Anda di halaman 1dari 2

AC Milan, Parma dan Tradisi Italia

"Ini kekalahan untuk sepak bola Italia. Untuk Italia sebagai negara, sebagai tradisi, dan untuk
semuanya," teriak Kiper Juventus sekaligus timnas Italia, Gianluigi Buffon.

Buffon termasuk salah satu pihak yang kecewa dan menyesal ketika pada Oktober 2016, AC Milan
dikabarkan sedang dalam proses penjualan ke investor asal China. Setelah sempat tersendat-sendat,
akhirnya kemarin Finnivest S.p.A perusahaan yang dimiliki oleh Silvio Berlusconi resmi melepas 99, 93
persen saham kepada Rossoneri Sport Investment Lux.

Buffon merasa bahwa penjualan itu telah menghilangkan identitas Italia di Seri A dan sepak bola Italia
secara keseluruhan. Akar rasa yang terus dipelihara melalui klub-klub symbol Italiano dalam diri
Juventus, AC Milan dan Inter Milan perlahan-lahan tergerus zaman. Apalagi dalam masa-masa sulit
karena kondisi finansial yang memburuk.

Keprihatinan Buffon diaminkan oleh sang pemilik AC Milan,Silvio Berlusconi yang dirundung kesedihan
mendalam. Setelah memimpin dan memelihara AC Milan sejak 1986, kini saatnya Berlusconi berhenti.

"Setelah lebih dari 30 tahun memimpin, saya harus meninggalkan jabatan presiden Milan. Saya
melakukannya dengan sedih dan terluka," tulis Berlusconi dalm surat terbukanya.

“Di sepakbola modern ini, agar bisa bersaing di level tertinggi, membutuhkan investasi besar. Tidak bisa
lagi mengandalkan dukungan dari satu keluarga” tulis Berlusconi jujur.

Berlusconi sadar bahwa kejujuran akan kondisi klub menjadi pilihan terbaiknya saat ini, meski itu berarti
ada yang harus dikorbankan, termasuk identitas sepak bola Italia sekalipun.

Pilihan ini jelas merujuk kepada kondisi keuangan mereka yang carut marut dalam hampir satu
dasawarsa terakhir ini. Investasi 740 Juta Euro dari Rossoneri Sport Investment Lux ini bukan saja
membuat AC Milan dapat kembali kompetitif namun juga termasuk menutup utang klub yang mencapi
200 juta Euro.

Akuisisi yang dapat kembali memperkuat struktur keuangan AC Milan serta diharapkan juga mampu
membawa AC Milan kembali menjadi klub yang disegani di Italia dan Eropa. Sesuatu yang diisyaratkan
oleh pemilik baru AC Milan, Yonghong Li.

"Kami sudah menuntaskan sebuah langkah kunci pada jalan menuju kebangkitan, dan untuk masa depan
kami berjanji bahwa selangkah demi selangkah kami akan memimpin tim legendaris ini kembali ke
puncak dunia sepakbola," kata Li.

Tradisi itu akhirnya runtuh dan itu dibutuhkan kejujuran untuk melangkah lebih maju. Berlusconi
sepertinya belajar dari kejatuhan sesama klub yang sempat masuk dalam deretan klub yang disegani di
Italia The Magnificient Seven, AC Parma.

Perusahaan induk AC Parma, Parmalat pada tahun 2003 kolaps dan dinyatakan bangkrut. Bukan saja
bangkrut, pemilik parma Keluarga Tanzi seperti juga Berlusconi sering terlibat dalam berbagai skandal
masalah. Jika Berlusconi terlibat skandal wanita dan korupsi dalam kiprahnya di dunia politik, maka
keluarga Tanzi melakukan penggelapan dan penipuan melalui uang palsu.
Sempat berganti pemilik sesama Italia, Tommaso Ghirardi dan kembali bangkit di Seri A, pada tahun
2007 kembali dibekap krisis keuangan malahan sempat dedenda akibat tidak mampu melunasi utang,
pajak serta gaji staf dan pemain.

Berganti-ganti pemilik ternyata tidak membuat krisis keuangan di Parma berhenti begitu saja, apalagi
secara keseluruhan Eropa dan Italia khususnya terkena dampak dari krisis ekonomi di berbagai negara.
Parma mencapai titik nadir setelah pada tahun 2015 dinyatakan bangkrut dan harus berganti nama
menjadi Parma 1913 dan harus tampil di Seri D.

Dua trofi Piala UEFA, sebuah trofi Piala Super Eropa, sebuah trofi Piala Super Italia, dan sebuah trofi Piala
Winners terpaksa harus dilelang untuk menutup kesulitan keuangan mereka. Menyedihkan.

Berlusconi tentu tidak mau kejadian serupa terjadi kepada klub yang dibesarkannya, AC Milan. Selama
31 tahun memimpin, 29 trofi bergengsi, termasuk delapan scudetto dan lima titel Piala Champions/Liga
Champions berhasil diraih AC Milan. Trofi-trofi yang tentu saja sayang jikalau harus dilelang karena
Berlusconi tetap kukuh bertahan untuk tidak meminta bantuan investor China.

Setelah Morrati, kini Berlusconi memilih menyerah. Rasa cintanya terhadap klub harus kalah dari
kenyataan bahwa jaman sekarang sebuah klub sepak bola tidak dapat berjalan hanya dengan
mengandalkan cinta tetapi juga harus dengan fulus yang tebal.

Tak ada lagi tradisi Italia yang dimaksudkan oleh Buffon. Sepak bola modern sudah berubah, uang
adalah segalanya. Beruntung, Buffon berada di klub yang masih mempertahankan “tradisi” yang
dimaksudkannya. Tapi entahlah sampai kapan.

Semoga beruntung AC Milan dengan pemilik yang baru.

Anda mungkin juga menyukai