Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

MASALAH KHUSUS AGRONOMI

PERTANIAN ORGANIK SEBAGAI UPAYA MENGATASI


DEGRADASI LAHAN SAWAH AKIBAT PRAKTIK PERTANIAN
YANG TIDAK TEPAT

KELOMPOK II

NOVI YULANDA SARI ( 16/407497/PPN/04148 )


RACHMANTO BAMBANG W ( 16/407498/PPN/04149 )
EKO SRIHARTANTO ( 17/418736/PPN/04203 )
MRIGIRA BATARI FNR ( 17/418737/PPN/04204 )
RANGGI S. PURBA ( 17/418740/PPN/04207 )

DOSEN PENGAMPU : PROF. DR. IR. DIDIK INDRADEWA

PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2017
I. Pendahuluan

A. Latar Belakang

Praktek pertanian saat ini dicirikan oleh penggunaan pupuk kimia dalam jumlah
besar. Apabila pupuk kimia tersebut digunakan secara terus-menerus tanpa diimbangi
dengan penggunaan pupuk organik maka akan menyebabkan semakin langkanya
sumberdaya tak terbaharui, mengurangi keanekaragaman hayati, tercemarnya
sumberdaya air, residu kimia dalam pangan, degradasi tanah dan resiko kesehatan bagi
manusia. Praktek dan adopsi pertanian intensif modern akan mempunyai implikasi yang
serius bagi keamanan pangan jika tidak dipantau dan diperkirakan secara tepat. Sistem
pertanian yang dicirikan oleh produksi pertanian intensif dengan menggunakan pupuk
dan pestisida sintesis selain memberikan manfaat berupa peningkatan produksi tanaman,
tetapi juga menghasilkan eksternalitas negatif.
Salah satu eksternalitas negatif dari praktek pertanian saat ini adalah terjadinya
degradasi lahan. Degradasi lahan adalah proses di mana kondisi lingkungan biofisik
berubah akibat aktivitas manusia terhadap suatu lahan. Degradasi lahan memiliki
dampak terhadap produktivitas pertanian, kualitas lingkungan, dan memiliki efek
terhadap ketahanan pangan. Degradasi lahan pertanian pada umumnya disebabkan oleh
dua faktor yaitu faktor alami dan faktor campur tangan manusia. Faktor alami penyebab
degradasi tanah antara lain adalah areal berlereng curam, tanah yang muda rusak, curah
hujan intensif, dan lain-lain. Faktor degradasi lahan pertanian akibat campur tangan
manusia salah satu diantaranya yaitu pengembangan pertanian yang tidak tepat.
Kemampuan tanah untuk mendukung kegiatan usaha pertanian atau
pemanfaatan bervariasi menurut jenis tanah, tanaman dan faktor lingkungan. Pertanian
organik merupakan salah satu alternatif untuk pertanian yang dapat mulai dikembangkan
lagi agar tanah dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan dan tanpa merusak lingkungan
(Subika, 2002). Pertanian organik adalah sistem produksi pertanian yang mendorong
tanaman dan tanah tetap sehat dengan menggunakan bahan-bahan alamiah dalam
pengelolahannya serta menghindari atau membatasi penggunaan bahan kimia sintetis
seperti pupuk kimia, pestisida, herbisida, zat pengatur tumbuh dan zat aditif pakan.
Strategi pertanian organik adalah memindahkan hara secepatnya dari sisa
tanaman, kompos, dan pupuk kandang menjadi biomassa tanah yang selanjutnya setelah
mengalami proses mineralisasi akan menjadi hara dalam larutan tanah. Dengan kata
lain, unsur hara didaur ulang melalui beberapa tahapan bentuk senyawa organik sebelum
diserap oleh tanaman. Penerapan sistem pertanian organik ini bertujuan untuk
menghasilkan produk-produk pertanian terutama pangan yang aman bagi kesehatan
konsumen dan menjaga keseimbangan lingkungan dengan menjaga siklus alaminya.
Selain itu penerapan pertanian organik juga bertujuan untuk pembenah tanah, menjaga
kesuburan tanah serta pengendalian hama dan penyakit pada tanaman. Oleh karena itu
dalam hal ini sistem pertanian organik dikatakan sebagai salah satu upaya dalam
mewujudkan pertanian yang berkelanjutan karena dalam penerapannya memperhatikan
lingkungan supaya ekosistem tetap berjalan seperti apa adanya serta tidak mengganggu
keseimbangan lingkungan dan tanpa memutuskan suatu mata rantai makhluk hidup.

B. Tujuan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu:


1. Mengetahui praktik pertanian yang menyebabkan terjadinya degradasi lahan
khususnya penggunaan pupuk kimia serta pengaruhnya terhadap produksi tanaman
2. Mengetahui peran pertanian organik dalam mengatasi masalah degradasi lahan akibat
praktik pertanian konvensional yang tidak tepat.
3. Mampu menganalisa penerapan pertanian organik pada lahan terdegradasi khususnya
di wilayah D.I. Yogyakarta dengan memanfaatkan pupuk kandang dari populasi sapi
yang ada
II. ISI

A. Degradasi Lahan Pertanian akibat Penggunaan Pupuk Kimia Intensif

Degradasi lahan merupakan proses kemunduran produktifitas tanah yang


disebabkan oleh kegiatan manusia, yang mengakibatkan penurunan produktifitas lahan
saat ini dan/ atau dimasa yang akan datang dalam mendukung kehidupan makhluk hidup
terutama tanaman. Degradasi lahan ditetapkan pada saat potensi produktivitas yang
terkait dengan sistem penggunaan lahan menjadi tidak berkelanjutan atau bila lahan di
dalam ekosistem tidak lagi dapat melakukan fungsi pengaturan lingkungan untuk
menerima, menyimpan, dan mendaur ulang air, energi dan nutrisi. Di sisi lain, degradasi
lahan juga digambarkan sebagai kehilangan atau pengurangan terukur dari kemampuan
potensial saat ini atau potensi tanah untuk menghasilkan bahan tanaman dengan
kuantitas dan kualitas yang diinginkan (Blum, 1998).
Secara umum, ada 3 proses penting yang menyebabkan terjadinya degradasi
lahan, diantaranya yaitu proses fisik, kimia, dan biologi (Lal, 1994). Proses fisik
berhubungan dengan penurunan struktur tanah yang menyebabkan kerak, pemadatan,
erosi, ketidakseimbangan air, dan penggurunan tanah. Proses kimia yang signifikan
meliputi ketidakseimbangan unsur hara dan keracunan, terganggunya siklus C, N, P, K
dan unsur-unsur lainnya, terjadinya pengasaman, pencucian, salinisasi, pengurangan
kapasitas retensi kation, polusi, dan penipisan kesuburan tanah. Proses biologis meliputi
pengurangan karbon organik tanah dan karbon biomassa serta penurunan
keanekaragaman hayati dan vegetasi lahan. Menurut Beinroth et al., (1994), degradasi
lahan diakibatkan oleh ketidakcocokan antara kualitas lahan dan penggunaan lahan.
Akibat lanjut dari degradasi lahan adalah timbulnya areal-areal pertanian yang tidak
produktif yang disebut dengan lahan kritis.
Degradasi lahan pertanian baik yang berdampak pada sifat fisik, kimia maupun
biologi tanah disebabkan oleh aktifitas pertanian yang tidak memperhatikan
keberlanjutan produktifitas. Salah satu aktifitas manusia dalam kegiatan budidaya
pertanian yang mengakibatkan degradasi lahan diantaranya yaitu pencemaran
agrokimia. Tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan pertanian dapat disebabkan
karena penggunaan agrokimia terutama pupuk kimia yang tidak proporsional. Dampak
penggunaan agrokimia dapat berupa pencemaran air, tanah, dan hasil pertanian
menurun, gangguan kesehatan petani dan menurunnya keanekaragaman hayati.
Penggunaan pupuk kimia yang berlebihan dalam kurun waktu yang lama
menyebabkan terjadinya kemerosotan kesuburan tanah karena terjadi ketimpangan hara
atau kekurangan hara lain, dan semakin merosotnya kandungan bahan organik tanah.
Bahan organik tanah disamping memberikan unsur hara bagi tanaman juga akan
memperbaiki struktur tanah, sehingga tanah akan semakin remah. Namun jika
penambahan bahan organik tidak diberikan dalam jangka panjang kesuburan fisiknya
akan semakin menurun. Misalnya petani yang menggunakan pupuk Urea (hanya
mengandung hara N) dalam dosis tinggi secara terus menerus, sementara tanaman
mengambil unsur hara tidak hanya N (nitrogen) dalam jumlah yang banyak, maka akan
terjadi pengurasan hara lainnya. Dilaporkan dipersawahan yang intensif seperti di
Delanggu diduga kekurangan hara mikro Zn dan Cu. Memang seyogyanya semua hara
yang dibutuhkan tanaman perlu ditambahkan, namun yang demikian sulit dilakukan.
Kecuali dengan penambahan pupuk organik secara periodik yang mengandung hara
lengkap yang sekarang semakin jarang dilakukan petani.
Unsur hara di dalam tanah dapat mengalami penurunan melalui beberapa
proses yaitu terangkut bersama panen, hilang melalui pencucian, penguapan (untuk N),
terikat pada mineral liat tanah (untuk K dan amonium/NH4 +), terikat oleh Al, Fe, Ca
(untuk P) dan tererosi. Oleh sebab itu untuk menjaga kelestarian hara di dalam tanah
tidak cukup hanya menggantikan unsur hara yang hilang bersama panen saja, tetapi juga
perlu diperhitungkan kehilangan hara melalui berbagai proses lain.
Saat ini salah satu dari dampak dari penggunaan pupuk anorganik dalam kurun
waktu sepuluh tahun terakhir di Indonesia adalah terjadinya penurunan rata-rata secara
berkesinambungan produktivitas lahan sawah di Propinsi Jawa Barat sebesar 0,755
ton/ha. Meningkatnya intensitas tanam dari satu kali menjadi dua atau tiga kali setahun
juga menyebabkan waktu antar musim tanam semakin pendek sehingga pelapukan
jerami tidak sempurna dan mempersulit pengolahan tanah, imobilisasi nitrogen, dan
defisiensi nitrogen. Akibat pengelolaan hara yang kurang bijaksana serta pengangkutan
jerami sisa panen keluar lahan, sebagian besar lahan sawah terindikasi berkadar bahan
organik sangat rendah (C-organik <2 persen). Hasil kajian yang dilakukan Kasno et al.,
(2000) menunjukkan bahwa dari 1.577 contoh tanah sawah yang dianalisis, 65 % tanah
sawah berkadar C-organik < 2 persen, dan hanya 35 % yang berkadar C-organik > 2 %,
inipun terjadi pada lahan sawah yang bergambut.
Penggunaan pupuk kimia secara terus-menerus juga dapat menyebabkan
terjadinya defisiensi atau kekurangan unsur hara tertentu dalam tanah. Akibat dari
ditinggalkannya penggunaan pupuk organik juga berdampak pada penyusutan
kandungan bahan organik tanah, bahkan banyak tempat-tempat yang kandungan bahan
organiknya sudah sampai pada tingkat rawan, sekitar 60 % areal sawah di Jawa
kandungan bahan organiknya kurang dari 1 % (Kasno et al., 2000). Sementara, sistem
pertanian bisa menjadi sustainable (berkelanjutan) jika kandungan bahan organik tanah
lebih dari 2 % (Atmojo, 2006). Bahan oraganik tanah disamping memberikan unsur
hara tanaman yang lengkap juga akan memperbaiki struktur tanah, sehingga tanah akan
semakin remah. Namun jika penambahan bahan organik tidak diberikan dalam jangka
panjang kesuburan fisiknya akan semakin menurun.

B. Luas dan Kondisi Lahan Pertanian Terdegradasi di Beberapa provinsi di


Indonesia

Degradasi kesuburan tanah adalah suatu proses kemunduran atau kerusakan


tanah secara fisika, kimia dan biologi yang menyebabkan penurunan produktivitas dan
daya sangga lahan yang disebabkan oleh kegiatan manusia atau penyebab lain.
Degradasi kesuburan lahan pertanian dicirikan oleh menurunnya kadar C-organik dan
unsur-unsur hara tanah dan berubahnya lapisan bidang oleh menjadi lebih dangkal serta
penurunan dinamika dan populasi biota tanah. Salah satu cara untuk menetapkan
penurunan atau degradasi tanah sawah digunakan parameter kandungan hara P, K, C-
organik tanah.
Tabel 1. Kriteria pengelompokan lahan pertanian (lahan sawah) terdegradasi
Status hara
Kandungan C Kelas degradasi
P K
Rendah Rendah Rendah Terdegradasi berat
Rendah Rendah Sedang Terdegradasi berat
Rendah Rendah Tinggi Terdegradasi berat
Rendah Sedang Rendah Terdegradasi berat
Rendah Sedang Sedang Terdegradasi sedang
Rendah Sedang Tinggi Terdegradasi sedang
Rendah Tinggi Rendah Terdegradasi berat
Rendah Tinggi Sedang Terdegradasi sedang
Sedang Tinggi Tinggi Terdegradasi rendah
Sedang Rendah Rendah Terdegradasi berat
Sedang Rendah Sedang Terdegradasi sedang
Sedang Rendah Tinggi Terdegradasi rendah
Sedang Sedang Rendah Terdegradasi berat
Sedang Sedang Sedang Terdegradasi rendah
Sedang Sedang Tinggi Tidak terdegradasi
Sedang Tinggi Rendah Terdegradasi sedang
Sedang Tinggi Sedang Terdegradasi rendah
Tinggi Tinggi Tinggi Tidak terdegradasi
Tinggi Rendah Rendah Terdegradasi berat
Tinggi Rendah Sedang Terdegradasi sedang
Tinggi Rendah Tinggi Terdegradasi rendah
Tinggi Sedang Rendah Terdegradasi sedang
Tinggi Sedang Sedang Terdegradasi rendah
Tinggi Sedang Tinggi Tidak terdegradasi
Tinggi Tinggi Rendah Terdegradasi sedang
Tinggi Tinggi Sedang Tidak terdegradasi
Tinggi Tinggi Tinggi Tidak terdegradasi
Sumber : Mulyani et al., 2012.
Luas lahan pertanian terdegradasi di Indonesia mencapai 23,5 juta ha dan 7,9
juta ha merupakan lahan sawah dengan kandungan bahan organik rendah sampai sangat
rendah (C-organik <2%). Hal ini memperlihatkan angka yang cukup besar dan sanagt
berdampak pada keberlanjutan kegiatan pertanian dimasa yang akan datang. Untuk
mengelompokkan lahan sawah terdegrdasi, diperlukan data kandungan bahan organik
yang lebih banyak, namun belum semua lokasi mempunyai data sebaran kandungan
bahan organik. Oleh karena itu, dalam pengelompokan lahan sawah terdegradasi ini
digunakan beberapa asumsi. Misalnya, rata-rata kandungan C-organik tanah sawah di
Jawa Barat termasuk kelas sedang, sehingga untuk wilayah lainnya di Jawa Barat yang
tidak mempunyai data C-organik akan diasumsikan termasuk kelas sedang (2-3%) dan
atau mempertimbangkan rata-rata tingkat produktivitas padi pada tingkat kabupaten.
Data hasil penelitian tanah yang dilakukan oleh Balai Penelitian Tanah Bogor
(2008) 73 % tanah masuk dalam kategori rendah (C organik <2%), sisanya 23%
termasuk dalam kategori sedang (C organik 2 – 3%) dan hanya 4% yang memiliki
kandungan C organik tinggi (> 3 %).

Sumber : Departemen Riset dan Pengembangan Mitra Agrindo Grup, 2009 (data diolah)
Untuk penyusunan lahan sawah terdegradasi telah digunakan data hasil analisis
Balai Penelitian Tanah, yang menghimpun 1.577 contoh tanah sawah yang menyebar di
seluruh Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 8,1 juta ha lahan sawah di
Indonesia, sekitar 65% tanah sawah mempunyai kandungan C-organik rendah sampai
sangat rendah (C-organik < 2%), dan hanya 35% yang mempunyai kandungan C-
organik > 2 %, inipun terjadi pada lahan sawah yang bergambut (Kasno et al, 2000).
Rendahnya kandungan bahan organik tanah kemungkinan disebabkan pengelolaan hara
yang kurang bijak serta pengangkutan jerami sisa panen keluar lahan, sehingga sebagian
besar lahan sawah berkadar bahan organik rendah sampai sangat rendah (C-organik
<2%). Hal ini terutama pada wilayah yang memanfaatkan limbah jerami untuk kegiatan
lain seperti untuk pengembangan jamur merang dan pakan ternak sapi.
Selain itu, Firmansyah (2003) juga menambahkan bahwa dibandingkan tanah
terdegradasi, maka terdegradasi memiliki lebih rendah 38% C organik tanah, 55% lebih
rendah basa-basa dapat ditukar, 56% lebih rendah biomassa mikroba, 44% lebih rendah
kerapatan mikroartropoda, sebaliknya 13% lebih tinggi berat isi dan 14% pasir. Nilai pH
tanah tidak terdegradasijuga lebih tinggi daripada tanah terdegradasi. Begitu pula
ditemukan bahwa dekomposisi daun dan pelepasan unsur hara lebih rendah pada tanah
terdegradasi daripada non terdegradasi selama 150 percobaan.
Untuk luas lahan sawah terdegradasi, perhitungan terhadap lahan sawah di 8
provinsi (Tabel 2) yang mengalami degradasi secara kimia (kadar hara P dan K, C-
organik) dan jenis tanah menunjukkan bahwa luasan lahan sawah yang termasuk pada
kelas lahan terdegradasi sedang seluas 2,3 juta ha (50 persen), penyebaran terluas
terdapat di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan. Sedangkan yang termasuk
lahan terdegradasi berat sekitar 1,8 juta ha (38 persen), terluas di Provinsi Jawa Timur,
Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Lahan yang terdegradasi rendah dan tidak terdegradasi
mencakup luasan kecil, masing-masing hanya 8 persen dan 4 persen (Badan Litbang
Pertanian, 2010).
Tabel 2. Penyebaran lahan sawah terdegradasi di 8 provinsi di Indonesia
Tingkat degradasi
Tidak
Provinsi Berat Sedang Ringan terdegradasi Jumlah
Banten 184.741 42.402 7.828 3.534 238.505
Jawa Barat 289.834 283.995 251.280 114.119 939.228
Jawa Tengah 472.815 504.216 40.852 34.038 1.051.921
Jawa Timur 472.743 655.458 8.084 7.110 1.143.395

D.I. Yogyakarta 8.998 23.313 36.753 - 69.064


Sulawesi Selatan 117.184 433.922 9.350 210.051 770.507
Sumatera Selatan 117.807 310.927 1.720 - 430.454
Sumatera Barat 114.562 78.192 12.731 30.216 235.701
Jumlah 1.778.683 2.332.425 368.598 399.068 4.878.775
Persentase (%) 38 50 8 4 100
Sumber : Mulyani et al., 2012.
Pada Tabel 2 terlihat bahwa dari luas total lahan sawah di 8 provinsi (4,7 juta
ha), sebagian besar lahan sawah tersebut termasuk pada kelas terdegradasi sedang (TS)
seluas 2,3 juta ha (50%), penyebaran terluas terdapat di Jatim, Jateng dan Sulsel.
Sedangkan yang termasuk lahan terdegradasi berat (TB) sekitar 1,8 juta ha (38%),
terluas di Provinsi Jatim, Jateng dan Jabar. Untuk lahan yang terdegradasi rendah (TR)
dan tidak terdegradasi (TT) mencakup luasan kecil, masing-masing 8% dan 4%, terluas
di Jawa Barat.
Salah satu cara mengetahui penurunan atau degradasi tanah sawah digunakan
parameter kandungan hara P, K. Hasil identifikasi status hara P dan K di 8 provinsi
sentra produksi padi disajikan pada Tabel 3 dan 4. Dari tabel tersebut terlihat bahwa
sebagian besar wilayah lahan sawah mempunyai kandungan P dan K sedang dan tinggi.
Tabel 3. Sebaran status hara P di 8 provinsi sentra produksi padi di Indonesia.

Status hara P (P2O5 terekstrak HCl 25%) (ha)


Provinsi Rendah (<20 Sedang (20-40 Tinggi (>40 Jumlah (ha)
mg/100g) mg/100g) mg/100g)
Banten 70.853 108.351 59.300 238.504
Jawa Barat 156.238 355.015 427.975 939.228
Jawa Tengah 90.064 275.553 686.306 1.051.923
Jawa Timur 65.228 313.659 764.507 1.143.394
D. I. Yogyakarta 455 5.531 63.078 69.064
Sulawesi Selatan 26.691 89.142 465.657 581.490
Sumatera Barat 96.347 211.649 122.458 430.454
Sumatera
Selatan 7.097 143.269 85.354 235.720

Jumlah 512.973 1.502.169 2.674.635 4.689.777


Sumber : Mulyani et al., 2012.
Dari tabel 3 diatas terlihat bahwa dari 8 provinsi sentra produksi padi di
Indonesia, Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah memiliki luas lahan sawah
terdegradasi tertinggi yaitu 1,14 juta ha (1.1443.394 ha) di Jawa Timur dan 1,05 juta ha
(1.051.922 ha) di Jawa Tengah dan luas lahan terdegradasi terendah yaitu D. I.
Yogyakarta yaitu seluas 69 ribu ha (69.004 ha). Masing-masing provinsi memiliki luas
lahan sawah terdegradasi yang berbeda-beda terutama untuk ketersediaan hara P di
tanah. Sedangkan untuk status hara K dari 8 provinsi yang memiliki luas lahan sawah
terdegradasi tertinggi di Indonesia,
Tabel 4. Sebaran status hara K di 8 provinsi sentra produksi padi di Indonesia
Status hara K (K2O terekstrak HCl 25%) (ha)
Provinsi Rendah (<10 Sedang (10- Tinggi (>20 Jumlah (ha)
mg/100g) 20 mg/100g) mg/100g)
Banten 49.524 35.956 153.024 238.504
Jawa Barat 105.465 396.160 437.603 939.228
Jawa Tengah 101.456 576.349 374.321 1.051.922
Jawa Timur 166.529 494.545 482.321 1.143.394
D. I. Yogyakarta 17.478 51.586 0 69.064
Sulawesi Selatan 115.541 175.598 290.351 581.490
Sumatera Barat 71.478 183.493 175.483 430.454
Sumatera Selatan 79.818 138.164 17.719 235.701
Jumlah 707.288 2.051.852 1.930.617 4.689.757
Sumber : Mulyani et al., 2012.
Seiring dengan meningkatnya intensitas tanam di lahan sawah intensifikasi,
waktu yang tersedia untuk pengolahan tanah juga semakin sempit sehingga praktek
petani dalam mengolah tanahnya juga ikut berubah. Di lahan sawah intensifikasi di jalur
Pantura ditengarai telah terjadi pendangkalan atau lapisan olah tanah dangkal, sehingga
produktivitas tanaman menurun. Tanah yang mempunyai lapisan olah dalam (>20 cm)
berpeluang memberikan produktivitas tanaman yang tinggi karena perakaran tanaman
dapat berkembang lebih sempurna.

C. Produksi Beberapa Tanaman pada Lahan Pertanian Terdegradasi

Produktivitas lahan sering disebut sebagai hasil atau produk pertanian (yield)
juga dapat dijadikan indikator tingkat kekritisan lahan akibat terdegradasi. Seperti hasil
atau produksi singkong kurang dari 15 ton/ha mengindikasikan bahwa lahannya sudah
tergolong kritis. Data BPS (2002) menunjukkan bahwa hasil singkong rata-rata di
Indonesia sekitar 11 ton/ha. Hal ini berarti bahwa lahan pertanian yang secara umum
ditanami singkong sudah tergolong kritis.
Selain itu, penelitian Sudirman dan Vadari (2000) menunjukkan bahwa hasil
padi gogo dan kacang tanah di daerah aliran sungai (DAS) Cimanuk Bagian Hulu telah
semakin berkurang seiring dengan meningkatnya tingkat kekrirtisan lahan (Tabel ).
Beberapa produk pertanian, seperti padi gogo, jagung dan kedelai, juga memperlihatkan
kondisi lahan yang cukup kritis (BPS, 2005). Meskipun ada kecenderungan peningkatan
hasil, kondisi tersebut sebenarnya bukan karena kualitas lahannya yang masih baik
melainkan lebih banyak disebabkan karena peningkatan penggunaan input pertanian.
Hasil padi gogo dan kacang tanah (Tabel 5) pada lahan dengan tingkat
kekritisan potensial kritis terlihat lebih tinggi dari lahan dengan tingkat kekritisan semi
kritis, kritis dan sangat kritis. Produktivitas lahan potensial kritis masih relatif lebih baik
dibandingkan dengan produktivitas lahan lainnya, karena lahan tersebut sebenarnya
masih mempunyai produktivitas yang cukup. Hanya saja karena lahan tersebut
mempunyai satu atau lebih faktor pembatas, akan menjadi kritis apabila lahan tersebut
tidak dimanfaatkan dengan baik.
Tabel 5. Produktifitas tanah inceptisol pada berbagai tingkat degradasi lahan di DAS
Cimanuk bagian Hulu

Produksi tanaman Degradasi


(ton/ha) Berpotensi terdegradasi Ringan Sedang Berat
Padi gogo 1,49 1,16 1,02 0,92
Kacang tanah 1,84 1,68 0,99 0,77
Sumber : Sudirman & Vadari, 2010

Degradasi tanah juga berdampak terhadap penurunan produktivitas tanah.


Kehilangan produktivitas dicirikan terjadinya erosi akibat tanah terdegradasi
diperkirakan 272 juta Mg pangan dunia hilang berdasarkan tingkat produksi tahun
1996 (Lal, 2000). Tanah yang mengalami kerusakan sifat fisik, kimia dan biologi
memiliki pengaruh terhadap penurunan produksi padi mencapai 22% pada lahan semi
kritis, 32% pada lahan kritis, dan 38% pada sangat kritis; sedangkan untuk kacang
tanah mengalami penurunan 9%, 46%, 58% masing-masing pada tanah semi kritis,
kritis, dan sangat kritis. Sifat tanah yang berkorelasi nyata terhadap produksi padi
adalah kedalaman solum, kandungan bahan organik. P 2O5 tersedia, Fe dan Cu;
sedangkan pada kacang tanah adalah kedalaman solum, ketebalan topsoil, kandungan
bahan organik, P2O5 tersedia, P2O5 total, K2O total, Fe, Cu dan Zn (Sudirman dan
Vadari, 2000).
D. Peran Pertanian Organik dalam Mengatasi Degradasi Lahan

Pertanian organik bukanlah suatu pertanian yang hanya menghasilkan produk


yang sehat saja, melainkan sistem pertanian ini harus juga mampu mempertahankan
sumber daya tanah, air dan udara agar dapat mendukung sistem pertanian secara
berkelanjutan dalam waktu yang tidak terbatas, karena itu sistem pertanian ini juga tidak
bisa lepas dari aspek konservasi sehingga tujuan akhir berupa pertanian yang
berkelanjutan bisa terwujud (Yusuf, 2001).
Penerapan pertanian organik memiliki implikasi positif terhadap kondisi
lingkungan pertanian baik secara regional maupun global (Stockdale et al., 2001).
Secara umum, pertanian organik dianggap ramah lingkungan dibandingkan dengan
pertanian konvensional karena penggunaan insektisida, herbisida, dan pupuk kimia
seluruhnya atau sebagian besar dihindari. Dengan penerapan pertanian organik ini,
penurunan kualitas tanah, udara, dan air, dan keanekaragaman hayati yang
menyebabkan terjadinya degradasi lahan bisa diatasi dengan baik sehingga kegiatan
pertanian tetap berkelanjutan dan produktifitas lahan dapat dipertahankan. Beberapa
peranan pertanian organik di dalam mengatasi degradasi lahan akibat praktik pertanian
yang kurang tepat diantaranya yaitu:
a. Memperbaiki dan meningkatkan kualitas tanah (fisik, kimia dan biologi)
Meminimalkan serta menghindarkan penggunaan input bahan kimia untuk
keberlansungan kegiatan praktik pertanian pada pertanian organik mampu memperbaiki
dan meningkatkan kualitas tanah. Hal ini juga didukung oleh Gomiero (2013) yang
mengatakan bahwa pertanian organik berkinerja lebih baik dalam melestarikan atau
memperbaiki kualitas tanah berkaitan dengan kandungan biofisik (yaitu nutrisi yang
tersimpan) dan biologis (kandungan keanekaragaman hayati). Sebagai contoh,
penerapan pertanian organik di Amerika Serikat dalam jangka panjang mampu
meningkatkan kualitas tanah terutama dalam kemampuan tanah menyimpan C dan N
(Delate et al., 2015). Namun, jumlah hara K dan P yang tersedia pada lahan pertanian
organik mungkin lebih rendah dibandingkan dengan pertanian lahan konvensional
(Stockdale et al., 2001). Tanah yang dikelola secara organik melalui penerapan
pertanian organik juga memiliki kapasitas menahan air jauh lebih tinggi dibandingkan
tanah pertanian konvensional (Gomiero et al., 2011). Terutama pada saat terjadi
cekaman kekeringan, lahan pertanian yang dikelola secara organik mengalami
peningkatan kemampuan menahan dan menyimpan air yang dapat berkontribusi pada
peningkatan hasil panen. Gomiero et al., (2011) juga menambahkan bahwa hilangnya
tanah oleh erosi juga sangat berkurang pada lahan pertanian organik.
Penambahan pupuk kandang dan residu dari biomassa tanaman pada pertanian
organik juga mampu meningkatkan stabilitas agregasi tanah (Lynch, 2014)
dibandingkan dengan agrerat tanah yang dikelola secara konvensional, sehingga kurang
rentan terhadap erosi. Karakteristik biokimia dan ekologi tanah pada pertanian organik
juga lebih baik (Gomiero et al., 2011). Secara khusus, usahatani pertanian organik jauh
lebih baik daripada pertanian konvensional berkenaan dengan panjang akar tanaman
yang mampu menembus lapisan tanah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
pertanian organik dikaitkan dengan tingkat aktivitas biologis yang lebih tinggi, yang
ditunjukkan oleh bakteri, jamur, dan cacing tanah (Gomiero, 2011).
Peningkatan bahan organik tanah dari tanah yang terdegradasi melalui
penerapan pertanian organik akan meningkatkan meningkatkan hasil tanaman budidaya
melalui tiga mekanisme, yaitu peningkatan kapasitas air tersedia, peningkatan suplai
unsur hara dan peningkatan struktur tanah dan sifat fisik tanah lainnya. Hubungan erat
antara peningkatan bahan organik dan kapasitas air tersedia dengan kemampuan tanah
untuk bertahan terutama pada saat kekeringan secara umum dapat dilihat dari
kandungan air tanah tersedia meningkat antara 1-10 gram untuk peningkatan 1 gram
kandungan bahan organik tanah. Peningkatan karbon organik (C-organik) tanah
sebesar 1 Mg/ha/tahun dapat meningkatkan produksi biji-bijian pangan 32 Mg/ha/tahun
di negara sedang berkembang (Lal, 2006). Dalam hal kaitannya dengan unsur hara
pada dasarnya bahan organik mengandung unsur hara yang lengkap, hanya
kadarnya tergantung pada kandungan hara dari sumber bahan organiknya.
Bahan organik juga berkorelasi erat dengan total N, Ca, jumlah basa dan
KTK tanah (Supriyadi, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa bahan organik bahan
organik tanah tidak saja berpengaruh pada kandungan N tetapi juga berpengaruh
pada kemampuan tanah untuk menahan dan melepaskan unsur hara yang berupa
kation.
Paktik pertanian dengan penerapan pupuk kandang kompos, dan penggunaan
kacang polong dan pupuk hijau dalam rotasi tanam dapat memperbaiki kualitas air
(Cambardella et al., 2015). Pertanian organik juga telah terbukti memiliki pengaruh
besar terhadap sifat tanah seperti mengubah struktur tanah dan meningkatkan aktivitas
mikroba tanah, yang akan berpengaruh positif pada pembentukan agregat dan kadar
karbon organik tanah (SOC) (Tiemann et al., 2015). Secara khusus, sistem pertanian
organik memanfaatkan lebih sedikit energi daripada produksi pertanian konvensional
karena tidak bergantung pada pupuk dan pestisida (Ziesemer, 2007).

Gambar 2. Kandungan karbon tanah (Mg C/ha) pada tanah cambisol, luvisols dan
leptisols setelah 20 tahun pada sistem pertanian organik dan konvensional
in Spain Selatan
Sumber : Sivakumar & Ndiang’ui. 2007).
Pengaruh pemberian bahan organik dalam memperbaiki sifat-sifat kimia tanah
juga ditunjukkan oleh berbagai penelitian. Pemberian bahan organik Flemingia congesta
mampu mempertahankan kadar bahan organik tanah dan KTK tanah (Sukristyonubowo
et al, 1993), meningkatkan pH dan P-tersedia (Irianto et al. 1993), pengembalian
biomassa jerami padi ke areal pertanaman mampu meningkatkan kadar N tanah dan
penambahan Mucuna sp mampu meningkatkan Ca, Mg, K dan Na serta menurunkan
Aldd dan Fedd.
Peningkatan penggunaan bahan organik pada pertanian organik juga akan
meningkatkan aktivitas dan populasi mikrobiologi dalam tanah, terutama yang berkaitan
dengan aktivitas dekomposisi dan mineralisasi bahan organik. Beberapa
mikroorganisme yang beperan dalam dekomposisi bahan organik adalah fungi, bakteri
dan aktinomisetes. Di samping mikroorganisme tanah, fauna tanah juga berperan dalam
dekomposi bahan organik antara lain yang tergolong dalam protozoa, nematoda,
Collembola, dan cacing tanah. Fauna tanah ini berperan dalam proses humifikasi dan
mineralisasi atau pelepasan hara, bahkan ikut bertanggung jawab terhadap pemeliharaan
struktur tanah (Tian, 1997). Mikro flora dan fauna tanah ini saling berinteraksi dengan
kebutuhannya akan bahan organik, kerena bahan organik menyediakan energi untuk
tumbuh dan bahan organik memberikan karbon sebagai sumber energi.
b. Meningkatkan Produksi Tanaman
Penerapan sistem pertanian secara konvensional dengan penggunaan varietas
unggul dan pola pertanaman monokultur yang disertai dengan penambahan pupuk kimia
dan pestisida kimia yang berlebihan tanpa diimbangi dengan pemberian pupuk organik
dalam jangka panjang tidak lagi mampu meningkatkan hasil produk pertanian. Sistem
pertanian seperti ini tidak hanya menurunkan produksi tanaman, tetapi juga menurunkan
kualitas lahan secara berkepanjangan sehingga kegiatan pertanian menjadi tidak
berkelanjutan. Untuk mengatasi hal tersebut, maka diperlukan praktik pertanian yang
mampu menjaga kestabilan produksi dan daya dukung lingkungan secara berkelanjutan.
Salah satunya yaitu dengan menggunakan sistem pertanian organik.
Sistem pertanian organik terbukti mampu meningkatkan hasil produksi tanaman
sehingga produksi tanaman bisa stabil dan berkelanjutan. Pada tabel 6 dapat dilihat
bahwa hasil produksi tanaman pada pertanian organik lebih tinggi dibandingkan dengan
hasil produksi secara konvensional (dengan menggunakan pupuk kimia) dan kontrol.
Peningkatan hasil tanaman pada pertanian organik merupakan suatu keberhasilan untuk
menjaga daya dukung lingkungan yang tetap mampu menjadi media tumbuh yang baik
bagi tanaman.
Tabel 8. Hasil produksi beberapa tanaman pada pertanian konvensional dan organik
Tanaman Perlakuan Produksi (kg/ha)
Faba bean Kompos 2.900
Pupuk kimia 1.100
Kontrol 766
Finger millet Kompos 2.000
Pupuk kimia 1.433
Kontrol 500
Jagung Kompos 2.000
Pupuk kimia 1.133
Kontrol 680
Barley Kompos 2.193
Pupuk kimia 1.283
Kontrol 900
Gandum Kompos 1.020
Pupuk kimia 1.617
Kontrol 590
Teff Kompos 1.650
Pupuk kimia 1.150
Kontrol 390
Sumber : Sivakumar & Ndiang’ui. 2007
Peningkatan produksi tanaman dengan sistem pertanian organik juga terlihat
pada tabel 7. Dalam percobaan yang dilakukan selama 4 tahun, hasil tanaman yang
dibudidayakan pada pertanian organik lebih tinggi dibandingkan dengan produksi
tanaman yang tidak dibudidayakan secara organik (konvensional). Hal tersebut
membuktikan bahwa penerapan sistem pertanian organik setelah waktu tertentu mampu
meningkatkan produksi tanaman.
Gambar 3. Perbandingan produksi beberapa varietas tanaman faba bean, field pea and
finger millet tahun 1998 dan 2002
Sumber : Sivakumar & Ndiang’ui. 2007
Dari gambar 3 diatas juga terlihat bahwa dalam kurun waktu 4 tahun penerapan
pertanian organik mampu meningkatkan produksi tanaman untuk semua jenis komoditas
dibandingkan dengan tanaman yang ditanam secara konvensional. Hal tersebut
menunjukkan bahwa peningkatan produksi tanaman dengan pertanian organik dapat
didukung oleh kemampuan bahan organik yang diberikan dalam memperbaiki kualitas
dan kemampuan produktifitas lahan baik secara kimia, biologi maupun fisika tanah.

E. Analisis Penerapan Pertanian Organik pada Lahan Padi Sawah terdegradasi


di D.I. Yogyakarta melalui Pemanfaatan Pupuk Kandang Sapi

Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu provinsi dari 8 provinsi di


Indonesia yang memiliki lahan sawah terdegradasi terluas. Status lahan terdegradasi di
D.I. Yogyakarta dikelompokkan menjadi terdegradasi ringan, sedang dan berat dan
pengelompokannya dilakukan sesuai dengan daerah atau kabupaten yang ada di D.I.
Yogyakarta (luas dan peta lahan terdegradasi terlampir). Untuk mengatasi masalah lahan
sawah terdegradasi tersebut, maka dapat diterapkan pertanian organik dengan
memanfaatkan kotoran sapi atau pupuk kandang yang dihasilkan oleh populasi sapi
yang ada di D.I. yogyakarta. Pemberian pupuk kandang sapi tersebut mampu
memperbaiki kualitas fisik, kimia dan biologi tanah sehingga kemampuan produktifitas
lahan masih bisa dipertahankan.
Hasil penelitian Sujitno et al. (2014) menunjukkan bahwa pupuk organik sapi
memberikan produksi paling tinggi diantara perlakuan pupuk organik yang lain.
Kandungan unsur hara dalam pupuk kandang sapi sangat bervariasi tergantung pada
jenis pakan sapi dan cara penyimpanan pupuk kandang tersebut. Pada umumnya pupuk
kandang sapi mengandung nitrogen (N) 0,40%, fosfor (P 2O5) 0,20% dan kalium (K2O)
0,10%. Nisbah C/N pada pupuk kandang sapi cukup tinggi yaitu 33,89 , sedangkan
menurut Lewandowski and Beyenal (2004) bahwa nisbah C/N pupuk kandang sapi yang
siap pakai adaah 11-30. Hal ini menunjukkan bahwa pupuk kandang sapi masih
mengalami proses dekomposisi (Panjaitan, 2009).
Analisis Penerapan Pertanian Organik di D. I. Yogyakarta
Luas area panen padi sawah di D.I. Yogyakarta pada tahun 2015 yaitu seluas
113.027 dengan laju pertumbuhan 1,02 % per tahun dan luas lahan padi ladang yaitu
42.811 ha dengan laju pertumbuhan 1,03% per tahun. Diproyeksikan untuk tahun 2017
luas lahan sawah meningkat menjadi 114.258 ha yang ditanami sebanyak tiga kali
musim tanam per tahun dan luas lahan padi ladang meningkat menjadi 43.672 ha. Dari
luasan sawah 114.258 ha, lahan yang sudah dijadikan untuk penerapan pertanian padi
organik yaitu seluas 55,30 ha dan sisa luas lahan yang belum dijadikan sebagai pertanian
organik yaitu 114.202,70 ha.
Dalam budidayanya, padi membutuhkan input hara N sebesar 90 kg N/ha untuk
dapat menghasilkan gabah kering sebanyak 5 ton/ha. Jika diasumsikan sumbangan unsur
hara N dari dalam tanah 40-65 kg N/ha/musim tanam dan defisit hara N bagi tanaman
25-50 kg N/ha/musim tanam, maka untuk pertanian padi organik dengan input hara N
yang diberikan berasal dari pupuk kandang sapi tanpa ada pemberian input hara dari
pupuk anorganik, maka dapat diasumsikan kebutuhan pupuk kandang sapi untuk luas
lahan padi sawah 114.202,79 ha dan musim tanam 3 kali dalam setahun dengan asumsi
kebutuhan pupuk kandang sapi untuk satu tahun adalah 30 ton/ha, maka kebutuhan
pupuk kandang keseluruhan adalah 3.427.748.100 kg /ha/tahun dan 873.430.022
kg/tahun/ha untuk padi ladang dengan luas lahan 43.672 ha dengan dua musim tanam
per tahun. Untuk dapat memenuhi kebutuhan pupuk kandang sapi sebanyak
4.301.178.122 kg tersebut, maka diperlukan sapi sebanyak 1.991.286 ekor yang dapat
menghasilkan 2,16 ton pupuk kandang per ekor per tahun.
Tabel 6. Asumsi kebutuhan pupuk kandang pada penerapan pertanian padi organik serta luasan lahan yang bisa diberi pupuk kandang sapi
dalam satu tahun berdasarkan luasan lahan D.I. Yogyakarta tahun 2017
Kebutuhan
Jumlah Kebutuhan Luas lahan
Luas Luas Jumlah pupuk Total
Produksi Produksi pupuk pupuk kandang yang bisa
padi padi Total sapi kandang padi kebutuhan
Tahun gabah jerami kandang padi sawah diberi
sawah ladang (ha) tersedia ladang pupuk
(ton/tahun) (ton/tahun) tersedia (ton/ha/tahun) pupuk
(ha) (ha) (ekor) (ton/ha/tahun) kandang
(kg/tahun) (IP 300) kandang
(IP 200)

2015 113.027 42.811 155.838 945.136 1.323.190 310.735 671.187.600 856.220.000 3.390.810.000 4.247.030.000 22.373

2016 114.157 43.239 157.396 973.490 1.362.886 313.842 677.899.476 864.782.200 3.424.718.100 4.289.500.300 22.597

2017 114.258 43.672 157.930 1.002.695 1.403.773 316.981 684.678.471 873.430.022 3.427.748.100 4.301.178.122 22.823

2018 114.358 44.108 158.467 1.032.776 1.445.886 320.151 691.525.255 882.164.322 3.430.750.754 4.312.915.076 23.051

2019 114.458 44.549 159.008 1.063.759 1.489.262 323.352 698.440.508 890.985.965 3.433.753.382 4.324.739.348 23.281

2020 114.559 44.995 159.553 1.095.672 1.533.940 326.586 705.424.913 899.895.825 3.436.756.008 4.336.651.833 23.514
Sumber data :
1. Kandungan N pupuk kandang sapi : 0,4 % /kg (Lingga, 1992; Sujitno et al. (2014)
2. Data luas lahan padi sawah dan padi ladang diperoleh dari Kementerian Pertanian, 2017 (data diolah) dengan rata-rata laju
pertumbuhan 1,02% (data diolah)
3. Data produksi gabah diperoleh dari Kementerian Pertanian, 2017 (data diolah)
4. Untuk produksi 5 ton padi organik/ha, dibutuhkan pupuk N rata-rata sebesar 90 kg N/ha dimana N yang tersedia di tanah 40-65 kg/ha
dan defisit hara N tanaman 25-50 kg/ha atau setara dengan 10 ton pupuk kandang/tahun/ha/musim tanam
5. Kebutuhan pupuk kandang dihitung berdasarkan kebutuhan pupuk kandang tanaman padi sawah dalam satu tahun (3 kali musim
tanam) dan kebutuhan pupuk kandang tanaman padi ladang dalam satu tahun (2 kali musim tanam)
6. Jumlah feses kering (pupuk kandang sapi) diperoleh dari 40% dari total feses basah sapi atau sebanyak 2,16 ton/tahun/sapi
(Hariansijas, 2012)
Tabel 7. Proyeksi luas area penanaman padi organik dan kebutuhan pupuk kandang, serta kebutuhan sapi hingga tahun 2020

Luas padi sawah Luas padi Produksi jerami Jumlah sapi tersedia Jumlah sapi yang bisa diberi
Tahun Total (ha)
(ha) ladang (ha) (ton/tahun) (ekor) makan jerami

2015 113.027 42.811 155.838 1.323.190 310.735 64.933

2016 114.157 43.239 157.396 1.362.886 313.842 65.582

2017 114.258 43.672 157.930 1.403.773 316.981 65.804

2018 114.358 44.108 158.467 1.445.886 320.151 66.028

2019 114.458 44.549 159.008 1.489.262 323.352 66.253

2020 114.559 44.995 159.553 1.533.940 326.586 66.481


Sumber data:
1. Data jumlah sapi diperoleh dari Kementerian Pertanian, 2017 (data diolah)
dengan laju pertumbuhan 1 % per tahun
2. Kebutuhan pakan sapi dihitung berdasarkan konsumsi jerami padi maksimal
untuk sapi 1,33 % berat badan dengan asumsi berat badan sapi 300 kg/ekor.
3. Rata-rata 1 ha lahan padi sawah dan padi ladang mampu menyediakan 8 ton
jerami atau mampu memenuhi pakan jerami untuk 3,3 ekor sapi
4. Konsumsi bahan kering jerami padi untuk sapi =1,33% X 300=3,99 kg 4 kg
Atau setara dengan 6,67 kg jerami segar/hari atau 2,4 ton jerami
basah/sapi/tahun (Umiyasih & Agraeny, 2007).
Tabel 6 diatas menunjukkan bahwa jumlah pupuk kandang yang tersedia
tersebut masih sangat jauh dari jumlah yang dibutuhkan apabila semua lahan padi di
D.I. Yogyakarta di kembangkan secara organik. Berdasarkan data Kementrian
Pertanian tahun 2015, ternyata jumlah sapi potong dan sapi perah yang ada di D.I.
Yogyakarta sebanyak 310.735 ekor dengan laju pertumbuhan 1 % per tahun dan
diprediksikan untuk tahun 2017 jumlah sapi di D.I. Yogyakarta 316.981 ekor
hanya mampu memenuhi kebutuhan untuk luas lahan sawah seluas 22.823 ha
(15,92 % dari luas lahan padi sawah yang ada). Jumlah tersebut tidak mencukupi
kebutuhan pupuk kandang sapi pada peenrapan pertanian organik yang tidak
menggunakan penambahan input hara dari pupuk anorganik. Jumlah sapi sebanyak
316.981 ekor hanya dapat menghasilkan jumlah feses kering sebanyak 684.678.471 kg
dalam satu tahun (hanya mampu mensuplai 15,92 % dari total kebutuhan pupuk
kandang). Jumlah tersebut tentunya tidak mampu mencukupi kebutuhan pupuk
kandang sapi dalam budidaya tanaman padi organik di D.I. Yogyakarta atau defisit
sebanyak 84,08 % dari total kebutuhan pupuk kandang apabila seluruh lahan
pertanaman padi yang ada di D.I. Yogyakarta dikembangkan secara organik.
Tabel 7juga menunjukkan proyeksi luas area penanaman padi dan
kebutuhan pupuk kandang yang diberikan seiring dengan bertambahnya luas area
penanaman. Luas area penanaman pada tahun 2016 hingga 2020 dihitung dengan
cara memproyeksikan luas areal sawah tahun 2015 dengan laju kenaikan 1,02
%/tahun. Dari total lahan sawah yang ada di D.I. Yogyakarta dengan potensi
produksi jerami rata-rata 8 ton/tahun ternyata belum mampu memenuhi kebutuhan
pakan dari populasi sapi yang ada. Jerami yang dihasilkan dari luasan lahan padi
114.258 ha pada tahun 2017 hanya mampu memenuhi kebutuhan pakan sapi
sebanyak 65.804 ekor dari total populasi sapi yang ada yaitu 316.981 ekor
(hanya memenuhi kebutuhan pakan sebanyak 20,8 % dari populasi sapi yang
ada). Hal tersebut memperlihatkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan pakan sapi
dari jerami yang dihasilkan dari lahan padi sawah dan padi ladang yang ada D.I.
Yogyakarta, masih terjadi kekurangan pakan sebanyak 78,20 % untuk memenuhi
pakan semua populasi sapi yang ada.
Dari hasil analisis diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa luas lahan padi
sawah yang dapat dikembangkan secara organik dengan memanfaaatkan pupuk
kandang dari total populasi sapi yang ada di D.I. Yogyakarta yaitu seluas 22.823 ha
(19,97 % dari luas lahan padi sawah yang ada atau 15,92 % dari total lahan padi yang
ada). Sedangkan jerami yang dihasilkan dari luasan lahan padi 114.258 ha pada tahun
2017 hanya mampu memenuhi kebutuhan pakan sapi sebanyak 65.804 ekor dari total
populasi sapi yang ada yaitu 316.981 ekor (hanya memenuhi kebutuhan pakan
sebanyak 20,8 % dari populasi sapi yang ada).
KESIMPULAN

Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa:


1. Penggunaan pupuk kimia secara intensif merupakan salah satu praktik pertanian
yang menyebabkan terjadinya degradasi lahan atau terjadinya kemunduran
produktifitas lahan baik secara fisik, kimia maupun biologi tanah yang sangat
berpengaruh terhadap produksi tanaman (produktifitas tanaman menurun)
2. Peran pertanian organik dalam mengatasi masalah degradasi lahan akibat praktik
pertanian konvensional yang tidak tepat diantaranya yaitu memperbaiki dan
meningkatkan kualitas tanah (fisik, kimia dan biologi) sehingga akan
meningkatkan produksi tanaman.
3. Penerapan pertanian organik dapat dilakukan dengan memanfaatkan pasokan
jerami dan pupuk kandang sapi yang ada pada suatu wilayah salah staunya yaitu
wilayah D.I. Yogyakarta. Luas lahan sawah di wilayah D.I. Yogyakarta yang bisa
dikembangkan secara organik dengan memanfaatkan pupuk kandang dari populasi
sapi yang ada yaitu 19,97 % dari total luas lahan padi sawah atau 15,92 % dari
total lahan padi yang ada). Sedangkan jerami yang dihasilkan dari total luasan
lahan padi di D.I. Yogyakarta pada tahun 2017 hanya mampu memenuhi
kebutuhan pakan sapi sebanyak 20,8 % dari populasi sapi yang ada).
DAFTAR PUSTAKA

Anonim.2014 . Info Pukon dan degradasi lahan. PT. Mitra Sukses Agrindo. Jakarta.
Atmojo. S.W. 2003.Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah Dan Upaya
Pengelolaannya. Universitas Sebelas Maret Press: Surakarta.
Badan Litbang Pertanian. 2010. Policy Brief : Pemulihan Kesuburan Tanah pada
Lahan Sawah Berkelanjutan. Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan
Pertanian. Badan Litbang Pertanian.
Badan Pengkajian Teknologi Pertanian. 2008. Peta status hara dan arahan
rekomendasi pemupukan N dan K pada lahan sawah di Kabupaten Sleman
Provinsi D.I. Yogyakarta.
Blum. W. E.H., 1998. Basic concepts : Degradation, Resilience, and Rehabilitation.
Methods for Assessment of Soil Degradation. CRC Press. Boca Raton,
Florida. USA.
BPS (Badan Pusat Statistik). 2003. Statistik Indonesia 2002. BPS Jakarta
BPS (Badan Pusat Statistik). 2005. Statistik Indonesia 2004. BPS Jakarta.
Delate, K., M. Duffy, C. Chase, A. Holste, H. Friedrich 2005. An economic
comparison of organic and conventional grain crops in a long-term
agroecological research (LTAR) site in Iowa. American Journal of
Alternative Agriculture Vol. 18(2):5969. Journal paper No. 19802 of the
Iowa Agriculture and Home Economics Expt. Sta., Ames, Iowa. 2005.
Gomiero, T. 2013. Alternative land management strategies and their impact on soil
carbon stocks under organic farming. Agriculture 3, 464-483.
Irianto, G., A. Abdurachman & I. Juarsah. 1993. Rehabilitasi tanah tropudults
tererosi dengan sistem pertanaman lororng menggunakan tanaman pagar
Flemingia congesta L. Pembrt. Pen. Tanah dan Pupuk. 11:13-18.
Kementerian Pertanian. 2017. Basis Data Statistik Pertanian.
http://aplikasi.pertanian.go.id/bdsp/newkom.asp
Lal, R. 1994. Sustainable land use system and soil resilience. Greenland, D.J. and
I. Szabolcs (editor). Soil resilience and the sustainable land. CAB
International. p:41-67.
Lynch, D. H. 2014. Sustaining soil organic carbon, soil quality, and soil health in
organic field crop management systems. In : Martin, R. C. (Ed.), Integrative
studies in water management and land development : Mnaging energy,
nutrients, and pest in organic field crops. CRC Press, London, pp. 107-131.
Kasno, A. Nurjaya, dan D. Setyorini. 2003. Status C-organik lahan sawah di
Indonesia. Konggres Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) di Universitas
Andalas, Padang.
Mulyani, A., D. Setyorini, S. Rochayati & I. Las. 2012. Karakteristik dan sebaran
lahan sawah terdegradasi di 8 provinsi sentra produksi padi. Balai Litbang
Pertanian, Bogor.
Pulungan A. 2017. Permasalahan Inti Pertanian Tanaman Pangan di Indonesia.
https://www.kompasiana.com/www.didikbangsaku.blogspot.com/59955c99
4d6be904cb3f9a62/permasalahan-inti-pertanian-tanaman-pangan-di-
indonesia (diakses pada tanggal 12 November 2017)
Sivakumar M, V. K. & N. Ndiang’ui. 2007. Climate and land degradation.
Environmental Science and Engineering Subseries : Environmental Science.
Springer.
Sofyan, A., M. Sediyarso, Nurjaya, dan J. Suryono. 2000. Laporan akhir Penelitian
Status P dan K Tanah Sawah sebagai Dasar Penggunaan Pupuk yang Efisien
pada Tanaman Pangan. Bagian Proyek Sumberdaya Lahan dan Agroklimat.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Stockdale, E. A., Lampkin, N. H., Hovi, M., Kreatinge, R., Lennartsson, E. K. M.,
Macdonald, D. W., Padel, S., Tattersall, F. H., Wolfe, M. S., & Watson, C.
A. 2001. Agronomic and environmental implications of organic farming
systems. Adv. Agron. 70, 261-327.
Sudirman dan T. Vadari. 2000. Pengaruh kekritisan lahan terhadap produksi padi dan
kacang tanah di Garut Selatan. Hal. 411-418 dalam Prosiding Kongres
Nasional HITI ke VII. Bandung 2-4 Nopember 1999.
Sukristonubowo, Mulyadi, P. Wigena, & A. Kasno. 1993. Pengaruh penambahan
bahan organik, kapur dan pupuk NPK terhadap sifat kimia dan hasil kacang
tanah. Pembrt. Pen. Tanah dan Pupuk 11:1-6.
Suprayogo, D., Widianto,. P. Purnomosidi, R. H. Widodo, F. Rusiana, Z. Z. Aini, N.
Khasanah, dan Z. Kusumah. 2001. Degradasi sifat fisisk tanah sebagai
akibat alih guna lahan hutan menjadi sistem kopi momokultur: kajian
perubahan makro porositas tanah. Jurnal Penelitian Pertanian Universitas
Brawijaya. 60-68
Tiemann, L. K., Grandy, A. S., Atkinson, E. E., Marin-Spiotta, E., McDaniel, M. D.
2015. Crop rotational diversity enhances belowground communities and
functions in an agroecosystem. Ecol. Lett. 18, 761-771.
Umiyasih, U. & Y. N. Anggraeny. 2007. Petunjuk teknis ransum seimbang, strategi
pakan pada sapi potong. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian. 2007.
Wahyunto & A.Dariah. 2014. Degradasi lahan di Indonesia : kondisi exciting,
karakteristik, dan penyeragaman definisi mendukung gerakan menuju satu
peta. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 8 No. 2, Desember 2014 : 81-93.
Yusuf, Fredi S. 2001. Membentuk Masyarakat Pertanian Organik Di Propinnsi
Bengkulu. Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Bengkulu.
Ziesemer, J. 2007. Energy use in organic food systems, FAO. Rome.
LAMPIRAN

Gambar 1. Contoh peta status hara P dan K di salah satu kabupaten yang ada di D.I.
Yogyakarta

Sumber : Badan Pengkajian Teknologi Pertanian, 2008

Anda mungkin juga menyukai