Anda di halaman 1dari 5

Nama : Susan Utari Ningsih

NIM : 1608437722
Dokter : Dr.dr. Endang Herliyanti Darmani, SpKK, FINSDV

URTIKARIA DAN ANGIOEDEMA

Urtikaria adalah reaksi vaskular pada kulit yang ditandai dengan edema setempat yang cepat
timbul dan hilang perlahan, berwarna pucat atau kemerahan, umumnya dikelilingi oleh halo
kemerahan (flare) dan disertai rasa gatal berat, rasa tersengat atau tertusuk.

Angioedema adalah reaksi yang menyerupai urtikaria, tertapi terjadi pada lapisan kulit yang
lebih dalam, dan secara klinis ditandai dengan pembengkakan jaringan. Angioedema dapat
terjadi di bagian tubuh manapun, namun lebih sering ditemukan di daerah perioral,
periorbital, lidah, genital dan ekstremitas.

Etiologi :

Imunologi  makanan (misalnya telur, susu, kacang, ikan laut, udang ,dll), obat-
obatan (obat anti nyeri, antibiotik golongan penicillin, golongan azol, obat diare, dll),
inhalan (serbuk bunga, jamur, debu, bulu binatang), gigitan serangga, kontak dengan
sesuatu yang baru (misalnya body lotion, pakaian baru), bahan foto sensitizer
(griseofulvin, fenotiazin, sulfonamide),
1. Non imunologi  trauma fisik (suhu panas/dingin, abrasi (gesekan), depresi
(tekanan))
• URTIKARIA
Etiologic
 :
• 1. Obat
• * Imunologik Reaksi tipe I & II.
• contoh : gol penisilin, sulfonamid, analgesik, pencahar, hormon
• & diuretik.
* Non Imunologik sel mast histamin
contoh : kodein, opium, zat kontras.
2. Makanan Imunologik.
contoh : telur, kacang, ikan, udang, dan lain-lain
3. Gigitan / sengatan serangga reaksi tipe I & IV
contoh : nyamuk, kepinding.
4. Bahan Foto Sensitizer.
contoh : Griseofulvin, Fenotiazin, Sulfonamid, dan lain-lain
5. Inhalan reaksi tipe 1.
contoh : serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, bulu
binatang, dan lain-lain.
6. Kontaktan.
contoh : Kutu Binatang, Serbuk tekstil, tumbuh-tumbuhan, dll
7.
.

8. Infeksi dan Infestasi Bakteri / virus / jamur/ parasit

9. Psikis stress sel mast peningkatan


Permiabilitas
dan Vasodilatasi kapiler.
10. Genetik angioneurotik edema herediter, Familial cold
urticaria, dll

11. Penyakit Sistemik Reaksi kompleks Ag – Ab.


Contoh : Pemfigus, Dermatitis Herpetiformis Duhring, Limfoma,
Hipertiroid.
KLASIFIKASI

1. Urtikaria Reaksi Imunologik


* I g E.
- Atopi.
- Antigen Spesifik

* Komplemen.
- Reaksi Sitotoksik ( Reaksi tipe II)
- Reaksi kompleks imun (Raksi tipe III)
- Defisiensi C1 esterase inhibitor (genetik)
* Reaksi tipe IV urtikaria kontak.

- Faktor Imunologik Urtikaria akut


• Sel mas / sel basofil + Fc + Ig E antigen + Ig E
degranulasi sel
mediator Urtikaria

klasik
• Aktifasi komplemen anafilatoksin
alternatif
sel mas / basofil urtikaria
• Reaksi tipe II aktifasi komplemen anafilatoksin
sel mas / basofil urtikaria
• Reaksi tipe III komplek imun anafilatoksin
sel mas / basofil urtikaria
• Defisiensi C1 esterase inhibitor genetik oedema
angioneurotik
PEMBAGIAN TIPE HIPERSENSITIVITAS

 HIPERSENSITIVITAS TIPE I
Immediate hypersensititivity = reaksi alergi. Alergi adalah perubahan reaksi pada host
bila terjadi kontak kedua dengan allergen. Reaksi alergi segera (< 30 menit) setelah kontak
dengan antigen atau allergen.
Urutan kejadian Tipe I
• Fase sensitisasi :
Waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai berikatan dengan reseptor
spesifik pada permukaan sel mast dan basofil
• Fase aktivasi :
Waktu yg diperlukan antara paparan ulang dengan antigen spesifik sampai
degranulasi sel mast dan basofil  pelepasan mediator farmakologi (histamin).
• Fase efektor :
Waktu tjd respon kompleks sebagai efek mediator sel mast dan aktivitas farmakologik

Mekanisme hipersensitivitas tipe I : alergen + Ig E berikatan pada reseptor Ig E (ikatan


alergen + IgE)  berikatan pada reseptor permukaan sel mast dan basofil  degranulasi sel
mast dan basofil  melepaskan mediator farmakologi atau histamin  meningkatkan
permeabilitas dan distensi kapiler darah  inflamasi.
Sel-sel yg merupakan reseptor Ig E adalah sel mast dan basofil (efektor utama), sel T dan
sel B, monosit, makrofag, eosinofil dan trombosit

Gambaran klinik hipersensitivitas tipe I


• Anafilaksis Atopi atau terlokalisir
Antigen masuk secara ingesti (makanan) dan terhirup (debu, spora jamur).
Kelainannya: hay fever (rinitis alergika), asma bronkial, eksim, urtikaria. Predisposisi
familial & level IgE tinggi.
• Anafilaksis Sistemik
Contohnya pada suntikan antimikroba (penisilin) yang mengakibatkan terjadinya syok
dan kesulitan bernapas. Dapat di atasi dengan pemberian epinefrin intravena
(mengkontriksikan pembuluh darah dan menaikan tekanan darah).

 HIPERSENSITIVITAS TIPE II
Terjadi karena antibodi IgG/ IgM berikatan langsung dengan antigen pada permukaan
sel/ jaringan. Terjadi interaksi dengan molekul jalur komplemen dan berbagai sel efektor
sehingga terjadi kerusakan sel dan jaringan sekitar. Sel - sel efektornya adalah sel K,
trombosit, neutrofil, eosinofil, makrofag atau monosit.
Mekanisme hipersentivitas tipe II : komplemen (C1q) melalui jalur klasik
mengakibatkan lisis membran sel yg sudah disensitisasi dan aktivasi C3 melalui sel efektor
 pembentukan kompleks C5b6789 yang menyerang jaringan  kematian sel atau jaringan
 sel darah merah dengan antigen pada membran selnya IgG berikatan dengan antigen
pada membran tersebut + komplemen  membran attack complex dari komplemen melisis
sel darah  kematian sel.

Gambaran Klinik Hipersensitivitas tipe II :


• Reaksi transfusi.
Landsteiner (1901)  golongan darah manusia jadi 4 golongan yaitu: A, B, AB dan
O. Reaksi transfusi terjadi karena ketidakcocokan tranfusi golongan darah ABO. Jenis
reaksi transfusi ada 3: Reaksi hemolitik berat, Reaksi panas, Reaksi alergi 
urtikaria, shock dan asma. Setelah tranfusi resipien segera membentuk antibodi
terhadap eritrosit donor. IgM mengaktifkan komplemen, aktivasi C5,6,7,8,9 
destruksi eritrosit intravaskuler  shock sirkulasi. Bagian eritosit yg hancur 
kelainan pada ginjal. Gejala klinis: demam, hipotensi, Rasa tertekan di dada, mual,
muntah,anemia dan jaundice.
• Haemolitic Disease of New Born / HDNB (Inkompatibilitas Rhesus).
Terjadi pada bayi baru lahir. Disebabkan karena Inkompatibilitas Rhesus  Ibu Rh -,
bayi Rh +. Terjadi selama proses partus  sebagian darah bayi kembali ke sirkulasi
darah ibu melalui plasenta  darah ibu disensitisasi Ag eritosit janin  terbentuk anti
Rh (Ig G)  pada kehamilan berikutnya Ig G masuk plasenta  destruksi eritrosit
fetus  bayi lahir kuning atau jaundice. Kejadian sering pada anak kedua. Terapi
profilaksis  pada ibu post partum diinjeksi anti Rh antibodi (anti D)  untuk
mengeliminasi eritrosit Rh +. Terapi pada anak  transfusi untuk mengganti darah.
• Penolakan transplantasi jaringan.
Reaksi terjadi dalam beberapa menit – 48 jam. Reaksi terjadi bila resipien membentuk
antibodi langsung terhadap jaringan yang ditransplantasikan atau dicangkokan
(misalnya ginjal). Reaksi dapat terlihat pada jaringan yang ditrasnplantasikan 
segera terjadi revaskularisasi setelah transplantasi  dalam 1 jam terjadi infiltrasi
netrofil, kerusakan glomerulus dan hemoragia.
• Reaksi autoimun atau anemia hemolitik. Reaksi antibodi dengan eritrosit sendiri
(self). Klinisnya: autoimune hemolytic anemia. Terjadi melalui fagositosis sel darah
merah via reseptor untuk Fc dan C3b anemia yg progresif. Antibodi yang terbentuk
dapat berupa: aglutinin panas atau tipe hangat  auto Ab bereaksi dengan Ag pada
suhu 370C. Aglutinin dingin atau tipe dingin auto Ab bereaksi dengan Ag pada
suhu <370C
• Reaksi induksi obat terhadap komponen darah :
Obat dapat menimbulkan reaksi alergi. Mekanismenya: Obat diabsorbsi membran sel
 permukaan sel berubah terbentuk antibody  aktivasi komplemen  lisis.
• Jenis obat: Sedormid (sedatif) mengikat trombosit  terbentuk Ig  hancur
trombosit  trombositopenia. Chloramphenicol  mengikat leukosit.
Phenacetin dan CPZ  mengikat eritrosit. Penicillin, kina, sulfonamid lisis
eritrosit  anemia hemolitik
• Myastemia Gravis

 HIPERSENSITIVITAS TIPE III


Disebut juga reaksi kompleks imun. Terjadi bila kompleks Ag-Ab tidak dieliminasi
oleh sistem RES sehingga ditemukan dalam jaringan atau dinding pembuluh darah sehingga
teraktivasi komplemen. Komplemen yang teraktifasi akan melepaskan Macrophage
Chemotactic Factor, melepaskan enzim dan merusak jaringan. Antibodi yg terbentuk adalah
jenis IgM atau IgG.
Mekanisme : Antigen + IgG  Terbentuk kompleks Ag-Ab pada darah  Kompleks
imun terdeposit pada dinding pembuluh darah  komplemen teraktivasi  C3a & C5a
dilepaskan  Neutrofil ditarik oleh C5a  Macrophage Chemotactic Factor  melepaskan
enzim yg menghancurkan endotel  merusak jaringan sekitar.

Kelainan klinik hipersensitivitas III.


• Antibodi yang berlebihan (Reaksi Arthus).
Inflamasi yg disebabkan oleh deposisi kompleks imun pd tempat yg terlokalisir
• Antigen yang berlebihan (Serum Sickness).
Respon inflamasi sistemik akibat deposisi kompleks imun di berbagai tempat di tubuh

 HIPERSENSITIVITAS TIPE IV
Merupakan hipersensitivitas tipe lambat. Timbul setelah 24 jam. Reaksi terjadi karena
respon sel T yg sudah disensitisasi Ag tertentu melalui APC.

Kelainan kilnis hipersensitivitas tipe IV :


• Dermatitis kontak. Kimiawi (nikel), material tumbuhan (poison ivy), obat topikal
(sulfonamid, neomisin), kosmetik, sabun dan zat-zat lain. Kontak dengan kulit  12-
48 jam timbul eritem, gatal, vesikel, eksim, nekrosis
• Tipe tuberkulin. PPD 5-stu intradermal  48-72 jam  skin test positif berarti
pernah terinfeksi M. tuberculosis.

Anda mungkin juga menyukai