Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Belajar pada hakekatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada di
sekitar individu. Belajar dapat dipandang sebagai proses yang diarahkan kepada tujuan dan
proses berbuat melalui berbagai pengalaman (melihat, mengamati dan memahami sesuatu).
Dapat kita ketahui bahwa indikator belajar ditujukkan dengan perubahan dalam tingkah
laku. Dan untuk memantapkan fondasi pemahaman akan belajar, tentu kita perlu
mengetahui konsep dan teori belajar. Teori belajar adalah suatu teori yang di dalamnya
terdapat tata cara pengaplikasian kegiatan belajar mengajar antara guru dan siswa,
perancangan metode pembelajaran yang akan dilaksanakan di kelas maupun di luar kelas.

Pendidikan adalah Suatu usaha yang bersifat sadar dengan tujuan sistematis, terarah
pada perubahan tingkah laku menuju kedewasaan anak. Pendidikan juga merupakan proses
yang berfungsi untuk membimbing perkembangan diri sesuai dengan tugas perkembangan
dengan tugas yang dijalankan siswa itu. Keberhasilan pendidikan dapat diukur dengan
penguasaan siswa terhadap materi yang telah disampaikan oleh guru di dalam kelas.
Namun, operasionalnya keberhasilan itu banyak pula ditentukan oleh manajemen
pendidikan di samping dipengaruhi oleh beberapa faktor pendidikan yang harus ada dan
juga terkait di dalamnya. Faktor tersebut adalah: (1) guru, (2) materi, dan (3) siswa. Faktor
guru merupakan faktor paling dominan dalam kegiatan belajar-mengajar. Guru sebagai
perencana sekaligus sebagai pelaksana pembelajaran serta pemberi balikan untuk
memotivasi siswa dalam melaksanakan tugas belajar. Hal ini menunjukkan bahwa posisi
guru dalam dunia pendidikan sangat penting. Berdasarkan fungsi dan perannya yang sangat
besar itu, maka idealnya seorang guru harus memiliki keprofesionalan dalam menjalankan
tugasnya.Jabatan guru merupakan pekerjaan profesi, oleh karena itu profesionalisme guru
sangatlah dibutuhkan dalam proses belajar mengajar.

1.2 Rumuasan Masalah

1. Apa defenisi teori belajar?


2. Apa saja macam-macam teori belajar?
3. Apa defenisi profesionalisme guru
4. Apa saja kriteria guru profesional ?
5. Apa upaya untuk meningkatkan profesionalme guru?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun makalah ini ditulis bertujuan untuk menyelesaikan salah satu tugas mata kuliah
manajemen kelas yang diampu oleh Bapak Syafrilianto, M. Pd. Selain itu, penulisan makalah ini
bertujuan untuk mengetahui pengertian teori belajar, apa saja macam-macam teori belajar, pengertian
guru profesional, apa saja kriteria guru profesional, dan apa saja upaya peningkatan profesionalisme
guru.

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 TEORI BELAJAR

2.1.1 Defenisi Teori Belajar

Teori belajar merupakan upaya untuk mendeskripsikan bagaimana manusia


belajar, sehingga membantu kita semua memahami proses inhern yang kompleks dari belajar.
Ada tiga perspektif utama dalam teori belajar, yaitu Behaviorisme, Kognitivisme, dan
Konstruktivisme. Pada dasarnya teori pertama dilengkapi oleh teori kedua dan seterusnya,
sehingga ada varian, gagasan utama, ataupun tokoh yang tidak dapat dimasukkan dengan jelas
termasuk yang mana, atau bahkan menjadi teori tersendiri.1

Teori belajar dapat diartikan sebagai konsep-konsep dan prinsip-prinsip belajar yang
bersifat teoritis dan telah teruji kebenarannya melalui eksperimen berfungsi menjelaskan apa,
mengapa, dan bagaimana proses belajar terjadi pada si pelajar.2 Sebagai salah satu cabang ilmu
deskriptif, maka teori belajar . Bruner dalam Degeng (1989) mengemukakan bahwa teori
pembelajaran adalah preskriptif, sedangkan teori belajar adalah deskriptif. Preskriptif artinya,
tujuan teori pembelajaran adalah menetapkan metode/strategi pembelajaran yang cocok supaya
memperoleh hasil optimal. Dengan kata lain, teori pembelajaran berurusan dengan upaya
mengontrol variabel-variabel yang spesifik dalam teori belajar agar dapat memudahkan belajar.
Sedangkan deskriptif artinya, tujuan teori belajar adalah menjelaskan proses belajar. Teori
belajar menaruh perhatian pada bagaimana seseorang belajar.

Teori belajar berpangkal pada pandangan hakikat manusia, yaitu hakikat manusia
menurut pandangan john locke yaitu manusia merupakan organisme yang pasif. Locke
menganggap bahwa manusia itu seperti kertas putih, hendak ditulisi apa kertas itu sangat
tergantung pada orang yang menulisnya. Dari pandagan ini muncul aliran belajar behavioristik-
elementeristik. Sedangkan menurut Leibnitz pandangan mengenai hakikat manusia adalah
organism yang aktif. Manusia merupakan sumber daripada semua kegiatan. Pada dasarnya
manusia bebas untuk berbuat, manusia bebas untuk membuat pilihan dalam setiap situasi. Titik
pusat kebebasan ini adalah kesadarannya sendiri. Dari pandangan ini muncul aliran belajar
yaitu belajar kognitif-holistik.3

Terhadap masalah belajar, Gagne memberikan dua defenisi, yaitu:

1. Belajar adalah sustu proses untuk memperoleh motivasi dalam pengetahuan,


keterampilan, kebiasaan, dan tingkah laku;

1
Miterianifa. Strategi Pembelajaran Kimia. (Pekanbaru : Suska Pres. 2015.). Hal. 17.
2
Agus N. Cahyo. Panduan Aplikasi Teori-Teori Belajar Mengajar. (Jogjakarta: DIVA Press. 2013).
Hal.20.
3
Miterianifa. Op. Cit. Hal. 18

2
2. Belajar adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang diperoleh dari
instruksi.4

2.1.2 Macam-macam Teori Belajar

1. Teori Behaviorisme

Menurut aliran behavioristik, belajar pada hakikatnya adalah pembentukan asosiasi


antara kesan yang ditangkap panca indra dengan kecemderungan untuk bertindak atau
hubungan antara stimulus dan respons (R-S). Belajar adalah upaya untuk membentuk
hubungan stimulus dan respons sebanyak-banyaknya. Teori-teori belajar yang termasuk ke
dalam kelompok behavioristik diantaranya:

1. Koneksionisme, dengan tokohnya Thorndike


2. Classical conditioning, dengan tokohnya Pavlop
3. Operant conditioning, yang dikembangkan oleh Skinner
4. Systematic behavior, yang dikembangkan oleh hull
5. Contiguous conditioning, yang dikembangkan oleh Guthrie

Tokoh-tokoh penting yang mengembangkan teori belajar behavioristik, dapat


dijelaskan sebagai berikut.

1. Thorndike

Salah satu penganut paham ini adalah Thornike. Ia menyatakan bahwa belajar
merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara periatiwa yang disebut
stimulus dan respon yang diberikan atas stimulus tersebut. Ia menyimpulkan bahwa
semua tingkah laku manusia baik pikiran maupun tindakan dapat dianalisis dalam
bagian-bagian dari dua struktur yang sederhana, yaitu stimulus dan respon. Dengan
demikian, menurut pandangan ini, dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi
antara stimulus dan respon. Oleh karena itu, teori Thondike ini disebut teori asosiasi.5

Teori koneksionisme yang dipelopori oleh Thorndike, memandang bahwa yang


menjadi dasar terjadinya belajar adalah adanya asosiasi antara kesan panca indera
(sense of impression) dengan dorongan yang muncul untuk bertindak (impuls to action)
(Mukminan, 1997 : 8). Ini artinya, toeri behaviorisme yang lebih dikenal dengan
nama contemporary behaviorist ini memandang bahwa belajar akan terjadi pada diri
anak, jika anak mempunyai ketertarikan terhadap masalah yang dihadapi. Siswa dalam
konteks ini dihadapkan pada sikap untuk dapat memilih respons yang tepat dari
berbagai respons yang mungin bisa dilakukan. Menurut Thorndike, belajar akan
berlangsung pada diri siswa jika siswa berada dalam tiga macam hukum belajar, yaitu
: 1) The Law of Readiness (hokum kesiapan belajar), 2) The Law of Exercise (hukum

4
Slamet. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. (Jakarta: Rineka Cipta. 2013). Hal 13.
5
Agus N. Cahyo. Log. Cit. Hal.27.

3
latihan), dan 3) The Law of Effect (hokum pengaruh). Hukum kesiapan belajar ini
merupakan prinsip yang menggambarkan suatu keadaan si pembelajar (siswa)
cenderung akan mendapatkan kepuasan atau dapat juga ketidakpuasan.6

2. Pavlov

Konsep teori yang dikemukakan oleh Ivan Petrovitch Pavlov ini secara garis
besar tidak jauh berbeda dengan pendapat Thorndike. Jika Throndike ini
menekankan tentang hubungan stimulus dan respons, dan di sini guru sebaiknya
tahu tentang apa yang akan diajarkan, respons apa yang diharapkan
muncul pada diri siswa, serta tahu kapan sebaiknya hadiah sebagai reinforc
ement itu diberikan; maka Pavlov lebih mencermati arti pentingnya penciptaan kondisi
atau lingkungan yang diperkirakan dapat menimbulkan respons pada diri siswa.

3. E.R Guthrie

Pendapat Thorndike dan Pavlov ini ditegaskan lagi oleh Guthrie, di mana ia
menyatakan dengan hukumnya yaitu “The Law of Association”, yang berbunyi :
“A combination of stimuli which has accompanied a movement will on its recurrence
tend to be followed by that movement” (Guthrie, 1952: 13). Secara sederhana dapat
diartikan bahwa gabungan atau kombinasi suatu kelas stimuli yang menyertai atau
mengikuti suatu gerakan tertentu, maka ada kecenderungan bahwa gerakan itu akan
diulangi lagi pada situasi/stimuli yang sama.7

4. John Watson

Pada tahun 1919, pakar psikologi berkebangsaan AS, J.B. Watson dalam
bukunya Psychology from the Standpoint of a Behaviorist mengkritisi metode
introspektif dalam pakar psikologi yaitu metode yang hanya memusatkan perhatian
pada perilaku yang ada atau berasal dari nilai-nilai dalam diri pakar psikologi itu
sendiri. Watson berprinsip hanya menggunakan eksperimen sebagai metode untuk
mempelajari kesadaran. Watson mempelajari penyesuaian organisme terhadap
lingkungannya, khususnya stimuli khusus yang menyebabkan organisme tersebut
memberikan respons. Kebanyakan dari karya-karya Watson adalah komparatif
yaitu membandingkan perilaku berbagai binatang. Karya-karyanya sangat dipengaruhi
karya Ivan Pavlov. Namun pendekatan Watson lebih menekankan pada peran stimuli
dalam menghasilkan respons karena pengkondisian, mengasimilasikan sebagian
besar atau seluruh fungsi dari refleks. Karena itulah, Watson dijuluki sebagai pakar
psikologi S – R (stimulus-response).
Dalam suatu percobaan yang kontroversial di tahun 1921, Watson dan asisten
risetnya Rosalie Rayner melakukan eksperimen terhadap seorang balita bernama
Albert. Pada awal eksperimen, balita tersebut tidak takut terhadap tikus. Ketika balita

6
Miterianifa. Op. Cit. Hal. 20
7
Ibid. Hal. 21

4
memegang tikus, Watson mengeluarkan suara dengan tiba-tiba dan keras. Balita
menjadi takut dengan suara yang tiba-tiba dan keras sekaligus takut terhadap tikus.
Akhirnya, tanpa ada suara keras sekalipun, balita menjadi takut terhadap tikus.
Meskipun eksperimen Watson dan rekannya secara etika dipertanyakan,
hasilnya menunjukkan untuk pertamakalinya bahwa manusia dapat ‘belajar’ takut
terhadap stimuli yang sesungguhnya tidak menakutkan. Namun ketika stimuli tersebut
berasosiasi dengan pengalaman yang tidak menyenangkan, ternyata menjadi
menakutkan. Eksperimen tersebut juga menunjukkan bahwa classical conditioning
mengakibatkan beberapa kasus fobia (rasa takut), yaitu ketakutan yang yang tidak
rasional dan berlebihan terhadap objek-objek tertentu atau situasi-situasi tertentu.
Pakar psikologi sekarang dapat memahami bahwa classical conditioning dapat
menjelaskan beberapa respons emosional seperti kebahagiaan, kesukaan, kemarahan,
dan kecemasan, yaitu karena orang tersebut mengalami stimuli khusus.8

5. B.F. Skinner

Skinner mengidentifikasi sejumlah prinsip mendasar dari operant


conditioning yang menjelaskan bagaimana seseorang belajar perilaku baru atau
mengubah perilaku yang telah ada. Prinsip-prinsip utamanya adalah reinforcement
(penguatan kembali), punishment (hukuman), shaping (pembentukan), extinction
(penghapusan), discrimination (pembedaan), dan generalization (generalisasi).
1) Penguatan
Reinforcement (penguatan) berarti proses yang memperkuat perilaku—yaitu,
memperbesar kesempatan supaya perilaku tersebut terjadi lagi.
2) Hukuman
Apabila reinforcement memperkuat perilaku, hukuman memperlemah,
mengurangi peluangnya terjadi lagi di masa depan.
3) Pembentukan
Pembentukan merupakan teknik penguatan yang digunakan untuk mengajar
perilaku hewan atau manusia yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya.
Dalam cara ini, guru memulainya dengan penguatan kembali suatu respons
yang dapat dilakukan oleh pembelajar dengan mudah, dan secara berangsur-
angsur ditambah tingkat kesulitan respons yang dibutuhkan.
4) Eliminasi Penguatan
Sebagaimana dalam classical conditioning, respons yang dipelajari di dalam
operant conditioning tidak selalu permanen. Di dalam operant conditioning,
extinction (eliminasi kondisi) merupakan eliminasi dari perilaku yang
dipelajari dengan menghentikan penguat dari perilaku tersebut.
5) Generalisasi dan Diskriminasi
Generalisasi dan diskriminasi yang terjadi di dalam operant conditioning nyaris
sama dengan yang terjadi di dalam classical conditioning. Dalam generalisasi,

8
Fajar S. Teori Belajar. (UNS: Semarang). Diakses melalui http://fajarss.blog.uns.ac.id/files/2010/04
/teori-belajar.pdf tanggal 01 Juni 2017 pukul 23.44 . Hal 4-7.

5
seseorang suatu perilaku yang telah dipelajari dalam suatu situasi dilakukan
dalam kesempatan lain namun situasinya sama.9

Teori behaviorisme yang menekankan adanya hubungan antara stimulus (S)


dengan respons (R) secara umum dapat dikatakan memiliki arti yang penting bagi siswa untuk
meraih keberhasilan belajar. Caranya, guru banyak memberikan stimulus dalam proses
pembelajaran, dan dengan cara ini siswa akan merespons secara positif apa lagi jika diikuti
dengan adanya reward yang berfungsi sebagai reinforcement ( penguatan terhadap respons
yang telah ditunjukkan). Oleh karena teori ini berawal dari adanya percobaan
sang tokoh behavioristik terhadap binatang, maka dalam konteks pembelajaran ada beberapa
prinsip umum yang harus diperhatikan, beberapa prinsip tersebut adalah:

1. Teori ini beranggapan bahwa yang dinamakan belajar adalah perubahan


tingkah laku. Seseorang dikatakan telah belajar sesuatu jika yang bersangkutan
dapat menunjukkan perubahan tingkah laku tertentu.
2. Teori ini beranggapan bahwa yang terpenting dalam belajar adalah adanya stimulus
dan respons, sebab inilah yang dapat diamati. Sedangkan apa yang terjadi di antaranya
dianggap tidak penting karena tidak dapat diamati.
3. Reinforcement, yakni apa saja yang dapat menguatkan timbulnya respons, merupakan
faktor penting dalam belajar. Respons akan semakin kuat apabila reinforcement (baik
positif maupun negatif) ditambah.

Jika yang menjadi titik tekan dalam proses terjadinya belajar pada diri siswa adalah
timbulnya hubungan antara stimulus dengan respons, di mana hal ini berkaitan dengan tingkah
laku apa yang ditunjukkan oleh siswa, maka penting kiranya untuk memperhatikan hal-hal
lainnya di bawah ini, agar guru dapat mendeteksi atau menyimpulkan bahwa proses
pembelajaran itu telah berhasil. Hal yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Guru hendaknya paham tentang jenis stimulus apa yang tepat untuk diberikan kepada
siswa.
2. Guru juga mengerti tentang jenis respons apa yang akan muncul pada diri siswa.
3. Untuk mengetahui apakah respons yang ditunjukkan siswa ini benar-benar sesuai
dengan apa yang diharapkan, maka guru harus mampu :
a. Menetapkan bahwa respons itu dapat diamati (observable)
b. Respons yang ditunjukkan oleh siswa dapat pula diukur (measurable)
c. Respons yang diperlihatkan siswa hendaknya dapat dinyatakan secara eksplisit
atau jelas kebermaknaannya (eksplisit)
d. Agar respons itu dapat senantiasa terus terjadi atau setia dalam
ingatan/tingkah laku siswa, maka diperlukan sekali adanya semacam
hadiah (reward).

9
Fajar S. Op. Cit. . Hal 7-13.

6
Aplikasi teori behavioristik dalam proses pembelajaran untuk
memaksimalkan tercapainya tujuan pembelajaran (siswa menunjukkan tingkah laku /
kompetensi sebagaimana telah dirumuskan), guru perlu menyiapkan dua hal, sebagai berikut:

a. Menganalisis Kemampuan Awal dan Karakteristik Siswa


b. Merencanakan materi pembelajaran yang akan dibelajarkan

Sedangkan langkah umum yang dapat dilakukan guru dalam menerapkan teori
behaviorisme dalam proses pembelajaran adalah :

a. Mengidentifikasi tujuan pembelajaran.


b. Melakukan analisis pembelajaran
c. Mengidentifikasi karakteristik dan kemampuan awal pembelajar
d. Menentukan indikator-indikator keberhasilan belajar.
e. Mengembangkan bahan ajar (pokok bahasan, topik, dll)
f. Mengembangkan strategi pembelajaran (kegiatan, metode, media dan waktu)
g. Mengamati stimulus yang mungkin dapat diberikan (latihan, tugas, tes dan
sejenisnya)
h. Mengamati dan menganalisis respons pembelajar
i. Memberikan penguatan (reinfrocement) baik posistif maupun negatif, serta
j. Merevisi kegiatan pembelajaran. 10

2. Teori Kognitivisme

Pada teori belajar kognitivisme, belajar adalah pengorganisasian aspek- aspek kognitif
dan perseptual untuk memperoleh pemahaman. Tujuan dan tingkah laku sangat dipengaruhi
oleh proses berfikir internal yang terjadi selama proses belajar. Teori-teori yang termasuk ke
dalam kelompok kognitif holistic di antaranya:

a. Teori Gestalt, dengan tokohnya Kofka, Kohler, dan Wetheimer.


b. Teori Medan (field theory), dengan tokohnya lewin
c. Teori organismik yang dikembangkan oleh wheeler
d. Teori humanistic, dengan tokohnya maslow dan rogers
e. Teori konstruktivistik, dengan tokohnya jean piaget

1. Teori Gestalt
Menurut teori ini belajar adalah adanya penyesuaian pertama yaitu memperoleh
respon yang tepat untuk memn ecahkan problem yang dihadapi. Belajar yang penting
bukan mengulangi hal yang dipelajari, tetapi mengerti atau memperoleh insight. Prinsip
belajar menurut Gestalt, antara lain:
a. Belajar berdasarkan keseluruhan
b. Belajar adalah suatu proses perkembangan
c. Siswa sebagai organisme keseluruhan

10
Miterianifa. Op. Cit. Hal. 21-23

7
d. Terjadi transfer
e. Belajar adalah reorganisasi pengalaman
f. Belajar harus dengan insight
g. Belajar lebih berhasil bila berhubungan dengan minat, keninginan, dan tujuan
siswa
h. Belajar berlangsung terus menerus11

2. Jerome Bruner

Gagasan utama Bruner didasarkan kategorisasi. "Memahami adalah


kategorisasi, konseptualisasi adalah kategorisasi, belajar adalah membentuk
kategori-kategori, membuat keputusan adalah kategorisasi." Bruner berpendapat
bahwa orang menginterpretasikan dunia melalui persamaannya dan perbedaannya.
Sebagaimana halnya Taksonomi Bloom, Bruner berpendapat tentang adanya suatu
sistem pengkodean dimana orang membentuk susunan hierarkhis dari kategori-
kategori yang saling berhubungan. Gagasannya yang disebut instructional
scaffolding (dukungan dalam pembelajaran) ini berupa hierarkhi kategori berjenjang
di mana semakin tinggi semakin spesifik, menyerupai gagasan Benjamin Bloom
tentang perolehan pengetahuan. Bruner mengemukakan ada dua mode utama dalam
berpikir: naratif dan paradigmatik. Dalam berpikir naratif, pikiran fokus pada
berpikir yang sekuensial, berorientasi pada kegiatan, dan dorongan berpikir secara
rinci. Dalam berpikir paradigmatik, pikiran melampaui kekhususan sehingga
memperoleh pengetahuan yang sistematis dan kategoris. Pada mode pertama, proses
berpikir seperti halnya cerita atau drama. Pada mode kedua, berpikir secara
berstruktur seperti halnya menghubungkan berbagai gagasan mendasar dengan cara
yang logis.

2. Noam Chomsky

Chomsky mengemukakan bahwa anak-anak di seluruh dunia mulai belajar


berbicara rata-rata pada usia yang sama dan berkembang melalaui tahapan-tahapan
yang rata-rata sama pula meskipun tanpa secara eksplisit diajar atau diberi hadiah
untuk upayanya tersebut. Menurut Chomsky, kapasitas manusia untuk belajar
bahasa adalah bawaan. Ia memiliki teori bahwa otak manusia memiliki “hardware”
untuk bahasa sebagai hasil dari evolusi. Dengan menunjuk fungsi vital disposisi
biologis dalam perkembangan bahasa, teori Chomsky memukul secara telak asumsi
behavioris bahwa semua perilaku manusia dibentuk dan dipertahankan melalui
reinforcement (penguatan). Chomsky mengemukakan bahwa anak-anak di seluruh
dunia mulai belajar berbicara rata-rata pada usia yang sama dan berkembang melalaui
tahapan-tahapan yang rata-rata sama pula meskipun tanpa secara eksplisit diajar atau
diberi hadiah untuk upayanya tersebut. Menurut Chomsky, kapasitas manusia
untuk belajar bahasa adalah bawaan. Ia memiliki teori bahwa otak manusia

11
Slamet. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. (Jakarta: Rineka Cipta. 2013). Hal 9-12..

8
memiliki “hardware” untuk bahasa sebagai hasil dari evolusi. Dengan menunjuk
fungsi vital disposisi biologis dalam perkembangan bahasa, teori Chomsky memukul
secara telak asumsi behavioris bahwa semua perilaku manusia dibentuk dan
dipertahankan melalui reinforcement (penguatan).

3. Teori Vygotsky

Menurut Vygotsky, orang dewasa yang sensitif akan peduli terhadap


kesiapan anak untuk tantangan baru, sehingga mereka dapat menyusun kegiatan yang
cocok untuk mengembangkan keterampilan baru. Orang dewasa berperan sebagai
mentor dan guru, mengarahkan anak ke dalam zone of proximal development—
istilah dari Vygotsky yang berarti suatu zone perkembangan di mana anak tidak mampu
melakukan suatu kegiatan belajar tanpa bantuan namun dapat melakukannya secara
baik di bawah bimbingan orang dewasa. Orang tua mungkin bisa mengajar konsep-
konsep angka yang sederhana, sebagai misal, dengan menghitung manik-manik
bersama anak atau menghitung mengukur bahan-bahan ketika memasak dengan
menggunakan takaran. Ketika anak-anak berpartisipasi dalam kegiatan sehari-hari
seperti ini dengan orang tua, guru, dan orang lain, mereka akan secara bertahap
mempelajari praktik buadaya, nilai-nilai dan ketrampilan.12

4. John Piaget

Menurut peaget manusia berhadapan dengan tantangan, pengalaman, gejala


baru, dan persoalan yang harus ditanggapinya secaca kognitif (mental). Untuk itu,
manusia harus mengembangkan skema pikiran lebih umum atau rinci, atau
perlu perubahan, menjawab dan menginterpretasikan pengalaman-pengalaman
tersebut. Dengan cara itu, pengetahuan seseorang terbentuk dan selalu berkembang.
Proses tersebut meliputi:

1. Skema/skemata adalah struktur kognitif yang dengannya seseorang beradaptasi dan


terus mengalami perkembangan mental dalam interaksinya dengan lingkungan.
Skema juga berfungsi sebagai kategori-kategori utnuk mengidentifikasikan
rangsangan yang datang, dan terus berkembang.
2. Asimilasi adalah proses kognitif perubahan skema yang tetap mempertahankan
konsep awalnya, hanya menambah atau merinci.
3. Akomodasi adalah proses pembentukan skema atau karena konsep awal sudah
tidak cocok lagi.
4. Equilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sehingga
seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamya (skemata).
Proses perkembangan intelek seseorang berjalan dari disequilibrium menuju
equilibrium melalui asimilasi dan akomodasi.

12
Fajar S. Op. Cit. . Hal 16-17.

9
Menurut piaget, pada saat manusia belajar telah terjadi dua proses dalam dirinya, yaiotu
organisasi informasi dan adabtasi. Proses organisasi adalah proses ketika manusia
menghubungkan informasi yang diterimanya dengan struktur-sturktur pengetahuan yang sudah
disimpan atau sudah adasebelumnya dalam otak. Dengan proses organisasi ini, manusia dapat
memahami sebuah informasi tersebut dengan struktur pengetahuan yang dimilikinya, sehingga
manusia dapat mengasimilasi atau mengakomodasi informasi atau pengetahuan tersebut.
Proses adabtasi adalah proses yang berisi dua kegiatan. Pertama, menghubungkan atau
mengintegrasikan pengetahuan yang diterima manusia atau disebut asimilasi. Kedua,
mengubah struktur pengetahuan baru, sehingga akan terjadi keseimbangan.13

Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan


dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan
untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman
sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan
rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif,
mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan. Implikasi teori perkembangan kognitif
Piaget dalam pembelajaran adalah :

1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru
mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak
2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan
baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-
baiknya.
3. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan
diskusi dengan teman-temanya.14

Empat tahap perkembangan kognitif:.

1. Tahap sensorik motorik ( 0-2 tahun)


Bayi bergerak dari tindakan refleks instingsif pada saat lahir sampai permulaan
simbolis. Bayi membangun suatu pemahaman tentang dunia melalui
pengoodinasian pengalaman-pengalaman sensor dengan tindakan fisik.
2. Tahap preoperasional (2-6 tahun)
Anak mulai merepresentasikan dunia dengan kata-kata dan gambar-gambar yang
menunjukkan adanya peningkatan pemikiran simbolis dan melampaui hubungan
informasi sensor tindak fisik.
3. Tahap operasional kongkrit (6-12 tahun)
Pada saat ini anak dapat berpikir secara logis mengenai peristiwa-peristiwa yang
konkret.
4. Tahap formal yang bersifat internal (12-18 tahun)

13
Ibid.. Hal. 24
14
Agus N. Cahyo. Op. Cit. Hal.36.

10
Anak remaja berpikir dengan cara yang lebih abstrak dan logis, pemikiran lebih
idealistik.

Seseorang tidak dapat mempelajari sesuatu diluar kemampuan kognitifnya. Adapun


Akomodasi adalah proses menstruktur kembali mental sebagai akibat adanya informasi dan
pengalaman baru. Jadi belajar tidak hanya menerima informasi dan pengalaman lama yang
dimiliki anak didik untuk mengakomodasikam informasi dan pengalaman baru.15

3. Teori Konstruktivisme

Dalam perkembangan selanjutnya, arus utama kognitivisme bergeser ke


konstruktivisme. Para kognitivis pun mengikuti dinamika perubahan menuju konstruktivis.
Konstruktivisme memandang belajar sebagai proses di mana pembelajar secara aktif
mengkonstruksi atau membangun gagasan-gagasan atau konsep-konsep baru didasarkan
atas pengetahuan yang telah dimiliki di masa lalu atau ada pada saat itu. Dengan kata lain,
”belajar melibatkan konstruksi pengetahuan seseorang dari pengalamannya sendiri oleh
dirinya sendiri”. Dengan demikian, belajar menurut konstruktivis merupakan upaya keras
yang sangat personal, sedangkan internalisasi konsep, hukum, dan prinsip-prinsip umum
sebagai konsekuensinya seharusnya diaplikasikan dalam konteks dunia nyata. Guru
bertindak sebagai fasilitator yang meyakinkan siswa untuk menemukan sendiri prinsip-
prinsip dan mengkonstruksi pengetahuan dengan memecahkan problem-problem yang
realstis.
Teori ini memiliki fokus perhatian pada bangkitnya dan dimilikinya schemata—skema
bagaimana seseorang mengenal dunia—dalam saat "tingkatan-tingkatan perkembangan",
ketika anak-anak menerima cara baru bagaimana secara mental merepresentasikan
informasi. Teori ini dianggap "konstruktivis", yang berarti bahwa, tidak seperti teori
nativis (yang berpendapat bahwa perkembangan kognitif sebagai perkembangan dari
pengetahuan dan kemampuan bawaan) ataupun teori empiris (yang berpendapat bahwa
perkembangan kognitif sebagai perolehan gradual dari pengetahuan melalui pengalaman),
teori ini berpendapat bahwa kita mengkonstruksi kemampuan kognitif kita melalui kegiatan
motivasi-diri dalam dunia nyata.16

Konstruktivisme adalah integrasi prinsip yang diekplorasi melalui


teori chaos, network, dan teori kekompleksitas dan organisasi diri. Belajar adalah proses
yang terjadi dalam lingkungan samar-samar dari peningkatan elemen- elemen inti- tidak
seluruhnya dikontrol oleh individu. Belajar (didefinisikan sebagai pengetahuan yang dapat
ditindak) dapat terletak di luar diri kita (dalam organisasi atau suatu database), terfokus pada
hubungan serangkaian informasi yang khusus, dan hubungan tersebut memungkinkan kita
belajar lebih banyak dan lebih penting dari pada keadaan yang kita tahu sekarang.
Konstruktivisme diarahkan oleh pemahaman bahwa keputusan didasarkan pada perubahan
yang cepat. Informasi baru diperoleh secara kontinu, yang penting adalah kemampuan untuk
menentukan antara informasi yang penting dan tidak penting. Yang juga penting adalah

15
Miterianifa. Op. Cit. Hal. 26.
16
Fajar S. Op. Cit. . Hal 30.

11
kemampuan mengetahui kapan informasi berganti (baru). Prinsip-prinsip konstruktivisme
sebagaimana yang diungkapkan Siemens (2005) adalah:

a. Belajar dan pengetahuan terletak pada keberagaman opini.


b. Belajar adalah suatu proses menghubungkan (connecting)sumber-sumber informasi
tertentu.
c. Belajar mungkin saja terletak bukan pada alat-alat manusia.
d. Kapasitas untuk mengetahui lebih banyak merupakan hal yang lebih penting
dari pada apa yang diketahui sekarang.
e. Memelihara dan menjaga hubungan-hubungan (connections) diperlukan untuk
memfasilitasi belajar berkelanjutan.
f. Kemampuan untuk melihat hubungan antara bidang-bidang, ide-ide, dan konsep
merupakan inti keterampilan.
g. Saat ini (pengetahuan yang akurat dan up-to-date) adalah maksud dari semua
aktivitas belajar konektivistik.
h. Penentu adalah proses belajar itu sendiri. Pemilihan atas apa yang dipelajari
dan makna dari informasi yang masuk nampak melalui realita yang ada.

Konstruktivisme juga menyatakan tantangan yang dihadapi dalam


pengelolaan aktivitas. Pengetahuan yang dibutuhkan dihubungkan (to be connected)
dengan orang yang tepat dalam konteks yang tepat agar dapat diklasifikasikan sebagai belajar.
Behaviorisme, kognitivisme, dan konstruktivisme tidak menyatakan tantangan-tantangan dari
pengetahuan organisasional dan pergantian (transference).

Aliran informasi dalam suatu organisasi merupakan elemen penting dalam hal
efektifitas secara organisasi. Aliran informasi dianalogikan sama dengan pipa minyak dalam
sebuah indusri. Menciptakan, menjaga, dan memanfaatkan aliran informasi hendaknya menjadi
kunci aktivitas organisasional. Aliran pengetahuan dapat diumpamakan
sebagai sebuah sungai yang berliku-liku melalui ekologi suatu organisasi. Di daerah
tertentu meluap dan di tempat lain airnya surut. Sehatnya ekologi belajar dari suatu organisasi
tergantung pada efektifnya pemeliharan aliran informasi.

Analisis jaringan sosial merupakan unsur-unsur tambahan dalam


memahami model-model belajar di era digital. Art Kleiner (2002) menguraikan quantum
theory of trust milik Karen Stephenson yang menjelaskan tidak hanya sekadar bagaimana
mengenal kapabelitas kognitif kolektif dari suatu organisasi, tetapi bagaimana mengolah dan
meningkatkannya.

Starting point konstruktivisme adalah individu. Pengetahuan personal terdiri dari


jaringan, yang hidup dalam organisasi atau institusi, yang pada gilirannya memberi umpan
balik pada jaringan itu, dan kemudian terus menerus member pengalaman belajar kepada
individu. Gerak perkembangan pengetahuan (personal ke jaringan ke organisasi)

12
memungkinkan pebelajar tetap mutakhir dalam bidangnya melalui hubungan (connections)
yang mereka bentuk.17

Munculnya teori konstruktivisme secara eksplisit pada dasarnya adalah berkat Jean
Piaget, yang menegaskan perbedaan pendapatnya tentang mekanisme internalisasi
pengetahuan pada diri pembelajar. Ia berpendapat bahwa melalui proses akomodasi dan
asimilasi, individu mengkonstruksi pengetahuan baru dari pengalamannya. Asimilasi
terjadi ketika pengalaman baru dari individu cocok dengan representasi dunia nyata
dalam diri (internal) mereka. Mereka mengasimilasikan (menjadikannya sebagai bagian dari
dirinya) pengalaman baru itu dalam kerangka yang sudah ada. Asimilasi merupakan proses
membingkai kembali representasi mental seseorang dari dunia nyata supaya cocok dengan
pengalamannya yang baru. Akomodasi dapat dipahami sebagai suatu mekanisme bagaimana
mengubah suatu kegagalan menjadi keberhasilan melalui proses pembelajaran. Ketika kita
berharap bahwa dunia bekerja dengan cara sesuai keinginan kita, dan ternyata yang terjadi
adalah sebaliknya, maka kemungkinan besar kita mengalami kegagalan. Dengan
mengakomodasi pengalaman baru ini dan membingkai ulang model yang kita kehendaki,
kita memperoleh hal baru dari belajar tentang kegagalan.
Penting untuk dicatat bahwa konstruktivisme dengan sendirinya bukan merupakan
paedagogi tunggal yang istimewa. Kenyataannya, konstruktivisme menjelaskan bagaimana
berlangsungnya pembelajaran yang ideal, tanpa memandang apakah pembelajar
memanfaatkan pengalamannya untuk memahami materi ataukah digunakannya untuk
mencoba mendesain model pesawat terbang. Pada keduanya, teori konstruktivisme
menganggap yang penting adalah pembelajar mengkonstruksi pengetahuannya.
Konstruktivisme sebagai deskripsi kognitif manusia seringkali diasosiasikan dengan
pendekatan paedagogi yang mempromosikan learning by doing.18

1. Teori Bermakna Ausubel

Menurut Ausubel dan Hanesia (1978), seseorang belajar dengan


mengasosiasikan fenomena baru ke dalam skema yang telah ia punya. Dalam proses itu
seseorang dapat mengembangkan skema yang ada atau dapat mengubahnya. Dalam
proses belajar ini siswa mengkontruksi apa yang ia pelajari sendiri. Teori belajar
bermakna Ausubel ini sangat dekat dengan konstruktivisme. Keduanya menekankan
pentingnya pelajar mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru
kedalam sistem pengertian yang telah dipunyai. Keduanya menekankan pentingnya
asimilasi pengalaman baru ke dalam konsep atau pengertian yang sudah dipunyai siswa.
Keduanya mengandaikan bahwa dalam proses belajar itu siswa aktif.

17
Miterianifa. Op. Cit. Hal. 28
18
Fajar S. Op. Cit. . Hal 29.

13
2. Teori Skema

Menurut teori ini, pengetahuan disimpan dalam suatu paket informasi, atau
skema yang terdiri dari konstruksi mental gagasan kita. Teori ini lebih menunjukkan
bahwa pengetahuan kita tersusun dalam suatu skema yang terletak dalam ingatan kita.
Dalam pembelajaran kita dapat menambahan skema yang ada sehingga dapat menjadi
lebih luas dan berkembang.19

4. Teori Belajar Humanistik

Mazhab humanis pula berpendapat pembelajaran manusia bergantung kepada emosi


dan perasaannya. Seorang ahli mazhab ini, Carl Rogers menyatakan bahawa setiap individu itu
mempunyai cara belajar yang berbeza dengan individu yang lain. Oleh itu, strategi dan
pendekatan dalam proses pengajaran dan pembelajaran hendaklah dirancang dan disusun
mengikut kehendak dan perkembangan emosi pelajar itu. Beliau juga menjelaskan bahawa
setiap individu mempunyai potensi dan keinginan untuk mencapai kecemerlangan kendiri.
Maka, guru hendaklah menjaga kendiri pelajar dan member bimbingan supaya potensi mereka
dapat diperkembangkan ke tahap optimum.

Menurut Teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses
belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa
dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambatlaun ia mampu mencapai aktualisasi diri
dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut
pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.

Tujuan utama teori humanistik adalah pendidik membantu siswa untuk


mengembangkan dirinya, untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan
membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Para ahli
humanistik melihat adanya dua bagian pada proses belajar, ialah:

1. Proses pemerolehan informasi baru,


2. Personalia informasi ini pada individu

Tokoh penting dalam teori belajar humanistik secara teoritik antara lain adalah:

1. Arthur Combs (1912-1999)


2. Maslow
3. Carl Rogers20

Humanisme dipelopori oleh pakar psikologi Carl Rogers dan Abraham Maslow.
Menurut Rogers, semua manusia yang lahir sudah membawa dorongan untuk meraih
sepenuhnya apa yang diinginkan dan berperilaku dalam cara yang konsisten menurut diri

19
Agus N. Cahyo. Op. Cit. Hal.96
20
Miterianifa. Op. Cit. Hal. 29

14
mereka sendiri. Rogers, seorang psikoterapis, mengembangkan person-centered therapy, suatu
pendekatan yang tidak bersifat menilai ataupun tidak memberi arahan yang membantu
klien mengklarifikasi dirinya tentang siapa dirinya sebagai suatu upaya fasilitasi proses
memperbaiki kondisinya. Hampir pada saat yang bersamaan, Maslow mengemukakan
teorinya bahwa semua orang memiliki motivasi untuk memenuhi kebutuhannya yang
bersifat hierarkhis. Pada bagian paling bawah dari hirarkhi ini adalah kebutuhan-kebutuhan
fisikal seperti rasa lapar, haus, dan mengantuk. Di atasnya adalah kebutuhan akan rasa aman,
kebutuhan akan rasa memiliki dan cinta, dan kepercayaan diri yang berkaitan dengan
kebutuhan akan status dan pencapaian. Ketika berbagai kebutuhan ini terpenuhi, Maslow
yakin, orang akan meraih aktualisasi diri, suatu puncak pemenuhan kebutuhan dari
seseorang. Gagasan lain dari humanisme dapat diringkas sebagai berikut:
1. Setiap orang memiliki kapasitas untuk berkembang.
2. Setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih tujuan hidupnya.
3. Humanisme menekankan pentingnya kualitas hidup manusia.
4. Setiap orang memiliki kemampuan untuk memperbaiki kehidupannya.
5. Persepsi pribadi seseorang terhadap dirinya sendiri lebih penting dari lingkungan
6. Setiap orang memiliki potensi untuk memahami dirinya sendiri.
7. Setiap orang seharusnya memberikan dukungan pada orang lain sehingga
semua memiliki citra diri yang positif serta pemahaman diri yang baik.
8. Carl Rogers menekankan pentingnya suasana lingkungan yang hangat dan bisa
menjadi terapi.
9. Abraham Maslow berpendapat bahwa potensi kita sesunggahnya tidak terbatas.
10. Terjadinya kebersamaan disebabkan adanya persepsi positif satu sama lain.
11. Rogers berpendapat bahwa seseorang akan tidak mempercayai hal-hal positif
dari dirinya dan rasa percaya dirinya rendah bila ada anggapan positif orang lain
namun bersyarat.
12. Konsep-diri adalah bagaimana seseorang mengenal potensinya, perilakunya,
dan kepribadiannya.
13. Realita adalah bagaimana sesungguhnya diri seseorang sedangkan idealisme adalah
bagaimana seseorang menginginkan dirinya menjadi apa.
14. Anggapan positif tanpa syarat, ketulusan dan empati membantu memperbaiki
hubungan seseorang dengan orang lain.
15. Seseorang akan bermanfaat bagi orang lain apabila terbuka terhadap pengalaman,
tidak terlalu mementingkan diri, peduli pada sekitarnya, dan memiliki hubungan
yang harmonis dengan orang lain.
16. Aktualisasi diri adalah dorongan untuk mengembangkan potensi secara penuh
sebagai manusia dari diri seseorang.21

Implikasi Teori Belajar Humanistik ialah guru Sebagai Fasilitator. Psikologi


humanistik memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator yang berikut ini adalah berbagai

21
Fajar S. Op. Cit. . Hal 20.

15
cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas sifasilitator. Ini merupakan
ikhtisar yang sangat singkat dari beberapa guidenes (petunjuk):

1. Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi


kelompok, atau pengalaman kelas
2. Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan
di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
3. Dia mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan
tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang
tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi.
4. Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling
luas dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.
5. Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat
dimanfaatkan oleh kelompok.
6. Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima
baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk
menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok
7. Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat
berperanan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota
kelompok, dan turut menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti
siswa yang lain.
8. Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga
pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu
andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa
9. Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya
perasaan yang dalam dan kuat selama belajar.22

5. Teori Belajar Kecerdasan Ganda

Teori Kecerdasan Ganda (Multiple Inteligence) yang dikemukakan oleh Howard


Gardner – seorang professor psikologi dari Harvard University – akan dijadikan acuan untuk
lebih memahami bakat dan kecerdasan individu. Pada dasarnya siswa adalah individu yang
unik. Setiap siswa memiliki potensi dan kemempuan yang berbeda antara yang satu dengan
yang lain. Tidak
semua individu memilki profil intelegensi yang sama. Setiap individu juga memilki bakat
dan minat belajar yang berbeda-beda. Terdapat tujuh jenis kecerdasan dasar yaitu :

1. Kecerdasan Bahasa
2. Kecerdasan Matematis/Logis
3. Kecerdasan Spasial
4. Kecerdasan Kinestetik
5. Kecerdasan Musikal

22
Miterianifa. Op. Cit. Hal. 31.

16
6. Kecerdasan Interpersonal
7. Kecerdasan Naturalis

Guru memegang peran yang sangat penting dalam implementasi teori


kecerdasan ganda. Agar implementasi teori kecerdasan ganda dapat mencapai hasil seperti
yang diinginkan ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu :

a. Kemampuan guru dalam mengenali kecerdasan individu siswa


b. Kemampuan mengajar dan memanfaatkan waktu mengajar secara
proporsional.

Kemampuan guru dalam mengenali kecerdasan ganda yang dimiliki oleh siswa
merupakan hal yang sangat penting. Faktor ini akan sangat menentukan dalam merencanakan
proses belajar yang harus ditempuh oleh siswa. Ada banyak cara yang dapat dilakukan oleh
guru untuk mengenali kecerdasan spesifik yang dimiliki oleh siswa. Semakin dekat hubungan
antara guru dengan siswa, maka akan semakin mudah bagi para guru untuk mengenali
karakteristik dan tingkat kecerdasan siswa. 23

Setelah mengetahui kecerdasan setiap individu siswa, maka langkah–langkah


berikutnya adalah merancang kegiatan pembelajaran. Armstrong (2004) mengemukakan
proporsi waktu yang dapat digunakan oleh guru dalam mengimplementasikan teori kecerdasan
ganda yaitu :

 30 % pembelajaran langsung
 30 % belajar kooperatif
 30% belajar independent

Implementasi teori kecerdasan ganda membawa implikasi bahwa guru bukan lagi
berperan sebagai sumber (resources), tapi harus lebih berperan sebagai
manajer kegiatan pembelajaran. Dalam menerapkan teori kecerdasan ganda, sistem
sekolah perlu menyediakan guru-guru yang kompeten dan mampu membawa anak
mengembangkan potensi-potensi kecerdasan yang mereka miliki. Guru musik misalnya, selain
mampu memainkan instrumen musik, ia juga harus mampu mengajarkannya sehimgga dapat
menjadi panutan yang baik bagi siswa yang memiliki kecerdasan musikal.24

5. Teori Belajar Sosial


Pijakan awal teori belajar sosial adalah bahwa manusia belajar melalui
pengamatannya terhadap perilaku orang lain. Pakar yang paling banyak melakukan riset teori
belajar sosial adalah Albert Bandura dan Bernard Weiner. Meskipun classical dan operant
conditioning dalam hal-hal tertentu masih merupakan tipe penting dari belajar, namun orang
belajar tentang sebagian besar apa yang ia ketahui melalui observasi (pengamatan). Belajar

23
Ibid Hal. 32.
24
Miterianifa. Strategi Pembelajaran Kimia. (Pekanbaru : Suska Pres. 2015.). Hal. 32.

17
melalui pengamatan berbeda dari classical dan operant conditioning karena tidak
membutuhkan pengalaman personal langsung dengan stimuli, penguatan kembali, maupun
hukuman. Belajar melalui pengamatan secara sederhana melibatkan pengamatan perilaku
orang lain, yang disebut model, dan kemudian meniru perilaku model tersebut.
Baik anak-anak maupun orang dewasa belajar banyak hal dari pengamatan dan imitasi
(peniruan) ini. Anak muda belajar bahasa, keterampilan sosial, kebiasaan, ketakutan, dan
banyak perilaku lain dengan mengamati orang tuanya atau anak yang lebih dewasa. Banyak
orang belajar akademik, atletik, dan keterampilan musik dengan mengamati dan kemudian
menirukan gueunya. Menurut psikolog Amerika Serikat kelahiran Kanada Albert Bandura,
pelopor dalam studi tentang belajar melalui pengamatan, tipe belajar ini memainkan
peran yang penting dalam perkembangan kepribadian anak. Bandura menemukan bukti
bahwa belajar sifat-sifat seperti keindustrian, keramahan, pengendalian diri, keagresivan,
dan ketidak sabaran sebagian dari meniru orang tua, anggota keluarga lain, dan teman-
temannya.

1. Teori Imitasi Bandura

Menurut teori imitasi Bandura yang sangat berpengaruh, yang juga disebut teori
belajar sosial, empat faktor dibutuhkan oleh seseorang untuk belajar melalui
pengamatan dan kemudian menirunya: attention (memperhatikan), retention
(mengingat), reproduction (mereproduksi), dan motivation (dorongan). Pertama,
pembelajar harus menaruh perhatian pada detail-detail yang penting dari perilaku
model. Seorang wanita muda, melihat ayahnya memanggang roti tidak akan
berhasil menirukan perilaku ayahnya tersebut bila tidak menaruh perhatian pada
beberapa detail penting—bumbu, kuantitas, temperatur oven, durasi waktu
memanggang, dan sebagainya. Faktor kedua adalah retention—pembelajar harus
dapat mengingat atau menyimpan semua informasi dalam memorinya sampai
informasi itu berguna kelak. Jika seseorang lupa beberapa detail penting, ia akan
tidak dapat berhasil meniru suatu perilaku. Ketiga, pembelajar harus memiliki
keterampilan dan koordinasi fisik yang dibutuhkan dalam reproduction mereproduksi
perilaku tersebut.

2. Teori Generalisasi Imitasi

Suatu alternatif dari teori Bandura adalah teori generalisasi imitasi. Teori
ini menyatakan bahwa orang akan meniru perilaku orang lain jika situasinya sama
dengan ketika peristiwa yang ditirunya diperkuat di masa lalu. Sebagai contoh, ketika
seorang anak muda meniru perilaku orang tuanya atau saudara tuanya, imitasi ini sering
diperkuat dengan senyuman, pujian, atau bentuk-bentuk persetujuan lain. Demikian
juga, ketika anak-anak menirukan perilaku teman-temannya, bintang olah raga,
atau selebritis, peniruan ini akan diperkuat—dengan persetujuan teman sebayanya,
jika tidak orang tuanya. Melalui proses generalisasi, anak tersebut akan memulai
meniru model-model tersebut pada kesempatan yang lain. Bila teori Bandura

18
menekankan proses berpikir dan motivasi peniru, teori generalisasi imitasi berpijak
pada dua prinsip dasar dari operant conditioning—penguatan dan generalisasi.25

2.2 Profesionalitas Pendidik


2.2.1 Pengertian Profesionalisme Guru
Istilah profesionalisme berasal dari profession. Dalam Kamus Inggris Indonesia,
“profession berarti pekerjaan”26 .Arifin dalam buku Kapita Selekta Pendidikan mengemukakan
bahwa profession mengandung arti yang sama dengan kata occupation atau pekerjaan yang
memerlukan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan atau latihan khusus.27 Dalam buku
yang ditulis oleh Kunandar yang berjudul Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan disebutkan pula bahwa profesionalisme berasal dari kata profesi yang
artinya suatu bidang pekerjaan yang ingin atau akan ditekuni oleh seseorang. Profesi juga
diartikan sebagai suatu jabatan atau pekerjaan tertentu yang mensyaratkan pengetahuan dan
keterampilan khusus yang diperoleh dari pendidikan akademis yang intensif. Jadi, profesi
adalah suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian tertentu.28

Berdasarkan definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa profesi adalah suatu
pekerjaan atau keahlian yang mensyaratkan kompetensi intelektualitas, sikap dan keterampilan
tertentu yang diperolah melalui proses pendidikan secara akademis. Dengan demikian,
Kunandar mengemukakan profesi guru adalah keahlian dan kewenangan khusus dalam bidang
pendidikan, pengajaran, dan pelatihan yang ditekuni untuk menjadi mata pencaharian dalam
memenuhi kebutuhan hidup yang bersangkutan. Guru sebagai profesi berarti guru sebagai
pekerjaan yang mensyaratkan kompetensi (keahlian dan kewenangan) dalam pendidikan dan
pembelajaran agar dapat melaksanakan pekerjaan tersebut secara efektif dan efisien serta
berhasil guna.29

Adapun mengenai kata Profesional , Uzer Usman memberikan suatu kesimpulan bahwa
suatu pekerjaan yang bersifat professional memerlukan beberapa bidang ilmu yang secara
sengaja harus dipelajari dan kemudian diaplikasikan bagi kepentingan umum. Kata prifesional
itu sendiri berasal dari kata sifat yang berarti pencaharian dan sebagai kata benda yang berarti
orang yang mempunyai keahlian seperti guru, dokter, hakim, dan sebagainya. Dengan kata lain,
pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka
yang khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang
karena tidak dapat memperoleh pekerjaan lain. Dengan bertitik tolak pada pengertian ini, maka
pengertian guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus

25
Fajar S. Teori Belajar. (UNS: Semarang). Diakses melalui http://fajarss.blog.uns.ac.id/files/2010/04
/teori-belajar.pdf tanggal 01 Juni 2017 pukul 23.44 . Hal 41.
26
John M. Echols dan Hassan Shadili. Kamus Inggris Indonesia. (Jakarta: PT. Gramedia, 1996), Cet.
Ke-23, Hal. 449.
27
Arifin. Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum). (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), Cet. Ke- 3, Hal
105.
28
Kunandar. Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan
Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru,. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2007). Cet. Ke-1, Hal 45.
29
Ibid., Hal 46.

19
dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru
dengan kemampuan yang maksimal.30

H.A.R. Tilaar menjelaskan pula bahwa seorang professional menjalankan pekerjaannya


sesuai dengan tuntutan profesi atau dengan kata lain memiliki kemampuan dan sikap sesuai
dengan tuntutan profesinya. Seorang profesional menjalankan kegiatannya berdasarkan
profesionalisme, dan bukan secara amatiran. Profesionalisme bertentangan dengan amatirisme.
Seorang professional akan terus-menerus meningkatkan mutu karyanya secara sadar, melalui
pendidikan dan pelatihan.31 Adapun mengenai pengertian profesionalisme itu sendiri adalah,
suatu pandangan bahwa suatu keahlian tertentu diperlukan dalam pekerjaan tertentu yang mana
keahlian itu hanya diperoleh melalui pendidikan khusus atau latihan khusus.32

Profesionalisme guru merupakan kondisi, arah, nilai, tujuan dan kualitas suatu keahlian
dan kewenangan dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang berkaitan dengan pekerjaan
seseorang yang menjadi mata pencaharian. Sementara itu, guru yang profesional adalah guru
yang memiliki kompetensi yang dipersyaratkan untuk melakukan tugas pendidikan dan
pengajaran. Dengan kata lain, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian guru profesional
adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga
ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Guru
yang profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki
pengalaman yang kaya di bidangnya.33

Guru dituntut untuk mempunyai kewenangan mengajar berdasarkan kualifikasinya


sebagai tenaga pengajar. Sebagai tenaga pendidik, setiap guru harus memiliki kemampuan
profesional dalam bidang pembelajaran. Dengan kemampuan tersebut, guru dapat
melaksanakan perannya. Menurut Ali Mudlofir (2012:5) “profesionalitas adalah suatu sebutan
terhadap kualitas sikap para anggota suatu profesi terhadap profesinya serta derajat
pengetahuan dan keahlian yang mereka miliki untuk dapat melakukan tugas-tugasnya”. Hal ini
sejalan dengan Undang-Undang Guru dan Dosen pasal 1 Menurut Undang-Undang Nomer 14
tahun 2005, professional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan
menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau
kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan
profesi. Selain itu menurut Kunandar (2007: 46)“Guru yang professional adalah guru yang
memiliki kompetensi yang dipersyaratkan untuk melakukan tugas pendidikan dan pengajaran.
Kompetensi ini meliputi pengetahuan, sikap dan keterampilan profesional, baik yang bersifat
pribadi sosial, maupun akademis”.

Berdasarkan yang telah dikemukakan diatas, seseorang yang profesional dapat dilihat
dari kualitas sikap pengetahuan yang dimiliki untuk menjalankan tugas-tugasnya, guru yang
profesional dituntut untuk harus memliki kompetensi yang layak untuk mengajar.Guru yang

30
Usman, M. Uzer. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 2006. Cet. Ke- 20,
Hal. 14-15.
31
H.A.R. Tilaar. Membenahi Pendidikan Nasional. (Jakarta: PT. Rineka Cipta. 2002). Cet. Ke-1, Hal.
86.
32
Arifin. Op. Cit. Hal. 105.
33
Kunandar. Op. Cit. Hal . 46-47.

20
profesional dapat melaksanaan tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian baik dalam materi
maupun metode.Selain itu, juga ditujukkan melalui tanggung jawabnya dalam melaksanakan
seluruh pengabdiannya.Guru yang professional hendaknya mampu memikul dan
melaksanakan tanggung jawab sebagai guru kepada peserta didik, orang tua,
masyarakat,bangsa, Negara, dan agamanya. Guru professional mempunyai tanggung jawab
pribadi sosial, intelektual, moral, dan spiritual.
1. Pendidik adalah induk jabatan profesional

Jabatan pendidik (guru) merupakan suatu jabatan yang strategis dalam menunjang
proses dan hasil kinerja pendidikan secara keseluruhan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
pendidik (guru) merupakan gerbang awal sekaligus sebagai representasi kondisi dan kinerja
pendidikan. Hal ini mengandung makna bahwa kinerja seorang pendidik akan banyak
memberikan pengaruh yang cukup bermakna bagi perwujudan kinerja pendidikan secara
efektif. Sehubungan dengan hal diatas, A Malik Fadjar, mantan Menteri Agama RI dan Menteri
Pendidikan Nasional mengatakan: “al-thagirah ahammu’min al-maddah walakin al-mudaris
ahammu’ min al-thariqah”. Artinya : metode lebih utama dari materi, akan tetapi guru lebih
utama dari metode. Guru yang dimaksud adalah guru profesional.

Undang-undang republik indonesia No.14 tahun 2005 tentang guru dan dosen,
menetapkan guru sebagai jabatan profesional secara resmi. Dalam bab 1 pasal 1 ayat (1) dan
ayat (4) dijelaskan sebagai berikut:

 Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,


membimbing, mengarahkan, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
anak usisa dini, pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
 Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seorang dan menjadi
sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan
memenuhi satndar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.

Dalam literatur kependidikan islam guru disebut dengan ustadz, mualim, murabbiy,
mursyid, mudarris, muaddib, dan muzakkiy. Sedangkan untuk guru profesional disebut ustadz
atau profesor. Seorang dikatakan profesional, bilamana dalam dirinya melekat sikap dedikatif
yang tinggi terhadap tugasnya, sikap komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta
sikap continuous improvement yakni selalu berusaha memperbaiki dan memperbarui model-
model atau cara kerjanya sesuai dengan tuntutan zamannya yang dilandasi oleh kesadaran yang
tinggi bahwa tugas mendidik adalah tugas menyiapkan generasi penerus yang akan hidup pada
zamannya dimasa depan.34

2.2.2 Kriteria Pendidik Profesional


Dalam lingkup pendidikan, profesionalitas seorang pendidik merupakan hal yang amat
penting. Kualitas profesional pendidik terlihat dari penampilannya yang berwwibawa dalam
interaksinya dengan lingkungan. Sedangkan kualitas profesional akan terwujud apabila guru

34
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Kalam Mulia. 2002). Hal. 126-132

21
menguasai kompetensi-kompetensi yang berlandaskan nilai-nilai ajaran islam (al-Qur’an dan
hadits).
Secara sederhana profesional guru dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Kewibawaan
2. Kompetensi keguruan, berupa : a. Kompetensi kepribadian, b. Kompetensi paedagogik,
c. Kompetensi sosial, dan d. Kompetensi profesional.
3. Kompetensi dalam penguasaan bahasa indonesia dan bahasa asing (arab dan inggris)
4. Kompetensi dalam penguasaan teknologi informasi
5. Nilai-nilai ajara islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadits.

a. Kewibawaan
Kewibawaan berasal dari kata wibawa yang artinya pancara kelebihan seseorang atas
orang lain dalam suasana pengakuan dan penerimaan yang tulus dari orang lain itu.
Kewibawaan dapat diartikan sebagai suatu “kualitas pribadi” pada diri seseorang yang
membuat pihak lain menjadi tertarik, bersikap mempercayai, menghormati, secara sadar dan
suka cita, dan sekaligus akan mengikutinya.
Kewibawaan dalam hubungan profesionalitas pendidik adalah seberapa jauh seorang
pendidik (guru) menguasai kompetensi keguruan, maupun kompetensi pendukung lainnya.
Dalam hubungan dengan proses pembelajaran menurut Prayitno dkk, menyatakan bahwa
kewibawaan pendidik memasuki pribadi peserta didik, dan peserta didik “mengarahkan”
dirinya kepada pendidik. Disanalah terkembang pengakuan, penerimaan, dan pengakuan
peserta didik oleh pendidik di satu sisi, dan pendidik oleh peserta didik di satu sisi yang lain,
masing-masing menjadi subjek yang sangat berarti dan penuh makna.

b. Kompetensi keguruan
Kompetensi merupakan perilaku rasionak guru mencapai tujuan yang dipersyaratkan
sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Dengan demikian, suatu kompetensi ditunjukkan
oleh penampilan atau unjuk kinerja yang dapat dipertanggung jawabkan (rasional) dalam
upaya mencapai suatu tujuan. Sebagai suatu profesi, terdapat sejumlah kompetensi yang
harus dimiliki oleh seorang guru, yaitu kompetensi pribadi, kompetensi profesional,
kompetensi paedagogik, dan kompetensi sosial kemasyarakatan.

22
1) Kompetensi kepribadian
Kompetensi kepribadian adalah kompetensi yang berhubungan dengan
pengembangan kepribadian sebagai seorang pendidik (guru). Diantara
kompetensi tersebut adalah:
a) Kemampuan dalam pemahaman dan pengamalan ajaran islam
b) Kemampuan untuk menghormati dan menghargai antar sesama umat
beragama
c) Kemampuan untuk berperilaku sesuai dengan norma, aturan, dan sistem
nilai agama dan nilai yang berlaku di dalam masyarakat.
d) Menghilangkan sifat tercela, dan menggantinya dengan sefai terpuji
(lakhalki dan tahalki)
e) Bersifat demokratis dan terbuka dari segala kritikan dan saran yang
bersifat positif dan konstruktif.
2) Kompetensi paedagogis
Kompetensi paedagogis merupakan kemampuan guru dalam pengelolaan
pembelajaran peserta didik. Kompetensi tersebut diantaranya:
a) Memahami landasan kependidikan
b) Mampu merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi proses
pembelajaran
c) Memahami, mengembangkan potensi peserta didik
d) Kemampuan dalam melaksanakan unsur-unsur penunjang misalnya
maham akan administrasi sekolah, bimbingan, dan konseling
e) Kemampuan dalam melaksanakan penelitian dan berpikir ilmiah untuk
meningkatkan kinerja sebagai pendidik.
3) Kompetensi sosial
Kompetensi sosial merupakan kompetensi yang berhubungan dengan
kemampuan guru sebagai bagian dari anggota masyarakat. Kompetensi ini
diantarnya:
a) Kemampuan untuk menjalin kerjasama dengan orang lain baik dengan
individu maupun dengan kelompok masyarakat
b) Kemampuan untuk mengenal dan memahami fungsi-fungsi setiap
lembaga kemasyarakatan
4) Kompetensi profesional
Kompetensi profesional adalah kompetensi ataun kemampuan yang
berhubungan dengan keahlian yang dimilikinya, diantaranya kemampuan
tersebut adalah:
a) Kemampuan dalam penguasaan materi pelajaran sesuai dengan bidang
studi yang diajarkannya secara mendalam
b) Kemampuan dalam menguasai ilmu-ilmu lain secara generalis yang
berhubungan dengan keahliannya
c) Kemampuan dalam mengambangkan kurikulum mata pelajaran

23
c. Kompetensi dalam penguasaan bahasa
Seorang tenaga pendidik (guru) yang profesional harus mampu menguasai
bahasa asing (arab dan inggris), karena ia akan mendalami ilmun keislaman seperti
tafsir, hadits, fiqh, aqidah, tasawwuf, dan ilmu kalam maupun disiplin ilmu-ilmu
keislaman lainnya. Karena kenyataan empiris bahwa ilmu-ilmu tersebut ditulis
sekaligus dijelaskan dalam bahasa arab. Secara rasional sangat tidak memungkinkan
seeorang dapat menguasai disiplim ilmu-ilmu keisloaman seperti diatas tanpa memiliki
kemampuan yang utuh dalam bahasa arab. Begitu juga dengan ilmu lainnya yang
diperlukan dalam pengembangan profesi pendidik (guru) yang banyak ditulis dalam
bahasa inggris, seperti psikologi, management, sosiologi, antropologi, bimbingan
konseling, metodologi pembelajaran dan lain sebagainya.
Selain bahasa asing, penguasaan terhadap bahasa indonesia juga sangat
diperlukan bagi pendidik (guru) yang profesional. Karena dengan menggunakan bahasa
indonesia yang baik dan benar, maka materi pembelajaran akan mudah dipahami oleh
peserta didik, dan sekaligus dapat meningkatkan minat peserta didik terhadap materi
pembelajaran dari mata pelajaran yang diajarkan oleh pendidik tersebut.

d. Kompetensi dalam penguasaan teknologi informasi


Masa sekarang disebut juga dengan era teknoloogi informasi, oleh karena itu
pendidik harus menguasai teknologi informasi. Orang yang tidak menguasai teknologi
informasi akan ketinggalan dan selanjutnya akan ditinggalkan orang. Diantara produk
teknologi informasi yang berkembang diakhir abad 20 dan di awal abad 21 adalah
internet. Kehadirannya telah memberikan dampak yang cukup besar terhadap
kehidupan umat manusia dalam berbagai dimensi kehidupan. Internet merupakan salah
satu media dalam era globalisasi yang telah menjadikan dunia ini menjadi transparan
dan terhubungkan dengan sangat mudah dan cepat tanpa menganal batas-batas
kewilayahan atau kebangsaan. Melalui internet setiap orang dapat mengakses ke dunia
global untuk memperoleh informasi dalam berbagai bidang dan pada gilirannya akan
memberikan pengaruh dalam keseluruhan perilaku seseorang.
Dengan teknologi informasi pendidik dapat memberikan layanan tanpa harus
berhadapan dengan peserta didik. Demikian pula peserta didik tidak hanya menerima
informasi dari pendidik saja tetapi juga dapat memperoleh informasi dalam lingkup
yang luas dan berbagai sumber pembelajaran.35
A. Ciri-ciri guru profesional
Pada hakekatnya guru adalah “induk segala jabatan profesi” karena apapun profesi
yang dimiliki olah seorang tidak akan dapat diperolehnya tanpa jasa guru dilembaga
pendidikan. Para ahli merumuskan ciri-ciri guru profesional dikelompokkan menjadi: (1) ahli
(expert), (2) memiliki otonomi dan rasa tanggung jawab, dan (3) memiliki kesejawatan (etika
profesi).

35
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Kalam Mulia. 2002). Hal. 126-132

24
1. Ahli (expert)

Keahlian yang dimaksudkan disini adalah dalam bidang pengetahuan yang diajarkan
dan ahli dalam tugas mendidik. Seorang guru tidak hanya menguasai isi pengajaran yang
diajarkan, tetapi juga mampu menanamkan konsep mengenai pengetahuan yang diajarkan.
Pemahaman konsep dapat dilakukan bila guru juga memahami psikologi belajar. Psikologi
belajar membantu guru menguasai cara membimbing subyek belajar dalam memahami konsep
tentang apa yang diajarkan. Selain itu guru juga harus mampu menyampaikan pesan-pesa
pendidikan.

Mengajar adalah sarana untuk mendidik dan menyampaikan pesan-pesan pendidikan.


Guru yang ahli memiliki pengetahuan tentang cara mengajar (teaching is a knowledge), juga
keterampilan (teaching is a skill) dan mengerti bahwa mengajar adalah juga suatu seni
(teaching is a art). Dalam kaitan ini orang selalu membicarakan guru yang berhasil (succesful
teacher), guru yang efektif (an effective teacher), dan guru yang baik (a good teacher).

Jadi, guru harus menguasai prinsip-prinsip ilmu mendidik. Nampaknya, banyak guru
hanya ahli dalam mengejar tetapi kurang memperhatikan segi-segi mendidik. Pemahaman
seperti itu tidak akan bermanfaat bagi guru sebagai pendidik. Pengertian bertanggung jawab
menurut teori ilmu mendidik mengandung arti bahwa seorang mampu memberi tanggung
jawab terhadap diri sendiri, terhadap siswa, ornag tua, lingkungan sekitarnya, masyarakat,
bangsa dan negara, sesama manusia dan akhirnya pada tuhan yang maha pencipta. Dimensi-
dimensi tanggung jawab ini harus dikembangkan memalui seluruh pengalaman belajar
disekolah termasuk seluruh bidang studi yang diajarkan. Tanggung jawab juga dilihat dari sisi
lain dan punya aspek individu, sosial, etis, dan religius.
2. Memiliki rasa kesejawatan (etika profesi)

Salah satu tugas dan organisasi adalah menciptkan rasa kesejawatan sehingga ada rasa
aman dan perlindungn jabatan. Etika profesi ini dikembangkan melalui organisasi profesi
diciptakan rasa sejawat, semangat korps dikembangkan agar harkat dan martabat guru
dijunjung tinggi baik oleh korp guru maupun masyarakat pada umumnya.
Guru tidak hanya sebagai pengajar, tetapi juga pendidik yang mapu memberi dan
mengembangkan pengetahuan serta menumbuhkan apresiasi. Serta dapat membina karakter
peserta didik. Guru berfungsi sebagai pemberi inspirasi, menumbuhkan prakarsa, motivasi,
agar peserta didik dapat mengaktualisasikan dirinya sendiri.

Jadi, guru yang ahli mampu menciptakan situasi belajar yang mengandung makna relasi
interpersonal, sehingga peserta didik merasa menjadi manusia yang manusiawi dan merasa
punya jati diri. Guru dibentuk bukan hanya untuk memiliki seperangkat keterampilan khusus
saja, tetapi juga memiliki kiat mendidik serta sikap yang profesional.
3. Memiliki otonomi dan rasa tanggung jawab

Guru yang profesional disamping ahli dalam bidang nengajar dan mendidik, ia juga
memiliki otonomi dan tanggung jawab. Otonomi adalah suatu sikap yang profesional yang
disebut mandiri berdasarkan keahliannya. Guru yang profesional mempersiapkan diri

25
sematang-matangnya sebelum ia mengajar. Ia benar-benar menguasai materi yang akan
diajarkan dan bertanggung jawab atas segla tingkah lakunya.

Dalam undang-undang No. 8 tahun 1974 dan dijelaskan dalam Pidato Pembukaan
Kongres PGRI VIII, disebutkan bahwa ada sebanyak 10 ciri guru profesional, yaitu:

1. Selalu punya energi untuk siswanya


Seorang guru yang baik menaruh perhatian pada siswa dipercakapan atau diskusi
dengan mereka. Guru yang baik juga punya kemampuan mendengarkan dengan
seksama.
2. Punya tujuan yang jelas untuk pelajaran
Seorang guru yang baik manetapkan tujuan yang jelas untuk setiap pelajaran dan
bekerja untuk memenuhi tujuan tertentu dalam setiap kelas.
3. Punya keterampilan mendisiplinkan yang efektif
Seorang guru yang baik memiliki keterampilan disiplin yang efektif sehingga bisa
mempromosikan perubaha perilaku positif di dalam kelas.
4. Punya keterampilan menejemen kelas yang baik
Seorang guru yang baik memiliki keterampilan menajemen kelas yang baik dan dapat
memastikan perilaku siswa yang baik, saat siswa belajar dan bekerja sama secara
efektif, membiasakan menanamkan rasa hormat kepada seluruh komponen didalam
kelas.
5. Bisa berkomunikasi dengan baik dengan orang tua
Seorang guru yang baik menjaga komunikasi terbuka dengan orang tu8a dan membuat
mereka selalu up to date tentang informasi mengenai apa yang sedang terjadi di dalam
kelas, dalam hal kurikulum, disiplin, dan isu lainnya. Mereka membuat diri mereka
selalu bersedia memenuhi panggilan telepon, rapat, e-mail, dan lainya.
6. Punya harapan yang tinggi pada siswa
Seorang guru yang baik memiliki harapan yang tinggi dari siswa dan mendorong semua
siswa dikelasknya untuk selalu bekerja dan mengerahkan potensi terbaik mereka.
7. Pengetahuan tentang kurikulum
Seorang guru yang baik memiliki pengetahuan mendalam tentang kurikulum sekolah
dan standar-standar lainnya. Mereka dengan sekuat tenaga memastikan pengajaran
mereka memenuhi standar-standar itu.
8. Pengetahuan tentang subjek yang diajarkan
Hal ini mungkin sudah jelas, tetapi kadang-kadang diabaikan. Seorang guru yang baik
memiliki pengetahuan yang luar biasa dan antusiasme untuk subyek yang mereka
ajarkan. Mereka siap untuk menjawab pertanyaan dan menyimpan bahan menarik bagi
para siswa, bahkan bekerja sama dengan bidang studi lain demi pembelajaran yang
kolaboratif
9. Selalu memberikan yang terbaik untuk anak-anak dan proses pengajaran
Seorang guru yang baik bergairah mengajar dan bekerja dengan anak-anak. Mereka
gembira bisa memengaruhi siswa dalam kehidupan mereka dan memahami dampak
atau pengaruh yang mereka miliki dalam kehidupan siswanya, sekarang dan nanti
ketika siswanys sudah beranjak dewasa.

26
10. Punya hubungan yang berkualitas dengan siswa
Seorang guru yang baik mengembangkan hubungan yang kuat dan saling hormat-
menghormati dengan siswa dan membangun hubungan yang dapat dipercaya.

Karena jabatan guru merupakan pekerjaan profesi, maka seorang guru harus
profesional maka seorang guru harus profesional. Menyandang gelar profesional merupakan
kebanggaan tersendiri bagi para guru. Sementara profesional sendiri harus selalu diikuti dengan
konsekuensi yang sangat tinggi, semangat mendidik yang tak pernah padam, kompetensi yang
terus berkembang mengikuti perkembangan teknologi. Selain kompetensi personal dan
kompetensi sosial harus melekat pada keseharian guru, satu kompetensi tertiunggi mengarah
pada keistimewaan guru adalah kompetensi profesi. Dalam hubungannya dengan tenaga
profesional kependidikan, tentunya kompetensi menunjuk pada performance atau perbuatan
yang bersifat rasional sesuai dengan alur profesinya dan memenuhi spesifikasi tertentu didalam
pelaksanaan tugas-tugas kependidikan. Diantara ciri-ciri guru yang profesional adalah guru
yang kompeten menguasai kompetensi tertentu.36

2.2.3 Upaya Peningkatan Profesionalisme Guru


Pemerintah telah berupaya meningkatkan profesionalisme guru diantaranya dengan
meningkatkan kualifikasi guru melalui program penyerataan D2 bagi guru SD, D3 bagi guru
SMP dan S1 bagi guru SMA serta membentuk Pusat Kegiatan Guru (PKG) , Kelompok Kerja
Guru (KKG), dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Selain itu pemerintah juga
merancang program sertifikasi kompensasi pendidik.
Dalam sistem sertifikasi terdapat 2 macam sertifikat, yaitu sertifikat berbentuk ijazah
dan sertifikat kompetensi. Ijazah diberikan kepada calon pendidik yang telah lulus pendidikan
guru, baik yang diselenggarakan dengan model “serempak” maupun “bersambung”. Model
serempak apabila calon pendidik menempuh mata kuliah keilmuan bersamaan dengan
kependidikan (seperti yang diterapkan pada LPTK), sedangkan model bersambung apabila
calon pendidik terlebih dahulu mnegikuti mata kuliah keilmuan dan setelah lulus mengikuti
mata kuliah kependidikan (missal: sarjana biologi, melanjutkan mengambil mata kuliah
kependidikan). Sertifikat kopetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan pelatihan
(untuk sementara disebut sebagai badan serifikasi pendidik / BSP) sebagai pengakuan terhadap
kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu etelah uji kompetensi. Oleh karena itu
sertifikat yang diperoleh dari pertemuan ilmiah seperti seminar, diskusi panel, lokakarya,
simposium dan lain-lain bukanlah sertifikat kompetensi.
Calon pendidik baik lulusan LPTK dan non LPTK yang telah mengikuti mata kuliah
kependidikan sebagai masukan uji komptensi untuk mengikuti proses uji kompetensi yang
dilakukan oleh BSP. Masukan substansi dan proses uji kompetensi diperoleh dari masyarakat
dan pihak berkepentingan. Proses uji kompetensi ini dilakukan dalam bentuk ujian tertulis
dan/atau lisan dan/atau prkatik dan/atau portofolio dengan standar kompetensi pendidik yang
dikelompokkan menjadi empat rumpun, yaitu: 1) Penguasaan bidang studi, 2) Pemahaman
tentang peserta didik, 3) Penguasaan pembelajaran yang mendidik, 4) Pengembangan
kepribadian dan keprofesionalan. Lulusan ujian kompetensi adalah seseorang yang telah

36
Ramayulis. Profesi dan Etika Keguruan. (Jakarta: Kalam Mulia. 2013). Hal,41-46.

27
dinyatakan lulus dan mendapat pengakuan berupa Sertifikat Kompetensi Pendidik dan telah
siap bekerja di lembaga pengguna (Dirjen Depdiknas, 2004).
Mencermati peran guru yang merupakan salah satu faktor bagi keberhasilan pendidikan
maka profesionalisme guru merupakan wacana yang sangat penting. Profesionalisme bukan
hanya sekedar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap (attitude)
pada tatanan kematangan yang mempersyaratkan kemampuan dan keahlian serta berproses
secara terus menerus. Usaha meningkatkan profesionalisme merupakan tanggung jawab
bersama antar LPTK, instansi yang berkecimpung di bidang pendidikan, PGRI dan
masyarakat.37

37
Nuraeni T, M.H. Profesionalisme Guru Indonesia di Era Globalisasi. Artikel E-Buletin Edisi Maret
2015 ISSN 2355-3189

28
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Belajar merupakan key term yang paling vital dalam setiap usaha pendidikan, sehingga
tanpa belajar sesungguhnya tidak pernah ada pendidikan. Di samping itu, peranan
penting belajar adalah sebagai bentuk mempertahankan kehidupan sekelompok umat
manusia di tengah persaingan antar bangsa lainnya yang lebih dulu maju karena belajar
Teori belajar dapat dipahami sebagai prinsip umum atau kumpulan prinsip yang saling
berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlah fakta dan penemuan yang
berkaitan dengan peristiwa belajar
2. Berdasarkan teori di atas, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri profesional guru adalah
dapat membelajarkan siswanya tentang ilmu yang dikuasainya dengan baik, guru
masuk kedalam organisasi profesi keguruan untuk menjalin komunikasi terhadap
sesama guru dengan begitu dapat tukar fikiran cara mendidik anak dengan baik agar
mencapai karier yang lebih baik, mempunyai latar belakang yang baik terhadap
kependidikan keguruan yang guru memiliki peran sebagai pekerja yang profesional,
sebagai pekerja kemanusiaan, sebagai petugas kemasyarakatan, dan peran guru ini
sangat berpengaruh penting terhadap pengajaran sebab guru harus memiliki
kemampuan manajerial dan teknis, prosedur kerja sebagai ahli serta keiklasan hati
untuk melayani orang lain, guru harus memiliki kode etik yaitu norma-norma tertentu
sebagai pegangan atau pedoman yang diakui serta dihargai oleh masyarakat, guru
mempunyai otonomi dan rasa tanggung jawab, guru memiliki rasa pengabdian kepada
masyarakat dan guru harus bekerja dengan hati nurani agar apa yang ia berikan dapat
tersampaikan dengan baik yaitu mencerdaskan anak didik.

3.2 Saran
1. Untuk pendidik sebaiknya lebih memahami arti penting dan teori pokok dari belajar,
agar ada pendidik dapat mendampingi serta mebimbing secara efektif. Tenaga pendidik
hendaknya dapat memantau serta membimbing peserta didik selama fase belajar.
Diharapkan dengan tenaga pendidik memiliki kepemahaman yang baik mengenai
konsep dan teori belajar, maka akan semakin mempermudah peserta didik dalam
mencapai tujuan pendidikan
2. Dalam manajemen sumber daya manusia, menjadi profesional adalah tuntutan jabatan,
pekerjaan ataupun profesi. Ada satu hal penting yang menjadi aspek bagi sebuah
profesi, yaitu sikap profesional dan kualitas kerja. Profesional (dari bahasa Inggris)
berarti ahli, pakar, mumpuni dalam bidang yang digeluti. Menjadi profesional, berarti
menjadi ahli dalam bidangnya. Dan seorang ahli, tentunya berkualitas dalam
melaksanakan pekerjaannya. Akan tetapi tidak semua Ahli dapat menjadi berkualitas.
Karena menjadi berkualitas bukan hanya persoalan ahli, tetapi juga menyangkut
persoalan integritas dan personaliti. Dalam perspektif pengembangan sumber daya
manusia, menjadi profesional adalah satu kesatuan antara konsep personaliti dan
integritas yang dipadukan dengan skil atau keahliannya.

29
DAFTAR PUSTAKA
Agus N. Cahyo. Panduan Aplikasi Teori-Teori Belajar Mengajar. (Jogjakarta: DIVA Press.
2013).

Arifin. Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum). (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), Cet. Ke-
3.

Fajar S. Teori Belajar. (UNS: Semarang). Diakses melalui http://fajarss.blog.uns.ac.id/files


/2010/04 /teori-belajar.pdf tanggal 01 Juni 2017 pukul 23.44.

H.A.R. Tilaar. Membenahi Pendidikan Nasional. (Jakarta: PT. Rineka Cipta. 2002). Cet.
Ke-1.

John M. Echols dan Hassan Shadili. Kamus Inggris Indonesia. (Jakarta: PT. Gramedia, 1996),
Cet. Ke-23.

Kunandar. Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan
Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru,. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2007).
Cet. Ke-1.

Miterianifa. Strategi Pembelajaran Kimia. (Pekanbaru : Suska Pres. 2015.).

Nuraeni T, M.H. Profesionalisme Guru Indonesia di Era Globalisasi. Artikel E-Buletin Edisi
Maret 2015 ISSN 2355-3189

Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Kalam Mulia. 2002).

. Profesi dan Etika Keguruan. (Jakarta: Kalam Mulia. 2013).

Slamet. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. (Jakarta: Rineka Cipta. 2013).

Usman, M. Uzer. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 2006. Cet.
Ke- 20.

30

Anda mungkin juga menyukai