Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

THYROID OPTHALMOPATHY

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan

Pendidikan Dokter Umum Stase Mata

Pembimbing:
dr. Ida Nugrahani Sp. M

Disusun Oleh:

Iqbal Hilmi Fauzan, S. Ked


J510170082

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2017
REFERAT

THYROID OPTHALMOPATHY

OLEH:
Iqbal Hilmi Fauzan, S.Ked
J510170082

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pada hari,.................................................................

Pembimbing:

dr. Ida Nugrahani, Sp.M ( )


BAB I
PENDAHULUAN

Istilah tiroid oftalmopati sering disebut graves oftalmopati atau penyakit mata tiroid
(Thyroid Eye Disease) mempunyai arti luas yaitu mencakup semua kelainan mata yang dapat
menyertai hipertiroid. Tiroid oftalmopati adalah salah satu dari banyak gejala dari penyakit
graves. Penyakit mata tiroid adalah suatu kondisi peradangan yang mengisi otot extraokuler
dan lemak orbita. Hal ini hampir selalu berhubungan dengan penyakit graves, tetapi keadaan
ini jarang kelihatan pada penyakit Hashimoto’s tiroiditis, primary hipertiroid, atau kanker
tiroid.

Kelainan ini biasanya berkembang pada orang dengan tiroid yang terlalu aktif yang
disebabkan oleh penyakit Graves. Penyakit Graves adalah penyakit autoimun yang disebabkan
oleh antibodi yang diarahkan terhadap reseptor yang ada pada sel tiroid dan juga pada
permukaan sel di belakang mata. Sekitar 40% pasien dengan penyakit Graves memiliki atau
akan mengalami graves oftalmopati. Dari pasien yang mengalami orbitopathy tiroid sekitar 80
% adalah hypertiroid secara klinis dan 20 % adalah eutiroid secara klinis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Tiroid oftalmopati juga dikenal dengan Graves Opthalmopathy, Tyroid Associated


Ophtalmopathy (TAO) , penyakit mata tyroid, dan penyakit Basedow’s (dalam bahasa Jerman),
orbitopaty dystiroid adalah gangguan inflamasi autoimmune dengan pencetus yang
berkesinambungan. Dengan gambaran klinis karakteristiknya satu atau lebih gambaran berikut
yaitu retraksi kelopak mata, keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata (lid
lag), proptosis, myopati ekstraokuler restriksi dan neuropaty optik progresif. Orbytopaty yang
dikaitkan dengan tiroid secara dasar dijelaskan sebagai bagian dari trias penekanan penyakit
graves dimana termasuk tanda orbita tersebut, hipertiroidisme dan mixedema pretibial secara
tipikal dihubungkan dengan graves hipertiroid, TAO bisa juga terjadi dengan hiroiditis
Hasimoto ( immune terinduksi hipertiroid atau tanpa adanya disfungsi tiroid).

ETIOLOGI

Penyebab pasti penyakit ini masih belum jelas, diduga akibat kombinasi dari faktor lingkungan
dan genetik, misalnya polimorfisme gen HLA-DR, CTLA-4, dan PTPN22 (regulator sel T)
berkontribusi terhadap penyakit ini. Namun yang telah diketahui adalah tubuh memproduksi
antibodi melawan jaringan pada orbit sendiri. Hal ini menimbulkan serangkaian proses
biokimia yang mengkibatkan pembengkakan jaringan lunak orbital, khususnya otot mata dan
lemak orbital.
Terdapat beberapa faktor risiko diantaranya :
 Jenis kelamin
Wanita lebih sering dibandingkan laki-laki.
 Merokok
Penurunan imunosupresi pada perokok dapat menyebabkan peningkatan ekspresi pada
proses imun.
 Usia
Sering terjadi pada usia 20-50 tahun.
EPIDEMIOLOGI

Tiroid oftalmopati lebih sering terjadi pada wanita umumnya kulit putih ( rasio 5 : 1) antara
usia 30 sampai 50 tahun. Exophtalmus berat dan neuropati optik kompresif agak lebih sering
terjadi pada pria berusia lanjut. Hal ini menunjukkan penyakit tiroid pada perokok relatif lebih
beresiko mengalami graves oftalmopati dua kali lebih tinggi dibandingkan bukan perokok.
Alasan untuk perbedaan ini tidak diketahui, tetapi kemungkinannya adalah penurunan
imunosupresi pada perokok dapat menyebabkan peningkatan ekspresi pada proses imun.

PATOFISIOLOGI

Reaksi histopatologis dari berbagai jaringan didominasi oleh reaksi inflammatory sel
mononuklear,ini khas tetapi tidak ada arti terbatas, suatu mekanisme penyakit immunologi.
Endapan dari glycosaminoglikan (GAGs) seperti asam hyaluronad bersamaan dengan edema
interstisial dan sel inflammatory dipertimbangkan menjadi penyebab dari pembengkakan
berbagai jaringan di orbita dan disfungsi otot ekstraokuler pada tiroid oftalmopati.
Pembengkakan jaringan orbita menghasilkan edema kelopak mata, khemosis, proptosis,
penebalan otot ekstraokuker dan tanda lain dari tiroid optalmopati. Berikut ini skema dari
patogenesis dari graves oftalmopati :

 Sirkulasi sel T pada pasien penyakit graves secara langsung melawan antigen pada sel-sel
folikular tiroid. Pengenalan antigen ini pada fibroblast tibial dan pretibial (dan mungkin
myosit ekstraokular). Bagaimana lymfosit ini datang secara langsung melawan self antigen.
Penghapusannya oleh sistem imun tidak diketahui secara pasti.
 Kemudian sel T menginfiltrasi orbita dan kulit pretibial. Interaksi antar CD4 T sel yang
teraktifasi dan fibroblast menghasilkan pengeluaran sitokin ke jaringan sekitarnya,
khususnya interferon-interleukin-1 dan tumor nekrosis faktor.
 Sitokin-sitokin ini atau yang lainnya kemudian merangsang ekspresi dari proteinprotein
immunomodulatory ( 72 kd heat shock protein molekul adhesi interseluler dan HLA-DR)
didalam fibroblast orbital seterusnya mengabadikan respon autoimun pada jaringan ikat
orbita.
 Lebih lanjut, sitokin-sitokin khusus ( interferon-interleukin – 1, Transforming Growth
Factor, dan insulin like growth factor 1 ) merangsang produksi glycosaminoglikan oleh
fibroblast kemudian merangsang proliferasi dan fibroblast atau keduanya, yang
menyebabkan terjadinya akumulasi glycosaminoglikan dan edema pada jaringan ikat orbita.
Reseptor tyrotropin atau antibody yang lain mempunyai hubungan biologik langsung
terhadap fibroblast orbital atau miosit. Kemungkinan lain, antibodi ini mewakili ke proses
autoimun.
 Peningkatan volume jaringan ikat dan pengurangan pergerakan otot-otot ekstraokuler
dihasilkan dari stimulasi fibroblast untuk menimbulkan manifestasi klinis oftalmopaty.
Proses yang sama juga terjadi di kulit pretibial akibat pengembangan jaringan ikat kulit,
yang mana menyebabkan timbulnya pretibial dermopathy dengan karakteristik berupa
nodul-nodul atau penebalan kulit.

KLASIFIKASI

Klasifikasi NOSPECS diperkenalkan oleh Werner pada tahun 1963 kemudian


diperbaharui oleh Asosiasi Tiroid Amerika ( ATA ) tahun 1969 dan sekali lagi tahun 1977
dengan menciptakan suatu sistem skor indeks ophtalmopati untuk memungkinkan evaluasi
kuantitatif tingkat keganasan oftalmopati dari masing-masing kelas.

0 : No signs and symptoms. Tidak ada gejala dan tanda.


1 : Only signs no symptoms. Hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction, stare,
lid lag)
2 : Soft tissue involvement with signs and symptoms. Perubahan jaringan lunak orbita, dengan
tanda dan gejala seperti lakrimasi, fotofobia, dan pembengkakan palpebra atau
konjungtiva.
3 : Proptosis (dapat dideteksi dengan Hertel exphthalmometer).
4 : Extraocular muscles involvement. Keterlibatan otot-otot ekstra okular.
5 : Corneal involvement. Perubahan pada kornea (keratitis).
6 : Sight loss due to optic nerve involvement. Kebutaan (kerusakan nervus optikus)
 Kelas 1, terjadinya spasme otot palpebra superior dapat menyertai keadaan awal
tirotoksikosis Graves yang dapat sembuh spontan bila keadaan tirotoksikosisnya diobati
secara adekuat.
Kelas 2-6 terjadi proses infiltratif pada otot-otot dan jaringan orbita.
 Kelas 2, ditandai dengan keradangan jaringan lunak orbita disertai edema periorbita,
kongesti dan pembengkakan dari konjungtiva (khemosis).
 Kelas 3, ditandai dengan adanya proptosis yang dapat dideteksi dengan Hertel
exophthalmometer.
 Kelas 4, terjadi perubahan otot-otot bola mata berupa proses infiltratif terutama pada
musculus rectus inferior yang akan menyebabkan kesukaran menggerakkan bola mata
keatas. Bila mengenai musculus rectus medialis, maka akan terjadi kesukaran dalam
menggerakkan bola mata kesamping.
 Kelas 5, ditandai dengan perubahan pada kornea ( terjadi keratitis).
 Kelas 6, ditandai dengan kerusakan nervus optikus, yang akan menyebabkan kebutaan.

MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis utama pada mata, antara lain keterlibatan jaringan lunak, retraksi
kelopak, proptosis, neuropati optik, dan myopati restriktif. Fase dari perkembangan penyakit
ini adalah fase kongestif dan fibrosis. Pada fase kongestif (inflamasi), mata merah dan nyeri,
dapat berulang selama 3 tahun dan hanya 10% pasien yang mengalami masalah penglihatan
jangka panjang yang serius. Pada fase fibrosis, mata tenang, meskipun ada defek motilitas
yang tidak nyeri.

1. Keterlibatan Jaringan Lunak


Gejala meliputi grittiness (merasa seperti ada benda asing), fotofobia, lakrimasi, dan rasa
tidak nyaman di retrobulbar.

Tanda yang dapat dilihat pada pasien antara lain:


- Hiperemia epibulbar.
- Periorbital swelling, disebabkan oleh edema dan infiltrasi dibalik septum orbital, dapat
disebabkan oleh kemosis dan prolaps lemak retroseptal ke kelopak mata.

- Keratokonjungtivitis limbus superior.

2. Retraksi Kelopak
Retraksi kelopak mata atas dan bawah terjadi pada kurang lebih 50% pasien dengan Graves
disease dengan mekanisme:
- Kontraktur fibrosis dari levator yang berkaitan dengan perlekatan dengan jaringan
orbital. Fibrosis pada otot rektus inferior dapat menyebabkan retraksi kelopak mata
bawah.
- Reaksi berlebih terhadap levator rektus superior sebagai respons terhadap hipotrofi
akibat fibrosis dan kekakuan otot rektus inferior. Reaksi ini dapat pula disebabkan
secara tidak langsung oleh fibrosis otot rektus superior.
- Reaksi berlebih dari otot Muller sebagai akibat dari overstimulasi simpatis karena
kondisi hipertiroid.

Tanda yang muncul yaitu ketika sklera terlihat di bawah limbus. Tanda lain yang dapat
ditemukan antara lain:
- Tanda Dalrymple
- Tanda Kocher

- Tanda Von Graefe

3. Proptosis
Propotosis dapat terjadi unilateral, bilateral, aksial, simetris, atau asimetris, dan seringkali
permanen. Proptosis berat dapat menyebabkan keratopati eksposur, ulkus kornea, dan
infeksi.
4. Myopati Restriktif
Sebagian pasien (30-50%) dengan penyakit mata tiroid mengalami oftalmoplegia dan dapat
menjadi permanen. Motilitas okular dibatasi oleh edema inflamasi dan fibrosis. Tekanan
intraokular dapat meningkat karena adanya penekanan okular oleh otot rektus inferior yang
fibrosis. Bentuk kelainan motilitas okular antara lain:
- Defek elevasi akibat kontraktur fibrosis pada otot rektus inferior, yang menyerupai
kelumpuhan otot rektus superior.
- Defek abduksi akibat fibrosis otot rektus medialis, yang mencetuskan kelumpuhan
nervus VI.
- Defek depresi sebagai akibat tidak langsung dari fibrosis otot rektus superior.
- Defek aduksi akibat fibrosis otot rektus lateralis.

5. Neuropati Optik
Neuropati optik jarang terjadi tetapi merupakan komplikasi yang serius akibat penekanan
nervus optikus atau pembuluh darah pada apeks orbital akibat kongesti dan pembesaran otot
rektus. Penekanan tersebut dapat terjadi tanpa proptosis yang signifikan, tetapi dapat
menyebabkan gangguan penglihatan berat yang dapat dicegah. Gangguan yang terjadi
biasanya pada penglihatan sentral.
Tanda-tanda yang dapat dilihat dari pasien antara lain:
- Penurunan visus, berkaitan dengan RAPD, desaturasi warna, dan penurunan
kemampuan membedakan terang.
- Gangguan lapang pandang dapat berupa sentral atau parasentral dan dapat pula terjadi
bersamaan dengan defek bundel serat saraf. Jika terdapat peningkatan tekanan
intraokular, sulit dibedakan dengan glaukoma sudut terbuka primer.
- Diskus optik biasanya normal, namun terkadang bengkak atau atrofi.

DIAGNOSIS

Diagnosis dibuat apabila terdapat 2 dari 3 tanda berikut ini :


1. Mendapat penanganan dengan terapi immune yang berkaitan dengan disfungsi tiroid (satu
atau lebih dari tanda berikut )
 Graves hipertiroidisme
 Hashimoto tiroiditis
 Adanya antibody tiroid dalam sirkulasi yang tidak didukung stadium distyroid
(memberikan pertimbangan sementara ), antibody TSH reseptor ( TSH-R ), ikatan tiroid
– immunoglobulin inhibitor ( TBH ), tiroid stimulating immunoglobulin ( TSI ), antibody
antimikrosom.
2. Tanda typikal dari orbital ( satu atau lebih dari tanda di baawah ini)
 Retraksi kelopak mata unilateral atau bilateral dengan flare temporal typikal (dengan atau
tanpa lagophtalmus )
 Proptosis bilateral ( sebagai bukti perbandingan dengan gambaran pasien tua )
 Strabismus restriktif sebagai pola typical.
 Penekanan neuropty optik.
 Edema kelopak mata fluktuasi / erytema.
 Khemosis / edema karunkula
3. Gambaran radiografi / TAO unilateral atau bilateral dengan adanya pembesaran (dari satu
atau lebih dibawah ini)
 Otot rektus medial
 Otot rektus inferior
 Otot rektus superior / kompleks levator

DIAGNOSIS BANDING

 Allergic conjunctivitis
 Myasthenia gravis
 Orbital myositis
 Chronic progressive external ophthalmoplegia
 Orbital tumors (primary or secondary).
 Carotid cavernous fistula
 Any inflammatory orbitopathy
 Sarcoidosis
 Preseptal cellulitis
 Orbital cellulitis

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Tes fungsi tiroid, termasuk serum T3, T4, TSH dan perkiraan dari iodine radioaktif .
2. Bidang visual / penglihatan ,dilakukan pada semua pasien yang diduga mengalami neuropati
optic dan berguna ketika menyertai pasien setelah permulaan penanganan.
3. Ultrasonografi, dapat mendeteksi perubahan pada otot ekstraokuler yang tejadi pada kasus
kelas 0 dan kelas 1 dan membantu diagnosis yang cepat. Disamping dari ketebalan otot,
erosi dinding temporal dari orbita, penekanan lemak retroorbita dan inflamasi perineural
dari saraf optic dapat juga di perlihatkan pada beberapa kasus cepat.
4. Tomografy komputer, dapat terlihat proptosis, otot lebih tebal, saraf optik menebal dan
prolaps anterior dari septum orbital ( termasuk kelebihan lemak orbital dan /atau
pembengkakan otot).
5. MRI, beberapa pihak beranggapan MRI sebagai modalitas yang paling baik untuk melihat
neuropati optik kompresif yang masih ringan.

PENATALAKSANAAN

Berdasarkan konsensus yang disepakati oleh European Group on Graves Orbitopathy,


penatalaksanaan dari oftalmopati Graves memiliki prinsip antara lain:
1. Merujuk pasien dengan oftalmopati Graves ke rumah sakit dengan spesialis mata
Pasien harus dirujuk dengan segera bila terdapat gejala yang bersifat sight threatening
seperti penurunan visus, perubahan intensitas dan kualitas warna, corneal opacity, atau
edema makula.
2. Manajemen masalah oleh kalangan nonspesialis
Faktor risiko yang dapat mengakibatkan oftalmopati Graves adalah merokok dan disfungsi
tiroid. Merokok diketahui dapat menurunkan efektivitas dari terapi, dan meningkatkan
progresi oftalmopati Graves setelah pemberian terapi radioiodin untuk hipertiroid. Sebagai
prevensi, faktor risiko dapat diminimalisasi melalui edukasi.
3. Manajemen masalah oleh spesialis mata
Hal yang dapat dilakukan antara lain penilaian derajat keparahan dan progresivitas dari
oftalmopati Graves, manajemen oftalmopati yang mengancam penglihatan, dan manajemen
oftalmopati derajat sedang-berat.
4. Manajemen oftalmopati ringan
Didalamnya termasuk tatalaksana awal untuk mencegah terjadinya perburukan penyakit.
5. Keadaan khusus
Keadaan seperti diabetes dan hipertensi harus dipertimbangkan bila tindakan pembedahan
dilakukan.

Prinsip management dari penatalaksanaan oftalmopati yang timbul dapat disingkat menjadi
TEAR:
 T : Tobacco abstinence
 E : Euthyroidism must be achieved
 A : Artificial tears
 R : Referral to a specialist centre with experience10

Penatalaksanaan terhadap oftalmopati Graves yang timbul dapat dibagi berdasarkan gejala
yang dialami pasien antara lain:
1. Keterlibatan jaringan lunak
Gejala yang muncul berupa epibulbar yang hiperemis sebagai tanda dari adanya proses
inflamasi, edema periorbital, dan keratokonjungtivitis limbic superior.
- Epibulbar hiperemis
Untuk mengatasi gejala ini dapat diberikan NSAID/steroid topikal maupun oral.
- Keratokonjungtivitis limbus
Lubrikan dapat diberikan untuk mencegah kornea yang terpajan menjadi kering. Lateral
tarsorrhaphy dapat dilakukan untuk mengurangi keratopati eksposur bila tidak berespon
dengan lubrikan.
2. Retraksi kelopak
Untuk retraksi kelopak ringan, tidak dibutuhkan penatalaksanaan karena dapat membaik
dengan spontan. Namun, pembedahan dapat menjadi solusi untuk memperbaiki retraksi
yang terjadi.
- Mullerotomy
Mullerotomy merupakan tindakan pembedahan dengan melakukan disinsersi otot
Muller.
- Reseksi retraktor kelopak bawah.
- Injeksi Botox
Injeksi botox pada levator aponeurosis dan otot Muller dapat digunakan sebagai
tatalaksana sementara untuk menunggu tatalaksana definitif.
- Guanethidine 5% eyedrop
Guanethidine 5% eyedrops dapat digunakan untuk mengurangi retraksi akibat reaksi
berlebih dari otot Muller.
3. Proptosis
Tatalaksana untuk proptosis dapat dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana medikamentosa dan
pembedahan.
a. Terapi medikamentosa
- Steroid sistemik
Orbitopati fase akut akibat neuropati optik kompresif biasanya ditangani dengan
kortikosteroid oral. Dosis awal biasanya 1-1,5 mg/kgBB prednison. Dosis ini
dipertahankan selama 2 hingga 8 minggu sampai respon klinis terlihat. Dosis
kemudian dikurangi sesuai dengan kondisi pasien, berdasarkan respon klinis dari
fungsi saraf optik. Injeksi metilprednisolon dengan dosis 500 mg dalam 200-500 ml
cairan isotonis (normal saline) dapat diberikan pada kompresi optik akut.
- Radioterapi
Radiasi dapat diberikan sebagai ajuvan dari penggunaan steroid, atau ketika steroid
menjadi kontraindikasi. Secara keseluruhan 60% hinggan 70% pasien memiliki
respon yang baik dengan radiasi, walaupun rekuren terjadi lebih dari 25% pasien.
Perbaikan diharapkan selama 6 minggu, dengan perbaikan maksimal dalam 4 bulan.
- Terapi kombinasi
Penelitian menyatakan bahwa penggunaan Azothiaprine dengan prednisolon dosis
rendah lebih efektif daripada terapi tunggal.
b. Dekompresi pembedahan
Dekompresi dengan cara pembedahan merupakan pilihan utama terapi ketika terapi non
invasif tidak efektif lagi. Dekompresi bertujuan untuk meningkatkan volume orbit
dengan membuang tulang dan lemak disekitar rongga orbital.
4. Miopati Restriktif
Penatalaksanaan miopati restriktif adalah dengan pembedahan. Tujuan pembedahan adalah
untuk memperoleh pandangan binokuler dan kemampuan stereoskopik. Pembedahan
dilakukan dengan indikasi bila diplopia menetap dengan sudut deviasi yang tidak berubah
selama 6 bulan.
5. Neuropati Optik
Penatalaksanaan neuropati optik adalah dengan steroid sistemik, jika tidak berhasil atau
steroid menjadi kontraindikasi, dapat dilakukan dekompresi orbital.

KOMPLIKASI

Krisis Tiroid (Thyroid Storm)


Merupakan eksaserbasi akut dari semua gejala tirotoksikosis yang berat sehingga dapat
mengancam kehidupan penderita. Faktor pencetus terjadinya krisis tiroid pada penderita
tirotoksikosis antara lain :
- Tindakan operatif, baik tiroidektomi maupun operasi pada organ lain.
- Terapi yodium radioaktif.
- Persalinan pada penderita hamil dengan tirotoksikosis yang tidak diobati secara adekuat.
- Stress yang berat akibat penyakit-penyakit seperti diabetes, trauma, infeksi akut, alergi
obat yang berat atau infark miokard.
Manifestasi klinis dari krisis tiroid dapat berupa tanda-tanda hipermetabolisme berat dan
respons adrenergik yang hebat, yaitu meliputi :
- Demam tinggi, dimana suhu meningkat dari 38°C sampai mencapai 41°C disertai dengan
flushing dan hiperhidrosis.
- Takikardi hebat, atrial fibrilasi sampai payah jantung.
- Gejala-gejala neurologik seperti agitasi, gelisah, delirium sampai koma.
- Gejala-gejala saluran cerna berupa mual, muntah, diare, dan ikterus.

Terjadinya krisis tiroid diduga akibat pelepasan yang akut dari simpanan hormon tiroid
didalam kelenjar tiroid. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar T4 dan T3
didalam serum penderita dengan krisis tiroid tidak lebih tinggi dibandingkan dengan kadarnya
pada penderita tirotoksikosis tanpa krisis tiroid. Juga tidak ada bukti yang kuat bahwa krisis
tiroid terjadi akibat peningkatan produksi triiodothyronine yang hebat. Dari beberapa studi
terbukti bahwa pada krisis tiroid terjadi peningkatan jumlah reseptor terhadap katekolamin,
sehingga jantung dan jaringan syaraf lebih sensitif terhadap katekolamin yang ada didalam
sirkulasi.

Hipertiroidisme dapat mengakibatkan komplikasi mencapai 0,2% dari seluruh kehamilan


dan jika tidak terkontrol dengan baik dapat memicu terjadinya krisis tirotoksikosis, kelahiran
prematur atau kematian intrauterin. Selain itu hipertiroidisme dapat juga menimbulkan
preeklampsi pada kehamilan, gagal tumbuh janin, kegagalan jantung kongestif, tirotoksikosis
pada neonatus dan bayi dengan berat badan lahir rendah serta peningkatan angka kematian
perinatal.

PROGNOSIS

Prognosis dari graves oftalmopati dipengaruhi oleh beberapa faktor dan usia juga berperan
penting. Anak-anak dan remaja umumnya memiliki penyakit yang ringan tanpa cacat yang
bermakna sampai batas waktu yang lama. Pada orang dewasa manifestasinya sedang sampai
berat dan lebih sering menyebabkan perubahan struktur disebabkan oleh karena gangguan
fungsional dan juga merubah gambaran kosmetik. Diagnosis dini orbitopaty dan laporan pasien
dengan resiko berat, progresifitas penyakit diikuti intervensi dini terhadap perkembangan
proses penyakit dan mengontrol perubahan jaringan lunak dapat mengurangi morbiditas
penyakit dan mempengaruhi prognosis dalam jangka waktu lama.
BAB III
KESIMPULAN

 Istilah oftalmopati mempunyai arti luas yaitu mencakup semua kelainan mata yang dapat
menyertai hipertiroid. Beberapa istilah dapat dijumpai dalam kepustakaan sehubungan
dengan oftalmopati pada hipertiroidisme seperti oftalmopati tiroid, oftalmopati graves,
penyakit mata tiroid.
 Sampai saat ini belum ditemukan patogenesis penyakit oftalmopati graves secara jelas.
Namun diperkirakan berkaitan dengan gangguan imunologi yang melibatkan unsur humoral
dan selular. Merokok sering dikaitkan sebagai faktor risiko yang meningkatkan
perkembangan dan tingkat keparahan tiroid oftalmopati.
 Kelainan – kelainan tersebut oleh American Thyroid Association diklasifikasikan dalam
enam kelas yang disingkat “NOSPECS”.
 Manifestasi klinis utama pada mata, antara lain keterlibatan jaringan lunak, retraksi kelopak,
proptosis, neuropati optik, dan myopati restriktif.
 Penatalaksanaan utama pada kasus oftalmopati Graves adalah menentukan derajatnya dan
kapan waktu merujuk. Prinsip penatalaksanaan pada kasus oftalmopati Graves adalah
kendalikan pajanan, turunkan kadar hormon tiroid, pemberian antiinflamasi, dan
pembedahan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Jameson JL, Weetman AP. Disorders of the thyroid gland. In: Kasper DL, Fauci AS,
Longo DL, et al. Harrison’s principles of internal medicine. 17th ed. USA: McGraw Hill
Medical. 2008; 2233-37.
2. Maitra A, Kumar V. Sistem endokrin. Dalam: Kumar V, Cotran R, Robbins SL. Buku ajar
patologi. 7th ed. Penerjemah: Prasetyo A, Pendit BU, Priliono T. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2007; 813-15.
3. Moeljanto RD. Kelenjar tiroid, hipotiroidisme, dan hipertiroidisme. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Edisi kelima. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas
Indonesia. 2009; 2009-15.
4. Matfin G, Kuenzi JA, Guven S. Disorders of endocrine control of growth and metabolism.
In: Porth CM. Pathophysiology-concepts of altered health states. 7th ed. USA: Lippincott
Williams & Wilkins. 2005; 975.
5. Nielsen Ch, El Fassi D, Hasselbalch HC, et al. B-cell depletion with rituximab in the
treatment of autoimmune diseases. Graves’ ophthalmopathy the latest addition to an
expanding family. Expert Opin Biol Ther 2007;7:1061-78.
6. The thyroid gland. In: Gardner DG, Shoback D. Greenspan’s basic & clinical
endocrinology. 8th ed. McGraw Hill. 2007.
7. Kanski JJ, Bowling B. Clinical ophtalmology: a systematic approach. 7th ed. China:
Elsevier. 2011. [ebook]
8. Khurana AK. Comprehensive Ophtalmology. New Delhi: New Age International. 2007;
390-2.
9. Bartalena L, Baldeschi L, Dickinson A et al. Consensus statement of the European Group
on Graves’ Orbitopathy (EUGOGO) on management of GO. Eur J Endocrinol. 2008; 158:
273-285.
10. Bartalena L, Marcocci C, Tanda L, et al. Management of thyroid eye disease. Eur J Med
Mol Imaging. 2002;29:S458-65.
11. Eva PR, Whitcher JP. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology. 17th ed. USA: Mc
Graw-Hill. 2007. [ebook]
12. Werner SC. Classification of the eye changes of Graves’ disease. Am J Ophthalmol
1969;68:646-8.

Anda mungkin juga menyukai