Anda di halaman 1dari 3

Hindu mengenal tatwa, susila, dan upacara sebagai dasar kerangka dasar dalam beragama.

Di dalam ketiga kerangka dasar itu terdapat substansi dari hakikat implementasi nilai-nilai
luhur dari ajaran Hindu itu sendiri. Tatwa mengandung maksud sebagai cara melaksanakan
ajaran agama dengan mendalami pengetahuan dan filsafat agama. Pada tataran susila
dikembangkan nilai-nilai dalam berperilaku, dan pada tataran upacara diurai tentang sarana
dan prasarana kelengkapan berperilaku dalam berkeyakinan. Ketiga nilai inilah
melambangkan dari konsep Hindu secara holistik.
Ketiga kerangka itu membentuk mata rantai menuju keseimbangan. Yadnya adalah
salah satu jalan menuju keseimbangan tersebut. Yadnya dalam Hindu dipahami sebagai
sebuah pengorbanan suci, sebuah persembahan untuk menciptakan keseimbangan. Sesuatu
yang dipersembahkan oleh umat menjadi sebuah kewajiban karena manusia telah
memperoleh hak yang diberikan oleh yang mahakuasa dengan harus mengembalikan
kepadaNya dengan nilai takar yang sama atau atau dikenal dengan konsep “utang” atau Rna
untuk tetap menjaga keseimbangan kehidupan alam semesta.
Kesadaran akan konsep rna / hutang adalah bagian dari syukur, bakhti dan
pengakuan pada ikatan yang tak terlepaskan pada leluhur, "Semakin besar yang diterima
berupa kesejahteraan, kemakmuran dan kedudukan baik secara finansial ataupun jabatan
dan strata sosial dalam kehidupan di dunia, maka upacara dan upakara yang dilakukan
untuk para leluhur juga akan meningkat lebih besar yang menandakan bahwa sebagai
penerus garis keturunan menyasar bahwa apa yang diperoleh adalah bagian dari berkat
yang tak lepas dari peran leluhurnya yang merupakan Rna atau hutang bakhti yang
sepatutnya ditunaikan dalam persembahan yang sebanding.
Rna atau hutang dikenal ada tiga jenis. Pertama, utang kepada Sang Maha Pencipta.
Beliau telah menciptakan kita sebagai makhluk yang sempurna, sempurna dalam arti
lengkap (sekaligus) dengan ketidaksempurnaannya. Konsep ini dalam Hindu dikenal dengan
Dewa Rna. Kedua, umat manusia memiliki utang pada para bijaksana, para Maha Rsi yang
telah berjasa menyebarkan pengetahuan dalam memberi pencerahan kepada umat. Konsep
ini dalam Hindu dikenal dengan Rsi Rna. Ketiga, umat manusia berutang kepada setiap
leluhur mereka. Para leluhurlah yang nyata-nyata secara langsung berbuat apa saja demi
sentana (keturunannya). Konsep ini dikenal dengan Pitra Rna. Dalam proses pelaksanaannya
pun dikenal beberapa tingkatan yaitu, nista yadnya, madya yadnya dan utama yadnya. Di
dalam ketiga prosesi tersebut pun terdapat pembagian tingkatan-tingkatkan lagi. Dan
yadnya yang paling tinggi tingkatannya yaitu utamaning utama yadnya. Namun sebenarnya
inti dari semua yadnya tersebut adalah sebagai ucapan rasa syukur, rasa terima kasih, serta
apresiasi terhadap alam semesta atas apa yang telah diberikan kepada umatnya.
Dalam konteks implementasi yadnya, Ubud menjadi salah satu role model yang
sampai yang saat ini masih mempertahankan tradisi leluhur dengan mengedepankan
keluhuran nilai –nilai kearifan lokal hingga mampu menjadi magnet daya tarik pariwisata.
Walaupun sebagian besar masyarakat Ubud sudah “alih fungsi” dari ekonomi pertanian ke
ekonomi moneter, berbasis pariwisata, serta menekuni sektor kerajinan dan sektor tersier
yang terkait dengan pariwisata sebagai dampak dari perbaikan ekonomi dan pengaruh
kebudayaan global namun tradisi masih dipegang teguh sehingga pantaslah Ubud dijadikan
cermin untuk melihat hubungan antara modernisasi dan tradisi di Bali.
Hal tersebut dapat dilihat dalam keseharian masyarakat yang masih berpegang
teguh pada nilai adat dan tradisi karena adanya peran puri Ubud yang begitu sentral dan
sangat concern dalam melindungi dan merawat budaya setempat sebagai perwujudan dari
kehidupan beryadnya. Terbukti Ubud yang hanyalah wilayah tidak begitu luas dan dulu
merupakan sebuah kerajaan kecil, dikitari lahan persawahan yang menghijau, serta pesona
alam pedesaan yang sangat kental dengan nuansa tradisional mampu bertransformasi
menjadi kawasan wisata dunia yang tak pernah sepi dari kunjungan wisatawan dengan
segudang penghargaan.
Tokoh-tokoh puri Ubud yang hidup di era global saat ini juga berpandangan visioner
bahwa yadnya dalam pelestarian adat, seni, budaya mempunyai peran strategis yang
memberikan kemudahan serta “anugerah” dalam bidang ekonomi, kesejahteraan,
kemasyhuran, kemakmuran yang merupakan sebuah “berkah suci” sehingga bisa terlihat di
Ubud dalam melaksanakan yadnya selalu totalitas dengan melaksanakan utamaning utama
yadnya melibatkan peran seluruh komponen masyarakat dalam kehidupan ritual yang
mantap dan kokoh, tercermin dalam kebersamaan dan kegotongroyongan, dipikul dan
menjadi tanggung jawab bersama. Salah satu dapat dilihat dalam perhelatan besar di Ubud
yaitu Upacara Pelebon pada 1979, yang dilakukan untuk Tjokorda Gde Agung Sukawati dan
Rudolf Bonnet.
Upacara Pelebon besar seperti ini sangat jarang diadakan setelah tahun 1979
tersebut, barulah pada 2008 kembali diadakan Upacara Pelebon yang cukup besar. Pada
Upacara Pelebon kali ini diperkirakan ada puluhan ribu orang yang hadir, baik itu
masyarakat Ubud maupun pengunjung lainnya dari luar Ubud, termasuk wisatawan dari
mancanegara. Upacara Pelebon saat itu memang sangat megah, karena merupakan upacara
perpisahan bagi Tjokorda Gde Agung Suyasa, yang telah menjabat sebagai Penglingsir Puri
Ubud selama tiga dasawarsa. Beliau adalah Kepala Keluarga Puri Ubud dan tokoh yang
dituakan di kalangan masyarakat Ubud setelah wafatnya Tjokorda Gde Agung Sukawati.
Tjokorda Gde Agung Suyasa meninggal pada 28 Maret 2008, sementara Upacara Pelebon-
nya diselenggarakan pada 15 Juli 2008. Upacara Pelebon memang tidak bisa seketika
langsung dilaksanakan ketika seseorang meninggal. Upacara Pelebon harus diadakan
berdasarkan perhitungan hari yang dianggap baik dengan meminta petunjuk dari pedanda
(pendeta). Selain itu, jarak waktu yang cukup lama ini agar masyarakat bisa menyiapkan
dengan baik berbagai perlengkapan yang dibutuhkan untuk upacara. Jadi, Upacara Pelebon
sebenarnya adalah sebuah upacara dengan proses yang panjang.
Proses persiapan Upacara Pelebon besar ini dilaksanakan sejak jauh-jauh hari
sebelumnya. Masyarakat Ubud dari segala kalangan dan usia bergotong-royong
membangun bade (menara kremasi), lembu (tempat meletakkan jenazah ketika dikremasi),
naga banda (patung naga berekor panjang yang hanya ada pada upacara Pelebon pemimpin
puri), dan juga menyiapkan berbagai perlengkapan upacara lainnya. Mereka melakukannya
hanya dengan bermodalkan perangkat sederhana seperti pisau dan parang. Bahan yang
digunakan sebagian besar juga merupakan bahan-bahan alami seperti bambu, kayu,
pelepah kelapa, rotan, ijuk, dan sebagainya. Semua proses persiapan yang dilakukan di Puri
Ubud dan sekitarnya ini diawasi langsung oleh keluarga Puri Ubud. Proses persiapan ini juga
terbuka untuk siapa pun yang mau membantu atau sekadar menonton. Karena itu, tidak
sedikit wisatawan asing yang ikut menyaksikan proses persiapan Upacara Pelebon ini.
Setelah persiapan selesai, dimulailah pelaksanaan Upacara Pelebon ini pada hari yang telah
ditetapkan. Peti jenazah dibawa dari dalam Puri Ubud dan diletakkan di atas bade yang
dirancang oleh Tjokorda Gde Raka Sukawati (penulis). Bade, lembu, dan naga banda ini
kemudian diusung oleh ribuan orang masyarakat Ubud menuju ke tempat kremasi di Pura
Dalem Puri Peliatan yang berjarak sekitar 800 meter di sebelah timur Puri Ubud. Setelah
iring-iringan ini sampai di tempat tujuan, jenazah lalu dipindahkan dari atas bade ke
lembu, dan kemudian dibakar. Seluruh perangkat upacara lainnya, termasuk bade dan naga
banda, juga ikut dibakar. Setelah proses kremasi selesai, abunya dilarung di laut sebagai
simbol pengembalian ke alam semesta. Upacara Pelebon ini bertujuan untuk
mengembalikan sisa-sisa dari orang yang meninggal ke elemen-elemen asalnya (unsur-unsur
pembentuknya) serta untuk membebaskan jiwa orang tersebut dari semua ikatan duniawi.
Dalam kepercayaan masyarakat Hindu-Bali, jiwa manusia berada dalam sebuah tubuh, yang
merupakan “wadah” kecil (mikrokosmos). Ketika seseorang meninggal, atma-nya (jiwa)
tetap berada di sekitar tubuh tersebut. Kelima elemen yang membentuk tubuh yaitu: api,
udara, air, tanah, dan eter harus kembali ke alam semesta yang merupakan “wadah” besar
(makrokosmos). Jiwa tersebut akan dibebaskan untuk menemukan jalannya menuju ke
Tuhan. Inilah makna singkat dari upacara Pelebon tersebut.
Dari sisi material yang digunakan untuk membuat berbagai perangkat upacara bade, lembu,
naga banda, kayu bakar, sesajenan, semuanya menggunakan bahan-bahan lokal dan alami.
Karena itu, ketika dibakar pun semua perangkat ini menjadi abu dan dengan mudah
menyatu kembali dengan alam. Masyarakat Hindu-Bali juga meyakini bahwa upacara
Pelebon ini juga dibantu oleh kekuatan niskala (tidak tampak dengan mata telanjang).
Misalnya saja, jika dipikir secara rasional, mungkin sulit membayangkan bahwa bade yang
sangat tinggi dan sangat berat bisa diusung sejauh ratusan meter tanpa rusak. Serta
bagaimana cara membuat berbagai perangkat upacara Pelebon seperti bade, lembu, dan
naga banda yang dilakukan tanpa menggunakan komputer dan hanya menggunakan ukuran
jari tangan serta intuisi. Namun, nyatanya hal ini bisa dilakukan karena diyakini ada
makhluk- makhluk niskala yang turut membantu. Inilah keunikan dari budaya Bali yang sulit
dijumpai di tempat lain sebagai wujud dari adanya hubungan harmonis antara manusia
dengan tuhan, serta manusia dengan lingkungan alam gaib lainnya.

Anda mungkin juga menyukai