Anda di halaman 1dari 6

TUGAS 4 (EMPAT) PEMETAAN

Kebijakan Satu Peta

Prof. Dr. Hartono, DEA., DESS

OLEH

Ardiansyah
16727251012

PENDIDIKAN GEOGRAFI PROGRAM MAGISTER

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2017
Kebijakan Satu Peta, yang selanjutnya disebut KSP adalah arahan strategis dalam
terpenuhinya satu peta yang mengacu pada satu referensi geospasial, satu standar, satu basis
data, dan satu geoportal pada tingkat ketelitian peta skala 1:50.000 (Peraturan Presiden No. 09
tahun 2016 pasal 1). Terbentuknya kebijakan One Map Policy (Kebijakan satu peta) berawal
dari sidang kabinet desember 2010 tentang luas areal hutan diindonesia untuk perhitungan
karbon dioksida. Pada saat itu Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono
memberikan pertanyaan tentang luas areal hutan indonesia, akan tetapi jawaban tidak ada yang
memuaskan karena tidak ada jawaban yang pasti, Masing-masing lembaga memberikan
jawaban yang berbeda tentang luas hutan di Indonesia khususnya kawasan hutan lindung pada
saat itu lembaga yang berwewenang adalah kementrian kehutanan dan kementrian lingkungan
hidup. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan definisi tentang kawasan hutan lindung
dan terutama adalah referensi dasar peta yang diacu/disusun. Oleh karena itu Presisden Susilo
Bambang Yudoyono pada saat itu memberikan instruksi harus ada satu peta sebagai rujukan
(Karsidi, 2016: 7-8).
Wujud dari implementasi kebijakan satu peta adalah adanya Intruksi Presiden No.10
tahun 2011 pada era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono tentang Penundaan
Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan hutan Gambut,
yang mengintrusikan agar pemetaan kegiatan tersebut merujuk pada peta dasar yang telah
dibuat oleh Badan Informasi Geospasial (BIG). Kebijakan satu peta untuk membuat informasi
geospasial tematik dimotori oleh UKP4 sehingga Pemerintahan Republik Indonesia memiliki
informasi yang jelas tentang kawasan hutan dan kawasan gambut yang benar pada saat itu
(Karsidi, 2016: 7-8). Pada era kepemimpinan Presiden joko Widodo kebijakan satu peta lebih
diperkuat dengan adanya peraturan Presiden No. 09 tahun 2016 tentang percepatan
pelaksanaan kebijakan One Map Policy dengan ketelitian Peta Skala 1:50.000 untuk
mendukung pembangunan nasional dan terwujudnya agenda nawacita yang diprioritaskan
(Karsidi, 2016: 7-8).
Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta (KSP) pada tingkat ketelitian peta skala
1:50.000 bertujuan untuk terpenuhinya satu peta yang mengacu pada satu referensi geospasial,
satu standar, satu basis data, dan satu geoportal guna percepatan pelaksanaan pembangunan
nasional serta percepatan Pelaksanaan KSP pada tingkat ketelitian peta skala 1:50.000
sebagaimana dimaksud, berfungsi sebagai acuan perbaikan data IGT masing-masing sektor;
acuan perencanaan pemanfaatan ruang skala luas yang terintegrasi dalam dokumen Rencana
Tata Ruang (PERPRES No. 09 tahun 2016 pasal 1 ayat 1 dan 2).
Kebijakan Satu Peta (KSP) mengarahkan supaya penyusunan dan pemanfaatannya
harus memenuhi empat hal yang meliputi satu referensi, satu standar, satu database dan satu
geoportal. Pemanfaatan dan penerapan dari kebijakan satu peta antara lain dengan dibuatnya
Peta Rupa Bumi Indonesia yang dapat di download di Web badan Informasi Geospasial. Peta
ini mengandung unsur-unsur seperti, bangunan, penutupan lahan, garis pantai, batas wilayah
administrasi, utilitas transportasi, penamaan geografi, bangunan dan fasilitas umum (Karsidi,
2016: 7-8). Peta rupa bumi harus menjadi sumber rujukan baik lembaga ataupun personal yang
berkaitan dengan kegiatan pemetaan.
Selain itu BIG juga menghasilkan produk berupa jaringan kontrol geodesi yang
merupakan Sebagai salah satu data spasial kerangka kontrol geodesi dan geodinamika
tercantum dalam Jaringan Data Spasial Nasional. Data-data geodesi di dalamnya dimanfaatkan
oleh pemerintah maupun swasta sebagai referensi untuk pekerjaan pemetaan dan survey
rekayasa dan sebagai landasan pengembangan Infrastruktur Data Spasial Nasional (ISDN),
jaringan kontrol geodesi harus dijadikan sumber utama bagi pemerintahan maupun swasta yang
Sehingga tidak menimbuilkan variasi dan konflik data. BIG juga menghasilkan Sistem Akuisisi
Data Toponim (SAKTI) yang merupakan sebuah sistem yang dikembangkan oleh Badan
Informasi Geospasial (BIG) untuk memfasilitasi pengumpulan nama rupabumi di Indonesia.
Sistem ini mulai diluncurkan pada tahun 2016, dengan merilis aplikasi adnroid bernama
SAKTI yang merupakan akronim dari Sistem Akuisisi Data Toponim Indonesia. Sehingga
tidak ada lagi penamaan yang bervariasi dan berbeda dari peta yang dihasilkan oleh lembaga
pemerintah atau swasta. (Retrived from http://www.big.go.id)
Penerapan dari kebijakan KSP lainnya adalah dibangun WebGis yang menyediakan
informasi dasar berupa SHP, dan informasi lainnya seperti penggunaan lahan, hidrografi,
hidrologi, Hipsografi, lingkungan terbangun, administrasi, garis pantai yang bisa didownload.
Pembuatan Webgis ini bertujuan menyediakan data dan referensi untuk memudahkan
pemetaaan baik secara personal ataupun kelembagaan serta menyediakan satu sumber yang
wajib dijadikan sebagai acuan dasar (Retrived from http://portal.ina-sdi.or.id)
Survei dan pemetaan geologi serta pertambangan, evaluasi kemampuan dan kesesuaian
lahan, perencanaan pengembangan wilayah, pengelolaaan wilayah pantai, pengelolaan daerah
aliran sungai (DAS), serta mitigasi bencana alam merupakan contoh dari penerapan
penginderaan jauh (Danoedoro, 2012: 16). Sehingga tidak bisa dipungkiri manfaat
penginderaan jauh sangat urgensi untuk kegiatan pembangunan suatu wilayah atau negara.
Penerapan Kebijakan Satu Peta (KSP) tidak bisa lepas dari data penginderaan jauh. Sebagai
bahan dasar. Data penginderaan jauh berupa data alami maupun data olahan disajikan sebagai
referensi utama, ini menandakan tanpa adanya peran penting penginderaan jauh terhadap
kebijakan tersebut, tidak mungkin semua rencana dan kebijakan yang berkaitan dengan One
Map Policy terlaksana tanpa adanya data penginderaan jauh.
Data yang dihasilkan oleh penginderaan jauh dapat berupa data geospasial yang
merupakan data tentang lokasi geografis, dimensi, atau ukuran, dan/atau karakteristik objek
alam, dan/atau buatan manusia yang berada di bawah, pada, atau di atas permukaan bumi
(Perpres No. 09 tahun 2016 pasal 1). Data penginderaan jauh yang berupa data Geospasial
(DG) dapat diolah berupa Informasi geospasial yang sangat dibutuhkan dalam perumusan
kebijakan hal ini dapat dilihat dari Perpres No. 09 tahun 2016 pasal 1 ayat 5 yang menyatakan
bahwa “Informasi Geospasial yang selanjutnya disingkat IG adalah DG yang sudah diolah
sehingga dapat digunakan sebagai alat bantu dalam perumusan kebijakan, pengambilan
keputusan, dan/atau pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan ruang kebumian”.
Peran data penginderaan jauh dalam mendukung konsep kebijakan satu peta adalah
dapat dilihat dari data yang digunakan oleh Badan informasi geospasial dalam
mengimplementasikan kebijakan satu peta tersebut serta menyusun peta-peta tematik lainnya,
salah satunya, penggunaan data dasar berupa data satelit dan data penginderaan jauh resolusi
tinggi serta mosaik data penginderaan jauh resolusi menengah wilayah Indonesia yang
diserahkan oleh pihak lembaga Antariksa dan penerbangan nasional (LAPAN) kepada BIG
berupa citra SPOT-5 beresolusi 2,5 meter dan citra SPOT-6 dengan resolusi spasial 1,5 meter.
Serta, citra resolusi menengah berupa data dari satelit Landsat-7 dan Landsat-8 (Retrived from
http://www.technology-indonesia.com). selain itu penggunaan Peta RDTR (Rencana Detail
Tata Ruang) juga digunakan Oleh BIG untuk penyusunan peta desa Indonesia. BIG mengoleksi
data dari tiga sumber data sekaligus, yaitu foto udara, citra satelit 1,5 meter (Spot 6), dan citra
satelit resolusi 50-60 cm. Langkah pertama, BIG memotret udara lokasi desa-desa yang akan
dibuatkan peta resolusi tinggi. Potret udara merupakan sumber data, sedangkan data lainnya
bersifat melengkapi (http://www.sainsindonesia.co.id)
Penggunaan data citra yang ada di Lapan secara nasional telah berlangsung, kemudian
dengan keluarnya PP No. 6 tahun 2012, yaitu untuk mengoptimalkan dan meningkatkan
efisiensi penggunaan data citra resolusi tinggi (Bakara, 2013: 1). Menurut Intruksi presiden
No.6 tahun 2012, mengandung unsur peran data penginderaan jauh sangatlah penting dalam
pelaksanaan kebijakan satu peta hal ini dapat dilihat dari intruksi bagian ketiga khusus kepada
kepala BIG nomor (b) “bahwa membuat citra tegak satelit penginderaan jauh resolusi tinggi
untuk keperluan survei dan pemetaan berdasarkan hasil pengolahan atas data satelit
penginderaan jauh resolusi tinggi berupa koreksi radiometrik dan spektral yang dilakukan oleh
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional” dan bagian (c) “melaksanakan penyimpanan
dan pengamanan citra tegak satelit penginderaan jauh resolusi tinggi” serta bagian (d)
“melaksanakan penyebarluasan citra tegak satelit penginderaan jauh resolusi tinggi melalui
Infrastruktur Data Spasial Nasional”
Pengolahan citra satelit tegak resolusi tinggi sebagai implementasi Inpres No. 6 tahun
2012, membutuhkan data dengan spesifikasi Citra SPOT6 Primary Data (Raw) dan
pansharpened, Citra SPOT 5 Level 1A (Raw) dan pansharpened, GCP dengan spesifikasi
Akurasi Horisontal : 20 cm dan Akurasi Vertikal : 40 cm, DEM dengan spesifikasi Resolusi
DEM : < 10 m, Akurasi DEM : < 7,5 m. Untuk citra satelit dengan resolusi yang lebih baik
dari citra SPOT, data citra juga harus memenuhi spesifikasi di atas. Untuk koreksi
orthorektifikasi citra resolusi tinggi yang akan digunakan dalam penyusunan RDTR,
persyaratan berikut juga diberlakukan: Resolusi citra 0,2 mm x bilangan skala peta yang akan
dibuat, Citra belum dikoreksi orthorektifikasi, Inciden angle kurang dari 13 °, Cakupan awan
minimum 10% per scene (Juniarti et al, 2014: 6)
Data Citra Satelit Tegak Resolusi Tinggi hasil dari proses koreksi orthorektifikasi yang
dihasilkan BIG perlu dikelola serta dibagikan ke Kementrian/Lembaga atau Pemerintah Daerah
yang membutuhkan. Pelaksanaan penyebarluasan data citra satelit tegak resolusi tinggi
dilakukan melalui simpul jaringan data spasial Nasional. Jadi sangatlah jelas bahwa peran data
penginderaan jauh sangatlah urgensi terhadap implementasi kebijakan satu peta, tanpa adanya
data penginderaan jauh mustahil kebijakan tersebut dapat terlaksana.
DAFTAR PUSTAKA

Badan Informasi Geospasial. (2017) Retrived from http://www.big.go.id

Bakara, J. (2014). Sistem Menejemen Data Citra Satelit Penginderaan Jauh Resolusi
Tinggi Untuk Kebutuhan Nasional. Seminar Nasional Penginderaan Jauh
2014. Retrived From http://sinasinderaja.lapan.go.id/wp-
content/uploads/2014/06/bukuprosiding_751-761.pdf

BIG Fokus Pada Pemenuhan Citra. (2015). Retrived from


http://www.sainsindonesia.co.id/index.php/rubrik/geospasial/1418-big-fokus-
pada-pemenuhan-citra-resolusi-tinggi

BIG Gunakan Citra Satelit. (2016). Retrived From http://www.technology-


indonesia.com/index.php/kesehatan/penyakit-menular/953-big-gunakan-citra-
satelit-untuk-pemetaan-desa

Danoedoro, P. (2012). Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Yogyakarta: Andi

Ina-Geoportal (2011). Retrived from http://portal.ina-sdi.or.id/home/

Juniati, E., Widyaningrum, E.,& Mulyana, A. K. (2014). Mekanisme Penyelenggaraan


Citra Satelit Tegak Resolusi Tinggi Sesuai Inpres Nomor 6 Tahun 2012.
Conference: Conference: CGISE2 (2nd Conference on Geospatial Science and
Engineering), At Yogyakarta, Indonesia. Retrived from
https://www.researchgate.net/publication/314002317_Mekanisme_Penyelengg
araan_Citra_Satelit_Tegak_Resolusi_Tinggi_Sesuai_Inpres_Nomor_6_Tahun
_2012

Karsidi, A. (2016). Kebijakan Satu Peta (One Maps Policy) Roh Pembangunan dan
Pemanfaatan Informasi Geospasial di Indonesia. (2𝑟𝑑 ed.). Badan Informasi
Geospasial. Jakarta: BIG

Republik Indonesia. (2011). Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun


2011 Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru Dan Penyempurnaan Tata
Kelola Hutan Alam Primer Dan Lahan Gambut

Republik Indonesia. (2011). Peraturan Presiden No. 94 tahun 2011 tentang Badan
Informasi Geospasial (BIG)
Republik Indonesia. (2012). Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
2012 Tentang Penyediaan, Penggunaan, Pengendalian Kualitas, Pengolahan
Dan Distribusi Data Satelit Penginderaan Jauh Resolusi Tinggi

Republik Indonesia. (2016). Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun


2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Pada Tingkat
Ketelitian Peta Skala 1:50.000

SB. (2016). Lapan Serahkan Citra Satelit ke 9 Instansi. Retrived from


http://www.technology-
indonesia.com/index.php/component/content/article/129-umum/702-lapan-
serahkan-citra-satelit-ke-9-instansi

Anda mungkin juga menyukai