Anda di halaman 1dari 6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kanker Prostat
1. Definisi Kanker Prostat
Kanker prostat adalah keganasan pada prostat yang diderita pria
berusia lanjut dengan kejadian puncak pada usai 65 -75 tahun. Penyebab
kanker prostat tidak diketahui secara tepat, meskipun beberapa penelitian
telah menunjukkan adanya hubungan antara diet tinggi lemak dan
peningkatan kadar hormon testosteron.
Pada bagian lain, Rindiastuti (2007) menyimpulkan bahwa usia
lanjut mengalami penurunan beberapa unsur esensial tubuh seperti
kalsium dan vitamin D. Penurunan kandungan kalsium tubuh
mengakibatkan berbagai penyakit, diantaranya adalah osteoporosis,
sehingga timbul paradigma bahwa pada usia lanjut untuk mengkonsumsi
kalsium dalam jumlah banyak. Tetapi pola makan dengan kalsium tinggi
secara berlebihan dapat meningkatkan risiko kanker prostat pada usia
lanjut. Lebih dari 95 % kanker prostat bersifat adenokarsinoma.
Selebihnya didominasi transisional sel karsinoma. (Presti, J. C, 2008).
Penelitian menunjukkan bahwa 60 - 70% kasus kanker prostat
terjadi pada zona perifer sehingga dapat diraba sebagai nodul-nodul keras
irregular. Fenomena ini nyata pada saat pemeriksaan rectum dengan jari
(Digital Rectal Examination). Nodul-nodul ini memperkecil kemungkinan
terjadinya obstruksi saluran kemih atau uretra yang berjalan tepat di
tengah prostat. Sebanyak 10 -20 % kanker prostat terjadi pada zona
transisional, dan 5 -10 % terjadi pada zona sentral.
2. Etiologi Kanker Prostat
Jarang ditemukan angka kejadian keganasan prostat yang tinggi di
dalam satu keluarga. Keganasan prostat sama dengan prostat normal,
untuk pertumbuhan dan perkembangannya bergantung pada hormon
androgen. Hal ini tidak berarti bahwa karsinoma prostat disebabkan oleh

4
hormon androgen. Banyak keganasan prostat sensitif terhadap hormon
sehingga dapat digunakan pengobatan hormonal. Faktor kausal
lingkungan tampak pada pengamatan penduduk AS keturunan Jepang
yang generasi kedua dan ketiga tinggal di AS. Mereka mempunyai
insidens karsinoma prostat yang sama dengan penduduk AS keturunan
kulit putih, sedangkan penduduk Jepang yang tetap di Jepang mempunyai
insidens yang lebih rendah (Sjamsuhidajat, 2011).
3. Patofisiologi
Kanker adalah proses penyakit yang bermula ketika sel abnormal
diubah oleh mutasi genetik dari DNA seluler. Sel abnormal ini
membentuk klon dan mulai berproliferasi secara abnormal, mengabaikan
sinyal mengatur pertumbuhan dalam lingkungan sekitar sel tersebut.
Kemudian dicapai suatu tahap dimana sel mendapatkan ciri-ciri invasif,
dan terjadi perubahan pada jaringan sekitarnya. Sel-sel tersebut
menginfiltrasi jaringan sekitar dan memperoleh akses ke limfe dan
pembuluh-pembuluh darah, melalui pembuluh tersebut sel-sel dapat
terbawa ke area lain dalam tubuh untuk membentuk metastase
(penyebaran kanker) pada bagian tubuh yang lain (Brunner & Suddarth,
2015).
4. Faktor Resiko Kanker Prostat
Dari berbagai penelitian dan survei, disimpulkan bahwa etiologi
dan faktor resiko kanker prostat adalah sebagai berikut :
a. Usia
Resiko menderita kanker prostat dimulai saat usia 50 tahun
pada pria kulit putih, dengan tidak ada riwayat keluarga menderita
kanker prostat. Sedangkan pada pria kulit hitam pada usia 40 tahun
dengan riwayat keluarga satu generasi sebelumnya menderita kanker
prostat. Data yang diperoleh melaui autopsi di berbagai negara
menunjukkan sekitar 15 – 30% pria berusia 50 tahun menderita
kanker prostat secara samar. Pada usia 80 tahun sebanyak 60 – 70%
pria memiliki gambaran histology kanker prostat. (K. OH, William et
al, 2000).

5
b. Ras dan tempat tinggal
Penderita prostat tertinggi ditemukan pada pria dengan ras
Afrika – Amerika.Pria kulit hitam memiliki resiko 1,6 kali lebih besar
untuk menderita kanker prostat dibandingkan dengan pria kulit putih
(Moul, J. W., et al, 2005).
c. Riwayat keluarga
Carter dkk menunjukkan bahwa kanker prostat didiagnosa
pada 15% pria yang memiliki ayah atau saudara lelaki yang menderita
kanker prostat, bila dibandingkan dengan 8% populasi kontrol yang
tidak memiliki kerabat yang terkena kanker prostat (Haas, G. P dan
Wael A. S., 1997). Pria yang satu generasi sebelumnya menderita
kanker prostat memiliki resiko 2 - 3 kali lipat lebih besar menderita
kanker prostat dibandingkan dengan populasi umum. Sedangkan
untuk pria yang 2 generasi sebelumnya menderita kanker prostat
memiliki resiko 9 - 10 kali lipat lebih besar menderita kanker prostat.
d. Faktor hormonal
Testosteron adalah hormon pada pria yang dihasilkan oleh sel
Leydig pada testis yang akan ditukar menjadi bentuk metabolit, berupa
dihidrotestosteron (DHT) di organ prostat oleh enzim 5 - α reduktase.
Beberapa teori menyimpulkan bahwa kanker prostat terjadi karena
adanya peningkatan kadar testosteron pada pria, tetapi hal ini belum
dapat dibuktikan secara ilmiah. Beberapa penelitian menemukan
terjadinya penurunan kadar testosteron pada penderita kanker prostat.
Selain itu, juga ditemukan peningkatan kadar DHT pada penderita
prostat, tanpa diikuti dengan meningkatnya kadar testosteron. (Haas,
G. P dan Wael A. S., 2011).
e. Pola makan
Pola makan diduga memiliki pengaruh dalam perkembangan
berbagai jenis kanker atau keganasan. Pengaruh makanan dalam
terjadinya kanker prostat belum dapat dijelaskan secara rinci karena
adanya perbedaan konsumsi makanan pada rasa atau suku yang
berbeda, bangsa, tempat tinggal, status ekonomi dan lain sebagainya.

6
5. Gejala Klinis
Secara medik, kanker prostat umumnya tidak menunjukkan gejala
khas. Karena itu, sering terjadi keterlambatan diagnosa. Gejala yang ada
umumnya sama dengan gejala pembesaran prostat jinak, yaitu buang air
kecil tersendat atau tidak lancar. Keluhan dapat juga berupa nyeri tulang
dan gangguan saraf. Dua keluhan itu muncul bila sudah ada penyebaran
ke tulang belakang.
Tahap awal (early stage) yang mengalami kanker prostat
umumnya tidak menunjukkan gejala klinis atau asimptomatik. Pada tahap
berikutnya (locally advanced) didapati obstruksi sebagai gejala yang
paling sering ditemukan. Biasanya ditemukan juga hematuria yakni urin
yang mengandung darah, infeksi saluran kemih, serta rasa nyeri saat
berkemih. Pada tahap lanjut (advanced) penderita yang telah mengalami
metastase di tulang sering mengeluh sakit tulang dan sangat jarang
menhgalami kelemahan tungkai maupun kelumpuhan tungkai karena
kompresi korda spinalis.
B. Pembedahan
1. Definisi Bedah
Pembedahan atau operasi adalah tindak pengobatan yang
menggunakan cara invasif dengan membuka atau menampilkan bagian
tubuh yang akan ditangani. Pembukaan bagian tubuh ini umumnya
dilakukan dengan membuka sayatan. Setelah bagian yang ditangani
ditampilkan, dilakukan tindak perbaikan yang diakhiri dengan penutupan
dan penjahitan luka. Perawatan selanjutnya akan termasuk dalam
perawatan pascabedah (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
2. Fisiologi Nyeri
Nyeri merupakan campuran reaksi fisik, emosi, dan perilaku. Cara
yang paling baik untuk memahami pengalaman nyeri, akan membantu
menjelaskan tiga komponen fisiologis berikut yakni: resepsi, persepsi, dan
reaksi. Stimulus penghasil nyeri mengirimkan impuls melalui serabut
saraf perifer. Serabut saraf memasuki medulla spinalis dan menjalani
salah satu dari beberapa rute saraf dan akhirnya sampai di dalam massa

7
berwarna abu-abu di medulla spinalis. Terdapat pesan nyeri dapat
berinteraksi dengan sel-sel saraf inhibitor, mencegah stimulus nyeri
sehingga tidak mencapai otak atau ditransmisi tanpa hambatan ke korteks
serebral. Sekali stimulus mencapai korteks serebral, maka otak
menginterpretasikan kualitas nyeri dan memproses informasi tentang
pengalaman dan pengetahuan yang lalu serta asosiasi kebudayaan dalam
upaya mempersepsikan nyeri (McNair, 1990 dalam Potter & Perry, 2005).
C. Hipoalbuminemia
1. Definisi Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia adalah kadar albumin yang rendah/dibawah
nilai normal atau keadaan dimana kadar albumin serum < 3,5 g/dL
(Muhammad Sjaifullah Noer, Ninik Soemyarso, 2006 dan Diagnose-
Me.com, 2007). Hipoalbuminemia mencerminkan pasokan asam amino
yang tidak memadai dari protein, sehingga mengganggu sintesis albumin
serta protein lain oleh hati (Murray, dkk, 2003).
Hipoalbuminemia dapat terjadi akibat produksi albumin yang
tidak adekuat (malnutrisi, luka bakar, infeksi dan pada bedah mayor),
katabolisme yang berlebihan (luka bakar, bedah mayor, dan pankreatitis),
kehilangan albumin dari tubuh, hemoragik, eksresi ginjal yang berlebihan,
redistribusi dalam tubuh (bedah mayor dan kondisi inflamasi).
2. Klasifikasi Hipoalbuminemia
Defisiensi albumin atau hipoalbuminemia dibedakan berdasarkan
selisih atau jarak dari nilai normal kadar albumin serum, yaitu 3,5–5 g/dl
atau total kandungan albumin dalam tubuh adalah 300-500 gram
(Albumin.htm, 2007 dan Peralta, 2006). Klasifikasi hipoalbuminemia
menurut Agung M dan Hendro W (2005) adalah sebagai berikut:
a. Hipoalbuminemia ringan : 3,5–3,9 g/dl
b. Hipoalbuminemia sedang : 2,5–3,5 g/dl
c. Hipoalbuminemia berat : < 2,5 g/dl
3. Penyebab Hipoalbuminemia
Menurut Iwan S. Handoko (2005), Adhe Hariani (2005) dan
Baron (1995) hipoalbuminemia adalah suatu masalah umum yang terjadi

8
pada pasien. Hipoalbuminemia dapat disebabkan oleh masukan protein
yang rendah, pencernaan atau absorbsi protein yang tak adekuat dan
peningkatan kehilangan protein yang dapat ditemukan pada pasien dengan
kondisi medis kronis dan akut:
a. Kurang Energi Protein
b. Kanker
c. Peritonitis
d. Luka bakar
e. Sepsis
f. Luka akibat Pre dan Post pembedahan (penurunan albumin plasma
yang terjadi setelah trauma)
g. Penyakit hati akut yang berat atau penyakit hati kronis (sintesa
albumin menurun)
h. Penyakit ginjal (hemodialisa)
i. Penyakit saluran cerna kronik
j. Radang atau Infeksi tertentu (akut dan kronis)
k. Diabetes mellitus dengan gangren, dan
l. TBC paru.
4. Terapi Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia dikoreksi dengan Albumin intravena dan diet
tinggi albumin (Sunanto, 2006), dapat dilakukan dengan pemberian diet
ekstra putih telur, atau ekstrak albumin dari bahan makanan yang
mengandung albumin dalam kadar yang cukup tinggi. Penangan pasien
hipoalbumin di RS dr. Sardjito Yogyakarta dilakukan dengan pemberian
putih telur sebagai sumber albumin dan sebagai alternatif lain sumber
albumin adalah ekstrak ikan lele (Tri Widyastuti dan M. Dawan Jamil,
2005). Sedangkan pada RS dr. Saiful Anwar Malang, penanganan pasien
hipoalbuminemia dilakukan dengan pemberian BSA (Body Serum
Albumer), dan segi gizi telah dilakukan pemanfaatan bahan makanan
seperti estrak ikan gabus, putih telur dan tempe kedelai (Illy Hajar
Masula, 2011).

Anda mungkin juga menyukai