Alergi merupakan kelainan umum yang rnelibatkan pula hidung dan sinus. Kelainan ini dijelaskan
sebagai reaksi imun yang tidak diharapkan. Atopi adalah suatu tipe alergi yang diperantarai antibodi
tipe-reagin. Kelainan alcrgi termasuk penyakit-penyakit sepertj rinitis musiman, asma alergi dan ekze-
ma. Meskipun IgE merupakan sistem imunoglobulin yang terutama terlibat dalam pembentukan ke-
lainan atopik, mekanisrne irnun lain dapat pula berperan pada reaksi alergi.
sikosis. Aktivitas hambatan mungkin berperan pada miastenia gravis, diabetes resisten insulin, serta
asma bronkial dan rinitis. Yang terakhir ini mungkin disebabkan antibodi penghambat yang tertuju
pada lokasi reseptor bela, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara reseptor alfa dan bela dengan
akibat saluran napas yang hipereaktif.
Reaksi Antigen-Antibodi dan Reaksi Tak Tergantung Sel (Reaksi Atthus, Kompleks Imun).
Adalah interaksi antara antigen dan antibodi tanpa keterlibatan sel, mengaktifkan sistem komplemen
ataupun sistem amplifikasi lainnya dan mengakibatkan reaksi yang tidak diharapkan. Antibodi biasa-
nya dari varian IgG atau M. Contoh klinis reaksi seperti ini adalah penyakit serum, glomerulonefritis
pascd--streptokok, dan beberapa jenis pneumonitis hipersensitivitas.
Interaksi antigen dengan limfosit T membawa pelepasan berbagai mediator, hasil pada gambaran
klinis. Antibodi dapat membantu seleksi dari limfosit terhadap interaksi. Contoh klinis adalah der-
matitis kontak dan beberapa reaksi transplantasi.
variabel yang mempengaruhi gambaran klinis. Di dalamnya terlibat faktor imunologis maupun non-
imunologis. Kriteria berikut harus dipenuhi sebelum dibuat suatu diagnosis alergi.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik membantu menetapkan apakah gambaran klinis sesuai dengan
reaksi-reaksi alergi yang diketahui. Kejadian khas seperti demam jerami (hay fever), urtikaria, angio-
edema, dan asma mudah dikenali sebagai reaksi alergi. Namun untuk manifestasi yang lebih jarang
seperti demam, kelemahan, nyeri kepala, atau pusing, diagnosis harus dibuat ekstra hati-hati. Untuk
kasus-kasus terakhir ini, faktor non-imunologik agaknya berperan dalam timbulnya gejala dan harus
disingkirkan dengan teliti.
t rrtc rN ctas i co
Pemeriksaan laboratorium rutin seperti penetapan jumlah eosinofil dan
s I no Iil
adalah sulit.kadar IgE serum, dapat menjadi pelengkap yang berguna dalam menegaskan
diagnosis gangguan alergi. Eosinofil dihubungkan dengan sejumlah tipe reak-
si imun maupun non-imun (Cohen dan Ottesen; Weller). Interpretasi eosinofil adalah sulit karena ter-
dapat masalah dalam hal definisinya, dan karena eosinofil dipengaruhi oleh ekskresi, obat-obat tefientu
seperti steroid dan agen beta adrenergik, waktu pengambilan, dan teknik penenan, serfa juga oleh
kinetiknya.
Reaksi imunologik maupun non-imunologik dapat menimbulkan eosinofilia dalam darah, jaringan,
dan cairan tubuh (Tabel ll--2). Dengan demikian eosinofil bersifat cocok namun tidak diagnostik de-
ngan alergi.
Penelitian kadar imunoglobulin dalam darah akan memberi informasi mengenai ada atau tidaknya
penyakit perantaraan imunologis. Tetapi, secara umum, peningkatan kadar hanya sedikit bernilai diag-
nostik karena merupakan suatu manifestasi nonspesifik dari berbagai penyakit kronik. Peningkatan IgE
telah diamati pada berbagai kelainan termasuk treberapa yang diperantarai mekanisme imunologis
(Geha; Welliver). Kadar IgE lebih sering meningkat pada penyakit atopik se-
Pcnirykatan lgE tr-rsilat
cocok nnuntidak perti asma, rinitis, ekzema, dan aspergilosis bronkopuhnonar alergika. Namun,
d hgnoslik d cngan ab rg i.
di samping itu, kadar yang meningkat ditemukan pula pada berbagai kelainan
lain (Tabel 11-3). Terdapat krmacam-macam peneraan imun komersial
untuk kadar serum total IgE dengan berbagai teknik peneraan. Kadar IgE seperti juga eosinofil, ber-
sifat cocok namun tidak diagnostik dengan reaksi alergi.
Berbagai prosedur laboratorium lain seperti perneriksaan komplemen dan radiografi dapat diker-
jakan guna mendapat informasi apakah proses penyakit sesuai dengan suatu penyakit perantaraan
imunologis. Tidak satupun dari uji pemeriksaan ini yang memadai untuk diagnosis. Oleh karena itu,
langkah selanjutnya adalah mengenali alergen dan menentukan bagaimana kaitannya dengan gejala.
Riwayat lampau dengan uji provokatif ataupun eliminasi merupakan metode utama yang dipakai
untuk nremenuhi kriteria ini. Hingga kini belum ada pemeriksaan in vitro.
Riwayat pasien merupakan yang paling penting dalam menentukan faktor atau faktor-faktor mana
yang dapat mencetuskan atau rnemperhebat gambaran klinis alergi. Untuk alergi pernapasan, juga per-
lu dicatat kapan terjadinya. Awal musim semi biasanya khas untuk serbuk pohon-pohonan yang kemu-
dian diikuti rumput-rumputan. Ilalang menyerbuk pada musim gugur. Kapang seperti Cladosporium
dapat ditemukan sepanjang tahun tergantung iklim. Biasanya paling tinggi pada akhir musim panas.
Tungau, sebagai salah satu komponen utama debu rumah ada sepanjang tahun, tetapi lebih banyak
pada bulan-bulan yang lebih panas dan lembab (Platts-Mills dkk: Solomon and Mathews).
Biwryal pasicn, uji Di sarnping riwayat, uji provokasi dan prosedur eliminasi juga dapat mem-
provokatil, dan mctode bantu dalam mendemonstrasikan hubungan antara alergen dan gambaran
cl i mi nasi sang at berni hi.
klinis. Arti klinis dari inhalan, konraktan dan ingestan alergenik dapat ditetap-
- kan melalui kontak langsung dengan organ yang terlibat. Inhalasi atau kontak
oral merupakan uji provokasi yang lazim dilakukan. Diet eliminasi demikian pula penghindaran dari
aeroalergen atau kontaktan yang dicurigai juga berguna dilam menetapkan faktor pencetus.
194 BAGIAN TIGA-HIDUNG DAN SINUS PARANASALIS
Kriteria ketiga yang harus dipenuhi adalah pembuktian suatu mekanisme imun yang dapat berin-
teraksi dengan alergen tersangka. Pernbuktian suatu hubungan sebab dan akibat yang langsung adalah
sulit. Pembuktian bahwa antibodi berinteraksi dengan alergen tidak menjelaskan penyebab penyakit.
Namun, meskipun terbatas, masih ada metode yang dapat membuktikan keterlibatan mekanisme imun
dan bagaimana wujudnya. Uji ini dilakukan untuk memastikan keberadaan suatu mekanisme imun,
dan tidak untuk mengenali agen penyebab.
Metode InVilro
KUANTIFIKASI IGE SPESIFIK. Setelah sifat-sifat IgE diketahui pada
lleto& BASTmcrupakan
cara kuantitas lgE yang tahun 1968, maka dimungkinkan pembentukan antisera terhaclap klas imuno-
paling populer. globulin ini. Hal ini membuka lahan unruk pelaksanaan peneraan imun
(Emanuel; Gleich et al). Metode yang sering kali dipakai adalah uji radioaler-
Hasil mcldc RAST tidak gosorben (RAST) yang menggunakan alergen tak larut di atas suatu cakram
sehfu bcrscsuaian dengan
alcrgi klinis. kertas selulosa (alergosorben) yang mengikat IgE spesifik (dan klas antibodi
lainnya) dari serum selama masa inkubasi pertama. Fase padat terikat imuno-
globulin kemudian dicuci, dan pada inkubasi kedua ditambahkan suatu anti IgE berlabel isotop I-125
(fc) atau anti IgE berlabel enzim (Fc). Setelah pencucian selanjutnya, radioaktivitas terikat IgE pada
cakram kemudian dihitung, atau pada antibodi yang berlabel enzim, dilakukan suatu inkubasi substrat
agar'dihasilkan suatu produk berwarna atau berfluoresensi. Radioaktivitas terikat cakram atau kuan-
titas produk yang dihasilkan aktivitas enzim dihubungkan dengan IgE terikat cakram memakai sumber
serum rujukan dari spesimen yang tidak diketahui diintelpolasikan terhadap serum ini. Perlu ditekan-
kan bahwa sistem penilaian untuk semua proses ini belum sepenuhnya dikaitkan dengan gambaran
klinis. Secara umum, nilai yang tinggi dapat ditemukan pada beberapa pasien non-alergi namun dapat
pula tidak ditemukan pada individu alergi. Demikian pula nilai yang rendah, dapat ditemukan pada in-
dividu alergi seperti juga individu non-alergi. Seluruh hasil perhitungan harus diinterpretasi dalam
kaitannya dengan anamnesis. Keuntungan dan kerugian cara peneraan ini diringkas dalam Tabel 11-4.
Setelah modifikasi selama bertahun-tahun, RAST orisinil kini telah dipasarkan untuk pengukuran
IgE spesifik dalam serum manusia. Hasil-hasil relatif dari sistem yang lebih baru ini masih belum
dinilai. Pada dasarnya, kebanyakan sistem peneraan mempunyai desain yang serupa dengan RAST.
Perbedaan terutama pada fase padat yang digunakan untuk melekatkan alergen, jenis pelacak yang
dilekatkan pada protein pendeteksi anti-IgE, dan pada alat yang diperlukan untuk membaca sinyal
terakhir (Emanuel).
II-KELAINAN ALERGI PADA PASIEN THT 195
PENGUKURAN MEDIATOR YANG DILEPASKAN. IgE dapat diukur dengan sistem peneraan
berdasarkan pelepasan zatperantarc (Gleich dkk). Yang paling umum adalah peneraan pelepasan his-
tamin. Metode ini melibatkan penggunaan leukosit perifer yang mengandung basofil yang dianggap
mempunyai IgE yang melekat padanya. Alergen yang diuji kemudian ditambahkan pada sel secara
bertingkat, dan histamin yang dilepaskan diukur menggunakan sistem biologik, fluorometrik atau
peneraan sistem imun. Jumlah histamin yang dilepaskan dinyatakan sebagai persentase histamin total
dalam sel. Metode ini mahal dan membutuhkan waktu lama. Metodologi mutakhir memungkinkan
prosedur yang lebih ekonomis dan lebih mudah dikerjakan. Sistem pelepasan histamin ini mungkin
tidak hanya mengukur antibodi IgE namun juga antibodi reaginik lain, serta kemampuannya melekat
pada sel dan kemampuan melepaskan mediator. Keuntungan dan kerugian lainnya diberikan dalam
Tabel 11-4.
PERBANDINGAN UJI IN WTRO DAN Iff yIIlO UNTUK ANTIBODI REAGINIK. Evaluasi
kfinis dari penyakit mediator imunologis dapat dilakukan dengan cara in vitro dan in vivo. Salah satu
masalah utama dengan semua pengujian ini adalah variabilitas alergen antar kemasan dan antar
pemasok. Yang lain adalah tidak adanya informasi yang dapat dipercaya mengenai potensi biologik
yang relevan dari ekstrak. Masalah-masalah ini dapat diatasi dengan prosedur standarisasi yang lebih
baik (Blumenthal et al).
kan antibodi reaginik (gE), maka dianjurkan metode uji kulit untuk reaksi
peradangan atau pembengkakan segera dan/atau uji radioalergosorben (RAST).
Pengobatan. Terapi rinitis alergika, polip hidung, dan sirsitis dibedakan menjadi 5 bagian utama.
MENGHINDARI ALERGEN PENYEBAB. Dapat dicapai dengan rnengisolasi pasien dari
alergen, menempatkan suatu sawar antara pasien dengan alergen, atau menjauhkan alergen dari
pasien.
TERAPI SIMTOMATIK DENGAN OBAT-OBATAN. Antihistamin oral merupakan senyawa
kimia yang dapat melawan ke{a histamin dengan mekanisme inhibisi kompetitif pada lokasi reseptor
histamin. Obat ini perlu diberikan secara rasional. Karena pasien menunjukkan variabilitas respolls
yang nyata dengan pemberian antihistamin, maka besar dosis dan frekuensi pemberian perlu dise-
1I-KELAINAN ALERGI PADA PASIEN THT L97
OboFobat noralicrmasuk suaikan untuk masing-masing penderita. Antihistamin H1 yang sering diguna-
bab ag ai antihi stan in I u s
dan dckotrycstan.
kan adalah etanolamin, etilendiamin, alkilamin, fenotiazin, dan agen lain se-
perti siproheptadin, hidroksizin, dan piperazin. Efek samping antihistamin
yang sering terlihat adalah rasa mengantuk, kehilangan napsu makan, konsti-
pasi, dan efek antikolinergik seperti kekeringan membran mukosa, dan kesulitan berkemih. Suatu
generasi antihistamin H1 yang baru masih dikembangkan. Golongan ini tidak memiliki hubungan ki-
mia yang langsung dengan histamin, namun mempunyai suatu struktur nitrogen aromatik yang sama,
dalam bentuk piperidin, piperazin atau piridin. I-ebih lanjut, struktur-struktur ini lebih polar sehingga
akses ke sistem saraf pusat menjadi terbatas, dengan demikian mengurangi atau menghilangkan efek
samping terkait. Golongan antihistamin ini antara lain adalah terfenadin, loratidin, dan asternizol.
Mereka juga menjanjikan masa kerja yang lebih lama (Dockhorn dan Shellenberger).
Oleh beberapa peneliti telah dikemukakan bahwa antihistamin H2 seperti simetidin dan ranitidin
dapat bermanfaat bila diberikan benama antihistamin H1 pada sumbatan hidung yang nyata. Terapi
simtomatik dengan antihistamin Hr dan Hz memberikan hasil mengecewakan pada pengobatan polip
hidung (llavas dkk).
Suatu dekongestan dapat diberikan secara tunggal atau kombinasi dengan antihistamin Hf lokal
atau per oral pada pengobatan rinitis alergika. Cara oral biasanya lebih disukai. Pemakaian kronik an-
tihistamin lokal dan dekongestan tidak rutin dianjurkan. Beberapa informasi mengatakan bahwa an-
tihistamin lokal dapat menimbulkan sensitisasi. Di samping itu, penggunaan dekongestan lokal dalam
jangka waktu lama dapat menimbulkan iritasi dan "rebound phenomenon" seperti rinitis medikamen-
tosa (Blue). Penggunaannya pada polip hidung mengecewakan.
pi pi ka I terma su k
Natrium kromolin dapat diberikan intranasal. Obat ini akan menurunkan
Tcra to
krono I in d an ko ft iko slero i d. pelepasan zat rnediator. Dianggap sebagai medikasi pencegahan dan diberikan
sebelum awitan gejala. Efek samping adalah rninimal dan terutama berupa
iritasi lokal. Pemakaian pada polip hidung be lum dapat dibuktikan berhasil (Norman, 1983).
Kortikosteroid dapat digunakan pada terapi rinitis alergika. Dapat diberikan sistemik atau intrana-
sal untuk kortikosteroid yang diabsorpsi buruk seperti beklometason atau flunisolid. Medikasi lokal
lebih disukai karena kerjanya yang lebih langsung dan risiko efek samping yang lebih rendah. Biasa-
nya memerlukan waktu beberapa hari sampai beberapa minggu untuk menjadi efektif. Agen-agen ini
juga telah dilaporkan dapat mengurangi ukuran polip hidung (Norman, 1,983).
dosis yang makin meningkat guna menginduksi toleransi pada penderita aler-
gi. Meskipun efektif untuk pengobatan rinitis alergika, namun efektivitasnya belum dapat dipastikan
pada pengobatan polip hidung (Van Metre dan Adkinson).
PENATALAKSA}IAU{}I KOMP LIKAS I ATAU FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPERBURUK.
Kelemahan, stres emosi, perubahan suhu mendadak, infeksi penyerta, deviasi septuln dan paparan ter-
hadap polutan udara lainnya, dapat mencetuskan, memperhebat dan mempertahankan gejala-gejala
yang menyertai rinitis alergika, polip hidung, dan sinusitis. Penanganan faktor-faktor ini sama penting-
nya dengan yang ditujukan ierhadap alergen tertentu.
TERAPI BEDAH. Pembedahan biasa dilakukan pada polip hidung dan sinusitis berkaitan dengan
faktor infeksi jika gagal dengan terapi obat-obatan. Tindakan ini memungkinkan ventilasi dan drainase
hidung dan sinus yang memadai, serta juga melegakan sumbatan. Pembedahan dapat dilakukan unfuk
mengatasi penyakit mukosa kronik pada sinus dan komplikasi sinusitis.
Prognosis. Prognosis dan perjalanan alamiah dari rinitis alergika, polip hidung dan sinusitis sulit
dipastikan. Meskipun laporan-laporan awal menyatakan insidens asma bronkial penyerta yang tinggi,
hal ini belumlah jelas. Ada kesan klinis bahwa gejala-gejala rinitis alergika berkurang dengan bertam-
bahnya usia. Penderita polip hidung tampaknya tetap mengalami kekambuhan kendatipun mendapat
terapi medis darVatau bedah (Smith).
198 BAGIAN TIGA-HIDUNG DAN SINUS PARANASAI-IS
Diagnosis Banding. Rinitis alergika perlu dibedakan dari rinitis vasomotor ataupun idiopatik,
rinitis infeksiosa, rinitis sekunder dari obat-obatan baik lokal (Neo-Synephrine) alau sistemik @eta
bloker, aspirin, reserpin, morfin), rinitis sekunder dari faktor mekanis, tunror hidung, polip hidung,
rinore serebrospinal, iritan kimia, faktor psikologis, dan mastositosis hidung. Di samping alergi,
penderita polip hidung perlu dievaluasi terhadap sinusitis infeksiosa, dan pada anak fibrosis kistik.
Sinusitis dengan etiologi non-alergi, misalnya trauma, zat kimia, irnunodefisiensi, fibrosis kistik,
sindrom Kartagener, penyakit granulonlatosa kronik, dan infeksi perlu dipcrtimbangkan dalam diag-
nosis banding.
RINGKASAN
Kepustakaan
Atkins P, Zweiman B: The lgB-mediated late phase skin response-unraveling the enigrna. J Allergy Clin Imnrunol 79:12.
1987.
Bclin H, Norman PS: Diagnostic tests in the sl.in and serum of workers sensitized to B. subtilis enzymes. Clin Allergy 7:55,
1977.
Blue JA: Rhinitis medicamentosa. Ann Nlergy 26:425,1968.
IJlumenthal MN, Fish L, Morris R, et al: Adverse health effecls from allergens. Minn Med 70:278,1987.
Cohen S, Ottesen E: The eosinophil, eosinophilia, and eosinophil related disorders. In Middleton E, Reed C, Ellis E(eds): Aller-
gy: Principles and Practice. St l-ouis, CV Mosby Co, 1983, p 701.
Coombs RRC, Gell PGH: Classification of allergic reactions. 1n Gell RRA, Coombs PGH (ecis): Clinical Aspects of Immunol-
ogy,2nd ed. Oxford, Blackwell Scientific Publications, Ltd, 1968.
Dockhorn R, Shcllenberger MK: Antihistamines..The new generation. Immunol Alergy Pract 9:124,1,987.
Ilmanuel I: Comparison of in vivo allergy diagnostic methods. Immunol Allergy Pract 7:483, 1983.
Cieha R: IIuman lgE. J AJlergy Clin Immunol '74:1CD,1984.
Giraldo Il, Blumenthal M, Spink W: Aspirin intolerance and asthma: A clinical and immunological study. Ann Intern Med
'i
1:4'79, 1969.
Gleich G, Yunnginger J, Stobo J: I-aboralory methods for studies of allergy.,/rr Middleton E, Reed C, Ellis E (eds): Ailergy:
Principles and Practice. St [-ouis, CV Mosby Co.1983. p 271.
IJavas T, Cole P, Parker L, et al: The effect of combined Hr and Hz histamine antagonis!s on alleration in nasal airflow resis-
tance induced by topical histamine provocation. J Allergy Clin Immunol 78:856, 1986.
Mathews K: Mediators of anaphylaxis, anaphylactoid reactions and rhinitis. Am J Rhinnol 1:77, 198'7 .
McDonald J, Mathison D, Slevcnson D: lspirin intolerance in asthma: Detection by oral challenge..I Allergy Clin Immunol
50:198,1972.
Norman PS: Review of nasal therapy: Update. j Allergy Clin lmmunol 72:421,7983.
Norman PS: Allergic rhinitis, J AJlergy Clin Immunol 75:531, 1985.
Platrs-Mills TAE, Heymann PW et al: Cross-reacting and species- specific determinants on a major allergen from Der-
malophagoides pteronyssittus znd D. farinael development of a radioimmunoassay for antigen Pl equivalent in house dust
and dust mite extracts..I AJlergy Clin Immunol 78:398, 1986.
Plaut M, Lichtenstein L: Cellular and chemical basis of the allergic inflammatory response. In Reed C, Ellis E (eds): AIIergy:
Principles and Practice. St Louis, CVMos$, Co, 1983, p 119.
S chwartz L: Media tors of human mast cells and hu ma n mast cell subsets. Arn Nlergy 58:226, 7987 .
Smith JM: Epidemiology and natural history of asthma, allergic rhinitis and atopic dermaiitis (eczema). DalamMiddletonE,
Reed C, Ellis E (eds): Allergy: Principles and Practice. St l-ouis. CV Mosby Co, 1983. p 771.
1I-KELAINAN ALERGI PADA PASIEN TI{T I99
Solomon W, Mathews K: Aerobiology and inhalant allergens. DalamMidiJleton E, Reed C, Ellis E (eds): Allergy: Principles
and Practice. St l,ouis, CV Mosby Co, 1983' p 1143.
Van Metre TE, Adkinson NF: Immunotherapy for aeroallergen disease. -In Middleton E, Reed C, Ellis E (eds): Allergy: Prin-
ciples and Practice. St [-ouis, t]V Mosby Co,1983, p 1327.
wasserman S: Mediators of immediate hypersensitivity. J Allergy clin Immunol '72:lol,1983.
Weller PF: Eosinophilia. J Allergy Clin Immunol 73:1,1984-
Welliver R: Allergy and the syndrome of chronic Epstein-Barr virus infection. J Allergy Clin Immunol 78'.278,1'986.