Anda di halaman 1dari 120

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI

DAN EKSPOR BERAS INDONESIA

MARISSA AMBARINANTI
A14303029

SKRIPSI

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
ii

RINGKASAN

MARISSA AMBARINANTI. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi


Produksi dan Ekspor Beras Indonesia. Dibawah bimbingan MANGARA
TAMBUNAN.

Beras merupakan salah satu komoditi pangan yang mempunyai arti


penting dalam kehidupan bangsa Indonesia. Hal ini disebabkan keberadaannya
sebagai makanan pokok bagi hampir seluruh bangsa Indonesia. Hampir 97 %
penduduk Indonesia memiliki ketergantungan yang tinggi untuk mengkonsumsi
beras sebagai makanan pokok utama. Selain merupakan negara pengkonsumsi
beras, Indonesia juga merupakan negara produsen beras terbesar ke tiga di dunia.
Hal ini didukung oleh kondisi alam, iklim, dan topografi yang mendukung
dilakukannya usahatani padi di Indonesia. Indonesia pernah mencapai
swasembada pangan pada tahun 1984 dan berhasil menjadi net eksportir beras,
tetapi setelah periode swasembada tersebut produksi beras Indonesia berfluktuasi
dengan laju pertumbuhan yang cenderung menurun sedangkan laju pertumbuhan
konsumsi terus meningkat, sehingga Indonesia lebih sering tergantung pada impor
untuk memenuhi kebutuhan beras domestiknya.
Selain melakukan impor beras, Indonesia juga melakukan ekspor beras.
Fluktuasi pada produksi dan predikat Indonesia sebagai negara pengimpor beras
mengakibatkan ekspor beras Indonesia cenderung menurun dan bahkan terhapus.
Namun demikian pada tahun 2004 hingga 2005, ekspor beras meningkat cukup
signifikan yaitu dari 4.495 ton pada tahun 2004 menjadi 44.285 ton pada tahun
2005. Hal ini memberikan harapan dan peluang bagi Indonesia untuk
mempertahankan dan mengembangkan ekspor beras yang ada mengingat pada
dasarnya Indonesia merupakan salah satu negara produsen beras terbesar.
Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) menganalisis faktor- faktor yang
mempengaruhi produksi beras Indonesia, (2) menganalisis faktor- faktor yang
mempengaruhi ekspor beras Indonesia.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data
time series selama peride waktu 30 tahun (1976-2005). Data tersebut diperoleh
dari Badan Pusat Statistik, Departemen Pertanian, BULOG, dan Departemen
Perdagangan. Model analisis data yang digunakan adalah model regresi berganda
dengan persamaan tunggal. Persamaan ini diduga dengan menggunakan metode
Ordinary Least Square (OLS) dengan menggunakan program Minitab 14.
Berdasarkan hasil estimasi model secara keseluruhan, pendugaan dan
pengujian model ekonomi dengan kriteria statistik yang ada menunjukkan hasil
yang sangat baik, dimana parameter-parameter dalam setiap persamaan
memberikan tanda yang sesuai dengan harapan dan cukup logis dari sudut
pandang ekonomi. Nilai koefisien determinasi (R2 ) yang diperoleh untuk model
produksi adalah sebesar 98,6 persen dan nilai koefisien determinasi (R2 ) yang
diperoleh untuk model ekspor adalah sebesar 71,0 persen. Hal ini menunjukkan
bahwa keragaman masing- masing variabel endogen dapat dijelaskan dengan baik
oleh variabel-variabel eksogen yang terdapat dalam model. Masalah autokorelasi,
heteroskedastisitas, dan multikolinier tidak terdapat dalam kedua model yang
dianalisis.
iii

Hasil analisis regresi pada model produksi menunjukkan bahwa faktor-


faktor ya ng mempengaruhi produksi beras Indonesia terdiri dari luas areal panen
padi Indonesia, harga dasar gabah, pupuk urea, dan curah hujan. Dari hasil
perhitungan didapatkan bahwa semua variabel yang digunakan berpengaruh nyata
secara bersama-sama dalam peningkatan dan penurunan volume produksi beras
Indonesia. Hasil analisis regresi menyatakan bahwa dari keempat variabel
eksogen terdapat tiga variabel eksogen yang berpengaruh nyata terhadap produksi
beras Indonesia, yaitu luas areal panen padi Indonesia (pada taraf 0,01), harga
dasar gabah (0,01), dan pupuk urea (pada taraf 0,01). Sedangkan variabel eksogen
yang tidak berpengaruh nyata adalah variabel curah hujan dengan nilai P value
0,815.
Hasil analisis regresi pada model ekspor menunjukkan bahwa faktor-
faktor yang mempengaruhi volume ekspor beras Indonesia terdiri dari produksi
beras Indonesia, nilai tukar rupiah terhadap dollar, harga beras eceran, dan
konsumsi beras per kapita. Dari hasil perhitungan didapatkan bahwa semua
variabel yang digunakan berpengaruh nyata secara bersama-sama dalam
peningkatan dan penurunan volume ekspor beras Indonesia. Hasil analisis regresi
menyatakan bahwa dari keempat variabel eksogen terdapat dua variabel eksogen
yang berpengaruh nyata terhadap volume ekspor beras Indonesia, yaitu produksi
beras Indonesia (pada taraf 0,2) dan konsumsi beras per kapita (pada taraf 0,01).
Sedangkan variabel eksogen yang tidak berpengaruh nyata adalah nilai tukar
rupiah terhadap dollar dengan nilai P value 0,539 dan harga beras eceran dengan
nilai P value 0,883.
Adapun saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Menciptakan
kebijakan yang mendukung pertanian di indonesia, misalnya dengan memberikan
subsidi pup uk bagi para petani dengan cara yang bijak dan tepat sehingga tersedia
dalam jumlah dan harga yang memadai, mengingat pupuk urea merupakan salah
satu faktor utama yang mempengaruhi produksi beras Indonesia. Selain itu
menetapkan kebijakan harga dasar gabah yang melindungi petani, sehingga hal
tersebut memberikan insentif bagi petani untuk meningkatan produksi padi, (2)
Perlu diupayakan peningkatan luas areal tanam padi untuk meningkatkan produksi
padi Indonesia, sehingga produksi beras pun akan meningkat. Selain itu perlu
diupayakan adanya diversifikasi pangan untuk mengurangi ketergantungan pada
beras, (3) Membina, menjaga, dan mengembangkan pasar ekspor beras yang
sudah ada. Mengorientasikan produksi beras bukan hanya untuk konsumsi tetapi
juga untuk mulai mengembangkan ekspor beras, dan (4) Saran bagi penelitian
selanjutnya adalah mencoba melakukan penelitian ini dengan metode two stage
least square (2SLS) dengan menggunakan model persamaan simultan. Dapat juga
mencoba dengan membagi rentang waktu penelitian antara waktu sebelum
terjadinya krisis ekonomi dengan waktu setelah terjadi krisis ekonomi.
iv

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI


DAN EKSPOR BERAS INDONESIA

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian


Pada Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh:
Marissa Ambarinanti
A14303029

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
v

Judul : ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI


PRODUKSI DAN EKSPOR BERAS INDONESIA

Nama : Marissa Ambarinanti


NRP : A14303029

Menyetujui,

Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc


NIP. 130 345 010

Mengetahui,

Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, MAgr


NIP. 131 124 013

Tanggal Lulus :
vi

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-

BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN

SEBAGAI TULISAN ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU

LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Mei 2007

Marissa Ambarinanti
A14303029
vii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 Juni 1985. Penulis

merupakan anak ke lima dari enam bersaudara pasangan Bapak Indarjo dan Ibu

Juminten.

Penulis mengawali pendidikan di Taman Kanak-kanak (TK) Katholik Eka

Prasetia Reni Jaya pada tahun 1990 dan memasuki jenjang Sekolah Dasar (SD)

pada tahun 1991 di SD Eka Prasetia, Reni Jaya. Kemudian pada tahun 1995

penulis melanjutkan pendidikan kelas 5 SD di SD Negeri Pondok Petir 03,

Sawangan. Pada tahun 1997, penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 1

Ciputat. Pendidikan sekolah menengah atas ditempuh penulis di SMU Negeri 1

Ciputat pada tahun 2000-2003. Pada tahun 2003, penulis diterima sebagai

mahasiswa Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Departemen

Ilmu- ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI). Selama menjadi

mahasiswa di IPB, penulis aktif dalam organisasi Persekutuan Mahasiswa Kristen

dalam Komisi Kesenian.


viii

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang

Maha Esa atas segala berkat dan kasihNya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul Analisis Faktor- faktor yang Mempengaruhi Produksi dan

Ekspor Beras Indonesia. Skripsi ini disusun sebagai bagian dari persyaratan untuk

memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian

Bogor.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor- faktor apa saja

yang mempengaruhi produksi dan ekspor beras Indonesia. Selain itu, penelitian

ini juga membahas perkembangan kondisi perberasan baik di Indonesia maupun

dunia.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu dalam proses penyusunan skripsi mulai dari awal hingga akhir. Penulis

berharap semoga hasil yang telah disajikan dalam skripsi ini dapat bermanfaat

bagi semua pihak, khususnya bagi penulis sendiri dan bagi yang berminat untuk

melakukan penelitian lebih lanjut.

Bogor, Mei 2007

Penulis
ix

UCAPAN TERIMA KASIH

Selama menulis skripsi ini, penulis banyak mendapatkan pimpinan,

bimbingan, bantuan, arahan, dan dukungan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini

penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. TUHAN ALLAH sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi bagi penulis.

2. Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc sebagai dosen pembimbing skripsi

yang dengan penuh kesabaran membimbing, mendukung, dan memberikan

kritik serta saran kepada penulis dalam menulis skripsi ini.

3. Dr. Ir. Harianto, MS sebagai dosen penguji utama yang telah memberikan

kritik serta saran kepada penulis bagi kesempurnaan skripsi ini.

4. Ir. Murdianto, MSi sebagai dosen penguji wakil departemen yang telah

memberikan kritik serta saran kepada penulis bagi kesempurnaan skripsi

ini.

5. Keluarga terkasih, Ayah, Ibu, kakak-kakak, serta adik yang telah

memberikan kasih sayang, doa, semangat dan dukungan kepada penulis

selama proses belajar ini.

6. Keluarga terkasih, Papa Hadi, Mama Botty, Aldes, dan Dyota yang telah

memberikan kasih sayang, doa, dukungan dan keceriaan kepada penulis

selama proses belajar ini.

7. Bapak Rasidin Karo-karo Sitepu yang memberikan masukan dan bantuan

kepada penulis dalam proses penyusunan skripsi.

8. Sahabat-sahabat tersayang: Sardina, Rosa, Welly, Nela, Ferdy, Silvy,

Christine, Kak Eva, Tati, Ance, Ade Eva, Fitri, Rendy, Bolon, Bang
x

Eprim, Robin, Roy Sinaga, dan Mas Sandi yang telah memberikan

semangat, dukungan, dan bantuan kepada penulis

9. Eyang dan teman-teman yang tinggal bersama penulis di Wisma Rosa:

Mbak Fitri, Dimmy, Via, Nitha, Pak Eko, Neny, ibu Yus, dan sebagainya.

10. Teman-teman dari EPS’ 40, EPS’ 41, EPS’ 39, AGB’ 40 dan AGB’41

11. Teman-teman di Komisi Kesenian PMK IPB.


xi

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ............................................................................................... viii


DAFTAR TABEL....................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xiii

BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1


1.2 Perumusan Masalah.................................................................... 6
1.3 Tujuan......................................................................................... 8
1.4 Kegunaan Penelitian................................................................... 8
1.5 Ruang Lingkup Penelitian dan Keterbatasan Penelitian ............ 9

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................. 10

2.1 Beras Sebagai Pangan Pokok Utama ....................................... 10


2.2 Penelitian Terdahulu ................................................................ 11
2.2.1 Penelitian Mengenai Beras ........................................... 11
2.2.2 Penelitian Mengenai Produksi dan Ekspor Produk
Pertanian........................................................................ 15

2.2.3 Pemilihan Metode Analisis ........................................... 17


2.2.4 Perbedaan Penelitian dengan Penelitian Terdahulu ...... 20
BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN ......................................................... 22

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ................................................... 22


3.1.1 Teori Penawaran dan Permintaan.................................. 22
3.1.2 Fungsi Produksi............................................................. 27
3.1.3 Teori Perdagangan Internasional................................... 28
3.1.4 Fungsi Ekspor................................................................ 33
3.1.5 Analisis Regresi Berganda ............................................ 36
xii

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional............................................ 38


3.3 Hipotesis Penelitian................................................................. 42

BAB IV. METODE PENELITIAN ............................................................ 43

4.1 Jenis dan Sumber Data ............................................................ 43


4.2 Metode Analisis Data .............................................................. 44
4.2.1. Perumusan Model......................................................... 46
4.2.2. Pengujian Model dan Hipotesis .................................... 47
4.2.2.1 Goodness Of Fit (Kesesuaian Model) ............. 47
4.2.2.2 Uji Statistik ...................................................... 47
4.2.2.2.1 Uji F................................................. 48
4.2.2.2.2 Uji t.................................................. 49
4.2.2.2.3 Uji Normalitas ................................. 50
4.2.2.2.4 Uji Multikolinieritas ........................ 51
4.2.2.2.5 Uji Heteroskedastisitas .................... 51
4.2.2.2.6 Uji Autokorelasi .............................. 52
4.2.2.2.7 Pengukuran Elastisitas .................... 53
4.2.3 Model Alternatif ............................................................ 54

BAB V. POTENSI PRODUKSI DAN EKSPOR BERAS .......................... 56

5.1 Kondisi Perberasan Indonesia ................................................ 56


5.1.1 Perkembangan Produksi Beras Indonesia ..................... 60
5.1.2 Perkembangan Konsumsi Beras Indonesia ................... 63
5.1.3 Perkembangan Ekspor dan Impor Beras Indonesia ....... 65
5.2 Kondisi Perberasan dunia ........................................................ 69
5.2.1 Perkembangan Produksi Beras Dunia .......................... 69
5.2.2 Perkembangan Konsumsi Beras Dunia ......................... 70
5.2.3 Perkembangan Ekspor dan Impor Beras Dunia ........... 72
5.3 Keadaan Pergerakan Harga Beras Domestik, Harga Beras
Internasional, dan Nilai Tukar ................................................ 75
xiii

BAB VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI


DAN EKSPOR BERAS INDONESIA ......................................... 78

6.1 Uji Empiris Model Ekonometrika Faktor- faktor yang


Mempengaruhi Produksi Beras Indonesia ................................ 78

6.2 Uji Empiris Model Ekonometrika Faktor- faktor yang


Mempengaruhi Ekspor Beras Indonesia................................... 84

6.3 Definisi Variabel yang Digunakan .......................................... 90

BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... 92

7.1 Kesimpulan............................................................................... 92
7.2 Saran ......................................................................................... 93

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 94

LAMPIRAN ................................................................................................. 97
xiv

DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman

1. Perkembangan Volume Ekspor Beras (Kg) Indonesia Berdasarkan


Negara Tujuan Tahun 2000-2004 ............................................................... 4

2. Perkembangan Produksi Beras, Luas Panen Padi, Produkstivitas,


dan Ekspor Beras Tahun 2001-2005 ............................................................ 5

3. Produksi padi (GKG) menurut Pulau di Indonesia Tahun 2001-


2005 (000 ton) ............................................................................................. 61

4. Perkembangan Produk si Padi dan Beras Tahun 2000-2005 ........................ 62


5. Jumlah Penduduk dan Tingkat Konsumsi beras di Indonesia...................... 64

6. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Beras Indonesia Tahun


2000-2005..................................................................................................... 67

7. Produksi, Impor/Ekspor Beras (1000 Ton), dan Tingkat Swasembada


dan Ketergantungan impor: Rataan 4 periode 1995-2005 ........................... 68

8. Produksi Beras Dunia Tahun 2001-2004 ..................................................... 70

9. Konsumsi Beras Dunia Tahun 1999/2000-2002/2003 ................................. 71

10. Perkembangan Ekspor Beras Dunia Tahun 2001-2004 ............................. 73

11. Perkembangan Impor Beras Dunia Tahun 2001-2004 ............................... 74

12. Perkembangan Harga Beras Domestik, Harga Beras Internasional,


dan Nilai Tukar........................................................................................... 76

13. Hasil Pendugaan Persamaan Produksi Beras Indonesia............................. 80

14. Hasil Pendugaan Persamaan Ekspor Beras Indonesia ............................... 86


xv

DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman

1. Kurva Terjadinya Perdagangan Internasional ........................................ 29

2. Kurva Terjadinya Perdagangan Internasional 2 ..................................... 30

3. Mekanisme Pengaruh Kurs Terhadap Volume Ekspor .......................... 32

4. Pergerakan Harga Beras Domestik, Harga Beras Internasional, dan


Nilai Tukar ............................................................................................ 77
xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Teks Halaman

1. Lampiran 1. Produksi Padi, Produksi Beras, Luas Panen Padi,


Konsumsi Beras Domestik, dan Ekspor Beras Tahun 1976-2005 ........... 98

2. Lampiran 2. Perkembangan Harga Dasar Gabah, Harga Eceran


Beras, Harga Beras Dunia, dan Nilai Tukar Rupiah ................................ 99

3. Lampiran 3. Hasil Analisis Regresi Fungsi Produksi Beras Indonesia.... 100

4. Lampiran 3. Uji Normalitas dan Uji Homoscedasticity Analisis Regresi


Fungsi Produksi Beras Indonesia ............................................................. 101

5. Lampiran 4. Hasil Analisis Regresi Fungsi Ekspor Beras Indonesia...... 102

6. Lampiran 5. Uji Normalitas dan Uji Homoscedasticity Fungsi Ekspor


Beras Indonesia ........................................................................................ 103
xvii
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Beras merupakan salah satu komoditi pangan yang mempunyai arti

penting dalam kehidupan bangsa Indonesia dan memiliki sejarah panjang dalam

kebijakan ekonomi politik Indonesia. Hal ini disebabkan keberadaannya sebagai

makanan pokok bagi hampir seluruh rakyat Indonesia. Hampir 97 % penduduk

Indonesia memiliki ketergantungan yang tinggi untuk mengkonsumsi beras

sebagai makanan pokok utama. Oleh karena tingginya permintaan terhadap beras

dan ketersediaannya yang relatif terbatas, maka beras dapat disebut sebagai

komoditas ekonomi, bahkan beras juga sering dijadikan sebagai alat sosial dan

politik.

Indonesia merupakan negara pengkonsumsi beras terbanyak setelah Cina

dan India. Keadaan ini menyebabkan Indonesia harus berusaha memproduksi

beras untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Selain

merupakan negara pengkonsumsi beras, Indonesia juga merupakan negara

produsen beras ke tiga di dunia (Deptan, 2004). Hal ini didukung oleh kondisi

alam, iklim, dan topografi yang mendukung dilakukannya usahatani padi di

Indonesia. Selain Indonesia, negara- negara yang menjadi negara produsen beras

adalah Thailand, Vietnam, India, Pakistan, China, dan Amerika Serikat. Produksi

beras Indonesia umumnya diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi

beras domestik, sehingga produksi beras merupakan salah satu faktor utama yang

menopang ketahanan pangan Indonesia.


2

Pada era orde baru, yaitu sekitar tahun 1960-an hingga awal 1990-an

Indonesia termasuk salah satu negara yang berhasil mengantar sektor pertanian

terutama beras dari keadaan kekurangan menuju swasembada beras. Pemenuhan

kebutuhan sendiri ini berlangsung pada era 1980-an, bahkan pada tahun 1984

hingga tahun 1994 Indonesia adalah net-eksportir beras. Hal ini terjadi karena

program Revolusi Hijau yang digalakkan pemerintah orde baru mulai tahun 1970.

Sebelum Revolusi Hijau, produktivitas padi di Indonesia lebih tinggi dari

rata-rata Asia. Setelah penerapan teknologi Revolusi Hijau produktivitas padi

Indonesia selalu berada di atas rata-rata Asia, akan tetapi setelah swasembada

beras tercapai tahun 1984 senjang produktivitas padi Indonesia dengan rata-rata

Asia semakin mengecil. Hal ini antara lain disebabkan mulai melandainya

produktivitas padi Indonesia sedangkan produktivitas negara Asia lainnya

terutama Cina dan Vietnam masih meningkat (Kasryno et al., 2002).

Selama periode tahun 1990 hingga 2003 produksi beras Indonesia

berfluktuasi dan cenderung menurun, seperti terlihat pada lampiran 1. Selama

periode 1995 – 2001 rata-rata produksi beras Indonesia sebesar 32,02 juta ton.

Selama periode tersebut, produksi tertinggi dicapai pada tahun 1996 yaitu sebesar

33,22 juta ton dan terendah pada tahun 1998 hanya sebesar 31,01 juta ton. Pada

periode yang sama rata-rata konsumsi beras Indonesia sebesar 26,8 juta ton,

dimana konsumsi tertinggi dicapai pada tahun 1998 yaitu sebesar 28,5 juta ton dan

konsumsi terendah pada tahun 2000 yaitu hanya sebesar 23,4 juta ton. Konsumsi

yang cenderung meningkat ini selain disebabkan oleh peningkatan jumlah

penduduk Indonesia yang relatif masih tinggi, juga karena konsumsi per kapita

terhadap berasnya masih tinggi. Sebagai contoh pada tahun 1999 konsumsi per
3

kapita penduduk Indonesia masih sekitar 122,76 kg/tahun. Idealnya, konsumsi per

kapita penduduk Indonesia harusnya sebesar 80-90 kg/tahun (Suryana et al.,

2001) .

Usaha untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri terus dilakukan

dengan mengimplementasikan berbagai program diantaranya Sistem Usahatani

Berbasis Padi Berorientasi Agribisnis (SUTPA) pada 1995-1999, namun demikian

kenaikan tersebut belum mencukupi kebutuhan cadangan beras nasional sehingga

impor beras terus meningkat. Kelemahan dan kekurangan program tersebut terus

diperbaiki dalam program selanjutnya, misalnya pada tahun 1998 lahir program

Intensifikasi yang Berwawasan Agribisnis (Inbis), dan Peningkatan Mutu

Intensifikasi (PMI). Program Ketahanan Pangan yang diluncurkan tahun 2000

disertai dengan pembenahan paradigma dalam rencana strategis pembangunan

tanaman pangan tahun 2001-2004. Selain itu, Departemen Pertanian merancang

dua program/proyek yaitu Program Pengembangan Agribisnis (PA) dan Program

Peningkatan Ketahanan Pangan (PKP) (Situmorang, 2005).

Meskipun berbagai program peningkatan produksi beras telah

diimplementasikan, namun demikian produksi beras nasional tetap belum mampu

mencukupi kebutuhan domestik. Jumlah produksi beras Indonesia sebenarnya

sudah dapat memenuhi kebutuhan konsumsi domestik, akan tetapi laju

pertumbuhan konsumsi domestik lebih tinggi dari laju pertumbuhan produksi

beras domestik. Oleh karena itu stok cadangan beras nasional harus selalu

terpenuhi untuk tujuan emergensi dan stabilitas harga beras. Sehingga meskipun

produksi beras dalam negeri masih dapat memenuhi kebutuhan konsumsi

domestik, Indonesia tetap melakukan impor beras untuk melengkapi ketersediaan


4

beras dalam negeri. Indonesia menjadi negara pengimpor beras semenjak tahun

1988, dan merupakan salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia. Pada

dekade lahirnya World Trade Organization (WTO) pada dekade 1990-1999

Indonesia mengimpor rata-rata 1,5 juta ton beras per tahun dan fenomena ini

berlangsung hingga tahun 2003.

Selain melakukan impor beras, Indonesia juga melakukan ekspor beras

untuk beras jenis-jenis tertentu. Indonesia mengekspor berasnya dalam bentuk

(a) Broken rice (beras pecah); (b) Semi milled or wholly milled rice, whether or

not polished or glazed (beras setengah giling atau giling penuh); (c) Husked

(brown) rice (beras pecah kulit); dan (d) Rice in the husk (paddy or rough)

(gabah). Negara tujuan ekspor beras Indonesia antara lain, Singapura, Malaysia,

East Timor, dan Filipina, seperti yang terlihat dalam tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan Volume Ekspor Beras (Kg) Indonesia


Berdasarkan Negara Tujuan Tahun 2000-2004.

No Negara 2000 2001 2002 2003 2004*


1 Singapura 2.064 130 148.088 476.760 88.000
2 Malaysia 874 1.431 1.081.118 275.950 78.917
3 Timor-Timur 800 1.900 1.719.127 49.603 46
4 Filipina 0 1.444.500 2.412.823 34.200 0
5 Lainnya 4.667.198 3.777.325 5.958.449 397.666 803.953
Total 4670.936 5.222.424 11.319.605 1.234.179 970.916
Sumber: BPS, diolah Subdit Pemasaran Internasional Tanaman Pangan
* : Data sampai bulan Juli 2004

Pada tahun 2004 produksi beras Indonesia meningkat dan mencapai

34 juta ton, hal ini disebabkan oleh peningkatan luas areal panen padi dengan

melakukan pencetakan sawah-sawah baru. Pada saat yang sama ekspor beras yang

dilakukan oleh Indonesia juga meningkat dari 1.234 ton pada tahun 2003 menjadi

4.495 ton pada tahun 2004 seperti yang terlihat dalam tabel 2. Kemudian pada

tahun 2005 ekspor beras meningkat cukup signifikan dari tahun sebelumnya, yaitu
5

dari 4.495 ton pada tahun 2004 menjadi 44.285 ton pada tahun 2005. Peningkatan

ekspor beras pada tahun 2005 lebih disebabkan oleh adanya peningkatan pada

harga beras dunia yaitu dari 225 US$/ton pada tahun 2004 menjadi 265 US$/ton

dan peningkatan nilai tukar rupiah terhadap dollar dari Rp.9.290,00/US$ menjadi

Rp.9.900/US$.

Tabel 2. Perkembangan Produksi Beras, Luas Panen Padi, Produkstivitas,


dan Ekspor Beras Tahun 2001-2005

Tahun Produksi Beras Luas Areal Produktivitas Ekspor Beras


(ton) Panen Padi (ha) (ton/ha) (ton)
2001 31.790.293 11.499.997 4,38 5.222
2002 32.438.507 11.521.166 4,47 11.320
2003 32.809.663 11.477.357 4,54 1.234
2004 34.075.735 11.922.974 4,54 4.495
2005 34.055.458 11.818.913 4,57 44.285
Sumber: Badan Pusat Statistik dan Departemen Pertanian.

Peningkatan ekspor beras merupakan hal baru yang menggembirakan bagi

Indonesia, karena selama periode tahun 1994 hingga 2003 ekspor beras

berfluktuasi dan cenderung menurun. Peningkatan ekspor merupakan salah satu

faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Dengan semakin

meningkatnya ekspor maka pertumbuhan ekonomi dapat dipacu dan cadangan

devisa negara menjadi bertambah. Peningkatan ekspor dapat dilakukan dengan

cara merangsang produksi domestik. Dalam perdagangan internasional apabila

terjadi peningkatan perdagangan domestik suatu komoditi dengan asumsi terjadi

kelebihan produksi pada komoditi tersebut (over supply), maka kelebihan tersebut

dapat diekspor ke luar negeri. Hal ini berarti dengan semakin meningkatnya

produksi, maka volume ekspor juga meningkat (Salvator, 1997).


6

1.2 Perumusan Masalah

Indonesia merupakan negara agraris yang sangat berpotensi untuk

memproduksi beras. Pertanian merupakan salah satu sumber daya alam terbesar

yang dimiliki oleh Indonesia. Hampir seluruh masyarakat bermatapencaharian

sebagai petani, hingga bangsa Indonesia dijuluki sebagai negara agraris. Keadaan

alam, topografi, dan iklim yang ada di Indonesia sangat mendukung

diupayakannya usahatani padi baik padi sawah maupun padi ladang.

Selama ini produksi beras Indonesia sangat berfluktuasi. Sekitar tahun

1984 pertania n Indonesia menjadi sorotan dunia, hal itu dikarenakan Indonesia

mampu berswasembada beras. Namun demikian, tahun-tahun berikutnya hasil

produksi beras Indonesia terus mengalami penurunan. Konsep pembangunan yang

tidak berkelanjutan dan pengalihan sektor pembangunan ke sektor industri

dianggap sebagai salah satu penyebabnya. Hal ini ditandai dengan banyaknya

konversi lahan pertanian ke non pertanian yang menyebabkan luas areal tanam

padi semakin berkurang. Selain faktor konversi lahan, jumlah penduduk Indonesia

yang semakin bertambah setiap tahun secara langsung mengindikasikan

peningkatan konsumsi penduduk. Selain itu faktor lain yang menyebabkan

penurunan produksi beras Indonesia adalah fenomena penurunan rendemen beras.

Penurunan rendemen beras menyebabkan menurunnya hasil dan total produksi

padi dalam bentuk beras sehingga berdampak negatif baik dalam profitabilitas

usahatani maupun produksi beras nasional (Suryana et al., 2001).

Saat ini Indonesia sedang mengembangkan pertaniannya dengan konsep

pertanian yang berkelanjutan dengan memperhatikan keseimbangan lingkungan.

Penerapan teknologi modern pun dilakukan. Dari sisi teknologi yang digunakan
7

dalam pertanian, sebenarnya Indonesia tidak kalah dengan negara-negara

produsen beras lainnya. Pembangunan pertanian yang dimulai dari hulu (saprotan,

obat-obatan, pupuk, bibit, dll), kemudian on farm (cara bercocok tanam), sampai

dengan hilir (pengolahan dan pemasaran), serta didukung dengan sarana

pelayanan dan jasa diharapkan mampu meningkatkan sektor pertanian Indonesia.

Sehingga pada tahun 2004, pertanian Indonesia mampu mengantarkan Indonesia

mencapai produksi beras tertinggi selama republik Indonesia berdiri..

Perdagangan dunia akan lebih cenderung pada spesialisasi perdagangan,

dalam arti suatu negara akan memperdagangkan produk-produk yang merupakan

keunggulan komparatifnya. Sebagai negara yang memiliki keunggulan komparatif

dalam memproduksi beras, Indonesia seharusnya memiliki peluang yang lebih

besar dalam berswasembada beras dan mengekspor beras dibandingkan dengan

negara-negara lainnya.

Pada kenyataannya Indonesia lebih sering tergantung pada impor untuk

mencukupi kebutuhan berasnya, bahkan Indonesia dikategorikan sebagai negara

besar dalam mengimpor beras. Keadaan tersebut menyebabkan resiko

perkembangan ekspor beras Indonesia semakin lama semakin menurun bahkan

terhapus.

Potensi Indonesia untuk memproduksi beras dalam negeri

mengindikasikan bahwa seharusnya Indonesia mampu mencukupi kebutuhan

beras dalam negeri dan menjadikan beras sebagai komoditi unggulan sehingga

Indonesia dapat memenuhi kebutuhan konsumsi domestik dan mengupayakan

ekspor beras dalam rangka menambah devisa negara. Peningkatan ekspor beras

Indonesia yang cukup signifikan pada periode 2004-2005 mengindikasikan


8

adanya perbaikan dalam sektor pertanian khususnya padi, sehingga ekspor beras

dapat dijadikan sebagai fenomena baru yang layak dipertahankan dan

dikembangkan.

Selama ini produksi sektor pertanian tanaman pangan khususnya beras,

hanya diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi domestik dan tidak

berorientasi untuk ekspor. Namun demikian peningkatan ekspor beras yang cukup

signifikan pada tahun 2004 hingga 2005 memberikan harapan baru bagi

Indonesia, dimana Indonesia sebagai negara produsen beras selayaknya mampu

mempertahankan dan mengembangkan potensi produksi dan ekspor yang ada.

Berdasarkan kondisi tersebut, maka dapat ditarik suatu permasalahan yang

menarik untuk dia nalisis, yaitu sebagai berikut:

1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi beras Indonesia?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi ekspor beras Indonesia?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi beras Indonesia

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor beras Indonesia.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk:

1. Menyediakan informasi bagi pemerintah, produsen beras domestik, dan

masyarakat secara umum tentang perkembangan produksi dan ekspor


9

beras selama kurun waktu 30 tahun yaitu pada periode 1976-2005, serta

faktor- faktor yang mempengaruhi produksi dan ekspor beras Indonesia.

2. Sebagai sumber referensi, penyedia informasi, dan penambah wawasan

bagi mahasiswa dalam melakukan studi lanjutan.

3. Sebagai sarana bagi pengembangan wawasan dan pengaplikasian ilmu

pengetahuan yang diperoleh penulis selama melakukan stud i di Institut

Pertanian Bogor.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis faktor- faktor yang

mempengaruhi produksi dan ekspor beras Indonesia. Penelitian ini membahas

mengenai produksi beras dan ekspor beras secara umum, tidak secara khusus ke

negara tujuan tertentu. Ekspor beras yang dianalisis dalam penelitian ini adalah

beras secara umum, bukan beras dengan jenis tententu seperti, (a) Broken rice

(beras pecah); (b) Semi milled or 4 wholly milled rice, whether or not polished or

glazed (beras setengah giling atau giling penuh); (c) Husked (brown) rice (beras

pecah kulit); dan (d) Rice in the husk (paddy or rough) (gabah). Dengan

keterbatasan data, maka penelitian dibatasi menggunakan data periode 1976-2005.


10

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Beras Sebagai Pangan Pokok Utama

Beras adalah hasil olahan dari produk pertanian yang disebut padi (Oryza

Sativa, L). Beras merupakan komoditas pangan yang dijadikan makanan pokok

bagi bangsa Asia, khususnya Indonesia, Thailand, Malaysia, Vietnam, Jepang,

dan Myanmar.

Pangan pokok adalah pangan yang muncul dalam menu sehari- hari,

mengambil porsi terbesar dalam hidangan dan merupakan sumber energi terbesar.

Sedangkan pangan pokok utama ialah pangan pokok yang dikonsumsi oleh

sebagian besar penduduk serta dalam situasi normal tidak dapat diganti oleh jenis

komoditas lain (khumaidi 1997).

Sebagai bahan pangan pokok, ketersediaan beras dalam jumlah dan

kandungan gizi yang cukup memiliki arti penting dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara. Untuk itu ketersediaan beras perlu diupayakan kelestariannya dan

keserasiannya dengan dinamika ekosistem tropik.

Menurut Dawe (1997) dan Tsujii (1998) dalam Amang dan Sawit (1999)

karakteristik beras adalah sebagai berikut:

i. 90 persen produksi dan konsumsi beras dilakukan di Asia, hal ini berbeda

dengan gandum dan jagung yang diproduksi oleh banyak negara di dunia.

ii. Beras yang diperdagangkan di pasar dunia tipis (thin market) yaitu antara

4-5 % total produksi, berbeda sekali dengan sejumlah komoditas lainnya

seperti gandum(20%), jagung (15%), dan kedelai (30%). Pada umumnya

volume beras yang diperdagangkan merupakan sisa konsumsi dalam


11

negara. Semakin tidak stabilnya harga beras dunia (atau harga beras dalam

negeri suatu negara), semakin besar tingkat self-sufficiency besar yang

dianut oleh suatu negara, demikian juga rumah tangga tani di Asia.

iii. Harga beras sangat tidak stabil dibandingkan komoditas pangan lainnya,

misalnya gandum.

iv. 80 % perdagangan beras dikuasai oleh enam negara yaitu Thailand, AS,

Vietnam, Pakistan, Cina, dan Myanmar. Oleh karena itu pasar beras

internasional tidak sempurna, harga beras akan ditentukan oleh kekuatan

oligopoli tersebut.

v. Indonesia merupakan negara net importir terbesar beras pada peride tahun

1997-1998 yaitu sekitar 31% dari total beras yang diperdagangkan dunia.

vi. Hampir banyak negara di Asia, memperlakukan beras sebagai wage goods

dan political goods. Pemerintah akan goncang apabila harga beras tidak

stabil dan tinggi.

2.2 Penelitian Terdahulu

2.2.1 Penelitian Mengenai Beras

Pada tahun 2005, Simbolon (2005) melakukan penelitian tentang integrasi

pasar beras domestik dengan pasar beras dunia dan pengaruh adanya tarif impor.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) secara umum terjadi integrasi antara

pasar beras domestik dengan pasar beras dunia. Namun derajat integrasi tersebut

berbeda menurut varietas atau jenis beras: ha rga satu varietas beras domestik

(yaitu setra) terintegrasi kuat dengan ketiga jenis beras dunia (yaitu broken 5

persen, broken 25 persen, dan broken 35 persen) dan lima harga varietas beras
12

domestik (yaitu Muncul, IR 64, IR I, IR II, IR III) terintegrasi lemah dengan harga

ketiga jenis beras dunia tersebut. (2) tarif impor yang diterapkan oleh pemerintah

dalam perdagangan beras ternyata meningkatkan harga beras di pasar beras

domestik. Tetapi peningkatan harga tersebut tidak mampu menekan volume impor

beras. (3) lonjakan volume impor yang terjadi pada tahun 1998 hanya

berpengaruh nyata terhadap harga beras domestik varietas IR II, yang merupakan

varietas dengan volume perdagangan terbanyak kedua setelah varietas IR 64.

Situmorang (2005) meneliti tentang faktor- faktor yang mempengaruhi

produksi dan impor beras Indonesia. Situmorang mengemukakan bahwa faktor-

faktor yang mempengaruhi produksi dan impor beras Indonesia adalah jumlah

penggunaan urea, harga impor beras, produksi padi, dan lag harga gabah; variabel

jumlah penggunaan urea dan lag produktivitas berpengaruh nyata terhadap

produktivitas. Impor beras Indonesia dipengaruhi oleh harga impor beras,

produksi beras, jumlah penduduk, nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika, dan

lag impor beras; hanya variabel harga impor beras yang berpengaruh nyata

terhadap impor beras Indonesia. Harga impor beras Indonesia dipengaruhi oleh

harga beras dunia, tarif impor, dan lag harga impor; selain tarif impor semua

variabel berpengaruh nyata terhadap harga impor beras Indonesia.

Azziz (2006) yang melakukan penelitian tentang impor beras serta

pengaruhnya terhadap harga beras dalam negeri. Penelitian tersebut bertujuan

menganalisis pengaruh impor terhadap harga beras dalam negeri dan menganalisis

faktor- faktor yang mempengaruhi harga beras dalam negeri, termasuk kebijakan

pemerintah. Azziz mengemukakan bahwa impor beras secara nyata

mempengaruhi harga beras dalam negeri dengan tingkat kepercayaan 15 % dan


13

berpengaruh negatif; dimana ketika impor beras meningkat maka harga beras

dalam negeri akan menurun tetapi memiliki respon yang inelastis baik dalam

jangka pendek maupun jangka panjang. Faktor- faktor yang mempengaruhi impor

beras secara nyata adalah kebijakan perdagangan (penetapan tarif impor), harga

terigu, harga beras impor dan harga beras dalam negeri; nilai tukar rupiah

terhadap dollar AS, dan produksi beras nasional.

Menurut Azziz (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi impor beras

secara negatif adalah variabel produksi beras nasional, nilai tukar rupiah terhadap

dollar AS, harga beras impor dan harga terigu. Sedangkan faktor- faktor yang

mempengaruhi impor beras secara positif adalah harga beras dalam negeri, dan

kebijakan impor beras dimana ketika impor beras dapat dilakukan tanpa dilakukan

tanpa tarif impor, impor beras lebih besar daripada ketika tarif impor beras sudah

diterapkan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah dengan

menerapkan tarif untuk impor beras sudah efektif dalam upaya mengurangi

volume beras impor yang masuk ke Indonesia. Selain itu hasil ramalannya dengan

model peramalan memperlihatkan trend yang menurun dan volume impor beras

yang masuk menunjukkan besaran yang negatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa

Indonesia dalam lima periode ke depan tidak akan melakukan impor beras.

Dampak kebijakan perdagangan dan liberalisasi perdagangan terhadap

permintaan dan penawaran beras di Indonesia telah dianalisis oleh Sitepu (2002).

Sitepu menganalisis dengan menggunakan model ekonometrika dengan

persamaan simultan. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa kebijakan

perdagangan dan liberalisasi perdagangan tersebut tidak efisien dan tidak tepat

untuk dilaksanakan karena keuntungan yang diterima produsen sehingga total net
14

surplus menurun. Kebijakan tersebut merugikan petani kecil dan memperburuk

distribusi pendapatan.

Hasil analisis Sitepu (2002) juga menunjukkan bahwa jumlah impor beras

secara nyata dipengaruhi oleh harga impor (taraf nyata 10 persen), produksi beras

Indonesia (taraf nyata 20 persen), stok beras awal tahun (taraf nyata 5 persen),

jumlah penduduk (taraf nyata 10 persen). Sedangkan pengaruh dari GDP dan

impor beras tahun lalu tidak berbeda nyata dari nol.

Mulyana (1998) melakukan penelitian yang berjudul ”Keragaan

Penawaran dan Permintaan Beras Indonesia dan Prospek Swasembada menuj u Era

Perdagangan Bebas: Suatu Simulasi”. Dalam analisisnya, produksi domestik

disegregasikan ke dalam lima wilayah, yaitu Jawa dan Bali, Kalimantan,

Sulawesi, Sumatera, dan sisa wilayah Indonesia sedangkan analisis permintaan

dilakukan secara agregat nasional.

Model impor beras yang digunakan Mulyana (1998) menyertakan variabel

harga beras domestik, harga beras impor, total produksi beras, stok beras awal

tahun, nilai tukar rill rupiah terhadap dollar, bunga pinjaman Bulog dan impor

beras tahun lalu sebagai variabel independen. Berdasarkan model impor yang

terbentuk, diperoleh hasil bahwa impor beras responsif terhadap perubahan stok

beras awal tahun, produksi beras, tren waktu dan impor beras tahun lalu, tetapi

tidak responsif terhadap harga beras dan harga impor.

Mulyana (1998) menyimpulkan bahwa Bulog telah berhasil melakukan

stabilisasi lewat mekanisme pengelo laan stok, pengadaan dan operasi pasar beras,

disertai dengan elastisnya intervensi harga konsumen terhadap harga impor dan

produksi, serta relatif stabilnya harga gabah dan beras di pasar domestik
15

menunjukkan bahwa pasar beras diproteksi secara ketat. Selain itu, pada

kenyataannya negara-negara importir dan eksportir beras utama sangat protektif

terhadap pasar beras domestik masing- masing negara dan peran indonesia sebagai

stabilitas dan destabilator pasar beras dunia relatif lebih besar. Ketidakstabilan

pasar beras dunia, biaya impor yang besar pada krisis ekonomi dan potensi

peningkatan produksi di luar Jawa dan Bali melalui pengembangan teknologi

produksi dan pasca panen merupakan justifikasi bagi upaya swasembada beras

pada masa mendatang.

Hasil simulasi menunjukkan bahwa kebijakan yang sama tidak selalu

direspon dengan arah yang sama di tiap-tiap wilayah. Kombinasi antara

liberalisasi perdagangan dan penghapusan peran Bulog akan lebih menurunkan

produksi dan konsumsi beras dan swasembada beras tidak tercapai dalam jangka

pendek. Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia belum siap dalam

meliberalisasikan pasar berasnya. Dengan adanya liberalisasi perdagangan

tersebut, Indonesia tidak bisa lagi mencapai swasembada absolut, tetapi akan

menjadi net eksportir beras pda tahun 2013.

2.2.2 Penelitian Mengenai Produksi dan Ekspor Produk Pertanian

Saleh (2005) mencoba melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang

mempengaruhi produksi dan ekspor tomat segar Indonesia dengan menggunakan

data time series kurun waktu 1984-2003. Penelitian tersebut dianalisis dengan

pendekatan ekonometrika model regresi linier berganda dengan menggunakan

software minitab 14. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran

produksi dan ekspor tomat segar Indonesia serta menganalisis faktor-faktor yang

mempengaruhinya dan seberapa besar pengaruh-pengaruh tersebut. Hasil analisis


16

menunjukkan bahwa variabel- variabel yang berpengaruh nyata terhadap ekspor

tomat segar Indonesia adalah ekspor tomat tahun sebelumnya, dan harga tomat

domestik tahun sebelumnya pada taraf nyata 10 persen. Harga tomat ekspor tahun

sebelumnya memiliki hubungan yang negatif dengan ekspor tomat, nilai ini tidak

sesuai dengan nilai dugaan yang diharapkan dimana seharusnya harga tomat

ekspor tahun sebelumnya memiliki hubungan yang positif dengan ekspor tomat.

Sambudi (2005) melakukan yang berjudul Analisis Faktor-faktor yang

Mempengaruhi Produksi dan Ekspor Kopi Arabika Indonesia. Data yang

digunakan dalam penelitian tersebut adalah data time series selama periode tahun

1992-2002. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model regresi

linier berganda. Pada model penawaran produksi digunakan model fungsi Cobb-

Douglas dan pada model fungsi penawaran ekspor digunakan model fungsi linier.

Kedua model tersebut diduga dengan menggunakan metode Ordinary Least

Square (OLS).

Hasil pendugaan Sambudi menunjukkan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi produksi kopi Arabika

Indonesia adalah luas lahan, tenaga kerja, bibit, pupuk urea, dan pestisida.

Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor kopi Arabika Indonesia

harga ekspor, harga domestik, nilai tukar, produksi, dan lag ekspor.

Lubis (2006) dalam penelitiannya mencoba meneliti faktor- faktor yang

mempengaruhi ekspor nenas segar Indonesia. Penelitiannya tersebut bertujuan

mengetahui perkembangan ekspor nenas segar Indonesia, menganalisis faktor-

faktor yang mempengaruhi ekspor nenas segar Indonesia ke negara-negara tujuan

ekspor serta pengaruhnya terhadap ekspor beras nenas segar Indonesia. Data yang
17

digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa data times series

tahunan dari tahun 1996-2004 dan data cross section yang berupa data negara-

negara importir nenas segar.

Lubis (2006) menggunakan metode deskriptif digunakan untuk melihat

perkembangan ekspor nenas segar Indonesia, sedangkan model kuantitatif dengan

analisis regresi data panel dengan Metode Fixed Effect digunakan untuk

menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi ekspor nenas segar Indonesia.

Hasil dugaan model nenas segar Indonesia dengan menggunakan Metode Fixes

Effect menunjukkan bahwa variabel-variabel yang berpengaruh nyata terhadap

ekspor nenas segar Indonesia adalah harga ekspor, produksi nenas, pendapatan per

kapita negara- negara tujuan ekspor, volume ekspor dalam bentuk nenas segar

olahan, dan volume nenas segar tahun sebelumnya.

2.2.3 Pemilihan Metode Analisis

Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi impor ilegal daging

sapi dan susu Indonesia dengan pendekatan regresi linier berganda yang dilakukan

oleh Amelia (2006), mencoba menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi

impor ilegal daging sapi dan susu ke Indonesia oleh negara-negara eksportir,

mengkaji implikasi dari impor ilegal daging sapi dan susu terhadap perekono mian

sektor perternakan domestik, dan memberikan alternatif kebijakan apa yang harus

diambil pemerintah dalam mengurangi impor ilegal daging sapi dan susu. Data

yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa times series

periode tahun 1980-2004. Analisis yang digunakan adalah pendekatan

ekonometrika yang diduga dengan metode Ordinary Least Square (OLS) dengan

menggunakan model regresi linier berganda. Proses pengolahan data dilakukan


18

dengan menggunakan program minitab 14. Dari hasil analisis diketahui bahwa

faktor- faktor yang mempengaruhi volume impor ilegal daging sapi terdiri:

pendapatan perkapita penduduk Indonesia, harga daging sapi impor, indeks

trnsparansi, tarif, serta konsumsi daging sapi domestik, pada taraf nyata 1-15

persen. dari hasil perhitungan didapatkan bahwa semua variabel yang digunakan

berpengaruh nyata dalam peningkatan dan penurunan volume impor ilegal untuk

daging sapi, dimana variabel eksogen pembentuk model tersebut yang memiliki

nilai elastis adalah konsumsi daging sapi domestik berpengaruh positif terhadap

peningkatan volume impor ilegal, yang menindikasikan bahwa konsumsi

domestik bersifat responsif terhadap peningkatan volume impor ilegal daging

sapi.

Sedangkan faktor- faktor yang mempengaruhi volume impor ilegal susu

dipengaruhi oleh faktor- faktor eksogen berupa, pendapatan perkapita Indonesia,

produksi domestik, nilai tukar rupiah, indeks transparansi Indonesia, serta bea

masuk (tarif) impor susu bubuk Indonesia. Hasil analisis menyatakan bahwa

perkapita Indonesia, produksi domestik, indeks transparansi Indonesia, serta bea

masuk (tarif) impor susu berpengaruh nyata pada taraf nyata 1-10 persen.

Novansi (2006) melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang

mempengaruhi volume ekspor beberapa buah-buahan penting Indonesia.

Penelitian tersebut membahas perkembangan ekspor beberapa buah-buahan

penting Indonesia menurut negara tujuan ekspor dan pengaruh faktor- faktor

(harga dometik, harga ekspor, nilai tukar rupiah, volume ekspor ke negara lain dan

volume ekspor periode sebelumnya) terhadap volume ekspor beberapa buah-

buahan penting Indonesia.


19

Dalam penelitiannya tersebut Novansi menggunakan data bulanan dari

Januari 2002 sampai dengan Desember 2004. metode deskriptif untuk melihat

perkembangan ekspor dan metode kuantitatif yaitu analisis regresi linier berganda

untuk menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi volume ekspor beberapa

buah-buahan penting Indonesia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa

perkembangan ekspor beberapa buah penting Indonesia seperti pisang, manggis,

mangga, dan rambutan selama tahun 2002-2003 cenderung menurun. Sedangkan

faktor- faktor yang mempengaruhi volume ekspor beberapa buah-buahan penting

Indonesia menunjukkan tidak semua peubah bebas yang digunakan dalam model

berpengaruh nyata terhadap volume ekspor.

Resmisari (2006) juga menggunakan regresi linier berganda untuk

menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi ekspor teh PT Perkebunan

Nusantara VIII. Variabel dependen yang digunakan adalah volume ekspor teh

PTPN VIII ke masing- masing negara tujuan. Sedangkan variabel independen

meliputi volume produksi, harga harga ekspor periode t, harga ekspor periode

sebelumnya (t-1), harga kopi periode t, nilai tukar rupiah terhadap dollar, lag

ekspor, dan nilai tukar negara tujuan terhadap dollar. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh nyata pada taraf lima persen ke

tiga negara tujuan adalah variabel harga ekspor periode t. Variabel tersebut juga

bersifat elastis untuk setiap negara. Ini berarti bahwa variabel harga ekspor

merupakan variabel yang perlu diperhatikan PTPN VIII untuk melakukan ekspor

ke tiga negara.

Pemilihan model didasarkan pada tujuan penelitian yang ingin dicapai

yaitu, untuk menduga faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan ekspor


20

beras Indonesia. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, model regresi

berganda dinilai lebih sederhana dan mampu menunjukkan berapa persen variabel

dependen dapat dijelaskan oleh variabel independen. Selain itu model ini dapat

melihat apakah variabel- variabel independennya berpengaruh nyata atau tidak

terhadap variabel dependen dengan melihat uji-F dan uji-t, serta perhitungannya

lebih sederhana. Metode ini diduga dengan Ordinary Least square (OLS). Oleh

karena itu, penelitian mengenai faktor- faktor yang mempengaruhi produksi dan

ekspor beras Indonesia menggunakan metode analisis yang sama, yaitu metode

Ordinary Least square (OLS) dengan model regresi berganda.

2.2.4 Perbedaan Penelitian dengan Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan oleh Situmorang (2005), Azziz (2006), Sitepu

(2002), dan Mulyana (1998) membahas tentang impor beras, mulai dari faktor-

faktor yang mempengaruhinya sampai pada tingkat responsitasnya terhadap

berbagai variabel lainnya dengan berbagai metoda dan alat analisis. Situmorang

(2005) dan Sitepu (2002) melakukan analisisnya dengan metode Two Stage Least

Square (2SLS) dengan persamaan simultan menggunakan Software Eviews, Azzis

(2006) melakukan penelitiannya dengan menggunakan analisis regresi linier

berganda dengan software minitab 14 untuk menganalisis faktor- faktor yang

mempengaruhi impor beras dan menggunakan metode peramalan times series

untuk melakukan peramalan. Sedangkan penelitian ini membahas tentang

produksi dan ekspor beras Indonesia, yaitu faktor- faktor yang mempengaruhinya.

Pada umumnya penelitian-penelitian terdahulu menggunakan data time

series tahunan yang kurang dari tiga puluh tahun dan data bulanan selama kurun

waktu bebarapa tahun saja, sedangkan penelitian ini menggunakan data time
21

series selama kurun waktu tiga puluh tahun yaitu dari tahun 1976 sampai dengan

tahun 2005. Penelitian ini mencoba menganalisis faktor- faktor yang

mempengaruhi produksi dan ekspor beras Indonesia dengan metode Ordinary

Least Square (OLS) dengan model regresi linier berganda dengan menggunakan

software minitab 14.


22

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1. Teori Penawaran dan Permintaan

Penawaran suatu komoditi baik barang maupun jasa merupakan jumlah

komoditi yang ditawarkan oleh produsen kepada konsumen dalam suatu pasar

pada tingkat harga dan waktu tertentu. Lebih lanjut dikatakan bahwa antara harga

dan jumlah yang ditawarkan ini mempunyai hubungan yang positif yaitu jika

harga naik maka jumlah komoditi yang ditawarkan semakin banyak. Adapun

sumber penawaran meliputi produksi pada waktu tertentu dan persediaan (stok)

pada waktu sebelumnya.

Menurut Iswardono (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran

suatu komoditi dapat digambarkan dengan fungsi sebagai berikut:

QSK = f (PK, PS, PI, G, T, TX) ....................................................... (1)

Dimana :

QSK = Penawaran komoditi

PK = Harga komoditi yang bersangkutan

PS = Harga komoditi substitusi dan komplementer

PI = Harga faktor produksi

G = Tujuan perusahaan

T = Tingkat penggunaan teknologi

TX = Pajak dan subsidi


23

1. Harga komoditi yang bersangkutan (PK)

Suatu hipotesa dasar ekonomi menyatakan bahwa harga sejumlah

komoditi mempunyai hubungan yang positif dengan jumlah yang ditawarkan yaitu

semakin tinggi harganya semakin besar jumlah yang ditawarkan, cateris paribus.

Hal ini karena peningkatan harga komoditi menyebabkan peningkatan keuntungan

yang akan memacu peningkatan produksi maupun penjualan hasil produksinya.

Jadi peningkatan harga dari suatu komoditi akan menyebabkan peningkatan

penawaran komoditi tersebut. Dengan demikian perubahan harga suatu komoditi

akan menyebabkan pergerakan sepanjang kurva penawaran.

2. Harga komoditi substitusi dan komplementer (P S)

Berbagai komoditi dapat disubstitusi dan juga memiliki komoditi

pendukung, baik dalam produksi maupun konsumsi. Perubahan harga pada

komoditi substitusi dan komplementer akan mempengaruhi jumlah penawaran

pada komoditi yang bersangkutan. Peningkatan harga komoditi substitusi akan

menyebabkan berkurangnya jumlah penawaran komoditi bersangkutan. Dan

sebaliknya, penurunan harga komoditi substitusi akan menyebabkan peningkatan

jumlah penawaran komoditi yang bersangkutan. Sedangkan penurunan pada harga

komoditi komplementer akan menyebabkan penurunan pula pada jumlah

penawaran komoditi yang bersangkutan, sebaliknya peningkatan pada harga

komoditi komplementer akan menyebabkan peningkatan komoditi yang

bersangkutan.

3. Harga faktor produksi (PI)

Harga suatu faktor produksi merupakan biaya yang harus dikeluarkan oleh

perusahaan. Dengan meningkatnya harga faktor produksi maka keuntungan yang


24

diterima perusahaan akan berkurang. Hal ini menyebabkan perusahaan akan

mengurangi jumlah produksinya. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa

peningkatan harga faktor produksi yang digunakan untuk memproduksi suatu

komoditi, akan menyebabkan berkurangnya jumlah komoditi ya ng ditawarkan.

4. Tujuan perusahaan (G)

Jumlah komoditi yang ditawarkan juga tergantung apa tujuan perusahaan.

Tujuan suatu perusahaan tidak semata- mata memaksimumkan keuntungan saja.

Jika perusahaan lebih meme ntingkan volume produksi, perusahaan dapat

menghasilkan dan menjual lebih banyak.

5. Tingkat penggunaan teknologi (T)

Teknologi berkorelasi positif dengan jumlah yang ditawarkan. Jika

perusahaan menggunakan teknologi baru, fungsi produksi akan bergeser ke atas

yang berarti produksi meningkat dan kur va biaya akan bergeser ke bawah yang

berarti biaya produksi berkurang. Keuntungan yang akan diperoleh menjadi lebih

besar. Jadi dapat disimpulkan, jumlah komoditi yang ditawarkan dipengaruhi oleh

tingkat penggunaan teknologi dalam proses produksinya.

6. Pajak dan subsidi (TX)

Adanya pajak seperti pajak penjualan, pajak penghasilan akan

mengakibatkan kenaikan pada ongkos produksi sehingga mengurangi insentif

untuk berproduksi. Maka penawaran komoditi tersebut akan berkurang.

Sebaliknya, pemberian subsidi akan mengurangi ongkos produksi dan

meningkatkan keuntungan, sehingga penawaran komoditi tersebut akan

meningkat.
25

Penawaran pasar dari suatu komoditi merupakan fungsi dari harga

komoditi itu sendiri dengan koefisien arah (slope) yang positif. Jika harga

komoditas tersebut naik maka jumlah komoditas yang ditawarkan akan

meningkat. Sebaliknya, jika harga komoditas tersebut menurun maka jumlah

komoditi yang ditawarkan akan menurun. Perubahan pada harga komoditi tersebut

menyebabkan pergerakan sepajang kurva penawaran. Sedangkan pengaruh dari

perubahan harga faktor produksi, teknologi, dan tujuan perusahaan adalah faktor

yang dapat menggeser kurva penawaran.

Menurut Pappas dan Hirschey (1995) dalam Purnamasari (2005),

permintaan adalah sejumlah barang atau jasa yang rela dan mampu dibeli oleh

konsumen selama periode tertentu, yang dapat digambarkan dengan fungsi

berik ut:

QDK = f (PK, PS, I, S, JP) ............................................................ (2)

Dimana :

QDK = Permintaan komoditi

PK = Harga komoditi itu sendiri

PS = Harga komoditi lain

I = Pendapatan

S = Selera

JP = Populasi penduduk

1. Harga komoditi itu sendiri (PK)

Dengan asumsi cateris paribus, peningkatan harga komoditi yang

bersangkutan akan menurunkan permintaannya, dan sebaliknya. Permintaan dan

harga komoditi yang bersangkutan memiliki hubungan yang negatif.


26

2. Harga komoditi lain (P S)

Perubahan harga komoditi substitusi akan mempengaruhi permintaan atas

komoditi yang bersangkutan secara positif. Kenaikan harga komoditi substitusi

akan meningkatkan permintaan atas komoditi yang bersangkutan, dan sebaliknya.

Sedangkan perubahan harga barang komplementer dapat mengubah permintaan

komoditi yang bersangkutan secara negatif. Semakin tinggi harga barang

komplementer, semakin rendah permintaan atas komoditi yang bersangkutan.

3. Pendapatan (I)

Kenaikan pendapatan cenderung meningkatkan permintaan untuk

komoditi yang berupa barang normal, dan sebaliknya.

4. Selera (S)

Salah satu hal yang berpengaruh terhadap permintaan adalah selera.

Perubahan selera terjadi dari waktu ke waktu, dan cepat atau lambat akan

meningkatkan permintaan pada periode tertentu dan tingkat harga tertentu.

5. Populasi penduduk (JP)

Peningkatan jumlah penduduk dapat meningkatkan permintaan atas suatu

komoditi. Hal ini diakibatkan semakin banyak jumlah penduduk maka semakin

banyak konsumen yang menginginkan suatu komoditi.

Hubungan antara penawaran dan permintaan suatu komoditi merupakan

petunjuk penting dalam teori ekonomi, yang memperlihatkan berbagai jumlah

barang dan jasa yang diminta atau dibeli oleh konsumen dan yang ditawarkan oleh

produsen secara bersamaan sebagai pengaruh adanya perubahan harga barang dan

jasa yang bersangkutan atau faktor- faktor lainnya.


27

3.1.2 Fungsi Produksi

Suatu proses produksi melibatkan suatu hubungan yang erat antara faktor-

faktor produksi yang digunakan dengan produk yang dihasilkan. Produksi adalah

tindakan dalam membuat komoditi, baik berupa barang maupun jasa (Lipsey,

1993). Dalam pertanian, proses produksi begitu kompleks dan terus- menerus

berubah seiring dengan kemajuan teknologi.

Menurut Salvator (1997), fungsi produksi merupakan hubungan matematis

antara input dan output. Menurut Doll and Orazem (1984), fungsi produksi selain

menggambarkan hubungan antara input dan output, juga menggambarkan tingkat

dimana sumberdaya diubah menjadi produk. Ada banyak hubungan input dan

output dalam pertanian karena input yang diubah menjadi output akan berbeda-

beda di antara tipe tanah, hewan, teknologi, curah hujan, dan faktor lainnya. Tiap

hubungan input output menggambarkan kuantitas dan kualitas yang berbeda dari

sumberdaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk tertentu. Nicholson

(2002) dalam Purnamasari (2005) menyatakan bahwa fungsi produksi

memperlihatkan jumlah maksimum sebuah barang yang dapat diproduksi dengan

menggunakan kombinasi alternatif antara modal (K) dan Tenaga kerja (L).

Sebuah fungsi produksi dapat digambarkan dengan cara yang berbeda;

dalam bentuk tertulis, menyebutkan dan menggambarkan tiap input yang

berhubungan dengan output; dengan membuat daftar input dan hasil output secara

numerik dalam tabel; dalam bentuk grafik atau diagram; dan dalam bentuk

persamaaan aljabar. Menurut Doll and Orazem (1984), secara matematis fungsi

produksi dapat ditulis sebagai berikut:

Y = f (X1 , X2 , ..., Xn ) ................................................................. (3)


28

Dimana Y adalah output dan X1, ..., Xn adalah input- input yang berbeda yang

terlibat dan ambil bagian dalam produksi Y. Simbol f menggambarkan bentuk

hubungan dari input menjadi output.

3.1.3 Teori Perdagangan Internasional

Perdagangan antar negara atau perdagangan internasional sudah ada sejak

dahulu namun masih dalam jumlah dan ruang lingkup yang terbatas. Seiring

dengan pertambahan jumlah penduduk dan meningkatnya taraf kehidupan yang

bersamaan dengan kemajuan teknologi informasi menyebabkan peningkatan

kebutuhan masyarakat. Peranan perdagangan internasional sangat penting, karena

pada saat ini tidak ada satu negara pun yang berada dalam kondisi autarki, yaitu

negara yang hidup terisolasi, tanpa mempunyai hubungan perdagangan dengan

negara lain.

Terdapat beberapa hal yang mendorong terjadinya perdagangan

internasional diantaranya keterbatasan suatu negara dalam sumberdaya alam,

sumberdaya modal, tenaga kerja, dan teknologi. Perbedaan dalam penawaran dan

permintaan antar negara juga turut menyebabkan terjadinya perdagangan

internasional.

Teori perdagangan internasional me ngkaji dasar-dasar terjadinya

perdagangan internasional serta keuntungan yang diperolehnya. Kebijakan

perdagangan internasional membahas alasan-alasan serta pengaruh pembatasan

perdagangan, serta hal- hal yang menyangkut proteksionisme baru (new

protectionism) (Salvator, 1997).

Secara teoritis, suatu negara (sebut saja negara A) akan mengekspor suatu

komoditi (beras) ke negara lain (misalnya negara B) apabila harga domestik di


29

negara A (sebelum terjadinya perdagangan) relatif lebih rendah bila dibandingkan

dengan harga domestik di negara B (Gambar 1 ). Struktur harga yang relatif lebih

rendah di negara A tersebut disebabkan karena adanya kelebihan penawaran

(excess supply) yaitu produsi domestik melebihi konsumsi domestik, sebesar BE.

Dalam hal ini faktor produksi di negara A relatif berlimpah. Dengan demikian

negara A mempunyai kesempatan menjual kelebihan produksinya ke negara lain.

Negara B mengalami kekurangan suplai beras karena konsumsi domestiknya

melebihi produksi domestik (excess demand), sebesar B’E’ sehingga harga

menjadi lebih tinggi. Pada kesempatan ini negara B berkeinginan untuk membeli

komoditi beras dari negara lain yang harganya lebih murah.

Px /Py Px /Py Px /Py

Sa Sw Sb

Ekspor A” Pb

B E Pw E* B’ A’ E’

Pa A A* D Impor Db

0 Da

Negara A Perdagangan Internasional Negara B

Gambar 1. Kurva Terjadinya Perdagangan Internasional


Sumber: Salvatore, 1997

Apabila kemudian terjadi komunikasi antara negara A dan negara B, maka

akan terjadi perdagangan antara kedua negara tersebut. Dalam hal ini negara A

akan mengekspor beras ke negara B. dapat dilihat pada gambar 1, sebelum

terjadinya perdagangan internasional, harga di negara A adalah sebesar Pa


30

sedangkan di negara B adalah sebesar P b. Suplai di pasar internasional akan terjadi

jika harga internasional lebih besar dari Pa, sedangkan permintaan di pasar

internasional akan terjadi jika harga internasional lebih rendah dari Pb. Pada saat

harga internasional sama dengan P w maka di negara B terjadi kelebihan

permintaan sebesar B’E’, sedangkan di negara A terjadi kelebihan suplai sebesar

BE. Perpaduan antara kelebihan penawaran di negara A dan kelebihan permintaan

di negara B akan menentukan harga yang terjadi di pasar internasional, yaitu

sebesar P w. Dengan adanya perdagangan tersebut maka negara A akan

mengekspor beras sebesar BE, dan negara B akan mengimpor beras sebesar B’E’.

Negara A Perdagangan Internasional Negara B

Sb

Sa Sw Sw1 Db

Da Sa1 E* Eb

Pw1 E**

Pa

Pa1

B F E G 0 Q1 Q2 F’ B’ E’ G’

Gambar 2. Kurva Terjadinya Perdagangan Internasional 2.


Sumber: Salvator, 1997.

Berdasarkan gambar 2, dapat dilihat adanya saling ketergantungan antar

negara yang terlibat dalam perdagangan internasional. Seandainya oleh karena

satu atau beberapa hal menyebabkan penawaran ekspor suatu komoditi di negara

A meningkat sebagaimana yang ditunjukkan oleh pergeseran kurva penawaran


31

dari Sa menjadi Sa1. Pergeseran kurva penawaran ke kanan dapat disebabkan

karena terjadinya peningkatan produksi.

Pergeseran kurva penawaran Sa menjadi Sa1 menyebabkan harga domestik

menjadi turun. Oleh karena harga domestik relatif lebih rendah dibandingkan

dengan harga internasional maka secara ekonomis adalah lebih menguntungkan

bila mengekspor, dan ini ditunjukkan oleh pergeseran kurva penawaran ekspor

dari Sw menjadi Sw1. akibatnya harga di pasar internasional turun menjadi di

bawah P menjadi Pw1. penurunan harga di pasar internasional ini menyebabkan

permintaan domestik di negara B meningkat, sehingga akan terjadi pningkatan

jumlah impor menjadi F’G’ oleh negara B yang besarnya sama dengan jumlah

peningkatan ekspor oleh negara A menjadi FG. Kenaikan ekspor impor ini

ditunjukkan dalam perdagangan dunia yang meningkat dari 0Q1 menjadi 0Q2.

Mekanisme perdagangan internasional dapat dilihat pada gambar 2.

Kondisi nilai tukar seperti terdepresiasinya rupiah terhadap dollar juga

merupakan faktor yang dapat menyebabkan kurva penawaran bergeser ke kanan.

Nilai tukar menggambarkan daya saing suatu negara dalam perdagangan

internasional. Terdepresiasinya rupiah terhadap dollar membuat harga beras

Indonesia relatif lebih murah sehingga mendorong terjadinya peningkatan jumlah

penawaran ekspor (Mankiw, 2000). Mekanisme pengaruh perubahan kurs

terhadap volume ekspor dapat dilihat pada gambar 3.


32

Pengeluaran E Pengeluaran aktual

? NX

Pengeluaran
direncanakan

Kurs e Kurs, e

e1 e1

e2 e2

NX1 NX2 (ekspor bersih) Y1 Y2 (output)

Sw Db Sb

Da Sa

P Sw1

Dw

F B E G 0 Q1 Q2 F’ B’ E’ G’
Negara A Perdagangan Internasional Negara B

Gambar 3. Mekanisme Pengaruh Kurs Terhadap Volume Ekspor

Sumber: Mankiw, 2000.


33

Seandainya di negara A terjadi deperesiasi kurs yang terlihat pada

penurunan kurs dari e1 menjadi e2. Penurunan kurs yang terjadi ini menyebabkan

terjadinya peningkatan output pada kurva IS. Peningkatan output ini terjadi karena

adanya peningkatan ekspor bersih sebagaimana ditunjukkan pada gambar

perpotongan Keynesian. Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa penurunan

kurs (depresiasi) menyebabkan terjadinya peningkatan volume ekspor.

Selanjutnya dapat dijelaskan pula bagaimana mekanisme peningkatan

volume ekspor yang disebabkan penurunan kurs pada gambar perdagangan

internasional. Semula sebelum terjadinya penurunan kurs, besarnya nilai excess

supply di negara A sebesar BE. Setelah terjadinya penurunan kurs menyebabkan

terjadinya peningkatan excess supply menjadi FG. Kondisi ini mengakibatkan

kurva suppy dunia mengalami pergeseran dengan titik awal yang sama.

Pergeseran kurva supply dunia dari Sw menjadi Sw1 menyebabkan tingkat harga

dunia yang terjadi lebih rendah dan volume perdagangan internasional meningkat

dari 0Q1 menjadi 0Q2 . negara pengimpor merespon perubahan harga ini dengan

meningkatkan jumlah impornya. Besarnya volume ekspor negara A setelah

depresiasi kurs (FG) sama dengan besarnya volume impor negara B (F’G’).

3.1.4 Fungsi Ekspor

Ekspor suatu negara merupakan selisih produksi domestik dikurangi

konsumsi domestik ditamb ah dengan stok pada akhir tahun lalu, secara matematis

dapat digambarkan sebagai berikut:

Xt = PBt –KBt + SBt ............................................................................. (4)


34

Dimana:

Xt = Jumlah ekspor tahun ke t

PBt = Jumlah produksi domestik pada tahun ke t

KBt = Jumlah konsumsi domestik pada tahun ke t

SBt-1 = jumlah stok awal tahun ke t atau akhir tahun lalu (tahun ke t-1)

Jumlah produksi beras tahun ke t (PBt) pada dasarnya ditentukan input-

inputnya yaitu luas areal panen padi (LPt), penggunaan pupuk urea (PUt), iklim

yang terjadi selama satu tahun dan dalam hal ini adalah curah hujan rata-rata

(CHt ), dan penggunaan teknologi (yang ditunjukkan oleh produktivitas (PVt)).

Dengan melihat faktor-faktor tersebut maka fungsi produksi dapat dituliskan

sebagai berikut:

PBt = f (LPt, PUt, CHt, PVt,) ................................................................. (5)

Produksi yang dihasilkan tersebut sebagian besar akan dikonsumsi

mengingat jumlah penduduk yang besar sehingga kebutuhan pangan pun besar.

Besar konsumsi tersebut (KBt) tergantung pada harga beras domestik (HEt),

Jumlah penduduk (JPt), Pendapatan per kapita (YPt), harga komoditi substitusi

(dalam hal ini jagung (HJt)) dan selera (yang ditunjukkan oleh konsumsi per

kapita (CPt)). Dengan demikian maka fungsi konsumsi dapat dituliskan sebagai

berikut :

KBt = f (HEt, JPt, YPt, HJt, CPt) ........................................................... (6)

Dari penjelasan-penjelasan tersebut maka ekspor (Xt ) suatu komoditi

pertanian dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan struktural sebagai berikut:

Xt = f (LPt, PUt, CHt, PVt, HEt, JPt, YPt, HJt, CPt, SBt) .. .................. (7)
35

Selain dipengaruhi oleh faktor- faktor dalam negeri, jumlah ekspor tahun

ke t juga dipengaruhi oleh faktor- faktor yang berasal dari luar negeri. Ada dua

faktor yang berpengaruh terhadap jumlah ekspor tahun ke t yaitu tingkat nilai

tukar (Exchange Rate (ERt)), dan harga beras internasional (HDt). Dengan

demikian maka fungsi ekpor menjadi :

Xt = f (LPt, PUt, CHt, PVt, HEt, JPt, YPt, HJt, CPt, SBt, ERt, HDt)...(8)

Berdasarkan teori tersebut di atas maka pada saat fungsi ekspor tersebut

digunakan pada komoditas beras pada penelitian ini ada beberapa peubah yang

dikeluarkan dari fungsi ekspor karena diduga berpengaruh sangat kecil dan ada

peubah yang sulit diduga. Selain itu juga karena ketidaktersediaan data yang

diperlukan. Beberapa variabel yang tidak dimasukkan dalam analisis yaitu:

1. Luas Panen Padi (LPt), curah hujan (CHt), pupuk urea (PUt), harga dasar gabah

(HGt), stok beras (SBt), dan teknologi atau produktivitas (PVt).

Pada penelitian ini, variabel- variabel seperti luas panen padi (LPt), curah hujan

(CHt), pupuk urea (PUt), stok beras (SBt), dan teknologi atau produktivitas

(PVt) sudah terwakili oleh variabel produksi beras (PBt), sehingga tidak perlu

dimasukkan kembali ke dalam model persamaan ekspor.

2. Jumlah penduduk (JPt), pendapatan per kapita (YPt), dan konsumsi beras

domestik (KBt).

Pendapatan per kapita (Ypt) dan konsumsi beras domestik telah diwakili oleh

tingkat konsumsi beras per capita (CPt). Peningkatan jumlah penduduk akan

mempengaruhi tingkat konsumsi domestik. Oleh karena variabel konsumsi

beras per kapita telah mewakili konsumsi beras domestik, maka variabel

jumlah penduduk tidak perlu dimasukkan kembali ke dalam model.


36

3. Harga komoditi substitusi atau harga jagung (HJt)

Variabel harga komoditi substitusi atau harga jagung (HJt) tidak dimasukkan

ke dalam model persamaan karena diduga berpengaruh sangat kecil terhadap

volume ekspor beras Indonesia.

4. Harga beras interna sional atau harga beras dunia (HDt)

Variabel harga beras internasional (HDt) tidak dimasukkan ke dalam

persamaan karena variabel tersebut sudah terwakili oleh adanya variabel nilai

tukar rupiah terhadap dollar (ERt). Nilai tukar rupiah terhadap dollar (ERt)

menyatakan berapa besar nilai rupiah yang harus dikorbankan untuk

mendapatkan dollar Amerika Serikat, yang dinyatakan dengan satuan rupiah

per dollar AS (Rp/US$). Nilai tukar ini menggambarkan daya saing suatu

negara dalam melakukan perdagangan internasional. Pada saat nilai tukar

rupiah meningkat yang berarti nilai rupiah melemah, maka secara teori

permintaan terhadap dollar meningkat sehingga peningkatan permintaan

terhadap dollar akan meningkatkan ekspor.

Dari teori tersebut maka fungsi ekspor dapat dirumuskan sebagai berikut:

Xt = f (PBt, ERt, HEt, CPt ) ........................................................ (9)

Sedangkan fungsi produksi dapat dirumuskan sebagai berikut:

PBt = f (LPt, HGt, PUt, CHt) ........................................................ (10)

3.1.5 Analisis Regresi Berganda

Analisis regresi linier berganda adalah analisis yang berkenaan dengan

studi ketergantungan satu variabel (variabel dependen) yang satu atau lebih

variabel lain (variabel independen) dengan maksud menaksir dan atau

meramalkan nilai variabel dependen berdasarkan nilai yang diketahui dari variabel
37

yang menjelaskan (variabel independen). Model regresi yang terdiri lebih dari satu

variabel independen disebut model regresi berganda (Gujarati, 1991).

Pendekatan yang paling umum digunakan dalam menentukan garis yang

paling cocok disebut Metode Kuadrat Terkecil atau Ordinary Least Square (OLS).

Metode kuadrat terkecil digunakan untuk menghitung persamaan garis lurus yang

meminimisasi jumlah kuadrat jarak antara titik data X-Y dengan garis ya ng diukur

ke arah vertikal Y. Dengan menggunakan OLS, dapat diperoleh intersep dan slope

sehingga diperoleh garis regresi yang menunjukkan trend data secara baik.

Dalam mengevaluasi apakah model ya ng digunakan sudah baik atau

belum, terdapat beberapa kriteria ya ng memerlukan pengujian secara statistik.

Indikator untuk melihat kebaikan model adalah R2 , F-hitung, dan t-hitung.ukuran

ini digunakan untuk menunjukkan signifikan atau tindakannya model yang

diperoleh secara keseluruhan.

Dalam model regresi berganda dapat terjadi keterkaitan antar variabel

bebas yang disebut multikolinieritas. Multikolinieritas merupakan keadaan

dimana variabel- variabel independen pada regresi berganda saling berhubungan

erat. Kekuatan multikolinieritas diukur melalui faktor varian inflasi. Dalam

analisis regresi dengan data time series dan cross-section terdapat masalah

autokorelasi. Autokorelasi timbul karena sederetan pengamatan dari waktu ke

waktu saling berkaitan satu dengan yang lainnya, sehingga suatu nilai kejadian

pada periode waktu sebelumnya akan mempengaruhi nilai pada kejadian peride

waktu berikutnya. Pengujian autokorelasi tersebut dilakukan dengan uji Durbin

Watson.
38

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional

Beras merupakan komoditas pangan yang dijadikan sebagai bahan pangan

utama oleh sebagian besar penduduk Asia, termasuk Indonesia. Pangan adalah

kebutuhan yang paling mendasar dari suatu bangsa, sehingga dalam

keberlangsungannya ketersediaan beras menjadi hal yang sangat penting bagi

suatu negara.

Negara Indonesia merupakan negara produsen utama beras ke tiga di

dunia. Hal tersebut didukung oleh keadaan alam di Indonesia yang sangat

potensial untuk menanam padi. Namun demikian negara- negara produsen beras

lainnya seperti Vietnam dan Thailand telah mampu berswasembada beras, bahkan

menjadi eksportir beras utama pada tahun 2002 sampai sekarang. Sedangkan

Indonesia yang memiliki lahan lebih luas dari Thailand dan Vietnam sulit sekali

mempertahankan swasembada beras yang pernah dicapai pada tahun 1984 bahkan

Indonesia cenderung lebih sering bergantung pada impor beras untuk memenuhi

kebutuhan pangan berasnya.

Selain melakukan impor beras, Indonesia juga melakukan ekspor beras

untuk beras jenis tertentu. Produksi beras di Indonesia berfluktuasi dengan laju

pertumbuhan yang cenderung semakin menurun. Produksi beras ya ng berfluktuasi

tersebut mempengaruhi ekspor beras Indonesia. Sehingga dengan ketidakstabilan

produksi beras dalam negeri, ekspor beras Indonesia cenderung menurun dan

bahkan terhapus.

Adanya peningkatan ekspor yang cukup signifikan pada tahun 2004-2005

membuka peluang dan harapan bagi Indonesia untuk mempertahankan keadaan

tersebut dan bahkan untuk mengembangkannya, mengingat pada dasarnya


39

Indonesia me mang memiliki potensi untuk memproduksi beras. Indonesia yang

memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi beras seharusnya mampu

meningkatkan produksinya dan mulai berusaha untuk mengembangkan ekspor

beras yang sudah ada.

Oleh karena itu kebutuhan unt uk mengetahui faktor-faktor yang

mempengaruhi produksi beras Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhi

ekspor beras Indonesia tersebut penting untuk dilakukan guna mengetahui

kebijakan strategi yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk

meningkatkan produksi beras Indonesia dan ekspor beras yang sudah ada.

Pada dasarnya produksi beras merupakan perkalian antara faktor rendemen

beras (konversi beras) dengan produksi padi. Berdasarkan pada komponen input

yang digunakan dalam usahatani padi dan insentif bagi petani untuk menanam

padi, produksi beras Indonesia diduga dipengaruhi oleh luas areal panen padi,

harga dasar gabah, pupuk urea, dan curah hujan. Produksi padi pada dasarnya

tergantung pada luas areal panen padi dan produktivitas padi. Sehingga variabel

luas areal panen padi merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi

produksi beras Indonesia. Sedangkan harga dasar gabah merupakan harga yang

dapat memberikan insentif bagi petani untuk menanam padi, sehingga ketika

harga dasar gabah akan meningkat, produksi beras pun akan meningkat.

Selain luas panen padi dan harga gabah, faktor lain yang dapat

diperhitungkan sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi beras

Indonesia adalah pupuk urea dan curah hujan. Hal ini didasari pada suatu

pemikiran dimana pupuk urea merupakan salah satu komponen input utama dalam

memproduksi padi sehingga penggunaan pupuk urea akan sangat menentukan


40

produktivitas padi yang dihasilkan dan akan mempengaruhi produksi beras

Indonesia, sedangkan curah hujan merupakan suatu iklim yang sangat mendukung

usahatani padi.

Sedangkan ekspor beras Indonesia diduga dipengaruhi oleh produksi

beras, nilai tukar, harga eceran beras atau harga beras domestik, dan konsumsi

beras per kapita. Produksi beras dan konsumsi beras per kapita diduga merupakan

faktor yang mempengaruhi ekspor karena ekspor beras dilakukan pada saat terjadi

surplus produksi. Variabel konsumsi beras per kapita menunjukkan besarnya

selera masyarakat dalam mengkonsumsi beras, dan dapat mewakili variabel

konsumsi beras domestik. Sedangkan harga beras eceran atau harga beras

domestik dijadikan pertimbangkan karena harga eceran diduga mempengaruhi

keputusan ekspor, dimana ketika harga beras eceran meningkat, insentif utuk

melakukan ekspor akan berkurang karena akan lebih menguntungkan jika menjual

beras di pasar domestik.

Nilai tukar mata uang suatu negara terhadap dollar dijadikan pertimbangan

untuk mengukur nilai pembelian dan penjualan barang ke luar negeri, sehingga

nilai tukar mata uang suatu negara mencerminkan daya saing negara tersebut di

pasar internasional. Berdasarkan pada kondisi tersebut, maka harga beras dunia

dapat diwakili oleh variabel nilai tukar rupiah terhadap dollar. Dengan semakin

meningkatnya nilai tukar rupiah terhadap dollar, maka nilai rupiah akan semakin

menurun dan mendorong penawaran ekspor. Harga barang-barang domestik yang

diperdagangkan di pasar internasiona l akan berdaya saing karena memiliki harga

yang dirasakan lebih murah bagi negara-negara tujuan ekspor, dan hal tersebut

akan mendorong peningkatan ekspor beras Indonesia.


41

Indonesia Sebagai
Produsen Beras

Selain melakukan impor


juga melakukan ekspor
beras

Fluktuasi Produksi Fluktuasi ekspor yang


beras cenderung menurun

Peningk atan Ekspor pada


periode 2004-2005

Pendugaan faktor- faktor yang Pendugaan faktor- faktor yang


Mempengaruhi Produksi Beras Mempengaruhi Ekspor Beras
Indonesia Indonesia

Analisis Regresi Berganda

Pengujian terhadap Faktor-


faktor yang Mempengaruhi
Produksi dan Ekspor Beras
Indonesia

Hasil Dugaan:
Faktor Dominan yang
Mempengaruhi Produksi dan
Ekspor Beras Indonesia

Bagan 1. Alur Kerangka Berpikir


42

3.3 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan pada kerangka pemikiran yang ada, maka hipotesis penelitian

ini adalah sebagai berikut:

1. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi produksi beras Indonesia adalah luas

areal panen padi, harga dasar gabah, pupuk urea, dan curah hujan. Dimana

semua variabel tersebut memiliki korelasi positif terhadap produksi beras

Indonesia.

2. Faktor- faktor yang diduga mempengaruhi ekspor beras Indonesia adalah

produksi beras Indonesia, nilai tukar rupiah terhadap dollar, harga eceran

beras/harga beras domestik, dan konsumsi beras per kapita. Dimana produksi

beras Indonesia dan nilai tukar rupiah terhadap dollar memiliki korelasi positif

terhadap ekspor beras Indonesia, sedangkan harga beras eceran atau harga

beras domestik dan konsumsi beras per kapita memiliki korelasi negatif

terhadap ekspor beras Indonesia.


43

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang

berupa data time series. Data time series meliputi data tahunan selama 30 tahun

(tahun 1976-2005). Semua data yang dikumpulkan diperoleh dari Departemen

Pertanian, Departemen Perdagangan, Badan Pusat Statistik, Badan Urusan

Logistik, dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi, serta literatur-

literatur dan situs-situs yang terkait dengan penelitian ini.

Penelitian ini dilakukan di Jakarta dan Bogor. Lokasi penelitian ini

ditentukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa di Jakarta dan

Bogor terdapat instansi- instansi terkait seperti Departemen Pertanian, Departemen

Perdagangan, Badan Pusat Statistik, Badan Urusan Logistik, dan Pusat Penelitian

dan Pengembangan Sosial Ekonomi yang menyediakan kebutuhan data yang

diperlukan dalam penelitian. Pengumpulan data dilakukan selama bulan Februari

sampai Maret 2007.

Adapun data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data-data yang

digunakan dalam analisis faktor- faktor yang mempengaruhi produksi dan ekspor

beras Indonesia, antara lain adalah: volume ekspor beras (ton), produksi beras

(ton), produksi padi (ton), harga dasar gabah (Rp/kg), curah hujan (mm/tahun),

harga beras eceran (Rp/kg), luas areal panen padi (Ha), produktivitas padi

(Ton/Ha), volume impor beras, penggunaan pupuk urea (k g/ha), harga jagung

(Rp/ton), konsumsi beras per kapita (kg/kapita/tahun), nilai tukar rupiah terhadap
44

dollar (Rp/US$), harga beras dunia (US$/ton), dan indeks harga konsumen

Indonesia.

4.2 Metode Analisis Data

Metode yang digunakan untuk untuk menganalisis faktor-faktor yang

mempengaruhi produksi dan ekspor beras Indonesia adalah metode kuantitatif

dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) dengan model regresi

linier berganda. Proses pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software

Microsoft Excel dan Minitab 14. Sedangkan metode deskriptif dalam penulisan

digunakan untuk memberikan penjelasan tentang gambaran umum perkembangan

perberasan, baik di Indonesia maupun di dunia. Selain itu metode deskriptif juga

digunakan untuk menginterpretasi data.

Model yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang

mempengaruhi produksi dan ekspor beras Indonesia adalah model regresi

berganda dengan persamaan tunggal karena bentuk ini mampu menunjukkan

berapa persen variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel independen

dengan nilai R2 . Selain itu model ini dapat melihat apakah variabel- variabel

independennya berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel dependen dengan

melihat uji-F dan uji- t serta perhitungannya lebih sederhana. Bentuk umum dari

fungsi regresi tersebut adalah:

Y = ao + ? ai Xi + Ei

Dimana:

Y = variabel dependen

ao = intersep
45

ai = parameter penduga Xi

Xi = variabel independen yang menjelaskan variabel Y

Ei = pengaruh sisa (error term)

Model tersebut diduga dengan Metode Kuadrat Terkecil Biasa (Ordinary

Least Square/ OLS) yang didasarkan pada asumsi-asumsi berikut (Supranto

(1984) dalam Resmisari (2006)):

1. Nilai rata-rata kesalahan pengganggu sama dengan nol, yaitu E (ei ) = 0 untuk

i = 1, 2, 3, ..., n

2. Varian (ei) = E (ej) = s 2 , sama untuk semua kesalahan pengganggu

(homoskedastisitas).

3. Tidak ada autokorelasi antara kesalahan pengganggu berarti kovarian (ei, ej) =

0, i ? j.

4. Variabel bebas Xi, X2 , ..., Xk konstan dalam sampling yang terulang dan bebas

terhadap kesalahan pengganggu, E (Xi, ei) = 0.

5. Tidak ada kolinearitas ganda di antara variabel bebas X.

6. ei ˜ N (0 ; s 2 ), artinya kesalahan pengganggu mengikuti distribusi normal

dengan rata-rata nol dan varian s 2 .

Dengan dipenuhinya asumsi di atas, maka koefisien regresi (parameter)

yang diperoleh merupakan penduga linier terbaik yang tidak bias (BLUE= Best

Linier Unbiased Estimator). Pengujian dilakukan terhadap variabel- variabel

independen yang diduga berpengaruh besar terhadap produksi dan ekspor beras

Indonesia.
46

4.2.1. Perumusan Model

Berdasarkan pada kerangka pemikiran teoritis, dan berbagai spesifikasi

model yang telah dicoba, maka model ekonometrik produksi dan penawaran

ekspor beras Indonesia secara umum diduga sebagai berikut:

PBt = a0 + a1 LPt + a2 HGt + a3 PUt + a4 CHt + ε t .............................. (9)

Xt = a0 + a1 PBt + a2 ERt + a3 HEt + a4 CPt + ε t ..................................... (10)

Dimana:

Xt = volume ekspor beras Indonesia (ton)

PBt = produksi beras Indonesia (ton)

LPt = luas areal panen padi Indonesia (Ha)

HGt = harga dasar gabah (Rp/kg)

PUt = pupuk urea (Kg/Ha)

CHt = curah hujan rata-rata (mm/tahun)

ERt = nilai tukar rupiah terhadap dollar AS (Rp/US$)

HEt = harga beras domestik atau harga beras eceran (Rp/kg)

CPt = konsumsi beras domestik (kg/cap/tahun)

a0 = intersep

ai = koefisien regresi (i = 1, 2, 3, ...)

εt = error

Nilai koefisien regresi yang diharapkan untuk model produksi adalah:

a1 , a2 , a3 , dan a4 dan > 0

Nilai koefisien regresi yang diharapkan untuk model ekspor adalah:

a1 dan a2 >0, a3 dan a4 < 0.


47

4.2.2 Pengujian Model dan Hipotesis

4.2.2.1 Goodness Of Fit (Kesesuaian Model)

Goodness Of Fit (kesesuaian model) dihitung dengan nilai koefisien

determinasi (R2 ). Koefisien determinasi (R2 ) bertujuan untuk mengukur

keragaman variabel dependen yang dapat diterangkan oleh variabel independen.

R2 menunjukkan besarnya pengaruh semua variabel independen terhadap variabel

dependen. Koefisien determinasi dapat dirumuskan sebagai berikut:

Jumlah Kuadrat regresi Jumlah Kuadrat Galat


R2 = = 1−
Jumlah Kuadrat to tal Jumlah Kuadrat Total

Selang R2 yang digunakan adalah 0<R2 <1. R2 = 1 berarti semua variasi

respon dari variabel dapat dijelaskan dengan fungsi regresi, sedangkan R2 = 0

berarti tidak satupun variasi pada variabel dapat dijelaskan oleh fungsi regresi.

Dalam kenyataannya nilai R2 berada dalam selang 0 sampai 1 dengan intrepretasi

relatif terhadap ekstrim 0 dan 1. Nilai koefisien determinasi semakin mendekati 1,

maka model tersebut semakin baik.

4.2.2.2 Uji Statistik

Untuk menguji apakah secara statistik variabel independen yang

digunakan berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel dependen, digunakan

uji statistik-F dan uji statistik-t. Penggunaan uji statistik-F dilakukan untuk

mengetahui apakah model penduga yang diajukan sudah layak untuk menduga

parameter dalam fungsi produksi dan fungsi volume ekspor. Uji statistik-t

digunakan untuk menguji koefisien regresi dari masing- masing variabel

independen secara terpisah, apakah variabel ke- i berpengaruh nyata terhadap

variabel dependen (Gujarati, 1991).


48

4.2.2.2.1 Uji F

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah semua variabel

independen secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen.

Pengujian yang dilakukan menggunakan distribusi F dengan membandingkan

antara nilai kritis F dengan nilai F-hitung yang terdapat pada hasil analisis.

Langkah- langkah analisis dalam pengujian hipotesis terhadap variasi nilai

variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh variasi nilai variabel independen

adalah sebagai berikut:

1. Perumusan Hipotesis

H0 = variasi perubahan nilai variabel independen tidak dapat menjelaskan

variasi perubahan nilai variabel dependen.

H1 = variasi perubahan nilai variabel independen dapat menjelaskan variasi

perubahan nilai variabel dependen.

2. Perhitungan nilai kritis F-tabel dan F-hitung

Jumlah kuadrat regresi


Fhitung = k
Jumlah kuadrat sisa
(n - k - 1)
Dimana:

n = jumlah pengamatan (j = 1, 2, 3, …,n)

k = jumlah peubah bebas (i = 1, 2, 3,...,k)

3. Penentuan penerimaan atau penolakan H0

Fhitung < Ftabel : terima H0

Fhitung > Ftabel : tolak H0

4. Apabila keputusan yang diperoleh adalah tolak H0 maka dapat disimpulkan

bahwa variasi perubahan nilai variabel dependen dapat dijelaskan oleh variasi
49

perubahan nilai semua variabel independen. Artinya, semua variabel

independen secara bersama-sama dapat berpengaruh terhadap variabel

dependen.

4.2.2.2.2 Uji t

Pengujian hipotesis dari koefisien dari masing- masing peubah bebas

dilakukan dengan uji t. Langkah-langkah analisis dalam pengujian hipotesis

terhadap koefisien regresi adalah:

1. Perumusan hipotesis

H0 : ai =0

H1 : ai < 0 atau ai >0

2. Penentuan nilai kritis

Nilai kritis dapat ditentukan dengan mengunakan tabel distribusi normal

dengan memperhatikan tingkat signifikansi (a) dan banyaknya sampel yang

digunakan.

3. Nilai t- hitung masing- masing koefisien regresi dapat diketahui dari hasil

perhitungan komputer.

Statistik uji yang digunakan dalam uji-t adalah :

t ai
hitung=
S(ai )

Dimana:

ai = nilai koefisien regresi atau parameter

S(ai) = standar kesalahan dugaan parame ter

Kriteria uji:

t hitung < t tabel : terima H0

t hitung > t tabel : tolak H0


50

4. Pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan letak nilai t- hitung masing-

masing koefisien regresi pada kurva normal yang digunakan dalam penentuan

nilai kritis. Jika letak t- hitung suatu koefisien regresi berada pada daerah

penerimaan H0 , maka keputusannya adalah menerima H0 . artinya koefisien

regresi tersebut tidak berbeda dengan nol. Dengan kata lain, variabel tersebut

tidak berpengaruh nyata terhadap nilai variabel dependen. Sebaliknya jika t-

hitung menyatakan tolak H0 maka koefisien regresi berbeda dengan nol dan

berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.

4.2.2.2.3 Uji Normalitas

Salah satu metode yang digunakan untuk menguji apakah error term

menyebar normal atau tidak adalah dengan menggunakan Metode Kolmogorov

Smirnov. Langkah- langkah dalam pengujian ini adalah:

1. Perumusan model

H0 : sebaran data normal

H1 : sebaran data tidak normal

2. Rumus Uji Kolmogorov Smirnov (KS) adalah:

X2 = 4 x (Dmax)2 x
(m × n )
(m × n )
Dimana:

m = kelompok data 1

n = kelompok data 2

D = perbedaan maksimal kelompok data

3. Penentuan penerimaan atau penolakan H0

KS hitung < KS tabel maka terima H0

KS hitung > KS tabel maka tolak H0


51

4.2.2.2.4 Uji Multikolinieritas

Dalam model regresi yang mencakup lebih dari dua variabel independen,

sering dijumpai adanya kolinear ganda (multikolinear). Adanya multikolinear

menyebabkan pendugaan koefisien regresi tidak nyata walaupun nilai R2 tinggi,

tanda koefisien tidak sesuai dengan teori dan dengan metode OLS, penduga

koefisien mempunyai simpangan baku yang sangat besar.

Pengujian multikolinieritas dapat dilakukan dengan memperhatikan nilai

Variance Inflation factor (VIF) untuk koefisien regresi ke-j yang dapat

dirumuskan sebagai berikut:

1
VIF = , j= 1, 2, 3,..., k
( 1− R )
2

Rj2 yang dimaksud adalah koefisien determinasi dari regresi variabel

independen ke j pada k-1 variabel independen sisanya untuk k = 2 variabel

independen, rj2 adalah kuadrat dari korelasi sampel r. Jika variabel prediktor X ke j

tidak berkaitan dengan X sisa, maka Rj2 = 0. Jika terdapat hubungan, maka VIFj >

10. Nilai VIF mendekati 10 (< 10) menunjukkan bahwa tidak terdapat masalah

multikolinier pada variabel independen.

4.2.2.2.5 Uji Heteroskedastisitas

Variabel atau keragaman dalam deret waktu cenderung meningkat dengan

tingkat deret. Variabilitas dapat meningkat apabila variabel berkembang pada

tingkat yang konstan dibandingkan jumlah yang konstan sepanjang waktu.

Variabel yang tidak konstan disebut heteroskedastisitas. Pengujian untuk

menganalisis masalah heteroskedastisitas antara lain adalah dengan metode uji

homogenitas Barlett. Pengujian dengan metode Barlett menggunakan rumus:


52

 viS 2 
∑ i 
(∑ vi )× ln   - ∑ vi ln S i
2

 Evi 
B=  

∑  vi  − vi
1 1

1+ ∑
[3(k − 1)]
ni 2
∑ (X
j =1
ij − X)
Si2 =
n i −1

Keterangan:

B hitung = nilai uji Barlett hitung

K = jumlah variabel

ni = jumlah sampel variabel i

Vi = derajat kebebasan (ni - 1)

S2 i = ragam variabel i

Dengan hipotesis:

H0 = data homogen

H1 = data tidak homogen

Jika B hitung < B tabel maka terima H0

Jika B hitung > B tabel maka tolak H0

4.2.2.2.6 Uji Autokorelasi

Dalam analisis regresi dengan data time series dan cross-section terdapat

masalah autokorelasi. Uji autokorelasi digunakan untuk mengetahui apakah error

pada suatu persamaan bersifat independen atau dependen. Pengujian kemungkinan

adanya autokorelasi dilakukan dengan uji d Durbin Watson.


53

Rumus Durbin Watson:

∑ (e - e )
t= 2
t t -1

d= n
, dimana 0<d<4
∑e
t =1
t

Nilai hitung statistik d dibandingkan dengan nilai d tabel, yaitu dengan batas

bawah (dL) dan batas atas (dU). Hasil perbandingan akan menghasilkan

kesimpulan seperti sebagai berikut:

1. Jika d < dL, berarti ada autokorelasi positif

2. Jika d > 4-dL, berarti ada autokorelasi negatif

3. Jika dL < d < 4-dU, berarti tidak terjadi autokorelasi positif ataupun negatif

4. Jika dL = d = dU atau 4-dU = d = 4-dL, berarti tidak dapat disimpulkan.

4.2.2.2.7 Pengukuran Elastisitas

Pengukuran elastisitas dilakukan untuk melihat seberapa besar pengaruh

peubah dependen terhadap peubah independen (Koutsoyiannis, 1977). Elastisitas

adalah derajat kepekaan peubah dependen terhadap perubahan yang terjadi pada

peubah independen yang mempengaruhinya. Nilai elastisitas dari model linear

berganda diperoleh dari perhitungan berikut:

a (Xit )
E (Yt Xit ) =
(Yt )
Dimana:

E (Yt Xit ) = Elastisitas variabel Yt terhadap variabel Xit

ai = koefisien regresi variabel independen Xi

Xi = Rata-rata variabel independen Xi

Yt = Rata-rata variabel dependen (Yt )


54

Apabila nilai elastisitas lebih besar dari 1 (E >1) dikatakan elastisitas

(responsif) karena perubahan satu persen variabel independen mengakibatkan

perubahan variabel dependen lebih dari satu persen. Jika nilai elastisitas antara nol

dan satu (0 < E < 1) dikatakan inelastis (tidak responsif) karena perubahan satu

persen variabel independen akan mengakibatkan perubahan variabel independen

kurang dari satu persen. Sedangkan nilai elastisitas sama dengan nol (E = 0)

artinya inelastis sempurna, dan nilai elastisitas tak hingga (E = ~) artinya

elastisitas sempurna, dan jika nilai elastisitas sama dengan satu (E = 1) disebut

elastis uniter.

4.2.3 Model Alternatif

Satu asumsi penting dalam model regresi linier adalah bahwa gangguan

(disturbance) ui yang muncul dalam fungsi regresi populasi adalah homoscedastic,

yaitu semua gangguan tadi memiliki varians yang sama. Jika asumsi itu tidak

dapat dipenuhi maka dapat dikatakan terjadi penyimpangan. Penyimpangan

terhadap faktor pengganggu disebut heteroskedastisitas. Keadaan

heteroskedastisitas tersebut akan mengakibatkan penduga OLS yang diperoleh

tetap memenuhi persyaratan tidak bias. Selain itu juga varians yang diperoleh

menjadi tidak efisien, artinya cenderung membesar sehingga tidak lagi merupakan

varians yang terkecil. Kecenderungan membesarnya varians tersebut akan

mengakibatkan uji hipotesis yang dilakukan tidak akan memberikan hasil yang

baik (tidak valid). Dengan demikian model perlu diperbaiki dulu agar pengaruh

dari heteroskedastisitasnya hilang (Firdaus, 2004 dalam Resmisari, 2006)

Salah satu cara untuk menyempurnakan model adalah dengan

mentransformasikan model asli ke dalam model yang baru, sehingga diharapkan


55

akan mempunyai e dengan varians yang konstan. Untuk mengatasi terjadinya

heteroskedastisitas yang terdapat dalam model, dapat dilakukan transformasi ke

dalam bentuk logaritma. Transformasi model dalam bentuk logaritma dapat

mengurangi masalah heteroskedastisitas, hal ini disebabkan karena transformasi

yang memampatkan skala untuk pengukuran variabel, mengurangi perbedaan nilai

dari sepuluh kali lipat menjadi perbedaan dua kali lipat (Gujarati, 1991).

Model produksi beras yang diperoleh dengan mentransformasi model

dalam bentuk logaritma natural adalah:

Ln-PBt = a0 + a1 ln-LPt + a2 ln-HGt + a3 ln-PUt + a4 ln-CHt + et

Model ekspor beras yang diperoleh dengan mentransformasi model dalam

bentuk logaritma natural adalah:

Ln Xt = a0 + a1 ln-PBt + a2 ln-ERt + a3 ln-HEt + a4 ln-CPt + et

Manfaat tambahan dari transformasi logaritma bahwa koefisien

kemiringan ai mengukur elastisitas variabel endogen terhadap variabel eksogen,

yaitu persentase perubahan dalam variabel endogen untuk persentase perubahan

dalam variabel eksogen.


56

V. POTENSI PRODUKSI DAN EKSPOR BERAS

5.1 Kondisi Perberasan Indonesia

Indonesia merupakan negara agraris sehingga sebagian besar mata

pencaharian penduduknya adalah sebagai petani. Hal ini didukung oleh keadaan

alam indonesia yang sangat potensial dijadikan lahan pertanian untuk komoditi

pertanian daerah tropis. Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam

tatanan perekonomian Indonesia karena sesuai dengan predikat Indonesia sebagai

negara agraris. Hal itu terbukti pada saat Indonesia mengalami krisis

multidimensional hanya sektor pertanian yang mampu survive bahkan mampu

menjadi penyangga sektor lainnya.

Sektor pertanian memiliki peranan penting dalam pembangunan ekonomi

nasional. Peranan penting sektor pertanian di dalam perekonomian Indonesia

adalah terutama dalam bentuk penyediaan kesempatan kerja dan kontribusinya

terhadap pembentukan PDB dan ekspor (Tambunan, 2003). Oleh karena itu sektor

petanian merupakan suatu sektor penting yang harus dipertahankan dan

dikembangkan di Indonesia.

Indonesia menyandang predikat sebagai negara produsen beras terbesar ke

tiga di dunia (Sawit, 2006). Hal ini didukung oleh potensi alam, iklim, dan

topografi yang sangat potensial untuk dilakukannya usahatani padi di Indonesia.

Selain itu menurut (Rachman et al., 2004), Indonesia juga memiliki keunggulan

komparatif dan kompetitif dalam memproduksi beras.

Dari sisi usahatani, produktivitas padi per hektar Indonesia merupakan

yang tertinggi setelah China, sementara dari sisi biaya produksi per kilogram,
57

usahatani padi Indonesia termasuk yang efisien, yaitu sekitar Rp.688 per kg beras

atau setara dengan US$ 81 per ton (kurs 1 US$ = Rp.8500). Dengan biaya

usahatani yang relatif rendah dan produktivitas per hektar yang relatif tinggi,

maka usahatani padi Indonesia cukup kompetitif dibandingkan dengan negara-

negara penghasil beras lainnya.

Luas pertanaman padi di Indonesia diperkirakan mencapai 11–12 juta ha,

yang tersebar di berbagai tipologi lahan seperti sawah (5,10 juta ha), lahan tadah

hujan (2,10 juta ha), ladang (1,20 juta ha), dan lahan pasang surut. Lebih dari 90%

produksi beras nasional dihasilkan dari lahan sawah (Badan Pusat Statistik 2000),

dan lebih dari 80% total areal pertanaman padi sawah telah ditanami varietas

unggul (Badan Pusat Statistik, 2000).

Dari sisi ketersediaan lahan, menurut Hutapea dan Mashar (2003), lahan

kering yang tersedia di Indonesia pada saat ini sebesar 11 juta hektar yang

sebagian besar berupa lahan tidur dan lahan marginal sehingga tidak produktif

untuk tanaman pangan. Di Pulau Jawa yang padat penduduk, rata-rata pemilikan

lahan usaha tani berkisar hanya 0,2 ha/KK petani. Namun, banyak pula lahan tidur

yang terlantar. Ada 300.000 ha lahan kering terbengkalai di Pulau Jawa dari

kawasan hutan yang menjadi tanah kosong terlantar. Luas lahan pasang surut dan

Lebak di Indonesia diperkirakan mencapai 20,19 juta hektar dan sekitar 9,5 juta

hektar berpotensi untuk pertanian serta 4,2 juta hektar telah di reklamasi untuk

pertanian (Ananto, E.,2002 dalam Hutapea dan Mashar 2003). Hal ini

mengindikasikan bahwa masih banyak potensi alam Indonesia yang belum

dimanfaatkan secara optimal.


58

Perekonomian beras (rice economy) secara signifikan merupakan

pendukung pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak 1960-an

(Timmer,1996 dalam Amang dan Sawit, 1999). Dalam rangka penyediaan pangan

nasional dan sumber lapangan kerja transisi, Indonesia terus berusaha mendorong

peningkatan produksi beras dalam negeri dan mengelola stok beras nasional untuk

tujuan emerjensi dan stabilisasi harga (Sawit, 2006). Produksi beras atau padi

dalam negeri sangat penting untuk menghindari tingginya resiko ketidakstabilan

harga dan suplai beras dari pasar dunia, disamping terkait erat dengan usaha

pengentasan kemiskinan dan pembangunan pedesaan.

Pusat penanaman padi di Indonesia adalah Pulau Jawa (Karawang,

Cianjur), Bali, Madura, Sulawesi, dan akhir-akhir ini Kalimantan. Pada tahun

1992 luas panen padi mencapai 11,10 ha dengan rata-rata hasil 4,35 ton/ha/tahun.

Produksi padi nasional adalah 48,24 ton. Pada tahun itu hampir 22,5 % produksi

padi nasional dipasok dari Jawa Barat. Dengan adanya krisis ekonomi, sentra padi

Jawa Barat seperti Karawang dan Cianjur mengalami penurunan produksi yang

berarti.

Sekitar tahun 1984 pertanian Indonesia menjadi sorotan dunia, hal itu

dikarenakan Indonesia mampu berswasembada beras. Tetapi tahun-tahun

berikutnya hasil pertanian padi Indonesia terus mengalami peningkatan dengan

laju pertumbuhan yang menurun. Konsep pembangunan yang tidak berkelanjutan

dan pengalihan leading sector pembangunan ke bidang industri dianggap sebagai

salah satu penyebabnya.


59

Potensi produksi beras yang masih diliputi oleh berbagai kendala ini,

membuat Indonesia memilih untuk mengembangkan konsep swasembada on

trend dengan pertimbangan sebagai berikut:

(1) Kebutuhan beras Indonesia sangat besar karena sebagian sumber kebutuhan

pokok pangan masyarakat didominasi oleh beras dan elastisitas permintaan

terhadap beras masih positif.

(2) Kebutuhan pangan atau beras nasional mencapai hampir dua setengah kali

jumlah beras yang beredar di pasar beras dunia dan kebutuhan tersebut

meningkat terus, sehingga Indonesia tidak dapat sepenuhnya menggantungkan

diri dari impor.

(3) Kondisi wilayah Indonesia sangat luas dan terdiri dari ribuan pulau, serta

dengan sarana infrastruktur yang belum semuanya memadai, sehingga apabila

ada gangguan dalam produksi beras, maka pemenuhan kebuhan beras dapat

dijamin melalui impor.

Disisi lain sebenarnya Indonesia memiliki potensi cukup besar untuk

mencapai kemandirian pangan jika dikaitkan dengan potensi peningkatan

produksi padi. Penelitian menunjukkan bahwa produktivitas padi masih dapat

ditingkatkan melalui inovasi teknologi di berbagai agroekosistem padi, baik di

lahan sawah irigasi, lahan kering, lahan sawah tadah hujan, maupun lahan rawa

pasang surut. Selain melalui inovasi teknologi, kemandirian pangan akan lebih

cepat dicapai kalau masyarakat mulai belajar memanfaatkan sumber pangan selain

beras (diversifikasi) (Balitbang, 2004).

Selain itu menurut Sumarno (2006), Indonesia sebenarnya memiliki

potensi ekspor beras, namun potensi tersebut perlu direalisasikan dengan


60

mengupayakan perluasan lahan pertanian padi. Peningkatan produktivitas tanpa

dibarengi oleh peningkatan luas areal tanam padi tidak akan mengahasilkan

produksi yang maksimum.

5.1.1 Perkembangan Produksi Beras Indonesia

Produksi beras dalam negeri dari tahun ke tahun terus meningkat,

walaupun mempunyai kecenderungan laju pertumbuhannya melandai. Sejak

periode tahun 1993 hingga tahun 2001 laju peningkatan produksi pangan,

terutama beras mengalami penurunan. Rendahnya laju peningkatan produksi

pangan dan terus menurunnya produksi di Indonesia antara lain disebabkan oleh:

(1) Produktivitas tanaman pangan yang masih rendah dan terus menurun; (2)

Peningkatan luas areal penanaman-panen yang stagnan bahkan terus menurun

khususnya di lahan pertanian pangan produktif di pulau Jawa. Kombinasi kedua

faktor di atas memastikan laju pertumbuhan produksi dari tahun ke tahun yang

cenderung terus menurun (Hutapea dan Mashar, 2003)

Perkembangan luas areal panen selama kurun waktu 1990-2001 relatif

tidak banyak berubah dengan laju pertumbuhan hanya 0,31 persen/tahun. Luas

areal panen terendah terjadi pada tahun 1991 (10,28 juta ha) dan tertinggi pada

tahun 1998 (11,730 juta ha). Bahkan laju produktivitas padi hanya 0,04

persen/tahun, dengan kisaran antara 4,17 ton/ha (1998) sampai dengan 4,52 ton/ha

(1999). Laju pertumbuhan produksi pada kurun waktu tersebut sebesar 0,32

persen/tahun dengan kisaran produksi antara 44,69 juta ton hingga 51,17 juta ton

GKG, setara dengan 29,04 juta ton hingga 33,21 juta ton beras.

Di sisi lain, pertumbuhan penduduk Indonesia melaju dengan cepat, yakni

1,35 % per tahun pada periode tahun 1990-2000. Kenyataan ini menyebabkan
61

produksi dalam negeri hanya cukup untuk pemenuhan konsumsi beras domestik,

bahkan untuk cadangan nasional setiap tahun selalu ada realisasi impor beras dari

luar negeri.

Tabel 3. Produksi padi (GKG) menurut Pulau di Indonesia


Tahun 2001-2005 (000 ton)

Daerah 2000 2001 2002 2003 2004 2005*


Sumatera 11.819 11.286 11.542 12.136 12.665 12.620
(22,77) (22,37) (22,42) (23,28) (23,42) (23,25)
Jawa 29.120 28.312 28.607 28.167 29.635 29.763
(56,11) (56,11) (55,56) (54,03) (54,79) (55,06)
Bali dan Nusa 2.776 2.695 2.647 2 .725 2.807 2.590
Tenggara (5,35) (5,34) (5,14) (5,23) (5,19) (4,79)
Kalimantan 3.000 3.074 3.169 3.357 3.656 3.604
(5,78) (6,09) (6,16) (6,44) (6,76) (6,67)
Sulawesi 5.065 4.982 5.438 5.602 5.171 5.296
(9,76) (9,87) (10,56) (10,74) (9,56) (9,80)
Maluku dan Irian Jaya 117 108 85 149 151 180
(0,23) (0,22) (0,17) (0,29) (0,28) (0,33)
Luar Jawa 22.778 22.148 22.881 23.970 24.452 24.292
(43,89) (43,89) (44,44) (45,97) (45,21) (44,94)
Indonesia 51.898 50.460 51.489 52.137 54.088 54.056
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2000-2005
Keterangan: * : angka sementara
Angka di dalam kurung menyatakan persentase terhadap produksi nasional.

Produksi padi Indonesia pada dasarnya tergantung pada dua variabel, yaitu

luas areal panen dan produkstivitas per satuan luas. Produksi dalam negeri sampai

saat ini masih didominasi oleh pulau Jawa yaitu sekitar 56 % persen dari total

produksi nasional. Pada tabel 3, terlihat bahwa selama ini produksi padi dalam

negeri masih tergantung pada produksi di pulau Jawa, karena 56 persen produksi

padi berada di pulau Jawa, selebihnya tersebar 22 persen di pulau Sumatera, 10

persen di pulau Sulawesi dan 5 persen di pulau Kalimantan. Pulau Jawa mendapat

proporsi paling besar dalam pengusahaan padi. Hal ini didukung oleh topografi,

dan kesuburan tanah di pulau Jawa yang sangat cocok untuk usahatani padi.

Selain itu tenaga kerja yang dibutuhkan dalam sektor pertanian juga lebih banyak
62

terdapat di pulau Jawa mengingat pulau Jawa merupakan pulau yang terpadat

penduduknya.

Pulau Jawa merupakan sentra produksi padi yang utama dan berperan

sebagai penyangga produksi beras nasional. Luas tanaman di pulau Jawa

cenderung menurun. Hambatan peningkatan luas tersebut karena: 1) pertambahan

penduduk yang relatif tinggi akan meningkatkan permintaan terhadap lahan

perumahan dan infrastruktur. 2) Industrialisasi diperkirakan akan cenderung

berlokasi di pulau Jawa yang memiliki fasilitas infrastruktur yang lebih baik.

Hambatan lain yang menyebabkan usaha peningkatan hasil per hektar lebih sukar

diduga karena harga pupuk dan pestisida/insektisida yang meningkat, sehingga

pemakaian pupuk tidak berimbang (Suryana et al., 2001).

Tabel 4. Perkembangan Produksi Padi dan Beras Tahun 2000-2005

Tahun Luas Panen Padi Produksi Produktivitas Produksi


(ha) Padi (ton) Padi (ton) Beras
(ton)
2000 11.793.475 51.989.852 4,40 32.696.277
2001 11.499.997 50.460.782 4,38 31.790.293
2002 11.521.166 51.489.694 4,47 32.438.507
2003 11.477.357 52.078.830 4,54 32.809.663
2004 11.922.974 54.088.468 4,54 34.075.735
2005 11.818.913 54.056.282 4,57 34.055.458
Sumber: Badan Pusat Statistik.

Laju pertumbuhan produksi pangan nasional dalam dasawarsa terakhir

rata-rata cenderung terus menurun. Luas lahan pertanian di Indonesia semakin

lama semakin berkurang oleh karena adanya konversi lahan pertanian ke non

pertanian. Konversi lahan ini dilakukan sebagai bentuk implikasi dari

pertambahan jumlah penduduk yang menuntut bertambahnya kebutuhan manusia

akan pemukiman dan barang-barang kebutuhan lainnya. Tentu saja hal ini

berpengaruh terhadap produksi padi dalam negeri mengingat luas lahan adalah
63

salah satu faktor yang berpengaruh terhadap produksi padi. Kenyataan tersebut

dapat dilihat pada tabel 4.

Namun demikian, dalam rangka meningkatkan produktivitas dan produksi

padi nasional, pemerintah tengah mempromosikan pengembangan sistem dan

usaha agribisnis berbasis usahatani padi. Berbagai program promosi yang

dilaksanakan secara berkelanjutan adalah sebagai berikut: (a) Pengembangan

infrastruktur mendukung usahatani padi dan peningkatan akses petani terhadap

sarana produksi dan sumber permodalan, (b) Peningkatan mutu intensifikasi

usahatani padi dengan menggunakan teknologi maju, (c) Melaksanakan

ekstensifikasi lahan pertanian terutama di luar Jawa, dan (e) Peningkatan akses

petani terhadap sarana pengolahan pasca panen dan pemasaran.

Pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut ternyata telah mendorong

peningkatan produksi padi. Pada tahun 2003, produksi padi mencapai 52,08 juta

ton gabah kering giling, atau meningkat sekitar 0,70 persen dibanding produksi

tahun 2002. Adapun produktivitas padi pada tahun 2003 meningkat menjadi 45,38

kuintal/ha, atau naik sekitar 1,29 persen dibandingkan tahun 2002.

Tahun 2004, produksi padi nasional mencapai 54,09 juta ton gabah kering

giling, setara 34 juta ton beras (konversi 0,632), merupakan produksi beras

tertinggi selama Republik ini berdiri. Tahun 2004 Indonesia dapat dikatakan

mampu swasembada beras, mengulangi keberhasilan swasembada tahun 1984.

5.1.2 Perkembangan Konsumsi Beras Indonesia

Beras merupakan bahan pangan pokok bagi masyarakat Indonesia dan

tetap mendominasi pola makan orang Indonesia. Dari 11 jenis pola pangan pokok

rumah tangga di Indonesia, pola pangan pokok beras adalah yang dominan di
64

setiap propinsi. Perubahan jenis pangan pokok hanya terjadi pada komoditas

bukan beras, seperti antara jagung dengan umbi- umbian dan sebaliknya. Hal

tersebut menunjukkan bahwa preferensi rumah tangga terhadap beras sangat besar

dan sulit diubah (Mardianto dan Ariani, 2004).

Jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai lebih dari 219 juta jiwa

dengan angka pertumbuhan 1,7 % per tahun. Angka tersebut mengindikasikan

besarnya bahan pangan yang harus tersedia. Kebutuhan yang besar jika tidak

diimbangi peningkatan produksi pangan justru menghadapi masalah bahaya latent

yaitu laju peningkatan produksi di dalam negeri yang terus menurun. Jika tidak

ada upaya untuk meningkatkan produksi pangan maka akan menimbulkan

masalah antara kebutuhan dan ketersediaan dengan kesenjangan semakin melebar.

Tabel 5. Jumlah Penduduk dan Tingkat Konsumsi beras di Indonesia

Tahun Jumlah Penduduk (jiwa) Konsumsi Beras Domestik (ton)

1998 201.537.838 28.501.481,05


1999 204.789.931 25.140.011,93
2000 208.436.800 23.401.199,54
2001 211.063.000 24.515.474
2002 213.722.300 24.611.977,95
2003 214.374.096 24.687.037,92
2004 217.072.346 25.505.827
2005 219.205.000 25.461.186,84
Sumber: Badan Pusat Statistik

Pada tabel 5 dapat diketahui bahwa konsumsi beras perkapita penduduk

Indonesia sangat tidak stabil. Pada peride tahun 1998 hingga tahun 2005

konsumsi beras domestik tertinggi adalah pada tahun 1998, kemudian terjadi

penurunan konsumsi yang sangat signifikan pada tahun 1999, yang semula

sebesar 28,5 juta ton menjadi 25,14 juta ton. Penurunan ini sangat besar

kemungkinannya disebabkan oleh kondisi krisis ekonomi dan bukan karena mulai
65

beralihnya konsumsi beras ke non beras. Selain itu hal ini juga disebabkan oleh

konsumsi beras per kapita per tahun antara penduduk pedesaan relatif lebih tinggi

jika dibandingkan dengan penduduk perkotaan, karena banyaknya jumlah

penduduk yang mempunyai golo ngan pendapatan rendah di desa jika

dibandingkan dengan perkotaan, sedangkan penduduk kota lebih cenderung

menyukai jumlah makanan cepat saji yang sebetulnya bukan berbahan baku dari

beras (Sitepu, 2002).

Fenomena penurunan konsumsi ini terus berlangsung tahun 2000,

kemudian konsumsi beras kembali berfluktuasi hingga tahun 2005. Namun jika

dilihat secara keseluruhan, terjadi penurunan konsumsi beras yang sangat

signifikan dari 28,5 juta ton pada tahun 1998 menjadi 25,46 juta ton pada tahun

2005. Hal ini terjadi akibat mulai berubahnya pola konsumsi masyarakat terutama

masyarakat perkotaan yang lebih suka mengkonsumsi roti atau berbagai sayuran

dengan tujuan mengatur pola diet khusus.

5.1.3 Perkembangan Ekspor dan Impor Beras Indonesia

Analisis perkembangan ekspor sektor pertanian dilakukan sebagai upaya

dalam mengevaluasi kinerja dan capaian pembangunan sektor pertanian secara

kuantitatif dalam meningkatkan kontribusinya terhadap penerimaan negara.

Sektor pertanian dalam hal ini meliput i subsektor tanaman pangan, khususnya

padi atau beras.

Subsektor tanaman pangan merupakan satu-satunya subsektor yang belum

berorientasi ekspor. Fokus peningkatan produktivitas komoditas tanaman pangan

lebih diarahkan pada penguatan pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri.

Karena itu dalam perdagangan internasional lebih diupayakan penekanan pada


66

bagaimana meningkatkan produksi, diversifikasi produk khususnya untuk produk

substitusi impor.

Perkembangan volume ekspor beras Indonesia selama periode tahun 1976

hingga tahun 2005 yang dapat dilihat pada lampiran 1 menunjukkan

kecenderungan berfluktuasi secara signifikan. Pada periode tahun 1976 hingga

1983 Indonesia hampir sama sekali tidak melakukan ekspor beras. Hal ini karena

pada periode tersebut Indonesia belum mampu untuk berswasembada pangan dan

untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri, Indonesia harus melakukan

impor. Namun pada periode 1984 hingga tahun 1985 mengalami peningkatan

yang relatif signifikan. Hal ini terjadi karena pada tahun 1984 Indonesia berhasil

mencapai swasembada pangan sehingga ekspor beras dapat dilakukan tanpa

mengorbankan konsumsi beras domestik.

Pada tahun 1985 hingga tahun 2000 ekspor beras mengalami fluktuasi

yang cenderung menurun, bahkan pada tahun 1995 ekspor beras Indonesia

mengalami penurunan yang sangat signifikan dibandingkan tahun 1994 yaitu dari

sebesar 233 ribu ton menjadi 10 ton. Hal ini terjadi karena terjadinya peningkatan

konsumsi perkapita dari 139,6 pada tahun 1994 menjadi 171,16 pada tahun 1995,

selain itu terjadi peningkatan jumlah panduduk sebesar 1,6 % dari tahun

sebelumnya. Keadaan ini membuat Indonesia harus mengorientasikan produksi

berasnya kepada pemenuhan kebutuhan konsumsi beras domestiknya terlebih

dahulu, sehingga ekspor beras menurun secara signifikan.

Pada tabel 6 terlihat bahwa peningkatan ekspor beras kembali dicapai oleh

Indonesia pada periode tahun 2001 hingga 2002, namun pada tahun 2003 ekspor

beras Indonesia turun kembali menjadi 1.234 ton, sedangkan pada tahun 2004
67

ekspor beras Indonesia kembali meningkat menjadi 4.495 ton dan pada akhir 2005

ekspor beras Indonesia meningkat cukup signifikan menjadi 44.285 ton.

Peningkatan ekspor beras selama dua tahun terakhir ini terjadi karena adanya

peningkatan produksi beras akibat adanya perluasan luas areal tanam melalui

pencetakan sawah-sawah baru pada tahun 2004. Selain itu peningkatan ekspor

beras tersebut juga dipicu oleh peningkatan harga beras internasional dan nilai

tukar rupiah terhadap dollar yang terjadi pada periode 2004-2005.

Tabel 6. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Beras Indonesia


Tahun 2000-2005

Tahun Volume Ekspor Beras (ton) Nilai Ekspor Beras (US$/ton)


2000 4.671 907.000
2001 5.222 997.000
2002 11.320 1.643.000
2003 1.234 679.000
2004 4.495 1.465.186
2005 44.285 8.941.927
Sumber: Departemen Pertanian.

Dari rata-rata ekspor beras Indonesia pada tahun 2000-2003, beras

Indonesia paling banyak diekspor ke negara Philippina (17,34 %), kemudian

diikuti dengan East Timur (7,89 %), Malaysia (6,06 %), dan negara-negara

lainnya (Deptan, 2004). Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia telah mampu

mengembangkan potensinya sebagai negara produsen beras, meskipun beras yang

diekspor adalah beras jenis tertentu yang kualitasnya memenuhi standar kualitas

yang ditetapkan oleh negara tujuan ekspor beras Indonesia.

Pada periode 1998-1999, terjadi penurunan produksi padi akibat adanya

bencana El Nino yang bersamaan dengan krisis ekonomi, sehingga impor beras

tertinggi yaitu mencapai 3,8 juta ton/tahun, dengan tingkat ketergantungan impor

hampir 11%. Namun, impor beras menurun drastis pada periode 2004-2005,
68

karena Indonesia melarang impor beras, kecuali beberapa jenis beras untuk

penggunaan tertentu (Tabel 7). Pada periode ini, rata-rata impor hanya 206 ribu

ton/tahun, dengan tingkat swasembada mencapai 99,5% (Sawit, 2006).

Tabel 7. Produksi, Impor/Ekspor Beras (1000 Ton), dan Tingkat Swasembada dan
Ketergantungan impor: Rataan 4 periode 1995-2005

Tingkat Tingkat
Rataan/
Produksi Impor Ekspor Swasembada Ketergantungan
Tahun
(%) Impor (%)
1995-1997 32.252 1.920,1 3,5 94,6 5,4
1998-1999 31.633 3.844,9 4,2 89,3 10,7
2000-2003 32.356 1.310,0 2,9 96,1 3,9
2004-2005 34.174 205,5 21,6 99,5 0,5
Sumber : Badan Pusat Statistik

Berdasarkan tabel 7 di atas, volume impor beras Indonesia selama dua

tahun terakhir mengalami penurunan yang cukup signifikan. Keadaan ini

disebabkan oleh adanya upaya peningkatan produktivitas padi melalui

penambahan luas areal tanam padi dan peningkatan efisiensi dalam biaya produksi

usahatani padi.

Dalam dua tahun terakhir ini, Indonesia hampir mampu 100%

berswasembada beras. Keadaan ini membuat pemerintah Indonesia pun

melemparkan sinyal bahwa impor beras akan dihentikan (Sawit, 2006). Hal ini

mengindikasikan bahwa impor beras dapat berpeluang untuk dihapuskan apabila

Indonesia mampu lebih meningkatkan produktivitas padi dan efisiensi.

Swasembada on trend merupakan salah satu program yang ditetapkan untuk

meningkatkan produksi beras domestik dalam rangka upaya memenuhi kebutuhan

konsumsi domestik dan mencapai swasembada pangan.


69

5.2 Kondisi Perberasan Dunia

5.2.1 Perkembangan Produksi Beras Dunia

Beras merupakan komoditas strategis bukan hanya bagi Indonesia tetapi

juga bagi sebagian besar negara-negara Asia, karena (1) usahatani padi masih

diusahakan oleh jutaan petani, (2) bagi sebagian negara, seperti Vietnam, Burma,

Thailand, India dan China, beras merupakan salah satu penyumbang devisa negara

yang cukup besar, dan (3) bagi masyarakat berpendapatan rendah, dimana jumlah

golongan berpendapatan tersebut masih dominan di Asia, beras masih merupakan

bahan pangan pokok yang utama.

Hampir semua negara penghasil beras di Asia gencar mengembangkan

inovasi teknologi untuk mendorong peningkatan produktivitas dan efisiensi

produksi. China semakin gencar mengembangkan padi hibrida dengan potensi

hasil yang mencapai 17,92 ton per hektar, sedangkan India sedang

mengembangkan padi rekayasa genetika yang disebut dengan golden rice, dimana

beras tersebut mengandung beta carotene (provitamin A) yang dapat digunakan

untuk membantu upaya penyelamatan jutaan anak-anak India yang kekurangan

vitamin A. Thailand, Vietnam dan Philipina saat ini juga sangat gencar

mengembangkan varietas unggul padi untuk lahan kering dan rawa/pasang surut

(Mardianto dan Ariani, 2004).

Produksi beras dunia tahun 2002 meningkat dibandingkan tahun 2001 dari

398,1 juta ton menjadi 398,6 juta ton sejalan dengan meningkatnya produksi beras

di negara-negara produsen utama seperti Vietnam, Thailand, dan Myanmar,

namun kembali turun pada tahun 2003 menjadi 378,3 juta ton dan meningkat

kembali pada tahun 2004. Bahkan pada tahun 2004 produksi beras dunia
70

mencapai 395,8 juta ton, naik 4,4 % dari tahun sebelumnya. Walaupun

perkembangan luas panen padi dunia cukup berfluktuasi pada tahun-tahun tertentu

namun karena produktivitasnya selalu bergerak naik maka laju produksi padi

dunia juga cenderung mengalami peningkatan.

Berdasarkan tabel 8 dapat dilihat bahwa China merupakan negara dengan

share produksi terbesar (32 % dari total produksi beras dunia) dan kemudian

diikuti oleh India dengan share produksi sebesar 21 % dari total produksi total

beras dunia. Indonesia merupakan produsen beras ke tiga dunia dengan share

produksi sebesar 9 %. Hal ini didukung oleh keadaan alam ketiga negara yang

berpotensi untuk menghasilkan beras.

Tabel 8. Produksi Beras Dunia Tahun 2001-2004

Negara Tahun Share


(000 ton) Ratio
2001 2002 2003 2004 (%)
China 131 536 124 306 122 180 121 438 33
India 84 871 93 080 72 700 86 667 21
Indonesia 32 960 32 960 33 411 34 571 9
Bangladesh 25 086 24 310 25 187 25 917 6
Vietnam 20 473 21 036 21 527 21 403 5
Thailand 17 057 17 499 17 198 17 792 4
Lainnya 86 124 85474 86 110 88 069 22
Total 398 107 398 665 378 313 395 856 100
Sumber: USDA, Diolah Subdit Pemasaran Internasional Tanaman Pangan, Tahun 2004

5.2.2 Perkembangan Konsumsi Beras Dunia


Lonjakan permintaan beras di dunia sulit dibendung, dengan

bertambahnya jumlah penduduk, semakin bertambah pula jumlah konsumsi,

terutama negara China, India, Indonesia, termasuk Amerika Serikat. Meskipun

China, India, dan Indonesia merupakan negara produsen beras yang utama,

namun demikian kebutuhan konsumsi domestik ketiga negara juga sangat tinggi,
71

sehingga produksi domestik lebih dahulu difokuskan untuk memenuhi kebutuhan

konsumsi domestik.

Dari tabel 9 dapat dilihat bahwa China merupakan negara pengkonsumsi

beras yang tertinggi, hal ini karena China memiliki populasi terbesar di dunia,

sehingga tergolong paling banyak mengkonsumsi beras. Kemudian disusul

dengan negara India dan indonesia yang populasi penduduknya juga besar.

Namun demikian secara keseluruhan dari tahun ke tahun konsumsi beras

menunjukkan tren yang meningkat. Untuk itu maka produksi beras pun meningkat

selaras dengan kenaikan permintaan. Berbagai negara berupaya untuk memenuhi

kebutuhan konsumsi berasnya dengan mendorong produksi beras dalam negeri.

Tabel 9. Konsumsi Beras Dunia Tahun 1999/2000-2002/2003

Negara 1999/2000 2000/2001 2001/2002 2002/2003


China 133.763 134.356 134.595 134.800
India 82.670 75.851 82.251 84.000
Indonesia 35.400 35.877 36.358 36.790
Banglades 23.766 25.790 26.250 26.250
Vietnam 16.771 17.275 17.400 17.700
Thailand 9.300 9.400 9.500 9.600
Burma 9.330 9.350 9.400 9.475
Filipina 8.400 8.750 8.900 9.105
Jepang 9.450 9.000 9.000 9.000
Brasil 7.956 7.956 7.958 8.000
Korsel 4.986 5.000 5.100 5.100
AS 3.846 3.676 3.889 3.969
Mesir 2.856 3.015 3.150 3.275
Iran 3.019 3.050 3.075 3.100
Uni Eropa 2.190 2.207 2.215 2.190
Korea Utara 2.000 1.837 1.500 1.950
Taiwan 1.315 1.265 1.150 1.150
Afrika Selatan 531 525 550 600
Lain- lain 40.788 42.168 41.696 42.607
Total dunia 398.337 396.348 403.937 408.661
Sumber : USA Rice Federation

Produksi beras sebagian besar dihasilkan oleh negara-negara Asia.

Produksi beras tersebut diorientasikan terlebih dahulu untuk memenuhi


72

kebutuhan konsumsi domestik, kemudian ketika konsumsi domestik telah

terpenuhi dan tercipta surplus produksi, maka surplus produksi tersebut akan

diekspor ke negara lain.

5.2.3 Perkemba ngan Ekspor dan Impor Beras Dunia

Banyak negara produsen beras yang mengorientasikan produksi berasnya

selain untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri, juga untuk diekspor. Ekspor

beras merupakan implikasi adanya surplus produksi beras suatu negara. Oleh

karena itu surplus beras yang diperdagangkan di pasar dunia tidak stabil karena

pengaruh musim dan ketahanan pangan masing- masing negara. Situasi seperti ini

mengisyaratkan bahwa sebagian besar produksi beras dunia digunakan untuk

konsumsi domestik, sehingga surplus yang diperdagangkan sangat terbatas.

Sejak tahun 2001, Thailand merupakan negara pengekspor terbesar dengan

realisasi ekspor sebesar 7,5 juta ton, kemudian disusul oleh Vietnam yang

menempati urutan ke dua sebagai negara pengekspor beras dengan realisasi

ekspor sebesar 3,5 ton, dan pada urutan ke tiga ada USA dengan realisasi ekspor

sebesar 2,5 juta ton. Namun demikian keadaan ini tidak bertahan lama. Pada tahun

2002, posisi ke dua sebagai negara pengekspor beras ditempati oleh India dengan

total realisasi ekspor sebesar 6,6 juta ton, dan pada urutan pertama tetap diduduki

oleh Thailand dengan realisasi ekspor sebesar 7,2 juta ton meskipun jumlah ini

lebih sedikit dibanding tahun sebelumnya.

Ekspor beras dunia tahun 2004 terbesar tetap dipasok oleh Thailand

sebesar 8,9 juta ton sehingga Thailand merupakan eksportir terbesar dunia.

Sedangkan pada tahun 2004, Vietnam memasok sebesar 4 juta ton (eksportir
73

terbesar ke dua), Amerika Serikat memasok sebesar 3 juta ton, dan China

memasok sebesar 1,3 juta ton. Keadaan tersebut dapat terlihat pada tabel 10.

Sedangkan pada tahun 2005 Thailand masih merupakan negara

pengekspor beras terbesar dunia dengan realisasi ekspor beras me ncapai 7 juta

ton. Hal ini terjadi karena hanya separuh produksi beras Thailand yang

dikonsumsi oleh masyarakatnya. Urutan kedua sebagai negara pengekspor beras

ditempati oleh Vietnam, dengan volume ekspor beras sebesar 5 juta ton.

Selanjutnya, Amerika Serikat dan India menempati urutan ketiga dan keempat,

dengan volume ekspor masingmasing sebesar 3,7 juta ton dan 3,5 juta ton,

kemudian disusul oleh Pakistan sebesar 2,8 juta ton (Outlook Tanaman Pangan,

Departemen Pertanian, 2007).

Tabel 10. Perkembangan Ekspor Beras Dunia Tahun 2001-2004

Negara Tahun Share


(000 ton) Ratio

2001 2002 2003 2004 (%)


Thailand 7.521 7.245 7.552 8.942 30
India 1.936 6.650 4.421 2.542 15
USA 2.541 3.295 3.843 3.192 12
Vietnam 3.528 3.245 3.795 3.900 14
China 1.847 1.963 2.583 1.263 7
Pakistan 2.417 1.603 1.958 1.858 7
Lainnya 4.633 3.866 3.498 3.404 15
Total 24.423 27.867 27.650 25.099 100
Sumber : Subdit Pemasaran Internasional Tanaman Pangan, Tahun 2004

Sedangkan pada tabel 11 tidak semua negara produsen beras menjadi

negara pengekspor. Indonesia misalnya merupakan salah satu produsen utama

dunia, namun bukan merupakan negara pengekspor beras. Hal ini terjadi karena

tingginya konsumsi domestik terhadap komoditas beras. Lain halnya dengan

negara-negara lainnya yang menjadi negara pengimpor beras, negara-negara


74

tersebut mengimpor beras karena negaranya tidak memiliki keunggulan

komparatif dalam memproduksi beras atau hanya dapat memproduksi beras dalam

jumlah yang relatif sedikit, sehingga untuk mencukupi kebutuhan pangan beras

domestik, mereka harus melakukan impor.

Dari tabel 11 dapat dilihat bahwa dari volume beras yang diperdagangkan

di pasar internasional pada kurun waktu tahun 2001 hingga 2004 sebanyak 30 %

diserap oleh enam negara importir beras, yaitu Indonesia (9 %), Nigeria (6 %),

Philipina (4 %), Iraq (4 %), EU-25 ($ %). Total impor keenam negara tersebut

pada tahun 2001 adalah sebesar 24,4 juta ton dan terus mengalami peningkatan

sampai tahun 2003. Beras yang diimpor adalah total berbagai jenis beras yang

diperdagangankan di pasar internasional.

Tabel 11. Perkembangan Impor Beras Dunia Tahun 2001-2004

Negara Tahun Share


(000 ton) Ratio

2001 2002 2003 2004 (%)


Indonesia 1.500 3.500 2.750 1.238 9
Nigeria 1.906 18.973 1.600 1.425 6
Philipina 1.175 1.250 1.300 992 4
Iraq 959 17.178 672 1.100 4
EU-25 1.189 1.173 1.189 1.008 4
Iran 765 964 900 963 3
Lainnya 16.929 17.905 19.239 18.454 70
Total 24.423 27.867 27.179 25.179 100
Sumber : Subdit Pemasaran Internasional Tanaman Pangan, Tahun 2004

Pada tahun 2004, impor beras oleh negara- negara pengimpor cenderung

menurun, hal ini terlihat dari total impor beras yang dihasilkan oleh negara-negara

tersebut pada tahun 2004 hanya sebesar 25,1 juta ton yang menurun sebanyak 2

juta ton dibandingkan denga n tahun sebelumnya. Hal ini terjadi karena terjadi
75

peningkatan produksi beras pada negara-negara pengimpor beras, sehingga

kebutuhan konsumsi sebagian besar telah terpenuhi oleh produksi domestik.

5.3 Keadaan Pergerakan Harga Beras Domestik, Harga Beras Internasional,

dan Nilai Tukar.

Perkembangan harga beras domestik pada periode tahun 1995 hingga 2005

menunjukkan angka yang berfluktuasi. Perkembangan harga beras domestik

cenderung tidak stabil sejak awal krisis ekonomi pada Juli 1997. Para peneliti

menyimpulkan bahwa ketidakstabilan harga beras dalam negeri ditentukan oleh

faktor ketidakstabilan nilai tukar rupiah terhadap dollar (US$) daripada

berkurangnya suplai beras dalam negeri (Amang dan Sawit, 1999).

Harga beras internasional atau harga beras dunia sangat bergantung pada

pasokan beras dari negara Thailand dan Vietnam karena kedua negara tersebut

merupakan negara besar dalam mengekspor beras. Patokan harga beras

internasional adalah harga beras (FOB) kualitas 25 persen Broken di Bangkok.

Pada saat panen raya, harga beras di pasaran internasional akan cenderung

menurun. Sebaliknya, pada saat musim paceklik, harga beras di pasaran

internasional akan cenderung meningkat. Trend harga beras di pasar dunia pada

dasawarsa 1974-1980 meningkat sebesar 1,85 persen per tahun, pada dasawarsa

1981-1990 sebesar 0,98 persen per tahun, dan pada dasawarsa 1991-2001

menurun sebesar -3,56 persen per tahun (Purwoto et al., 2002).

Pada tabel 12 terlihat bahwa mulai tahun 1997 harga beras internasional

cenderung menurun. Penurunan ini terkait erat dengan musim panen raya di

sejumlah negara penghasil beras seperti Thailand, Vietnam, dan Cina yang
76

panennya bersamaan dengan musim paceklik di Indonesia (Amang dan Sawit,

1999). Hal ini mengakibatkan banyaknya beras yang masuk ke pasar dalam

negeri. Selain itu nilai tukar rupiah terhadap dollar menunjukkan tren yang

meningkat dimana nilai rupiah semakin melemah. Dengan keadaan tersebut,

meskipun harga beras di pasar internasional cenderung menurun, namun karena

nilai rupiah melemah, maka harga beras internasional tetap lebih tinggi dari harga

beras domestik. Fenomena ini berlangsung hingga tahun 2003.

Tabel 12 . Perkembangan Harga Beras Domestik, Harga Beras Internasional, dan


Nilai Tukar
Tahun Harga Beras Harga Beras Nilai Tukar
Domestik Internasional Rupiah
(Rp/kg) (US$/kg) Terhadap dollar
1995 776,38 0,304 2.308
1996 880 0,331 2.383
1997 1.063,8 0,289 4.650
1998 2.099,03 0,275 8.025
1999 2.665,58 0,216 7.100
2000 2.215 0,173 9.595
2001 2.449 0,153 10.400
2002 2.842 0,175 8.940
2003 2.759 0,182 8.465
2004 2.795 0,225 9.290
2005 3.332 0,265 9.900
Sumber: Badan Pusat Statistik.

Pada tahun 2004 harga beras internasional cenderung meningkat dari

0,182 US$/kg pada tahun 2003 menjadi 0,225 US$/kg. Selain itu harga beras

domestik juga meningkat walaupun hanya meningkat sebesar Rp.36,00 dari

Rp.2.759.,00 menjadi Rp.2.795,00. Pada saat yang sama nilai tukar rupiah

terhadap dollar meningkat dari Rp.8.465,00/US$ menjadi Rp.9.290,00/US$ yang

mengindikasikan nilai rupiah yang melemah. Hal ini merupakan peluang bagi

Indonesia untuk melakukan ekspor beras sebagai implikasi dari harga beras

internasional yang meningkat dan nilai rupiah yang melemah, meskipun harga
77

beras domestik juga meningkat. Hal ini berlangsung hingga tahun 2005 sehingga

ekspor beras meningkat cukup signifikan.

Pergerakan Harga Beras Domestik, Harga Beras


Internasional, dan Nilai Tukar

12000
HEt,HDt,ERt

10000
8000
6000
4000
2000
0
80

82

88

90

96

98

04
78

86

94

02
76

84

92

00
19

19

19

19

19

19

20
19

19

19

20
19

19

19

20
Tahun

HEt HDt Ert

Gambar 4. Pergerakan Harga Beras Domestik, Harga Beras Internasional, dan


Nilai Tukar

Peningkatan dan penurunan harga beras di tingkat konsumen domestik

dalam dasawarsa terakhir 1995-2001 praktis tidak dipengaruhi oleh dinamika

harga beras di pasar dunia, tetapi dipengaruhi sepenuhnya oleh dinamika nilai

tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Penurunan harga beras di pasar

dunia pada dasawarsa 1991-2001 pada hakekatnya merupakan konsekuensi logis

pemberlakuan liberalisasi perdagangan global sejak awal dasawarsa 1990-an.

Dalam era liberalisasi perdagangan global, penurunan harga komoditas

pangan di pasar dunia tidak secara otomatis akan menurunkan harga komoditas

pangan serupa di tingkat konsumen domestik selama persentase penurunan harga

komoditas pangan di pasar dunia jauh lebih rendah dibandingkan dengan

persentase kenaikan nilai tukar (persentase depresiasi nilai tukar) (Purwoto et al.,

2006).
78

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN

EKSPOR BERAS INDONESIA

6.1 Uji Empiris Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Beras

Indonesia

Berdasarkan model yang dirumuskan yaitu model linier berganda dengan

metode Ordinary Least Square (OLS), maka pada bagian ini disajikan nilai-nilai

dan hasil pendugaan model secara keseluruhan yaitu koefisien determinasi (R2 ),

uji F, uji t statistik, uji multikolinier, dan uji korelasi. Selanjutnya dilakukan

pembahasan mengenai implikasi ekonomi dari tanda dan besaran parameter

dugaan serta nilai-nilai elastisit as yang relevan untuk setiap persamaan dalam

model.

Pada penelitian ini model persamaan faktor- faktor yang mempengaruhi

produksi beras Indonesia dimodifikasi menjadi bentuk logaritma natural karena

dengan mengubah bentuk model persamaan menjadi bentuk logaritma natural

menghasilkan estimasi nilai koefisien determinasi (R2 ) yang jauh lebih baik

daripada nilai koefisien determinasi (R2 ) yang dihasilkan pada bentuk model

persamaan linier biasa, selain itu transformasi model tersebut meniadakan

heteroskedastisitas pada model.

Pada umumnya keragaan hasil model ekonometrik produksi beras

Indonesia sangat baik, dimana memiliki nilai koefisien determinasi sebesar 98,6

% untuk persamaan produksi beras Indonesia. Nilai R2 sebesar 98,6 % pada model

persamaan produksi beras Indonesia menjelaskan bahwa kemampuan variabel


79

eksogen dalam menjelaskan variabel endogennya sebesar 98,6 % dan sisanya

sebesar 1,4 % dijelaskan oleh variabel eksogen di luar model.

Pengujian parameter secara keseluruhan untuk faktor yang mempengaruhi

produksi beras Indonesia, dimaksudkan untuk melihat pengaruh bersama-sama

antara variabel bebas (variabel eksogen) dengan variabel tak bebas (endogen).

Pengujian ini dapat dilakukan dengan melihat nilai P value pada Analysis of

Variance yaitu sebesar 0,000 yang menunjukkan bahwa variabel- variabel penjelas

yang ada di dalam model berpengaruh nyata pada taraf 0,01 secara bersama-sama

terhadap volume produksi beras Indonesia. Selain itu pengujian parameter dapat

pula dilakukan dengan melihat nilai F hitung model tersebut. Pada model tersebut

dihasilkan nilai F hitung sebesar 442,86 yaitu lebih besar dibanding nilai F tabel

sebesar 4,18 pada taraf nyata 0,01. Hal ini berarti bahwa secara bersama-sama

luas areal panen padi Indonesia, harga dasar gabah, pupuk urea, dan curah hujan

berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 99 persen. Hal ini menunjukkan

bahwa variasi peubah-peubah eksogen dalam persamaan tersebut secara bersama-

sama dapat menjelaskan dengan baik variasi peubah endogennya.

Selain itu berdasarkan uji autokorelasi dengan menggunakan Durbin

Watson yang dihitung dengan menggunakan program Minitab 14, persamaan

faktor- faktor yang mempengaruhi produksi beras Indonesia memiliki nilai DW

sebesar 1,66077. Nilai ini berada diantara dL (0,94) dan 4 - dU (1,51), dimana nilai

ini mencerminkan tidak terdapatnya autokorelasi dalam model persamaan

tersebut.

Pengujian terhadap masalah normalitas, dilakukan dengan menggunakan

uji Kolmogorov-Smirnov. Pada grafik Kolmogorov–Smirnov di lampiran 4


80

terlihat bahwa titik-titik galat yang ada tergambar segaris. Hal ini juga dibuktikan

dengan P value (0,15) yang lebih besar dari α (5 persen). Maka dapat dinyatakan

bahwa galat model faktor-faktor yang mempengaruhi produksi beras Indonesia

menyebar secara normal. Syarat lain yang harus dipenuhi dalam asumsi Ordinary

Least Square (OLS) adalah syarat homoskedastisitas yang mengharuskan galat

menyebar secara homogen. Dengan melihat grafik residual versus the fitted

values seperti yang terlihat dalam lampiran 4 dimana galat menyebar dan tidak

membentuk pola, maka dapat disimpulkan bahwa galat menyebar secara

homogen.

Tabel 13. Hasil Pendugaan Persamaan Produksi Beras Indonesia

Variabel Koefisien t-Hitung P value VIF

Konstanta -3,451 -2,69 0,013


Luas areal panen (ln-LPt) 1,26647 15,21 0,000 3,0
Harga dasar gabah (ln- HGt) 0,10423 5,32 0,000 1,4
Pupuk urea (ln-PUt) 0,16919 12,57 0,000 2,9
Curah hujan (ln-CHt) 0,001546 0,24 0,815 1,0

R-sq 98,6 % F tabel 4,18


R-sq (adj) 98,4 % P value model 0,000
F statistik 442,86
Durbin Watson 1,66077

Dari hasil perhitungan analisis regresi di atas, maka dapat dijelaskan

pengaruh masing- masing variabel eksogen terhadap variabel endogen yang

berupa faktor-faktor yang mempengaruhi produksi beras Indonesia dapat

dijelaskan sebagai berikut:


81

1. Luas Areal Panen Padi Indonesia (ln-LPt)

Koefisie n regresi variabel luas areal panen padi Indonesia adalah sebesar

1,26647. Karena model persamaan dalam bentuk logaritma natural, maka nilai

koefisien regresi langsung menunjukkan nilai elastisitasnya. Nilai elastisitas

variabel luas areal panen padi bernilai 1,26647 yang berarti bahwa peningkatan

areal panen padi sebesar 1 % akan meningkatkan volume produksi beras

Indonesia sebesar 1,26647 %. Nilai elastisitas tersebut bernilai lebih besar dari

satu, yang artinya perubahan pada luas areal panen padi responsif terhadap

perubahan produksi beras Indonesia karena perubahan sebesar satu persen pada

luas areal panen padi akan mengakibatkan perubahan sebesar lebih besar dari satu

persen pada produksi beras Indonesia. Tanda positif pada variabel luas areal

panen padi Indonesia sesuai denga n parameter dugaan yang diharapkan, karena

peningkatan luas areal panen padi akan meningkatkan produksi beras.

Hasil perhitungan P value variabel luas areal panen padi Indonesia bernilai

0,000 yang berarti berpengaruh nyata pada taraf 0,01 terhadap produksi beras

Indonesia. Hal tersebut menjelaskan bahwa luas areal panen padi Indonesia sangat

berpengaruh terhadap penurunan atau peningkatan produksi beras Indonesia,

dengan kata lain luas areal panen padi Indonesia merupakan salah satu faktor

utama yang mempengaruhi produksi beras Indonesia.

2. Harga dasar gabah (ln- HGt)

Koefisien regresi variabel harga dasar gabah Indonesia adalah sebesar

0,10423. Nilai tersebut menunjukkan nilai elastisitas variabel harga dasar gabah

bernilai 0,10423 yang berarti bahwa peningkatan harga dasar gabah sebesar 1 %

akan meningkatkan volume produksi beras Indonesia sebesar 0,10423 %. Nilai


82

elastisitas tersebut bernilai lebih kecil dari satu, yang artinya perubahan pada

harga dasar gabah tidak responsif terhadap perubahan produksi beras Indonesia

karena perubahan sebesar satu persen pada harga dasar gabah akan

mengakibatkan perubahan sebesar lebih kecil dari satu persen pada produksi beras

Indonesia. Tanda positif pada nilai koefisien tersebut sesuai dengan nilai

parameter dugaan yang diharapkan, dimana ketika pemerintah menetapkan harga

dasar gabah yang melindungi petani, yaitu dengan meningkatkan harga dasar

gabah, maka petani akan meningkatkan produksi padi sehingga produksi beras

juga akan meningkat..

Hasil perhitungan P value variabel harga dasar gabah bernilai 0,000 yang

berarti berpengaruh nyata pada taraf 0,01 terhadap produksi beras Indonesia. Hal

tersebut menjelaskan bahwa harga dasar gabah berpengaruh nyata terhadap

penurunan atau peningkatan produksi beras Indonesia. Ketika pemerintah

meningkatkan harga dasar gabah, maka hal ini akan menjadi insentif bagi petani

untuk meningkatkan produksinya.

3. Pupuk urea (ln-PUt)

Koefisien regresi variabel pupuk urea adalah sebesar 0,16919. Nilai

tersebut menunjukkan nilai elastisitas variabel pupuk urea bernilai 0,16919 yang

berarti bahwa peningkatan penggunaan pupuk urea sebesar 1 % akan

meningkatkan volume produksi beras Indonesia sebesar 0,16919 %. Nilai

elastisitas tersebut bernilai kurang dari satu, yang artinya perubahan pada

penggunaan pupuk urea tidak responsif terhadap perubahan produksi beras

Indonesia karena perubahan sebesar satu persen pada penggunaan pupuk urea

akan mengakibatkan perubahan sebesar kurang dari satu persen pada produksi
83

beras Indonesia. Tanda positif pada variabel pupuk urea sesuai dengan parameter

dugaan yang diharapkan, dimana secara teori ketika penggunaan pupuk urea yang

merupakan input bagi beras meningkat, maka produksi beras akan meningkat.

Hasil perhitungan P value variabel pupuk urea bernilai 0,000 yang berarti

berpengaruh nyata pada taraf 0,01 terhadap produksi beras Indonesia. Hal tersebut

menjelaskan bahwa penggunaan pupuk urea berpengaruh nyata terhadap

penurunan atau peningkatan produksi beras Indonesia, dengan kata lain

pengunaan pupuk urea merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi

produksi beras Indonesia.

4. Curah hujan (ln-CHt)

Koefisien regresi variabel curah hujan adalah sebesar 0,001546. Nilai

tersebut menunjukkan nilai elastisitas variabel curah hujan bernilai 0,001546 yang

berarti bahwa peningkatan curah hujan rata-rata sebesar 1 % akan meningkatkan

volume produksi beras Indonesia sebesar 0,001546 %. Nilai elastisitas tersebut

bernilai lebih kecil dari satu, yang artinya perubahan pada curah hujan rata-rata

tidak responsif terhadap perubahan produksi beras Indonesia karena perubahan

sebesar satu persen pada curah hujan rata-rata akan mengakibatkan perubahan

sebesar lebih kecil dari satu persen pada produksi beras Indonesia. Tanda positif

pada variabel curah hujan sesuai dengan parameter dugaan yang diharapkan.

Hasil perhitungan P value variabel curah hujan bernilai 0,815 yang berarti

tidak berpengaruh nyata terhadap produksi beras Indonesia. Hal tersebut

menjelaskan bahwa curah hujan tidak berpengaruh nyata terhadap penurunan atau

peningkatan produksi beras Indonesia, dengan kata lain curah hujan bukan

merupakan faktor utama yang mempengaruhi produksi beras Indonesia. Pada


84

kenyataannya yang terjadi di lapang, sebagian besar pertanian Indonesia sudah

tidak terlalu bergantung pada curah hujan karena telah memiliki sistem irigasi

yang baik. Sistem irigasi ini telah mampu menyimpan air (cadangan air), sehingga

ketika musim kemarau tiba, pertanian tetap berproduksi.

6.2 Uji Empiris Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ekspor Beras Indonesia

Berdasarkan model yang dirumuskan yaitu model linier yang telah

dimodifikasi menjadi model logaritma natural dengan metode Ordinary Least

Square (OLS), maka pada bagian ini disajikan nilai-nilai dan hasil pendugaan

model secara keseluruhan yaitu koefisien determinasi (R2 ), uji F, uji t statistik, uji

multikolinier, dan uji korelasi. Selanjutnya dilakukan pembahasan mengenai

implikasi ekonomi dari tanda dan besaran parameter dugaan serta nilai-nilai

elastisitas yang relevan untuk setiap persamaan dalam model.

Pada penelitian ini model persamaan faktor- faktor yang mempengaruhi

volume ekspor beras Indonesia dimodifikasi menjadi bentuk logaritma natural

karena dengan mengubah bentuk model persamaaan menjadi bentuk logaritma

natural menghasilkan estimasi nilai koefisien determinasi (R2 ) yang jauh lebih

baik daripada nilai koefisien determinasi (R2 ) yang dihasilkan pada bent uk model

persamaan linier biasa, selain itu transformasi model tersebut meniadakan

heteroskedastisitas pada model.

Pada umumnya keragaan hasil model awal ekonometrik volume ekspor

beras Indonesia cukup baik, dimana memiliki nilai koefisien determinasi sebesar

71,0 % untuk persamaan ekspor beras Indonesia. Nilai R2 sebesar 71,0 % pada

volume ekspor beras Indonesia menjelaskan bahwa kemampuan variabel eksogen


85

dalam menjelaskan variabel endogennya sebesar 71,0 % dan sisanya sebesar 29,0

% dijelaskan oleh variabel eksogen di luar model.

Pengujian parameter secara keseluruhan untuk faktor yang mempengaruhi

volume ekspor beras Indonesia, dimaksudkan untuk melihat pengaruh bersama-

sama antara variabel bebas (variabel eksogen) dengan variabel tak bebas

(endogen). Pengujian ini dapat dilakukan dengan melihat nilai P value pada

Analysis of Variance yaitu sebesar 0,000 yang menunjukkan bahwa variabel-

variabel penjelas yang ada di dalam model berpengaruh nyata pada taraf 0,01

secara bersama-sama terhadap volume ekspor beras Indonesia. Selain itu

pengujian parameter dapat pula dilakukan dengan melihat nilai F hitung model

tersebut. Pada model tersebut dihasilkan nilai F hitung sebesar 15,28 yaitu lebih

besar dibanding nilai F tabel sebesar 4,18 pada taraf nyata 0,01. Hal ini berarti

bahwa secara bersama-sama produksi beras Indonesia, nilai tukar rupiah, harga

eceran beras/harga beras domestik, dan volume impor beras berpengaruh nyata

pada selang kepercayaan 99 persen. Hal ini menunjukkan bahwa variasi peubah-

peubah eksogen dalam persamaan tersebut secara bersama-sama dapat

menjelaskan dengan baik variasi peubah endogennya.

Selain itu berdasarkan uji autokorelasi dengan menggunakan Durbin

Watson yang dihitung dengan menggunakan program Minitab 14, persamaan

faktor- faktor yang mempengaruhi volume ekspor beras Indonesia memiliki nilai

DW sebesar 1,69902. Nilai ini berada diantara dL (0,94) dan 4 - dU (1,51), dimana

nilai ini mencerminkan tidak terdapatnya autokorelasi dalam model persamaan

tersebut. Hal ini berarti model tersebut telah memenuhi salah satu syarat yang

terdapat dalam metode kuadrat terkecil biasa atau Ordinary Least Square (OLS),
86

dimana tidak terdapat autokorelasi antar kesalahan pengganggu yang berarti

kovarian.

Tabel 14. Hasil Pendugaan Persamaan Ekspor Beras Indonesia

Variabel Koefisien t-Hitung P value VIF


Konstanta -130.97 -1,36 0,185
Produksi beras (ln-PBt) 9,063 1,64 0,114 6,0
Nilai Tukar Rupiah (ln-Ert) 0,879 0,62 0,539 8,1
Harga Eceran Beras (ln- HEt) -0,404 -0,15 0,883 2,1
Konsumsi Beras per Kapita (ln- -1.6297 -4,11 0,000 1,4
CPt)
R-sq 70,1 % F tabel 4,18
R-sq (adj) 66,3 % P value model 0,000
F statistik 15,28
Durbin Watson 1,69902

Pengujian terhadap masalah normalitas, dilakukan dengan menggunakan

uji Kolmogorov-Smirnov. Pada grafik Kolmogorov–Smirnov di lampiran 6

terlihat bahwa titik-titik galat yang ada tergambar segaris. Hal ini juga dibuktikan

dengan P value (0,15) yang lebih besar dari α (5 persen). Maka dapat dinyatakan

bahwa galat model faktor- faktor yang mempengaruhi volume ekspor beras

Indonesia menyebar secara normal. Syarat lain yang harus dipenuhi dalam asumsi

Ordinary Least Square (OLS) adalah syarat homoskedastisitas yang

mengharuskan galat menyebar secara homogen. Dengan melihat grafik residual

versus the fitted values seperti yang terlihat dalam lampiran 6 dimana galat

menyebar dan tidak membentuk pola tertentu, maka dapat disimpulkan bahwa

galat menyebar secara homogen.


87

Dari hasil perhitungan di atas maka dapat dijelaskan pengaruh masing-

masing variabel eksogen terhadap variabel endogen berupa faktor-faktor yang

mempengaruhi volume ekspor beras Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Produksi Beras Indonesia (ln-PBt)

Koefisien regresi variabel produksi beras Indonesia adalah sebesar 9,063.

Nilai tersebut menunjukkan nilai elastisitas variabel produksi beras bernilai 9,063

yang berarti bahwa peningkatan produksi beras sebesar 1 % akan meningkatkan

volume ekspor beras Indonesia sebesar 9,063 %. Nilai elastisitas tersebut bernilai

lebih dari satu, yang artinya perubahan pada produksi beras responsif terhadap

perubahan volume ekspor beras Indonesia karena perubahan sebesar satu persen

pada produksi beras akan mengakibatkan perubahan sebesar lebih dari satu persen

pada volume ekspor beras Indonesia. Oleh karena itu perlu diupayakan

peningkatan produksi beras agar ekspor pun bisa meningkat. Tanda positif pada

variabel produksi beras Indonesia sesuai dengan parameter dugaan yang

diharapkan.

Hasil perhitungan P value variabel produksi beras Indonesia bernilai 0,114

yang berarti berpengaruh nyata pada taraf 0,2 terhadap volume ekspor beras

Indonesia. Hal tersebut menjelaskan bahwa produksi beras Indonesia

berpengaruh nyata terhadap penurunan atau peningkatan volume ekspor beras

Indonesia, dengan kata lain produksi merupakan salah satu faktor penting yang

mempengaruhi volume ekspor beras Indonesia.

2. Nilai Tukar Rupiah (ln-ERt)

Koefisien regresi variabel nilai tukar rupiah adalah sebesar 0,879. Nilai

tersebut menunjukkan nilai elastisitas variabel nilai tukar rupiah terhadap dollar
88

adalah 0,879 yang berarti bahwa peningkatan nilai tukar rupiah sebesar 1 % akan

meningkatkan volume ekspor beras Indonesia sebesar 0,879 %. Nilai elastisitas

tersebut bernilai kurang dari satu, yang artinya perubahan pada variabel nilai tukar

rupiah tidak responsif terhadap perubahan volume ekspor beras Indonesia karena

perubahan sebesar satu persen pada nilai tukar rupiah akan mengakibatkan

perubahan sebesar kurang dari satu persen pada volume ekspor beras Indonesia.

Tanda positif pada koefisien variabel nilai tukar rupiah sesuai dengan

parameter dugaan yang diharapkan, dimana secara teori meningkatnya nilai tukar

rupiah terhadap dollar yang berarti melemahnya nilai rupiah akan menyebabkan

permintaan terhadap dollar meningkat, sehingga ekspor cenderung dilakukan dan

ekspor beras pun akan meningkat. Selain itu dengan meningkatnya nilai tukar,

berarti daya saing produk negara Indonesia di pasar internasional lebih tinggi

sehingga mendorong peningkatan ekspor.

Hasil perhitungan P value variabel nilai tukar rupiah terhadap dollar

adalah 0,539 yang berarti bahwa variabel nilai tukar rupiah tidak berpengaruh

secara nyata terhadap volume ekspor beras Indonesia. Hal ini berarti nilai tukar

bukan menjadi faktor utama yang mempengaruhi peningkatan atau penurunan

volume ekspor beras.

3. Harga Beras Domestik atau Harga Beras Eceran (ln-HEt)

Koefisien regresi harga beras domestik atau harga eceran beras adalah

sebesar -0,404. Nilai tersebut menunjukkan nilai elastisitas variabel harga beras

domestik atau harga eceran beras bernilai -0,404 yang artinya bahwa peningkatan

harga beras domestik sebesar 1 % akan menurunkan volume ekspor beras

Indonesia sebesar -0,404 %. Nilai elastisitas tersebut bernilai kurang dari satu,
89

yang artinya perubahan pada harga beras domestik tidak responsif terhadap

perubahan volume ekspor beras Indonesia karena perubahan sebesar satu persen

pada harga beras domestik akan mengakibatkan perubahan sebesar kurang dari

satu persen pada volume ekspor beras Indonesia.

Tanda negatif pada koefisien variabel harga beras domestik atau harga

beras eceran sesuai dengan parameter dugaan yang diharapkan. Hal tersebut

menjelaskan bahwa ketika harga beras domestik cenderung rendah atau menurun,

maka ekspor beras cenderung tinggi karena produsen beras atau pedagang akan

memilih mencari keuntungan dengan melakukan ekspor daripada menjual beras di

dalam negeri.

Hasil perhitungan P value variabel harga beras domestik atau harga beras

eceran bernilai 0,883 yang berarti tidak berpengaruh nyata terhadap volume

ekspor beras Indonesia. Hal ini berarti bahwa penurunan atau peningkatan pada

harga beras domestik tidak mempengaruhi secara nyata peningkatan atau

penurunan volume ekspor beras Indonesia.

4. Konsumsi beras per kapita (ln-CPt)

Koefisien regresi variabel konsumsi beras per kapita adalah sebesar -

1,6297. Nilai tersebut menunjukkan nilai elastisitas variabel konsumsi beras per

kapita bernilai -1,6297 yang artinya bahwa peningkatan konsumsi beras per kapita

sebesar 1 % akan menurunkan vo lume ekspor beras sebesar 1,6297 %. Nilai

elastisitas tersebut bernilai lebih dari satu, yang artinya perubahan pada konsumsi

beras per kapita responsif terhadap perubahan volume ekspor beras Indonesia

karena perubahan sebesar satu persen pada konsumsi beras per kapita akan
90

mengakibatkan perubahan sebesar lebih dari satu persen pada volume ekspor

beras Indonesia.

Tanda negatif pada koefisien variabel konsumsi beras per kapita sesuai

dengan parameter dugaan yang diharapkan. Hal tersebut menjelaskan bahwa

ekspor beras dilakukan ketika terjadi surplus produksi. Ketika konsumsi per

kapita yang menunjukkan selera masyarakat untuk mengkonsumsi beras menurun,

maka kelebihan produksi akan digunakan untuk ekspor.

Hasil perhitungan P value variabel konsumsi beras per kapita bernilai

0,000 yang berarti berpengaruh nyata pada taraf 0,01 terhadap volume ekspor

beras Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi beras per kapita

merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi volume ekspor beras

Indonesia.

6.3 Definisi Variabel yang Digunakan

1. Produksi beras Indonesia adalah jumlah total produksi beras di Indonesia yang

dinyatakan dalam satuan ton. Periode waktu yang digunakan adalah tahun

1976-2005.

2. Luas areal panen padi adalah luas areal panen padi yang dinyatakan dengan

satuan hektar (Ha).

3. Harga dasar gabah adalah kebijakan harga yang diterapkan oleh pemerintah

untuk melindungi petani, yang telah dideflasi (1995 = 100) dengan Indeks

Harga Konsumen (IHK) dinyatakan dalam satuan rupiah per kilogram (Rp/kg).

Periode waktu yang digunakan adalah tahun 1976-2005.


91

4. Pupuk urea dalam penelitian ini adalah jumlah pupuk urea yang digunakan

dalam usahatani padi, yang merupakan pupuk utama dalam produksi padi.

Periode waktu yang digunakan adalah tahun 1976-2005

5. Curah hujan merupakan jumlah curah hujan rata-rata tiap tahun yang diwakili

oleh jumlah curah hujan di sentar produksi padi Indonesia, yaitu di pulau Jawa

yang dinyatakan dalam satuan mm per tahun (mm/tahun). Periode waktu yang

digunakan adalah tahun 1976-2005

6. Volume Ekspor beras adalah jumlah seluruh beras yang di ekspor ke luar

negeri, tidak termasuk ekspor legal, dinyatakan dalam satuan ton. Periode

waktu yang digunakan adalah tahun 1976-2005.

7. Nilai tukar rupiah terhadap dollar adalah perbandingan dari perubahan mata

uang terhadap mata uang negara lain, dinyatakan dalam satuan Rupiah per

Dollar Amerika (Rp/US$) . Periode waktu yang digunakan adalah tahun 1976-

2005.

8. Harga beras eceran adalah harga rata-rata beras di pasar domestik Indonesia

yang telah dideflasi (1995=100) dengan Indeks Harga Konsumen (IHK)

dinyatakan dalam satuan rupiah per kilogram (Rp/kg). Periode waktu yang

digunakan adalah tahun 1976-2005.

9. Konsumsi beras per kapita adalah rata-rata jumlah beras yang dikonsumsi oleh

seseorang, yang menunjukkan selera masyrakat dalam menkonsumsi beras,

dinyatakan dalam satuan kilogram per kapita per tahun (Kg/kapita/tahun).

Periode waktu yang digunakan adalah tahun 1976-2005.


92

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian, dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi beras Indonesia terdiri dari luas

areal panen padi Indonesia, harga dasar gabah, pupuk urea, dan curah hujan.

Dari hasil perhitungan didapatkan bahwa semua variabel yang digunakan

berpengaruh nyata secara bersama-sama dalam peningkatan dan penurunan

volume produksi beras Indonesia. Hasil analisis regresi menyatakan bahwa dari

keempat variabel eksogen terdapat tiga variabel eksogen yang berpengaruh

nyata terhadap produksi beras Indonesia, yaitu luas areal panen padi Indonesia

(pada taraf 0,01), harga dasar gabah (0,01), dan pupuk urea (pada taraf 0,01).

Sedangkan variabel eksogen yang tidak berpengaruh nyata adalah variabel

curah hujan dengan nilai P value 0,815.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi volume ekspor beras Indonesia terdiri dari

produksi beras Indonesia, nilai tukar rupiah terhadap dollar, harga beras eceran,

dan konsumsi beras per kapita. Dari hasil perhitungan didapatkan bahwa semua

variabel yang digunakan berpengaruh nyata secara bersama-sama dalam

peningkatan dan penurunan volume ekspor beras Indonesia. Hasil analisis

regresi menyatakan bahwa dari keempat variabel eksogen terdapat dua variabel

eksogen yang berpengaruh nyata terhadap volume ekspor beras Indonesia,

yaitu produksi beras Indonesia (pada taraf 0,2) dan konsumsi beras per kapita

(pada taraf 0,01). Sedangkan variabel eksogen yang tidak berpengaruh nyata
93

adalah nilai tukar rupiah terhadap dollar dengan nilai P value 0,539 dan harga

beras eceran dengan nilai P value 0,883.

7.2 Saran

1. Menciptakan kebijakan yang mendukung pertanian di indonesia, misalnya

dengan memberikan subsidi pupuk bagi para petani dengan cara yang bijak dan

tepat sehingga tersedia dalam jumlah dan harga yang memadai, mengingat

pupuk urea merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi produksi

beras Indonesia. Selain itu menetapkan kebijakan harga dasar gabah yang

melindungi petani, sehingga hal tersebut memberikan insentif bagi petani

untuk meningkatan produksi padi.

2. Perlu diupayakan peningkatan luas areal tanam padi untuk meningkatkan

produksi padi Indonesia, sehingga produksi beras pun akan meningkat. Selain

itu perlu diupayakan adanya diversifikasi pangan untuk mengurangi

ketergantungan konsumsi pada beras.

3. Membina, menjaga, dan mengembangkan pasar ekspor beras yang sudah ada.

Mengorientasikan produksi beras bukan hanya untuk konsumsi tetapi juga

untuk mulai mengembangkan ekspor beras.

4. Saran bagi penelitian selanjutnya adalah mencoba melakukan penelitian ini

dengan metode two stage least square (2SLS) dengan menggunakan model

persamaan simultan. Dapat juga mencoba dengan membagi rentang waktu

penelitian antara waktu sebelum terjadinya krisis ekonomi dengan waktu

setelah terjadi krisis ekonomi.


94

DAFTAR PUSTAKA

Amang Beddu dan M. Husein Sawit. 1999. Kebijakan Beras dan Pangan
Nasional. IPB Press: Jakarta.

Amelia, Indah Yulianti. 2006. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Impor


Ilegal Daging Sapi dan Susu Indonesia. Skripsi. Departemen Sosial
Ekonomi Ekonomi Pertanian.

Azziz, Arisf abdul. 2006. Analisis Impor Beras Serta Pengaruhnya Terhadap
Harga Beras Dalam Negeri. Skripsi. Jurusan Ilmu- ilmu Sosial Ekonomi
Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Badan Pusat Statistik 2000. Statistik Indonesia 1999. Badan Pusat Statistik.
Jakarta.

Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2004. Menyemarakkan Tahun Padi


Internasional 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman pangan.

Departemen Pertanian, 2004. Database Subdit Pemasaran Internasional Tanaman


Pangan.

Doll, John, and Frank Orazem. 1984. Production Economic. USA: John Wiley
and Sons.

Gujarati, Damodar. 1991. Ekonometrika dasar. Jakarta: Erlangga.

Iswardono. 1994. Teori Ekonomi Mikro. Jakarta: Gunadarma.

Kasryno, dkk. 2002. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Bogor: Pusat Penelitian
dan Pengembangan Sosial Ekonomi.

Khumaidi, Muhammad. 1997. Beras Sebagai Pangan Pokok Utama Bangsa


Indonesia, Keunikan dan Tantangannya. Fakultas Pertanian. Institut
Pertanian Bogor.
95

Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of


Econometrics. Harper and Row publisher Inc. New York, USA.

Lipsey, Richard. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Jakarta: Binarupa Aksara.

Lubis, Syafrida Kesuma. 2006. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi


Ekspor Nenas Segar Indonesia. Program Studi Manajemen Agribisnis.
Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Mankiw, N. Gregory. 2000. Teori Makroekonomi. Edisi Keempat. Jakarta:


Erlangga

Mardianto, Sudi, dan Mewa Ariano. 2004. Kebijakan Proteksi dan Komoditas
Beras di Asia dan Prospek Pengembangannya di Indonesia. Bogor: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi.

Mulyana, Andy. 1998. Keragaan Penawaran dan Permintaan Beras Indonesia


dan Prospek Menuju Perdagangan Bebas, Suatu Analisis Simulasi.
Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Novansi. 2006. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volume Ekspor Beberapa


Buah-buahan Penting Di Indonesia. Skripsi. Program Sarjana Ekstensi
Manajemen agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Outlook Komoditas Pertanian Tanaman Pangan. 2006. Pusat Data dan Informasi
Pertanian. Jakarta: Departemen Pertanian.

Purnamasari, Rika. 2006. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi


dan Impor Kedelai di Indonesia. Skripsi. Program Studi Ekonomi
Pertanian dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Purwoto, Adreng dkk. 2006. Korelasi Harga dan Derajat Integrasi Spasial
Antara Pasar Dunia dan Pasar Domestik untuk Komoditas Pangan Dalam
Era Liberalisasi Perdagangan (Kasus Propinsi Sulawesi Selatan). Bogor:
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.

Rachman, dkk. 2004. Efisiensi dan Daya Saing Sistem Usahatani Padi. Bogor:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi.
96

Saleh, Yopi. 2005. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan


Ekspor Tomat Indonesia. Jurusan Ilmu- ilmu Sosial Ekonomi Pertanian.
Institut Pertanian Bo gor.

Salvator, Dominick. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi ke lima. Jakarta: Penerbit


Erlangga.

Sambudi, Selo. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Ekspor


Kopi Arabika Indonesia. Skripsi. Departemen Sosial Ekonomi Pertanian.
Institut Pertanian Bogor.

Sawit, Husein. 2006. Indonesia Dalam Tatanan Perubahan Perdagangan Beras


Dunia. Jurnal. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian.

Simbolon, John sri Cay. 2005. Analisis Integrasi Pasar Beras Domestik dengan
Pasar Beras Dunia dan Pengaruh Adanya Tarif Impor. Skripsi.
Departemen Sosial Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Sitepu, Rasidin Karo-Karo. 2002. Dampak Kebijakan Perdagangan dan


Liberalisasi Perdagangan terhadap Permintaan dan Penawaran Beras Di
Indonesia. Tesis. Program Pascasarjana.

Situmorang, Manris Tua. 2005. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi


Produksi dan Impor Beras Indonesia. Skripsi. Jurusan ilmu- ilmu Sosial
Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Sumarno, 2006. Adakah Peluang untuk Ekspor Beras Bagi Indonesia. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Sinar tani Edisi 3-9 Mei
2006 No. 3148.

Suryana, Achmad dkk. 2001. Bunga Rampai Ekonomi Beras. Jakarta: LPEM-
FEUI.

Tambunan, Tulus T H. 2003. Perekonomian Indonesia: Beberapa Permasalahan


Penting. Cetakan 1. Jakarta: Ghalia Indonesia.
97
98

Lampiran 1. Produksi Padi, Produksi Beras, Luas Panen Padi, Konsumsi


Beras Domestik, dan Ekspor Beras Tahun 1976-2005

Tahun PPt PBt LPt KBt Xt


1976 23.300.939 15.844.639 8.368.759 15.731.443,45 0
1977 23.347.132 15.876.050 8.359.569 16.724.960,67 0
1978 25.771.570 17.524.668 8.929.169 16.976.031,84 0,40
1979 26.282.663 17.872.211 8.803.564 18.266.922,24 0
1980 29.651.905 20.163.296 9.005.065 19.235.251,8 0
1981 32.774.176 22.286.440 9.381.839 20.067.926,34 0
1982 33.583.677 22.836.900 8.988.455 21.405.122,91 0
1983 35.303.106 24.006.112 9.162.469 22.794.867,13 0
1984 38.136.446 25.932.783 9.769.580 22.671.028,12 10.979
1985 39.032.945 26.542.403 9.902.293 23.693.722,82 405.120
1986 39.726.761 27.014.197 9.988.453 24.895.415,44 241.000
1987 40.078.195 27.253.173 9.922.594 22.338.652,27 119.000
1988 41.676.170 28.339.796 10.138.155 26.882.856,39 20.000
1989 44.725.582 30.413.396 10.521.207 25.366.786,33 139.000
1990 45.178.751 29.366.188 10.502.419 23.079.944,54 18.000
1991 44.688.247 29.047.361 10.281.519 25.821.995,12 100.000
1992 48.240.009 31.356.006 11.103.317 29.954.735,13 73.000
1993 48.181.087 31.317.707 11.012.776 25.318.549,35 564.000
1994 46.641.524 30.316.991 10.733.830 26.478.639,77 233.000
1995 49.744.140 32.333.691 11.438.764 32.984.720,79 10
1996 51.101.506 33.215.979 11.569.729 25.854.255,41 200
1997 49.377.054 31.107.544 11.140.594 27.347.728,83 60
1998 49.236.692 31.019.116 11.730.325 28.501.481,05 1.980
1999 50.866.387 32.045.824 11.963.204 25.140.011,93 2.700
2000 51.898.852 32.696.277 11.793.475 23.401.199,54 4.671
2001 50.460.782 31.790.293 11.499.997 24.515.474 5.222
2002 51.489.694 32.438.507 11.521.166 24.611.977,95 11.320
2003 52.078.830 32.809.663 11.477.357 24.687.037,92 1.234
2004 54.088.468 34.075.735 11.922.974 25.505.827 4.495
2005 54.056.282 34.055.458 11.818.913 25.461.186,84 44.285
Sumber: Badan Pusat Statistik

Keterangan:

PPt = Jumlah Produksi Padi Tahun t (ton)

PBt = Jumlah Produksi Beras Tahun t (ton)

LPt = Luas Panen Padi (ha)

KBt = Konsumsi beras domestik (ton)

Xt = Volume Ekspor Beras Tahun t (ton)


99

Lampiran 2. Perkembangan Harga Dasar Gabah, Harga Eceran Beras,


Harga Beras Dunia, dan Nilai Tukar Rupiah

Tahun HGt HEt HDt ERt


1976 68,5 128,48 222.5 421
1977 71 132,62 237.3 420
1978 75 140,46 335.3 417
1979 85 170,31 308.5 632
1980 105 198,39 395.1 634
1981 120 226,19 417.3 643
1982 135 254,92 250.9 692
1983 145 304,24 246.61 994
1984 165 330,97 235.23 1076
1985 175 322,07 198.14 1131
1986 175 345,24 172.1 1655
1987 190 386,86 202.35 1652
1988 210 469,2 283.23 1729
1989 250 486,56 296.51 1805
1990 270 525,17 254 1901
1991 295 562 244.13 1922
1992 330 603,68 235.17 2062
1993 340 592,25 215.63 2110
1994 360 660,37 270.78 2200
1995 400 776,38 304.25 2308
1996 450 880 331.8 2383
1997 525 1.063,8 289.96 4650
1998 767 2.099,03 275.99 8025
1999 1.400 2.665,58 216.21 7100
2000 1.500 2.215 172.83 9595
2001 1.500 2.449 152.76 10400
2002 1.519 2.842 175.13 8940
2003 1725 2.759 181.55 8465
2004 1.725 2.795 225.43 9290
2005 1.750 3.332 265.43 9900
Sumber: Badan Pusat Statistik

Keterangan:

HGt = Harga dasar gabah (Rp/kg)

HEt = Harga beras eceran (Rp/kg)

HDt = Harga Beras dunia (US$/ton)

ERt = Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar (US$)


100

Lampiran 3. Hasil Analisis Regresi Fungsi Produksi Beras Indonesia

Regression Analysis: ln-PBt versus ln-LPt, ln-HGt, ln-PU, ln-CHt

The regression equation is


ln-PBt = - 3.45 + 1.27 ln-LPt + 0.104 LN-HGt + 0.169 ln-PU + 0.00155 LN-
CHt

Predictor Coef SE Coef T P VIF


Constant -3.451 1.283 -2.69 0.013
ln-LPt 1.26647 0.08327 15.21 0.000 3.0
ln-HGt 0.10423 0.01958 5.32 0.000 1.4
ln-PU 0.16919 0.01346 12.57 0.000 2.9
ln-CHt 0.001546 0.006523 0.24 0.815 1.0

S = 0.0294955 R-Sq = 98.6% R-Sq(adj) = 98.4%

PRESS = 0.0437938 R-Sq(pred) = 97.20%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P
Regression 4 1.54112 0.38528 442.86 0.000
Residual Error 25 0.02175 0.00087
Total 29 1.56287

Source DF Seq SS
ln-LPt 1 1.39423
ln-HGt 1 0.00950
ln-PU 1 0.13733
ln-CHt 1 0.00005

Unusual Observations

Obs ln-LPt ln-PBt Fit SE Fit Residual St Resid


23 16.3 17.2501 17.3325 0.0097 -0.0824 -2.96R
27 16.3 17.2949 17.2918 0.0291 0.0031 0.64 X
30 16.3 17.3435 17.3555 0.0254 -0.0120 -0.80 X

R denotes an observation with a large standardized residual.


X denotes an observation whose X value gives it large influence.

Durbin-Watson statistic = 1.66077


101

Lampiran 4. Uji Normalitas dan Uji Homoscedasticity Analisis Regresi

Fungsi Produksi Beras Indonesia

1) Uji Normalitas

P roba bili ty P lot of RES I1


Norma l
99
Me an -5 .92 119 E-1 6
StD ev 0.0 273 8
95 N 30
KS 0.12 3
90
P - Value >0.15 0
80
70
Perc ent

60
50
40
30
20

10

1
-0.100 -0.075 -0.050 -0.025 0.000 0.025 0.050
RESI1

2) Uji Homoscedasticity

Re si dua ls Ve rsu s the Fit ted Val ues


( response is LN-PBt)
0.050

0.025

0.000
Residual

-0.025

-0.050

-0.075

-0.100
16.5 16.6 16.7 16.8 16.9 17.0 17.1 17.2 17.3 17.4
Fitte d V alue
102

Lampiran 5. Hasil Analisis Regresi Fungsi Ekspor Beras Indonesia

Regression Analysis: ln-Xt versus ln-PBt, ln-ERt, ln-HEt, ln-CPt


The regression equation is
ln-Xt = - 131 + 9.06 ln-PBt + 0.88 ln-ERt - 0.40 ln-HEt - 1.63 ln-CPt

Predictor Coef SE Coef T P VIF


Constant -130.97 96.12 -1.36 0.185
ln-PBt 9.063 5.529 1.64 0.114 6.0
ln-ERt 0.879 1.412 0.62 0.539 8.1
ln-HEt -0.404 2.727 -0.15 0.883 2.1
ln-CPt -1.6297 0.3964 -4.11 0.000 1.4

S = 2.82753 R-Sq = 71.0% R-Sq(adj) = 66.3%

PRESS = 262.888 R-Sq(pred) = 61.81%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P
Regression 4 488.49 122.12 15.28 0.000
Residual Error 25 199.87 7.99
Total 29 688.37

Source DF Seq SS
ln-PBt 1 334.28
ln-ERt 1 15.90
ln-HEt 1 3.19
ln-CPt 1 135.11

Unusual Observations

Obs ln-PBt ln-Xt Fit SE Fit Residual St Resid


30 17.3 10.698 11.301 2.500 -0.603 -0.46 X

X denotes an observation whose X value gives it large influence.

Durbin-Watson statistic = 1.69902


103

Lampiran 6. Uji Normalitas dan Uji Homoscedasticity Fungsi Ekspor Beras

Indonesia

1) Uji Normalitas

P r oba bil it y P lot o f RE S I1


Norm a l
99
Me an 3.0 05 00 4E -1 4
StD ev 2 .62 6
95 N 30
KS 0 .10 0
90
P - Value >0 .15 0
80
70
Perc ent

60
50
40
30
20

10

1
- 5.0 - 2.5 0.0 2.5 5.0 7.5
RES I1

2) Uji Homoscedasticity

Res idual s Ver sus th e F itted Valu es


( re sponse is ln- Xt)

5.0

2.5
Residual

0.0

-2.5

-5.0

0 5 10 15
Fitte d Valu e

Anda mungkin juga menyukai