KELOMPOK II
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2017
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Praktek pertanian saat ini dicirikan oleh penggunaan pupuk kimia dalam jumlah
besar. Apabila pupuk kimia tersebut digunakan secara terus-menerus tanpa diimbangi
dengan penggunaan pupuk organik maka akan menyebabkan semakin langkanya
sumberdaya tak terbaharui, mengurangi keanekaragaman hayati, tercemarnya
sumberdaya air, residu kimia dalam pangan, degradasi tanah dan resiko kesehatan bagi
manusia. Praktek dan adopsi pertanian intensif modern akan mempunyai implikasi yang
serius bagi keamanan pangan jika tidak dipantau dan diperkirakan secara tepat. Sistem
pertanian yang dicirikan oleh produksi pertanian intensif dengan menggunakan pupuk
dan pestisida sintesis selain memberikan manfaat berupa peningkatan produksi tanaman,
tetapi juga menghasilkan eksternalitas negatif.
Salah satu eksternalitas negatif dari praktek pertanian saat ini adalah terjadinya
degradasi lahan. Degradasi lahan adalah proses di mana kondisi lingkungan biofisik
berubah akibat aktivitas manusia terhadap suatu lahan. Degradasi lahan memiliki
dampak terhadap produktivitas pertanian, kualitas lingkungan, dan memiliki efek
terhadap ketahanan pangan. Degradasi lahan pertanian pada umumnya disebabkan oleh
dua faktor yaitu faktor alami dan faktor campur tangan manusia. Faktor alami penyebab
degradasi tanah antara lain adalah areal berlereng curam, tanah yang muda rusak, curah
hujan intensif, dan lain-lain. Faktor degradasi lahan pertanian akibat campur tangan
manusia salah satu diantaranya yaitu pengembangan pertanian yang tidak tepat.
Kemampuan tanah untuk mendukung kegiatan usaha pertanian atau
pemanfaatan bervariasi menurut jenis tanah, tanaman dan faktor lingkungan. Pertanian
organik merupakan salah satu alternatif untuk pertanian yang dapat mulai dikembangkan
lagi agar tanah dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan dan tanpa merusak lingkungan
(Subika, 2002). Pertanian organik adalah sistem produksi pertanian yang mendorong
tanaman dan tanah tetap sehat dengan menggunakan bahan-bahan alamiah dalam
pengelolahannya serta menghindari atau membatasi penggunaan bahan kimia sintetis
seperti pupuk kimia, pestisida, herbisida, zat pengatur tumbuh dan zat aditif pakan.
Strategi pertanian organik adalah memindahkan hara secepatnya dari sisa
tanaman, kompos, dan pupuk kandang menjadi biomassa tanah yang selanjutnya setelah
mengalami proses mineralisasi akan menjadi hara dalam larutan tanah. Dengan kata
lain, unsur hara didaur ulang melalui beberapa tahapan bentuk senyawa organik sebelum
diserap oleh tanaman. Penerapan sistem pertanian organik ini bertujuan untuk
menghasilkan produk-produk pertanian terutama pangan yang aman bagi kesehatan
konsumen dan menjaga keseimbangan lingkungan dengan menjaga siklus alaminya.
Selain itu penerapan pertanian organik juga bertujuan untuk pembenah tanah, menjaga
kesuburan tanah serta pengendalian hama dan penyakit pada tanaman. Oleh karena itu
dalam hal ini sistem pertanian organik dikatakan sebagai salah satu upaya dalam
mewujudkan pertanian yang berkelanjutan karena dalam penerapannya memperhatikan
lingkungan supaya ekosistem tetap berjalan seperti apa adanya serta tidak mengganggu
keseimbangan lingkungan dan tanpa memutuskan suatu mata rantai makhluk hidup.
B. Tujuan
Sumber : Departemen Riset dan Pengembangan Mitra Agrindo Grup, 2009 (data diolah)
Untuk penyusunan lahan sawah terdegradasi telah digunakan data hasil analisis
Balai Penelitian Tanah, yang menghimpun 1.577 contoh tanah sawah yang menyebar di
seluruh Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 8,1 juta ha lahan sawah di
Indonesia, sekitar 65% tanah sawah mempunyai kandungan C-organik rendah sampai
sangat rendah (C-organik < 2%), dan hanya 35% yang mempunyai kandungan C-
organik > 2 %, inipun terjadi pada lahan sawah yang bergambut (Kasno et al, 2000).
Rendahnya kandungan bahan organik tanah kemungkinan disebabkan pengelolaan hara
yang kurang bijak serta pengangkutan jerami sisa panen keluar lahan, sehingga sebagian
besar lahan sawah berkadar bahan organik rendah sampai sangat rendah (C-organik
<2%). Hal ini terutama pada wilayah yang memanfaatkan limbah jerami untuk kegiatan
lain seperti untuk pengembangan jamur merang dan pakan ternak sapi.
Selain itu, Firmansyah (2003) juga menambahkan bahwa dibandingkan tanah
terdegradasi, maka terdegradasi memiliki lebih rendah 38% C organik tanah, 55% lebih
rendah basa-basa dapat ditukar, 56% lebih rendah biomassa mikroba, 44% lebih rendah
kerapatan mikroartropoda, sebaliknya 13% lebih tinggi berat isi dan 14% pasir. Nilai pH
tanah tidak terdegradasijuga lebih tinggi daripada tanah terdegradasi. Begitu pula
ditemukan bahwa dekomposisi daun dan pelepasan unsur hara lebih rendah pada tanah
terdegradasi daripada non terdegradasi selama 150 percobaan.
Untuk luas lahan sawah terdegradasi, perhitungan terhadap lahan sawah di 8
provinsi (Tabel 2) yang mengalami degradasi secara kimia (kadar hara P dan K, C-
organik) dan jenis tanah menunjukkan bahwa luasan lahan sawah yang termasuk pada
kelas lahan terdegradasi sedang seluas 2,3 juta ha (50 persen), penyebaran terluas
terdapat di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan. Sedangkan yang termasuk
lahan terdegradasi berat sekitar 1,8 juta ha (38 persen), terluas di Provinsi Jawa Timur,
Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Lahan yang terdegradasi rendah dan tidak terdegradasi
mencakup luasan kecil, masing-masing hanya 8 persen dan 4 persen (Badan Litbang
Pertanian, 2010).
Tabel 2. Penyebaran lahan sawah terdegradasi di 8 provinsi di Indonesia
Tingkat degradasi
Tidak
Provinsi Berat Sedang Ringan terdegradasi Jumlah
Banten 184.741 42.402 7.828 3.534 238.505
Jawa Barat 289.834 283.995 251.280 114.119 939.228
Jawa Tengah 472.815 504.216 40.852 34.038 1.051.921
Jawa Timur 472.743 655.458 8.084 7.110 1.143.395
Produktivitas lahan sering disebut sebagai hasil atau produk pertanian (yield)
juga dapat dijadikan indikator tingkat kekritisan lahan akibat terdegradasi. Seperti hasil
atau produksi singkong kurang dari 15 ton/ha mengindikasikan bahwa lahannya sudah
tergolong kritis. Data BPS (2002) menunjukkan bahwa hasil singkong rata-rata di
Indonesia sekitar 11 ton/ha. Hal ini berarti bahwa lahan pertanian yang secara umum
ditanami singkong sudah tergolong kritis.
Selain itu, penelitian Sudirman dan Vadari (2000) menunjukkan bahwa hasil
padi gogo dan kacang tanah di daerah aliran sungai (DAS) Cimanuk Bagian Hulu telah
semakin berkurang seiring dengan meningkatnya tingkat kekrirtisan lahan (Tabel ).
Beberapa produk pertanian, seperti padi gogo, jagung dan kedelai, juga memperlihatkan
kondisi lahan yang cukup kritis (BPS, 2005). Meskipun ada kecenderungan peningkatan
hasil, kondisi tersebut sebenarnya bukan karena kualitas lahannya yang masih baik
melainkan lebih banyak disebabkan karena peningkatan penggunaan input pertanian.
Hasil padi gogo dan kacang tanah (Tabel 5) pada lahan dengan tingkat
kekritisan potensial kritis terlihat lebih tinggi dari lahan dengan tingkat kekritisan semi
kritis, kritis dan sangat kritis. Produktivitas lahan potensial kritis masih relatif lebih baik
dibandingkan dengan produktivitas lahan lainnya, karena lahan tersebut sebenarnya
masih mempunyai produktivitas yang cukup. Hanya saja karena lahan tersebut
mempunyai satu atau lebih faktor pembatas, akan menjadi kritis apabila lahan tersebut
tidak dimanfaatkan dengan baik.
Tabel 5. Produktifitas tanah inceptisol pada berbagai tingkat degradasi lahan di DAS
Cimanuk bagian Hulu
Gambar 2. Kandungan karbon tanah (Mg C/ha) pada tanah cambisol, luvisols dan
leptisols setelah 20 tahun pada sistem pertanian organik dan konvensional
in Spain Selatan
Sumber : Sivakumar & Ndiang’ui. 2007).
Pengaruh pemberian bahan organik dalam memperbaiki sifat-sifat kimia tanah
juga ditunjukkan oleh berbagai penelitian. Pemberian bahan organik Flemingia congesta
mampu mempertahankan kadar bahan organik tanah dan KTK tanah (Sukristyonubowo
et al, 1993), meningkatkan pH dan P-tersedia (Irianto et al. 1993), pengembalian
biomassa jerami padi ke areal pertanaman mampu meningkatkan kadar N tanah dan
penambahan Mucuna sp mampu meningkatkan Ca, Mg, K dan Na serta menurunkan
Aldd dan Fedd.
Peningkatan penggunaan bahan organik pada pertanian organik juga akan
meningkatkan aktivitas dan populasi mikrobiologi dalam tanah, terutama yang berkaitan
dengan aktivitas dekomposisi dan mineralisasi bahan organik. Beberapa
mikroorganisme yang beperan dalam dekomposisi bahan organik adalah fungi, bakteri
dan aktinomisetes. Di samping mikroorganisme tanah, fauna tanah juga berperan dalam
dekomposi bahan organik antara lain yang tergolong dalam protozoa, nematoda,
Collembola, dan cacing tanah. Fauna tanah ini berperan dalam proses humifikasi dan
mineralisasi atau pelepasan hara, bahkan ikut bertanggung jawab terhadap pemeliharaan
struktur tanah (Tian, 1997). Mikro flora dan fauna tanah ini saling berinteraksi dengan
kebutuhannya akan bahan organik, kerena bahan organik menyediakan energi untuk
tumbuh dan bahan organik memberikan karbon sebagai sumber energi.
b. Meningkatkan Produksi Tanaman
Penerapan sistem pertanian secara konvensional dengan penggunaan varietas
unggul dan pola pertanaman monokultur yang disertai dengan penambahan pupuk kimia
dan pestisida kimia yang berlebihan tanpa diimbangi dengan pemberian pupuk organik
dalam jangka panjang tidak lagi mampu meningkatkan hasil produk pertanian. Sistem
pertanian seperti ini tidak hanya menurunkan produksi tanaman, tetapi juga menurunkan
kualitas lahan secara berkepanjangan sehingga kegiatan pertanian menjadi tidak
berkelanjutan. Untuk mengatasi hal tersebut, maka diperlukan praktik pertanian yang
mampu menjaga kestabilan produksi dan daya dukung lingkungan secara berkelanjutan.
Salah satunya yaitu dengan menggunakan sistem pertanian organik.
Sistem pertanian organik terbukti mampu meningkatkan hasil produksi tanaman
sehingga produksi tanaman bisa stabil dan berkelanjutan. Pada tabel 6 dapat dilihat
bahwa hasil produksi tanaman pada pertanian organik lebih tinggi dibandingkan dengan
hasil produksi secara konvensional (dengan menggunakan pupuk kimia) dan kontrol.
Peningkatan hasil tanaman pada pertanian organik merupakan suatu keberhasilan untuk
menjaga daya dukung lingkungan yang tetap mampu menjadi media tumbuh yang baik
bagi tanaman.
Tabel 8. Hasil produksi beberapa tanaman pada pertanian konvensional dan organik
Tanaman Perlakuan Produksi (kg/ha)
Faba bean Kompos 2.900
Pupuk kimia 1.100
Kontrol 766
Finger millet Kompos 2.000
Pupuk kimia 1.433
Kontrol 500
Jagung Kompos 2.000
Pupuk kimia 1.133
Kontrol 680
Barley Kompos 2.193
Pupuk kimia 1.283
Kontrol 900
Gandum Kompos 1.020
Pupuk kimia 1.617
Kontrol 590
Teff Kompos 1.650
Pupuk kimia 1.150
Kontrol 390
Sumber : Sivakumar & Ndiang’ui. 2007
Peningkatan produksi tanaman dengan sistem pertanian organik juga terlihat
pada tabel 7. Dalam percobaan yang dilakukan selama 4 tahun, hasil tanaman yang
dibudidayakan pada pertanian organik lebih tinggi dibandingkan dengan produksi
tanaman yang tidak dibudidayakan secara organik (konvensional). Hal tersebut
membuktikan bahwa penerapan sistem pertanian organik setelah waktu tertentu mampu
meningkatkan produksi tanaman.
Gambar 3. Perbandingan produksi beberapa varietas tanaman faba bean, field pea and
finger millet tahun 1998 dan 2002
Sumber : Sivakumar & Ndiang’ui. 2007
Dari gambar 3 diatas juga terlihat bahwa dalam kurun waktu 4 tahun penerapan
pertanian organik mampu meningkatkan produksi tanaman untuk semua jenis komoditas
dibandingkan dengan tanaman yang ditanam secara konvensional. Hal tersebut
menunjukkan bahwa peningkatan produksi tanaman dengan pertanian organik dapat
didukung oleh kemampuan bahan organik yang diberikan dalam memperbaiki kualitas
dan kemampuan produktifitas lahan baik secara kimia, biologi maupun fisika tanah.
2015 113.027 42.811 155.838 945.136 1.323.190 310.735 671.187.600 856.220.000 3.390.810.000 4.247.030.000 22.373
2016 114.157 43.239 157.396 973.490 1.362.886 313.842 677.899.476 864.782.200 3.424.718.100 4.289.500.300 22.597
2017 114.258 43.672 157.930 1.002.695 1.403.773 316.981 684.678.471 873.430.022 3.427.748.100 4.301.178.122 22.823
2018 114.358 44.108 158.467 1.032.776 1.445.886 320.151 691.525.255 882.164.322 3.430.750.754 4.312.915.076 23.051
2019 114.458 44.549 159.008 1.063.759 1.489.262 323.352 698.440.508 890.985.965 3.433.753.382 4.324.739.348 23.281
2020 114.559 44.995 159.553 1.095.672 1.533.940 326.586 705.424.913 899.895.825 3.436.756.008 4.336.651.833 23.514
Sumber data :
1. Kandungan N pupuk kandang sapi : 0,4 % /kg (Lingga, 1992; Sujitno et al. (2014)
2. Data luas lahan padi sawah dan padi ladang diperoleh dari Kementerian Pertanian, 2017 (data diolah) dengan rata-rata laju
pertumbuhan 1,02% (data diolah)
3. Data produksi gabah diperoleh dari Kementerian Pertanian, 2017 (data diolah)
4. Untuk produksi 5 ton padi organik/ha, dibutuhkan pupuk N rata-rata sebesar 90 kg N/ha dimana N yang tersedia di tanah 40-65 kg/ha
dan defisit hara N tanaman 25-50 kg/ha atau setara dengan 10 ton pupuk kandang/tahun/ha/musim tanam
5. Kebutuhan pupuk kandang dihitung berdasarkan kebutuhan pupuk kandang tanaman padi sawah dalam satu tahun (3 kali musim
tanam) dan kebutuhan pupuk kandang tanaman padi ladang dalam satu tahun (2 kali musim tanam)
6. Jumlah feses kering (pupuk kandang sapi) diperoleh dari 40% dari total feses basah sapi atau sebanyak 2,16 ton/tahun/sapi
(Hariansijas, 2012)
Tabel 7. Proyeksi luas area penanaman padi organik dan kebutuhan pupuk kandang, serta kebutuhan sapi hingga tahun 2020
Luas padi sawah Luas padi Produksi jerami Jumlah sapi tersedia Jumlah sapi yang bisa diberi
Tahun Total (ha)
(ha) ladang (ha) (ton/tahun) (ekor) makan jerami
Anonim.2014 . Info Pukon dan degradasi lahan. PT. Mitra Sukses Agrindo. Jakarta.
Atmojo. S.W. 2003.Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah Dan Upaya
Pengelolaannya. Universitas Sebelas Maret Press: Surakarta.
Badan Litbang Pertanian. 2010. Policy Brief : Pemulihan Kesuburan Tanah pada
Lahan Sawah Berkelanjutan. Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan
Pertanian. Badan Litbang Pertanian.
Badan Pengkajian Teknologi Pertanian. 2008. Peta status hara dan arahan
rekomendasi pemupukan N dan K pada lahan sawah di Kabupaten Sleman
Provinsi D.I. Yogyakarta.
Blum. W. E.H., 1998. Basic concepts : Degradation, Resilience, and Rehabilitation.
Methods for Assessment of Soil Degradation. CRC Press. Boca Raton,
Florida. USA.
BPS (Badan Pusat Statistik). 2003. Statistik Indonesia 2002. BPS Jakarta
BPS (Badan Pusat Statistik). 2005. Statistik Indonesia 2004. BPS Jakarta.
Delate, K., M. Duffy, C. Chase, A. Holste, H. Friedrich 2005. An economic
comparison of organic and conventional grain crops in a long-term
agroecological research (LTAR) site in Iowa. American Journal of
Alternative Agriculture Vol. 18(2):5969. Journal paper No. 19802 of the
Iowa Agriculture and Home Economics Expt. Sta., Ames, Iowa. 2005.
Gomiero, T. 2013. Alternative land management strategies and their impact on soil
carbon stocks under organic farming. Agriculture 3, 464-483.
Irianto, G., A. Abdurachman & I. Juarsah. 1993. Rehabilitasi tanah tropudults
tererosi dengan sistem pertanaman lororng menggunakan tanaman pagar
Flemingia congesta L. Pembrt. Pen. Tanah dan Pupuk. 11:13-18.
Kementerian Pertanian. 2017. Basis Data Statistik Pertanian.
http://aplikasi.pertanian.go.id/bdsp/newkom.asp
Lal, R. 1994. Sustainable land use system and soil resilience. Greenland, D.J. and
I. Szabolcs (editor). Soil resilience and the sustainable land. CAB
International. p:41-67.
Lynch, D. H. 2014. Sustaining soil organic carbon, soil quality, and soil health in
organic field crop management systems. In : Martin, R. C. (Ed.), Integrative
studies in water management and land development : Mnaging energy,
nutrients, and pest in organic field crops. CRC Press, London, pp. 107-131.
Kasno, A. Nurjaya, dan D. Setyorini. 2003. Status C-organik lahan sawah di
Indonesia. Konggres Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) di Universitas
Andalas, Padang.
Mulyani, A., D. Setyorini, S. Rochayati & I. Las. 2012. Karakteristik dan sebaran
lahan sawah terdegradasi di 8 provinsi sentra produksi padi. Balai Litbang
Pertanian, Bogor.
Pulungan A. 2017. Permasalahan Inti Pertanian Tanaman Pangan di Indonesia.
https://www.kompasiana.com/www.didikbangsaku.blogspot.com/59955c99
4d6be904cb3f9a62/permasalahan-inti-pertanian-tanaman-pangan-di-
indonesia (diakses pada tanggal 12 November 2017)
Sivakumar M, V. K. & N. Ndiang’ui. 2007. Climate and land degradation.
Environmental Science and Engineering Subseries : Environmental Science.
Springer.
Sofyan, A., M. Sediyarso, Nurjaya, dan J. Suryono. 2000. Laporan akhir Penelitian
Status P dan K Tanah Sawah sebagai Dasar Penggunaan Pupuk yang Efisien
pada Tanaman Pangan. Bagian Proyek Sumberdaya Lahan dan Agroklimat.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Stockdale, E. A., Lampkin, N. H., Hovi, M., Kreatinge, R., Lennartsson, E. K. M.,
Macdonald, D. W., Padel, S., Tattersall, F. H., Wolfe, M. S., & Watson, C.
A. 2001. Agronomic and environmental implications of organic farming
systems. Adv. Agron. 70, 261-327.
Sudirman dan T. Vadari. 2000. Pengaruh kekritisan lahan terhadap produksi padi dan
kacang tanah di Garut Selatan. Hal. 411-418 dalam Prosiding Kongres
Nasional HITI ke VII. Bandung 2-4 Nopember 1999.
Sukristonubowo, Mulyadi, P. Wigena, & A. Kasno. 1993. Pengaruh penambahan
bahan organik, kapur dan pupuk NPK terhadap sifat kimia dan hasil kacang
tanah. Pembrt. Pen. Tanah dan Pupuk 11:1-6.
Suprayogo, D., Widianto,. P. Purnomosidi, R. H. Widodo, F. Rusiana, Z. Z. Aini, N.
Khasanah, dan Z. Kusumah. 2001. Degradasi sifat fisisk tanah sebagai
akibat alih guna lahan hutan menjadi sistem kopi momokultur: kajian
perubahan makro porositas tanah. Jurnal Penelitian Pertanian Universitas
Brawijaya. 60-68
Tiemann, L. K., Grandy, A. S., Atkinson, E. E., Marin-Spiotta, E., McDaniel, M. D.
2015. Crop rotational diversity enhances belowground communities and
functions in an agroecosystem. Ecol. Lett. 18, 761-771.
Umiyasih, U. & Y. N. Anggraeny. 2007. Petunjuk teknis ransum seimbang, strategi
pakan pada sapi potong. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian. 2007.
Wahyunto & A.Dariah. 2014. Degradasi lahan di Indonesia : kondisi exciting,
karakteristik, dan penyeragaman definisi mendukung gerakan menuju satu
peta. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 8 No. 2, Desember 2014 : 81-93.
Yusuf, Fredi S. 2001. Membentuk Masyarakat Pertanian Organik Di Propinnsi
Bengkulu. Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Bengkulu.
Ziesemer, J. 2007. Energy use in organic food systems, FAO. Rome.
LAMPIRAN
Gambar 1. Contoh peta status hara P dan K di salah satu kabupaten yang ada di D.I.
Yogyakarta