Anda di halaman 1dari 15

TATALAKSANA SINDROM NEFROTIK

DI TINGKAT PELAYANAN KESEHATAN PRIMER, SEKUNDER DAN TERSIER


Adrian Umboh
Sub Bagian Nefrologi/ Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi

Pendahuluan
Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling sering
ditemukan. Insidensi SN pada anak di Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per
100.000 anak per tahun, dengan prevalensi berkisar 12-16 kasus per 100.000 anak. Di negara
berkembang insidensinya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada
anak berusia kurang dari 14 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1.1
Etiologi SN dibagi 3, yaitu kongenital, primer/ idiopatik, dan sekunder mengikuti
penyakit sistemik, antara lain lupus eritematosus sistemik (LES), purpura Henoch Schonlein,
dan lain-lain. Pasien SN biasanya datang dengan edema palpebra atau pretibia. Bila lebih
berat akan disertai asites, efusi pleura, dan edema genitalia. Kadang-kadang disertai oliguria
dan gejala infeksi, nafsu makan berkurang, dan diare. Bila disertai sakit perut perlu
diwaspadai kemungkinan terjadinya peritonitis atau hipovolemia. Dalam laporan
International Study for Kidney Diseases in Children (ISKDC), pada sindrom nefrotik
kelainan minimal (SNKM) ditemukan 22% dengan hematuria mikroskopik, 15-20% disertai
hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat
sementara.1
Pada anak, sebagian besar (80%) SN idiopatik mempunyai gambaran patologi
anatomi kelainan minimal. Gambaran patologi anatomi lainnya adalah glomerulosklerosis
fokal segmental (GSFS) 7-8%, mesangial proliferatif difus (GNMP) 4-6%, dan nefropati
membranosa (GNM) 1,5%. Pada pengobatan kortikosteroid inisial sebagian besar SNKM
(94%) mengalami remisi total (responsif), sedangkan pada GSFS 80-85% tidak responsif
(resisten steroid).1,2
Berbagai obat yang dipakai untuk SN antara lain adalah kortikosteroid (prednison,
metilprednisolon puls), siklofosfamid, siklosporin, mikofenolat mofetil, takrolimus,
vinkristin, azatioprin, levamisol dan pengobatan suportif untuk mengurangi proteinuria dan
komplikasi SN. Komplikasi SN meliputi konsekuensi langsung dari proses penyakit SN
sendiri ataupun karena efek samping dari terapi.1,3,4

1
Prognosis dari SN sangat ditentukan oleh kelainan yang mendasari terjadinya SN dan
terapi awal SN, serta remisi yang terjadi setelah diberikan pengobatan. Penderita SN yang
tidak menunjukkan remisi berisiko mengalami komplikasi sampai dengan terjadinya gagal
ginjal terminal. Prognosis jangka panjang SNKM selama pengamatan 20 tahun menunjukkan
hanya 4-5% menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan pada GSFS 25% menjadi gagal ginjal
terminal dalam 5 tahun dan pada sebagian besar lainnya disertai penurunan fungsi ginjal.
Pada berbagai penelitian jangka panjang ternyata respons terhadap pengobatan steroid lebih
sering digunakan untuk menentukan prognosis dibandingkan dengan gambaran patologi
anatomi. Oleh karena itu, pada saat ini klasifikasi SN lebih didasarkan pada respons klinik
yaitu: sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS) dan sindrom nefrotik resisten steroid
(SNRS).1,2

Patofisiologi
Ciri khas dari SN adalah proteinuria masif yang menyebabkan hipoalbuminemia.
Kejadian awal yang menghasilkan proteinuria ini masih belum diketahui. Salah satu teori
yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang terdapat di sepanjang endotel
kapiler glomerulus dan membrana basalis. Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan
albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus.
Terdapat peningkatan permeabilitas membrana basalis kapiler-kapiler glomerulus, disertai
peningkatan filtrasi protein plasma dan akhirnya terjadi proteinuria.5

Gambar 1. Membran filtrasi glomerulus.5

Abnormalitas sel T memicu respons imun, yaitu sitokin tipe 1 (Th1) yaitu interferon
alfa dan IL-2 sedangkan tipe 2 (Th2) dengan sitokin IL-4, IL-10, IL-13. Aktivasi reseptor-
reseptor oleh sitokin akan mempengaruhi permeabilitas membran glomerulus sehingga terjadi

2
proteinuria. Molekul lainnya yang berperan sebagai perantara adalah soluble urokinase
plasminogen activator receptor (suPAR), vascular endothelial growth factor (VEGF) dan
angiopoietin-like-4 (ANGPTL4). Respons imun adaptif juga dapat dipicu oleh Th2 dengan
diperantarai oleh nuclear factor kapppa B (NF-κB) dan toll like receptors (TLRs), atau secara
langsung dengan meningkatnya ekspresi CD80 dalam podosit. Ketidakseimbangan respons
pengaturan antara Th17 dan sel T menyebabkan ekspresi persisten CD80 dalam podosit. Pada
akhirnya, agen-agen terapeutik memiliki efek langsung pada podosit, seperti glukokortikoid
(G) terhadap ekspresi gen, calcineurin inhibitors (C) terhadap stabilisasi dari sinaptopodin
(S) atau inhibisi saluran TRPC6, atau ikatan antara rituximab dengan protein SMPDL-3b
(Gambar 2). 3,5-7

Gambar 2. Patogenesis sindrom nefrotik idiopatik.6

Saat ini teori telah bergeser ke arah podosit yang dianggap memiliki peran utama
terjadinya proteinuria. Pemahaman tentang patofisiologi proteinuria saat ini diperluas dengan
wawasan ke dalam biologi molekular podosit. Cedera pada podosit kemungkinan sebagai
penyebab lesi glomerulus. Antibodi terhadap komponen dari membrana basalis glomerulus
atau terhadap podosit dapat menginduksi hilangnya foot processus dan terjadinya
proteinuria.5,6

3
Diagnosis
Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan:1,3,4
1. Proteinuria masif (>40 mg/m2LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio protein urin/
kreatinin pada urin sewaktu >2 mg atau dipstik ≥ 2+)
2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
3. Edema
4. Dapat diserai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain:1
1. Urinalisis. Biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis yang mengarah
kepada infeksi saluran kemih.
2. Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio protein/ kreatinin
pada urin pertama pagi hari.
3. Pemeriksaan darah
a. Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit,
hematokrit, LED)
b. Albumin dan kolesterol serum
c. Ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau dengan rumus
Schwartz
d. Kadar komplemen C3, bila dicurigai lupus eritematosus sistemik pemeriksaan
ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-
DNA

Batasan1,7
 Remisi: proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2LPB/jam) 3 hari berturut-
turut dalam 1 minggu.
 Relaps: proteinuria ≥ 2+ (proteinuria > 40 mg/m2LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1
minggu.
 Relaps jarang: relaps kurang dari 2x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau
kurang dari 4x per tahun pengamatan.
 Relaps sering: relaps ≥ 2x dalam 6 bulan setelah respons awal atau ≥ 4x dalam periode 1
tahun.

4
 Dependen steroid: relaps 2x berturutan pada saar dosis steroid diturunkan (alternating)
atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan.
 Resisten steroid: tidak terjadi remisi pada pengobatan steroid dosis penuh 2 mg/kg/hari
selama 4 minggu.
 Sensitif steroid: remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh selama 4 minggu.

Tatalaksana Sindrom Nefrotik di Pelayanan Kesehatan Primer


Dokter umum merupakan tenaga kesehatan yang berperan sebagai ujung tombak di
pelayanan kesehatan primer. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah menyusun standar profesi
bagi seluruh anggotanya, dimulai dari standaar etik, standar kompetensi, standar pelayanan
kedokteran yang terdiri atas pedoman nasional pelayanan kedokteran dan standar prosedur
operasional. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah
menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 5 tahun 2014 tentang panduan
praktik klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer. Tujuan Permenkes RI ini
adalah mewujudkan pelayanan kedokteran yang bermutu untuk masyarakat, memiliki
pedoman baku minimun dengan mengutamakan upaya maksimal sesuai kompetensi dan
fasilitas yang ada, serta memiliki tolak ukur dalam melaksanakan jaminan mutu pelayanan.9
Dalam Permenkes tersebut tercantum Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI)
yang dikelompokkan menjadi 4 tingkatan, yakni tingkat kemampuan 1 (mengenali dan
menjelaskan), kemampuan 2 (mendiagnosis dan merujuk), kemampuan 3 (mendiagnosis,
melakukan penatalaksanaan awal, dan merujuk), kemampuan 4 (mendiagnosis, melakukan
penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas). Ruang lingkup Permenkes ini menjelaskan juga
Panduan Praktik Klinis (PPK) yang meliputi pedoman penatalaksanaan terhadap penyakit
yang dijumpai di layanan primer. Penyakit SN pada anak berdasarkan Peraturan Konsil
Kedokteran Indonesia No.11 Tahun 2012 tentang SKDI menggolongkan SN dalam penyakit
dengan tingkat kemampuan 2. Sehingga untuk dokter layanan primer, kasus-kasus dengan SN
dapat didiagnosis, kemudian membuat rujukan ke layanan kesehatan sekunder atau tersier
sehingga dapat dilakukan penanganan yang adekuat. Dengan melakukan rujukan yang cepat
dan tepat, luaran anak dengan SN dapat menjadi lebih baik.9,10
Tatalaksana Sindrom Nefrotik di Pelayanan Kesehatan Sekunder dan Tersier
Pelayanan kesehatan tingkat sekunder terdiri dari Rumah Sakit tipe A dan B,
sedangkan tingkat tersier terdiri dari Rumah Sakit tipe C dan D. Tenaga kesehatan dokter
yang termasuk di dalamnya adalah dokter spesialis anak (sekunder) dan subspesialis

5
konsultan nefrologi anak (tersier). Penanganan SN di pelayanan kesehatan sekunder
dilakukan oleh dokter spesialis anak, dan untuk kasus-kasus SN dengan komplikasi dilakukan
rujukan ke dokter spesialis anak konsultan nefrologi anak pada tingkat tersier. Berikut adalah
indikasi untuk merujuk kepada ahli nefrologi anak:1
1. Awitan SN pada usia di bawah 1 tahun, riwayat penyakit SN di dalam keluarga.
2. SN dengan hipertensi, hematuria nyata persisten, penurunan fungsi ginjal, atau
disertai gejala ekstrarenal, seperti arthritis, serositis, atau lesi di kulit.
3. SN dengan komplikasi edema refrakter, trombosis, infeksi berat, tosik steroid.
4. SN resisten steroid.
5. SN relaps sering atau dependen steroid.

Tatalaksana Umum
Pada penderita SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan tujuan
untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diet, penanggulangan edema,
memulai pengobatan steroid, dan edukasi orang tua. Sebelum pengobatan steroid dimulai,
dilakukan pemeriksaan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH bersama
steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat anti tuberkulosis (OAT). Perawatan di
rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila disertai edema anasarka yang berat atau
disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau syok.1
Tujuan dari pengobatan awal (inisal) adalah untuk menginduksi dan mempertahankan
remisi lengkap dalam waktu yang lama, menjaga pasien bebas dari efek samping terapi
steroid, mempertahankan fungsi ginjal normal. Komponen dalam manajemen SN mencakup
perawatan suportif, pengobatan spesifik, dan pengobatan komplikasi.

Dietetik
Pemberian diet tinggi protein merupakan kontraindikasi karena akan menambah
beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein dan menyebabkan
glomerulosklerosis. Diet protein yang diberikan sesuai dengan RDA (recommended daily
allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Lemak dapat diberikan tidak melebihi 30% jumlah
kalori keseluruhan. Diet rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita
edema.3,4,8

Diuretik

6
Pada sebagian penderita dengan edema ringan tidak diperlukan pemberian diuretik.
Penderita dengan sembab nyata dapat diberikan furosemid 1-3 mg/kgbb/ hari sebanyak 2 kali
sehari. Bila tidak ada perbaikan, dosis dapat dinaikkan sampai 4-6 mg/kgbb/hari dengan
spironolakton (antagonis aldosteron) 2-3 mg/kgbb/hari, sebagai potassium sparing agent.
Bila dengan terapi tersebut masih gagal, dapat ditambahkan thiazide. Pada pemakaian
diuretik lebih dari 1 minggu dengan dosis tinggi diperlukan pemantauan terhadap
hipovolemia dan elektrolit serum. Retriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat.3,4,8
Pemberian albumin 20% dengan furosemid dapat memacu diuresis dan mengurangi
sembab. Bila dengan diuretik tidak berhasil mengurangi edema, dapat diberikan infus
albumin 20- 25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 4 jam untuk menarik cairan dari jaringan
interstitial, dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila terdapat
asites yang berat, dapat dilakukan pungsi asites.3,4,8
Hipovolemia dapat terjadi pada relaps yang berat atau setelah pemberian diuretik ,
terutama pada anak-anak dengan asupan oral yang buruk, diare dan muntah. Pemantauan
asupan cairan dan elektrolit serum diperlukan untuk mencegah terjadinya kejadian yang tidak
diinginkan.1

Vaksinasi
Pemberian vaksin hidup (polio oral, campak, MMR, varisela) harus dihindari sampai
anak berhenti mengkonsumsi obat imunosupresif untuk setidaknya 6 minggu. Semua anak
dengan SN sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan
varisela.1,4

Pengobatan dengan Kortikosteroid


A. Terapi Inisial
Terapi inisial SN tanpa kontrainidikasi steroid yang digunakan Unit Kerja
Koordinasi (UKK) Nefrologi Ikatan Dokter Anaka Indonesia (IDAI) sesuai dengan ISKDC
untuk menginduksi remisi adalah prednison 60 mg/m2LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari
(maksimal 80 mg) dalam dosis terbagi. Dosis berdasarkan berat badan ideal dan diberikan
selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu dilanjutkan dengan 4 minggu kedua
dengan dosis 40 mg/m2LPB/hari atau 1,5 mg/kgbb/hari secara selang sehari (alternating), 1 x
sehari setelah makan pagi.1

7
Gambar 3. Pengobatan inisial sindrom nefrotik.1

Selain regimen terapi steroid menurut ISKDC, pilihan regimen steroid jangka panjang
yang dimotori oleh Kelompok kerja Glomerulonefritis KDIGO (Kidney Disease: Improving
Global Outcomes) pada tahun 2012 juga banyak digunakan sebagai terapi pada episode awal
SN. Kortikosteroid (prednison) diberikan untuk setidaknya 12 minggu sebagai dosis harian
tunggal mulai dari 60 mg/m2LPB/hari atau 2 mg/kgbb /hari sampai maksimum 60 mg/hari
selama 4-6 minggu, diikuti oleh pemberian kortikosteroid selang sehari (alternating) dengan
dosis harian tunggal mulai dari 40 mg/m2LPB/hari atau 1,5 mg/kg (maksimal 40 mg) selama
2-5 bulan dengan dosis diturunkan bertahap (tapering). Risiko relaps berkurang sebesar 30%
pada 12-24 bulan dengan 12 minggu atau lebih prednison dibandingkan dengan 8 minggu
(enam RCT, 422 anak, rasio risiko (RR) kambuh 0,70; 95% CI 0,58-0.84). Regimen ini
direkomendasikan karena efek maksimum pengobatan dan minimnya efek samping yang
terjadi.11,12
Namun saat ini masih menjadi perdebatan dari dua regimen terapi tersebut mana yang
lebih baik dalam hal mengurangi risiko relaps dan efek samping penggunaan steroid jangka
panjang. Beberapa penelitian menyatakan bahwa tidak ada perbedaaan mengenai frekuensi
relaps antara regimen ISKDC dan KDIGO. Cochrane review menyimpulkan bahwa regimen
KDIGO lebih baik dibandingkan ISKDC dalam hal mengurangi risiko relaps selama 12-24
bulan, namun penelitian tersebut dilakukan dalam skala kecil dan desain penelitian yang
belum lengkap. Oleh karena itu beberapa penelitian skala besar sedang berjalan untuk
membuktikan regimen mana yang paling baik digunakan pada terapi inisial SN.12,13
Mekanisme kerja steroid dengan menekan proliferasi sel T limfosit, menghambat
sintesis, sekresi, dan kerja sistem imun termasuk interleukin, prostaglandin, leukotrien,
bradikinin dan histamin. Steroid akan menghambat aktivasi limfosit T sehingga tidak
memiliki respons proliferatif dan merupakan inhibitor poten terhadap sekresi tumor necrosis
fator-alpha (TNF-α) dan interleukin.8

8
Efek samping jangka pendek seperti penggunaan prednison yaitu hiperglikemi, dan
retensi cairan, insomnia, euforia. Pada penderita gangguan bipolar, prednison dapat
menyebabkan mania. Hal ini juga dapat menyebabkan depresi atau gejala depresi dan
kecemasan pada beberapa individu. Efek samping jangka panjang termasuk sindrom Cushing,
sindrom demensia steroid, kenaikan berat badan, osteoporosis, glaukoma dan katarak,
diabetes melitus tipe II.8
Prednison dosis penuh sebaiknya menggunakan dosis yang dihitung berdasarkan
luas permukaan tubuh. Penelitian yang dilakukan oleh Sermin,dkk melaporkan bahwa
pemberian dosis prednison berdasar luas permukaan tubuh atau berat badan tidak
mempengaruhi respons timbulnya remisi pada SN, namun terjadi peningkatan kejadian relaps
pada kelompok yang mendapat dosis prednison berdasar berat badan. Penelitian ini didukung
dengan penelitian lainnya dimana penggunaan dosis prednison berdasar berat badan juga
menyebabkan pasien mendapat dosis steroid yang lebih rendah dibandingkan luas permukaan
tubuh.15-16

B. Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps


UKK Nefrologi IDAI merekomendasikan pengobatan prednison dosis penuh sampai
terjadi remisi (maksimal 4 minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison alternating
dengan dosis 40 mg/m2LPB/hari selama 4 minggu.1

Gambar 4. Pengobatan sindrom nefrotik relaps.1

C. Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps Sering atau Dependen Steroid


Faktor risiko terjadinya relaps sering pada penderita SN adalah onset penyakit pada
umur kurang dari 3 tahun, relaps terjadi pada 6 bulan pertama, remisi lambat pada 6 episode
awal. Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid:17-20
1. Berikan prednison dosis penuh, selanjutnya prednison diberikan dengan dosis 1,5 mg/
kgbb selang sehari, kemudian diturunkan bertahap 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu.
Penurunan dosis dilakukan sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps

9
antara 0,1-0,5 mg/kgbb selang sehari. Dosis ini disebut dosis threshold dan
dipertahankan selam 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan.
2. Levamisol dapat diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari,
selama 4-12 bulan. Efek samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik,
vasculitic rash, dan neutropneia yang reversibel.18
3. Siklofosfamid oral diberikan dengan dosis 2-3 mg/kgbb (berat badan ideal) selama 8-
12 minggu (dosis kumulatif 168 mg/kg) sesudah terjadi remisi saat pemberian
prednison dosis penuh, diberikan bersamaan dengan prednison 40 mg/m2LPB selang
sehari selama 8-12 minggu, kemudian dosis diturunkan bertahap selama 8 minggu.19
4. Siklosporin 4-5 mg/kgbb/hari dalam 2 dosis selama kurang lebih 2 sampai 5 tahun.
5. Mycophenolate mofetil (MMF) dosis 800-1200 mg/m2LPB atau 25-30 mg/kgbb per
hari (maksimum 2 gram per hari) dalam dosis terbagi, 2 kali sehari, dengan prednison
yang di tapering-off selama 12-24 bulan. Efek samping MMF adalah nyeri abdomen,
diare, leukopenia.

Gambar 5. Pengobatan sindrom nefrotik dependen steroid dengan siklofosfamid.1


Keterangan
Prednison dosis penuh sampai terjadi remisi (maksimal 4 minggu), kemudian dilanjutkan dengan siklofosfamid
puls dengan dosis 500-750 mg/m2LPB diberikan melalui infus/ satu kali sebulan selama 6 bulan berturut-turut
dan prednison alternating 40 mg/m2LPB/hari selama 12 minggu. Kemudian prednison diturunkan bertahap
dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama1 bulan (lama
tapering off 2 bulan).
Atau
Prendison dosis penuh setiap hari sampai terjadi remisi (maksimal 4 minggu), kemudian dilanjutkan dengan
siklofosfamid oral 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal selama 12 minggu dan prednison alternating 40
mg/m2LPB/hari selama 12 minggu. Kemudian prednison diturunkan bertahap dengan dosis 1 mg/kgbb/hari
selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama1 bulan (lama tapering off 2 bulan).

D. Pengobatan Sindrom Nefrotik Resisten Steroid

10
Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan. Pasien
SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melihat
gambaran patologi anatomi karena dapat mempengaruhi prognosis.
1. Siklofosfamid (CPA)
Siklofosfamid merupakan obat yang direkomendasikan oleh UKK Nefrologi
IDAI dalam pengobatan SNRS di Indonesia. SN resisten steroid yang mengalami
remisi dengan pemberian CPA, bila terjadi relaps dapat dicoba dengan pemberian
prednison lagi karena SN yang resisten dapat menjadi sensitif kembali.1
Siklofosfamid merupakan alkylating agent yang bekerja dengan cara
menginduksi kematian sel T tertentu. Cara kerja CPA pada limfosit T yaitu eliminasi
sel T regulator (CD4 dan CD25), menginduksi T cell growth factor like interferon
sehingga menghambat kerja sel T abnormal.19

Gambar 6. Pengobatan sindrom nefrotik resisten steroid dengan siklofosfamid.1


Keterangan
Sitostatika oral: siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal selama 3-6 bulan
Prednison dosis 40 mg/m2LPB/hari alternating selama pemberian siklofosfamid oral, kemudian prednison
ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilajutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan
(lama tapering-off 2 bulan).
Atau
Siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2LPB diberikan melalui infus/ satu kali sebulan selama 6 bulan,
dapat dilanjutkan tergantung keadaan pasien.
Prednison dosis 40 mg/m2LPB/hari alternating selama pemberian siklofosfamid oral, kemudian prednison
ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilajutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan
(lama tapering-off 2 bulan).

2. Siklosporin (CyA)

11
Pada SN resisten steroid, sikosporin (CyA) dilaporkan dapat menimbulkan
remisi total sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%. CyA memiliki
efek imunosupresif dengan melakukan down regulation dalam transkripsi IL-2.
Sintesis IL-2 yang berkurang akan menghambat proliferasi limfosit T dan
menurunkan respons imun. CyA akan berikatan dengan cyclophilin cytosol
(immunophilin) limfosit, terutama sel T. Kompleks CyA dan cyclophilin menghambat
kalsineurin yang berperan dalam aktifasi sel T.11,17
Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi
ginggiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstitial. Oleh
karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap:1
 Kadar CyA dalam darah dipertahankan antara 150-250 nanogram/mL
 Kadar kreatinin darah berkala
 Biopsi ginjal setiap 2 tahun
Penggunaan CyA pada SNRS telah banyak dilaporkan dalam literatur, tetapi karena
harga obat yang mahal, maka pemakaian CyA jarang atau sangat selektif.

Alkylating agents
Corticosteroid

Corticosteroid Cyclosporine
Cyclosporine

Gambar 7. Mekanisme kerja beberapa obat dalam tatalaksana sindrom nefrotik. 7


3. Metilprednisolon puls

12
Metilprednisolon puls dosis 30 mg/kgbb dilarutkan dalam 50-100 mL larutan glukosa
5%, diberikan dalam 2-4 jam.1 Berikut merupakan tabel metilprednisolon puls.

Tabel 1. Protokol pemberian metilprednisolon dosis tinggi.1

4. Obat imunosupresif lain


Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada SNRS adalah
vinkristin, takrolimus, dan mikofenolat mofetil. Laporan dan penelitian menggunakan
obat-obat ini masih sporadik dan tidak dilakukan dengan studi kontrol, sehingga obat-
obat ini belum direkomendasikan di Indonesia.1

Obat-obat yang digunakan pada tatalaksana SN diberikan dalam jangka waktu yang
cukup lama, sehingga dapat menimbulkan efek samping yang dapat mengganggu tatalaksana
SN itu sendiri. Berikut adalah tabel yang mencantumkan monitoring yang perlu dilakukan
selama pemberian medikasi pada anak dengan SN.
Tabel 2. Rekomendasi monitoring pada tatalaksana sindrom nefrotik.4

13
Pemberian Obat Non-Imunosupresif untuk Mengurangi Proteinuria
Terapi nonimunosupresif umumnya sering dipertimbangkan sebagai terapi
konservatif, dimana obat yang digunakan adalah obat golongan angiotensin-converting
enzyme inhibitors (ACE-I) dan angiotensin receptor blockers (ARB). ACE-I dan ARB
direkomendasikan untuk pengobatan SNRS, sedangkan penggunaannya baik pada SN
dependen steroid atau sering kambuh, penggunaan kedua jenis obat ini dapat
dipertimbangkan.1,4,8
Blokade dari sistim renin-angiotensin telah menunjukan adanya pengaruh dalam
meenghambat progresifitas dari penyakit-penyakit ginjal, terutama pada keadaan yang
berhubungan dengan proteinuria. Penggunaan ACE-I atau ARB dalam beberapa penelitian
menunjukan adanya pengurangan dari proteinuria. Kedua jenis obat ini umumnya dapat
ditoleransi dengan baik. Efek samping yang telah dilaporkan adalah hiperkalemia,
angioedema, batuk (ACE-I). 1,4,8
Obat ACE-I yang dapat digunakan adalah kaptopril 0,3 mg/kgbb/dosis 3 kali sehari,
atau enalapril 0,5 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis. Obat ARB yang biasa digunakan adalah
losartan dengan dosis 0,75 mg/kgBB dosis tunggal.1,4,8

Tatalaksana Komplikasi Sindrom Nefrotik


Obesitas dan Gangguan Pertumbuhan
Penggunaan kortikosteroid jangka panjang dapat mengganggu pertumbuhan dan ditandai
dengan meningkatnya Indeks Massa Tubuh (IMT). Anak yang menderita SN dengan status
gizi lebih (overweight) sebelum memulai terapi inisial dengan kortikosteroid, kemungkinan
besar akan mengalami kenaikan berat badan akibat efek samping penggunaan kortikosteroid.
Pencegahan untuk masalah gizi adalah dukungan nutrisi yang adekuat sesuai dengan nutrisi
untuk anak SN.4

Infeksi
Infeksi yang sering dilaporkan adalah peritonitis, selulitis, dan pneumonia, yang harus
diobati dengan menggunakan antibiotik yang tepat. Tingkat peritonitis adalah 2-6 %, dan
infeksi berat masih membawa tingkat kematian 1,5 %. Kerentanan terhadap infeksi bakteri ini
terkait dengan beberapa faktor predisposisi seperti kadar serum albumin yang rendah, asites,
dan gangguan sistim imun. Gangguan sistem komplemen, memperlambat klirens dari mikro
organisme berkapsul terutama Streptococcus pneumonia, sehingga vaksinasi pneumokokus
direkomendasikan untuk pasien yang menderita SN.1,4,8

14
Dislipidemia
Dislipidemia merupakan salah satu tanda yang ditemukan pada anak dengan SN dan dapat
menghilang ketika terjadi remisi. Anak dengan SN resisten steroid memiliki kadar kolesterol
yang persisten. Suatu penelitian retrospektif menyimpulkan tidak ada hubungan bermakna
antara anak dengan SN relaps yang mengalami dislipidemia terhadap kejadian penyakit
kardiovaskular. Penatalaksanaan dislipidemia termasuk pengaturan diet makanan berupa diet
lemak <30%, lemak jenuh <10%, dan total lemak dalam sehari <300 mg. Pemberian
medikasi dengan golongan HMG-CoA reduktase inhibitor (statin) pada anak dengan SN
resisten steroid dapat direkomendasikan meskipun masih sedikit penelitian yang mendukung
penggunaan obat tersebut.4

Hipertensi
Tekanan darah yaang harus dipertahankan adalah antara persentil 75-90 untuk usia,
jenis kelamin dan tinggi . Obat golongan angiotensin converting enzyme inhibitor seperti
captopril (0,3-0,5 mg/kgbb/dosis, sebanyak 3 kali sehari), enalapril (0,3-0,6 mg/kgbb/hari,
dalam 2 dosis terbagi) atau ramipril adalah obat pilihan. Beberapa pasien memerlukan terapi
tambahan calcium channel blockers (misalnya amlodipine) atau penghambat adrenergik.1,8

Tromboemboli
Risiko kejadian tromboemboli padaa pasien SN meningkat secara signifikan (2-5%).
Kejadian tromboemboli lebih tinggi didapatkan pada anak SN resisten steroid dibandingkan
sensitif steroid. Beberapa faktor (termasuk hilangnya antitrombin III, protein S dan
lipoprotein A, faktor V , faktor VIII dan fibrinogen) berkontribusi pada kegagalan regulasi
sistim pembekuan darah. Konsentrasi fibrinogen direkomendasikan sebagai penanda adanya
gangguan ini. Faktor lain yang meningkatkan risiko tromboemboli pada pasien SN termasuk
penggunaan diuretik yang agresif, pengobatan kortikosteroid, imobilisasi. Trombosis vena
ginjal dicurigai pada pasien dengan oligoanuria, hematuria atau nyeri pinggang. Anak
penderita SN sebaiknya tidak ada pembatasan aktivitas fisik sehari-hari dan menghindari tirah
baring lama untuk menghindari risiko timbulnya tromboemboli. Penggunaan profilaksis
antikoagulan digunakan bila terdapat riwayat tromboemboli, hiperkoagulabilitas pada SN, SN
resisten steroid dan penggunan kateter vena sentral.1,4,8

15

Anda mungkin juga menyukai