,
malaise, dan batuk kering sampai dengan gejala yang berat dengan demam yang
berangsur makin tinggi setiap harinya, rasa tidak nyaman di perut, serta beraneka
ragam keluhan lainnya.2
Gejala yang biasanya dijumpai adalah demam sore hari dengan
serangkaian keluhan klinis, seperti anoreksia, mialgia, nyeri abdomen, dan
obstipasi. Dapat disertai dengan lidah kotor, nyeri tekan perut, dan pembengkakan
pada stadium lebih lanjut dari hati atau limpa atau kedua-duanya. Pada anak, diare
sering dijumpai pada awal gejala yang baru, kemudian dilanjutkan dengan
konstipasi. Konstipasi pada permulaan sering dijumpai pada orang dewasa.
Walaupun tidak selalu konsisten, bradikardi relatif saat demam tinggi dapat
dijadikan indikator demam tifoid. Pada sekitar 25% dari kasus, ruam makular atau
makulopapular (rose spots) mulai terlihat pada hari ke 7-10, terutama pada orang
berkulit putih, dan terlihat pada dada bagian bawah dan abdomen pada hari ke 10-
15 serta menetap selama 2-3 hari.2,8
Sekitar 10-15% dari pasien akan mengalami komplikasi, terutama pada
yang sudah sakit selama lebih dari 2 minggu. Komplikasi yang sering dijumpai
adalah reaktif hepatitis, perdarahan gastrointestinal, perforasi usus, ensefalopati
tifosa, serta gangguan pada sistem tubuh lainnya mengingat penyebaran kuman
adalah secara hematogen. Bila tidak terdapat komplikasi, gejala klinis akan
mengalami perbaikan dalam waktu 2-4 minggu.2

F. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan
gastrointestinal dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran dengan
kriteria ini maka seorang klinis dapat membuat diagnosis tersangka demam
tifoid. Diagnosis pasti, ditegakkan melalui isolasi S.thypi dari darah. Pada dua
minggu pertama sakit, kemungkinan mengisolasi S.thypi dari dalam darah pasien
lebih besar daripada minggu berikutnya. Biakan yang dilakukan pada urin dan

11
feses, kemungkinan lebih kecil. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan biakan
specimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasl yang cukup
baik.4
Uji serologi widal suatu serologic yang memeriksa antibody aglutinasi
terhadap antigen somatic (O), flagella (H) banyak dipakai untuk membuat
diagnosis demam tifoid. Di Indonesia pengambilan angka titer O anglutinin
≥1/40 dengan memakai uji widal slide agglutination (prosedur pemeriksaan
membutuhkan 45 menit) menunjukkan ramal positif 96%. Artinya apabila hasil
tes posistif , 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi jika negatif tidak
menyingkirkan. Banyak pendapat apabila titer O agglutinin sekali periksa ≥1/200
atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis dapat ditegakkan.
Agglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau, sedan Vi agglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S.thypi
(karier). Banyak peneliti mengemukakan bahwa uji serologi widal kurang dapat
dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada daerah endemis. Dan sebaliknya
dapat timbul negatif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah
positif.4
Akhir-akhir banyak dimunculkan beberapa jenis pemeriksaan untuk
mendeteksi antibody S.thypi dalam serum, antigen terhadap S.thypi dalam darah,
serum, urin dan bahkan DNA S.thypi dalam darah dan feses. Polymerase chain
reaction telah digunakan untuk memperbanyak gen Salmonella ser. Thypi secara
spesifik pada darah pasien dan hasil dapat diperoleh dalam beberapa jam. Metode
ini lebih spesifik dan lebih sensitif dibandingkan dengan biakan darah. Walaupun
laporan-laporan pendahuluan menunjukkan hasil baik namun sampai sekarang
tidak salah satupun dipakai secara luas. Sampai sekarang belum disepakati
adanya pemeriksaan yang dapat menggantikan uji serologi widal. 4

G. Diagnosis Banding
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara
klinis dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis,
bronchitis, dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh

12
mikroorganisme intraseluler seperti tuberculosis, infeksi jamur sistemik,
bruselosis, shigelosis dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam tifoid yang
berat, sepsis, leukemia, limfoma, dan penyakit Hodgkin dapat sebagai diagnosis
banding.4

H. Penatalaksanaan
Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah
baring, isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta
pemberian antibiotik.4 Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan
bebas demam dan gejala,mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. Yang
juga tidak kalah penting adalah eradikasi total bakeri untuk mencegah
kekambuhan dan keadaan carrier. 2
Pengobatan antibiotik merupakan pengobatan utama karena dasarnya
patogenesis infeksi Salmonella thypi berhubungan dengan keadaan bakterimia.2
Pemilihan antibiotik tergantung pada pola sensitivitas isolat Salmonella typhi
setempat. Munculnya galur Salmonella typhi yang resisten terhadap banyak
antibiotik (kelompok MDR) dapat mengurangi pilihan antibiotik yang akan
diberikan. Terdapat 2 kategori resistensi antibiotik yaitu resisten terhadap
antibiotik kelompok chloramphenicol, ampicillin, dan
trimethoprimsulfamethoxazole (kelompok MDR) dan resisten terhadap antibiotik
fluoroquinolone. Nalidixic acid resistant Salmonella typhi (NARST) merupakan
petanda berkurangnya sensitivitas terhadap fluoroquinolone. 2
Kloramfenikol masih merupakan pilihan pertama pengobatan penderita
demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 100mg/kgBB/hari dibagi dalam 4kali
pemberian selama 10-14 hari atau sampai 5-7 hari setelah demam turun. Salah
satu kelemahan klorafenikol adalah tingginya angka relaps dan karier. Namun
pada anak jarang dilaporkan.4 Ampisilin memberikan respon perbaikan klinis
yang kurang apabila dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan
adalah 200mg/kgBB/ hari dibagi dalam 4 kali pemberian secara intravena.
Amoksilin dengan dosis 100mgmg/kgBB/hari dibagi dalam 4kali pemberian per

13
oral memberikan hasil setara dengan kloramfenikol walaupun penurunan demam
lebih lama.4
Antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin, dan
pefloxacin) merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang disebabkan
isolat tidak resisten terhadap fluoroquinolone dengan angka kesembuhan klinis
sebesar 98%, waktu penurunan demam 4 hari, dan angka kekambuhan dan fecal
carrier kurang dari 2%. Fluoroquinolone memiliki penetrasi ke jaringan yang
sangat baik, dapat membunuh S. typhi intraseluler di dalam monosit/makrofag,
serta mencapai kadar yang tinggi dalam kandung empedu dibandingkan antibiotik
lain. Berbagai studi telah dilakukan untuk menilai efektivitas fluoroquinolone dan
salah satu fluoroquinolone yang saat ini telah diteliti dan memiliki efektivitas
yang baik adalah levofloxacin. Studi komparatif, acak, dan tersamar tunggal telah
dilakukan untuk Levofloxacin terhadap obat standar ciprofloxacin untuk terapi
demam tifoid tanpa komplikasi. Levofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 1
kali sehari dan ciprofloxacin diberikan dengan dosis 500mg, 2 kali sehari masing-
masing selama 7 hari. Pada saat ini Levofloxacin lebih bermanfaat dibandingkan
ciprofloxacin dalam hal waktu penurunan demam, hasil mikrobiologi dan secara
bermakna memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan ciprofloxacin.2
Pemberian sefalosforin generasi ketiga seperti seftriakson 100mg/kg/hari
dibagi dalam 1 atau 2 dosis (maksimal 4 gr / hari) selama 5-7 hari atau cefotaxim
150-200 mg/kg/hari.4
Pada demam tifoid kasus berat seperti delirium, stupor, koma, shock,
pemberian dexametason intravena (3 mg/kg diberikan dalam 30 menit untuk dosis
awal, dilanjutkan dengan 1 mg/kg tiap jam sampai 48 jam). Demam tifoid dengan
penyulit perdarahan usus kadang-kadang memerlukan transfuse darah.4

I. Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan
terapi antibiotic yang adekuat, angka mortalitas <1%. Dinegara berkembang,
angka mortalitas >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan

14
pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointesntinal atau
perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan
mirbiditas dan mortalitas yang tinggi.2
J. Pencegahan
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S. Typhi, maka

setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang

mereka konsumsi. Salmonella typhi di dalam air akan mati apabila dipanas

setinggi 57oC untuk beberapa menit atau dengan proses iodinasi/klorinasi.2

Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57oC beberapa menit dan secara

merata juga dapat mematikan kuman Salmonella Typhi. Penurunan endemisitas

auatu negara/ daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan

pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap

hygiene pribadi. Imunitas aktif dapat membatu menekan angka kejadian demam

tifoid.2

DISKUSI
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi akut sistemik yang
disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai
negara berkembang terutama di daerah tropis dan subtropis.3Gejala yang biasanya
dijumpai adalah demam sore hari dengan serangkaian keluhan klinis, seperti
anoreksia, mialgia, nyeri abdomen, dan obstipasi. Dapat disertai dengan lidah
kotor, nyeri tekan perut, dan pembengkakan pada stadium lebih lanjut dari hati
atau limpa atau kedua-duanya. Pada anak, diare sering dijumpai pada awal gejala
yang baru, kemudian dilanjutkan dengan konstipasi. Konstipasi pada permulaan
sering dijumpai pada orang dewasa. Walaupun tidak selalu konsisten, bradikardi
relatif saat demam tinggi dapat dijadikan indikator demam tifoid.4 Hal ini sesuai
dengan anamnesis yang telah dilakukan bahwa pasien mengeluh demam yang
meningkat terutama pada malam hari yang dirasakan sekitar 1minggu, muntah

15
serta konstipasi. Sedangkan pada pemeriksaan fisik pasien, didapatkan bibir
kering dan lidah kotor.
Berdasarkan kepustakaan, Penularan demam tifoid dapat terjadi melalui
berbagai cara, yaitu dikenal dengan 5F yaitu (food, finger, fomitus, fly, feses)
Feses dan muntahan dari penderita demam tifoid dapat menularkan bakteri
Salmonella typhi kepada orang lain. Kuman tersebut ditularkan melalui makanan
atau minuman yang terkontaminasi dan melalui perantara lalat, di mana lalat
tersebut akan hinggap di makanan yang akan dikonsumsi oleh orang sehat.
Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci
tangan dan makanan yang tercemar oleh bakteri Salmonella typhi masuk ke tubuh
orang yang sehat melalui mulut selanjutnya orang sehat tersebut akan menjadi
sakit.5 Periode inkubasi demam typhoid umumnya 8-14 hari. Seseorang dapat
menularkan bakteri tersebut melalui ekskresi feses atau urin yang umumnya
diawali pada minggu pertama setelah munculnya gejala demam typhoid dan
berlanjut sampai periode convalescence (periode penyembuhan), sekitar 10%
kasus yang tidak diobati akan mengekskresikan bakteri selama 3 bulan setelah
munculnya gejala demam typhoid. Onset bakteremia (periodebakteri di dalam
darah) ditandai dengan demam dan malaise. Adapun gejala lainnya meliputi
influenza-like symptom disertai dengan menggigil, sakit kepala di bagian frontal,
anorexia, nausea, rasa tidak nyaman di abdominal, batuk kering dan myalgia. Dari
pemeriksaan fisik akan didapatkan nyeri tekan pada abdominal, hepatomegaly dan
splenomegaly.8
Berdasarkan teori, kultur darah merupakan gold standard metode
diagnostik dan hasilnya positif pada 60-80% dari pasien,4 namun pada pasien ini
tidak dilakukan pemeriksaan kultur darah. Pemeriksaan laboratorium yang paling
sering digunakan adalah pemeriksaan serologis, diantaranya adalah pemeriksaan
Widal dan pemeriksaan Tubex.1Peran pemeriksaan Widal (untuk mendeteksi
antibodi terhadap antigen Salmonella typhi) masih kontroversial. Biasanya
antibodi antigen O dijumpai pada hari 6-8 dan antibodi terhadap antigen H
dijumpai pada hari 10-12 setelah sakit.4 Di Indonesia pengambilan angka titer O
anglutinin ≥1/40 dengan memakai uji widal slide agglutination (prosedur

16
pemeriksaan membutuhkan 45 menit) menunjukkan ramal positif 96%. Artinya
apabila hasil tes posistif , 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi jika
negatif tidak menyingkirkan. Banyak pendapat apabila titer O agglutinin sekali
periksa ≥1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis
dapat ditegakkan. Agglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau
infeksi masa lampau, sedan Vi agglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman
S.thypi (karier)Pada pasien dilalukan pemeriksaan darah rutin dan widal. Pada
pemeriksaan Widal di dapatkan titer S.thypi O dan H : 1/320.
Selama perawatan di Rumah Sakit, pasien mendapatkan terapi cairan,
antibiotik (seftriakson), paracetamol, vitamin C dan vitamin B kompleks, zink,
ranitidine, domperidon syr dan tirah baring. Hal ini sesuai dengan kepustakaan
bahwa berdasarkan kerentanan, ceftriakson, ampisilin, kloramfenikol,
trimetoprim/sulfametoksazol, dan siprofloksasin merupakan obat yang berguna.
Sefalosporin generasi ketiga, terutama obat-obat yang di metabolisme di hati,
dapat menyembuhkan carrier.4 Studi terkini lebih menganjurkan pemberian
seftriakson dibandingkan kloramfenikol untuk pasien demam tifoid yang dirawat
di rumah sakit. Setelah pemberian seftriakson dengan dosis 80mg/kg berat
badan/hari dengan maksimal dosis 2 g/hari, demam turun setelah hari ketiga
terapi. Seftriakson dilanjutkan sampai lima hari pengobatan, terbukti memberikan
respon klinis yang baik. Selain pemberian antibiotik, penderita perlu istirahat total
serta terapi suportif.9

17
BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

 Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, maka


pasien didiagnosis dengan demam tifoid.
 Tatalaksana pasien ini adalah pemberian antibiotik dan terapi suportif berupa
koreksi cairan, nutrisi adekuat, dan tirah baring.
 Hasil follow up yang dilakukan selama 4 hari, menunjukkan adanya
perbaikan klinis, diantaranya disebabkan karena kepatuhan minum obat dari
penderita serta adanya intervensi gizi, sehingga prognosis penyakit dari
penderita dapat dikatakan dubia ad bonam.

Saran

 Disarankan penderita untuk dapat melakukan kontrol setiap bulannya di poli


untuk menilai perkembangan hasil terapi dan efek samping obat. Evaluasi
pengobatan dilakukan secara klinis yang mana tidak ada lagi keluhan
sebelumnya.
 Pada daerah endemik, sanitasi diperbaiki dan bersih, air mengalir sangat
penting untuk mengendalikan demam enterik. Untuk meminimalkan penularan
dari orang ke orang dan kontaminasi makanan, cara-cara higiene personal cuci
tangan, dan perhatian terhadap praktek-praktek persiapan makanan diperlukan.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Choirunnisa N, Tjiptaningrum A, Basuki W. Proporsi Pemeriksaan IgM Anti


Salmonella Typhi 09 Positif Menggunakan Tubex dengan Pemeriksaan Widal
Positif pada Pasien Klinis Demam Tifoid Akut di RSUD Dr. H, Abdul
Moeloek Bandar Lampung. Fakultas Kedokteran. Universitas Lampung. 2013

2. Nelwan RHH. Continuing Medical Education Vol.39 No. 4: Tata Laksana


Terkini Demam Tifoid. Divisi Penyakir Tropik dan Infeksi. Departemen Ilmu
Penyakit Dalam. FKUI. Jakarta. 2012

3. Septiawan IK, Herawati S, Yasa IWPS. Pemeriksaan Immunoglobulin M Anti


Salmonella dalam Diagnosis Demam Tifoid. Bagian Patologi Klinik Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana. Denpasar. 2012

4. Poorwo S, dkk. Buku ajar Infeksi dan Pediatri; edisi kedua :IDAI 2012

5. Nuruzzama H, Fariani Syahrul. Analisis Risiko Kejadian Demam Tifoid


Berdasarkan Kebersihan Diri dan Kebiasaan Jajan di Rumah. Departemen
Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya, Jawa
Timur. 2016

6. Ramaningrum G, dkk. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Demam


Tifoid pada Anak di RSUD Tugurejo Semarang. Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Semarang.2016

7. Nadyah. Hubungan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Insidens Penykit


Demam Tifoid Di Kelurahan Samata Kecamatan Somba Opu Kabupaten
Gowa 2013. Fakultas Ilmu Kesehatan UIN Alauddin Makassar. 2014

8. Wardana ITN, Herawaty S, Yasa WPS. Diagnosis Demam Tifoid dengan


Pemeriksaan Widal. Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana. Denpasar. 2012

9. Sidabusar S, Irawan SH. Pilihan Terapi Empiris Demam Tifoid Pada Anak :
Kloramfenikol atau Seftriakson ?. Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RS Dr
Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
2010

19

Anda mungkin juga menyukai