Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia bukanlah malaikat yang lepas dari kesalahan dan dosa, sanggup beribadah dan
bertasbih selamanya, namun manusia juga bukan syaitan yang senantiasa salah, sesat dan
menyesatkan, akan tetapi manusia adalah makhluk yang diberikan dan dibekali oleh allah
akal dan nafsu ditambah lagi dengan qalbu kesinambungan akal dan nafsu disertai dengan
hati yang bersih menjadikan manusia mendapatkan derajat yang tinggi dari malaikat

Kalau kita tengok sejarah kebelakang sebelum islam itu datang, kita dapat temukan
refernsi-referensi tentang bejad dan tercelanya sifat para kaum-kaum jahiliyah yang tidak
mempunyai peradaban yang murni mereka hanya mengumbar nfsu belaka tanpa
mementingkan etika yang baik dan mulia. Ini semua adallah disebabkan oleh tidak adanya
aturan dalam hidup, oleh sebab itu Allah SWT mengutus seorang nabi yang merupakan nabi
dan rosul terakhir yang diutus hingga akhir zaman untuk menyempurnakan akhlak dimuka
bumi ini terkhusus bagi bangsa arab sendiri sebagaimana diterangkan dalam hadist berikut:

‫انما بعثت التمم مكارم االخالق‬

Artinya: ‘‘Sesungguhnya aku (Muhammad) di utus untuk menyempurnakan akhlak’’

Hadits diatas menunjukan kepada kita, bahwa benar-benar nabi kita Muhammad SAW
diutus untuk menyempurnakan dan memaksimalkan akhlak baik di dunia ini, karena dengan
akhlak baiklah maka kan berbuah syurga yang dinanti

Maka dengan adanya pengutusan nabi dan rosul terakhir ini terbukti adanya perubahan
yang sangat signifikan yang merubah dari zaman kegelapan menjadi zaman terang
benderang. Keadaan ini pun berlangsung sangat lama karena benar-benar pengaruh nabi
Muhammad begitu terasa.

B. Rumusan Masalah

Beberapa masalah yang dibahas dalam makalah ini, diantaranya:

1. Pengertian akhlak
2. Dalil-dalil akhlak
3. Perbedaan akhlaq, etika dan moral
4. Ciri-ciri berakhlaqul karimah

C. Tujuan Penulisan

Secara umum Diharapkan baik penyusun maupun pembaca dapat lebih memahami dan
menerapkan perihal Akhlak dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga baik penyusun maupun
pembaca dapat menjadi contoh yang baik bagi lingkungannya. Selain itu juga sebagai
pemenuhan tugas mata kuliah Hadits I, agar telaksana tujuan pendidikan yang diharapkan.
D. Sistematika Penulisan

Untuk menjelaskan dari uraian-uraian yang terdapat pada rumusan masalah, makalah ini
dituangkan dalam sistematika penulisan yang meliputi pendahuluan, isi atau pembahasan dan
penutup/ kesimpulan.

1. Ahklak
a. Makna akhlak
Akhlak adalah bentu jamak ( prulal) dari kata khuluq yang berarti perangai, tabiat dan
adat. Khuluq berasal dari kata khalq yang berarti kejadian, buatan dan ciptaan. Secara
bahsa akhlak diartikan sebagai perangia, adat , istiadat, tabiat, atau sistem perilaku yang
dibuat. Secara istilah (terminologis) imam gozali mendefiniskan bahwa akhlak ialah sifat
yang tertanam tertanam di dalm jiwa yang menimbulkan bermacam-macam perbuatan
dengan gampang atau mudah tampa memerlukan pemikiran dan pertimbanagan.
Berdasarkan definisi tersebut maka cakupan akhlak cukup luas, yakni tidak hanya
perbuatan yang baik saja tetapi juga termasuk perbuatan yang buruk. Oleh karena itu,
dalam islam akhlaq terbai 2 yaitu, akhlak yang baik atau terpuji (al-akhlaaq al-mahmuda)
dan akhlaq yang buruk atau tercela ( al-ahklaaq al-madzmuumah). ( buku cetak )

Pengertian akhlak dapat dilihat dari 2 sudut pandang antara lain :


 Menurut sudut pandang suluq azahariah, akhlaq adalah suatu cara yang
memperlihatkan hal-hal yang tampak pada diri manusia seperti tutur kata,
tingkah laku dan watak menjadi ukurannya
 Sedangkan dalam sudut bataniah akhlaq merupakan ilmu yang membahasa
berbagai masalah manusia yang terkait hal kejiwaan

` akhlak erat kaitannya dengan perbuatan baik, maka perbuatan tersebut dikatakan
akhlaq mulia sebaiknya bila seseorang melakukan perbuatan buruk maka perbuatan tersebut
dikatakan akhlak buruk.

Contoh akhlaq terpuji dalam kehidupan sehari-hari

 Beribadah tepat waktu


 Bersedekah
 Bertutur kata yang lembut terhadap orang tua
 Menjalin hubungan silaturahmi
 Merawat tanaman dan menyayangi binatang

Contoh akhlaq tercelah dalam kehidupan sehari-hari

 Munafik
 Syirik
 Kufur
 Takabbur
 Khianat
 Dendam
 Mengadu domba
 Fitnah
 Perusak alam
 Putus asa
 Bohong
 Dengki
 Sombong
( dari internetpengertian menurut)

b. Sumber akhlaq
Dalam islam untuk menguji akhlaq itu baik atau buruk rujukannya adalah alquran dan
assunnah. Perbuatan yang diperintahkan dan dianjurkan dalam al-quran dan as-sunnah
adalah akhlak yang baik perbuatan yang di larang dalam al-quran dan as-sunnah adalah
akhlaq yang tidak baik.
Akhlah dalam agama silam bukan sekeder persoalan penilaian baik atau tidak baik,
terpuji atau tercela saja, tetapi memiliki tanjung jawab, spritual ( ilahiah). Yakni manusai
diciptakan oleh allah swt untuk mengabdi kepadanya (al-quran dzariyat [51]: 56) dan
untuk menjadi khalifahnya-Nya di muka bumi ( al-quran surat al-baqorah ayat [2]:30 ).
Oleh karena itu, keberadaanya di muka bumi ini mengemban amanat allah, yakni
membangun akhlak yang muliah. Dan atas amanat allah tersebut manusia akan dimintai
pertanggungjawaban oleh allah di akhirat nanti. Dengan demikian, lmembangun akhlaq
yang muliah adalah kewajiaban setiap muslim dan setiap kewajiabn tersebut bernilai
ibadah. Rasullah saw bersabdah : setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap kamu kelak
akan dimintai pertanggung jawabannya ( dihabadapan allah di akhirat nanti ) atas
kemimpinannya ( hr bukhori muslim )

2. Dalil-dalil tentang akhlaq


 Hadist tentang akhlaq
Hadits dari Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam :

‫ الترمذي سنن‬١٩٤١: ‫سنُ بْنُ أَحْ َمدُ َحدَّثَنَا‬ َ ‫َحدَّثَنَا ه ََللُ بْنُ َحبَّانُ َحدَّثَنَا ْالبَ ْغدَاديُ خ َراشُ بْنُ ْال َح‬
ُ‫ارك‬ َ َ‫ضالَ ُةَ بْنُ مب‬َ َ‫عبْدُ َحدَّثَني ف‬ َ ُ‫سعيدُ بْنُ َربِّه‬ َ ‫ن‬ ُْ ‫ع‬َ ُ‫ن ْالم ْن َكدرُ بْنُ م َح َّمد‬ ُْ ‫ع‬َ ُ‫َجابر‬
َُّ َ ‫ل أ‬
‫ن‬ َُّ ‫صلَّى‬
َُ ‫َللا َرسو‬ َ ‫َللا‬َُّ ُ‫علَيْه‬ َ ‫سلَّ َُم‬
َ ‫ل َو‬ َُ ‫ن قَا‬
َُّ ‫ن إ‬ ُْ ‫ي أ َ َحبِّك ُْم م‬
َُّ َ‫سا منِّي َوأ َ ْق َربك ُْم إل‬ ً ‫ْالقيَا َمةُ يَ ْو َُم َمجْ ل‬
‫ن أ َ ْخ ََلقًا أ َ َحاسنَك ُْم‬َُّ ‫ضك ُْم َوإ‬ َ َ‫ي أ َ ْبغ‬
َُّ َ‫سا منِّي َوأ َ ْبعَدَك ُْم إل‬ ً ‫الث َّ ْرثَارونَُ ْالقيَا َمةُ يَ ْو َُم َمجْ ل‬
َُ‫ل يَا قَالوا َو ْالمتَفَيْهقونَُ َو ْالمتَشَدِّقون‬ َُ ‫َللا َرسو‬ َُّ ‫عل ْمنَا قَ ُْد‬ َ َُ‫ُفَ َما َو ْالمتَشَدِّقونَُ الث َّ ْرثَارون‬
َُ‫ل ْالمتَفَيْهقون‬ َُ ‫ْالمت َ َكبِّرونَُ قَا‬
َُ ‫سى أَبو قَا‬
‫ل‬ َ ‫ن ْالبَاب َوفي عي‬ ُْ ‫ع‬َ ‫سنُ َحديثُ َو َهذَا ه َري َْر ُة َ أَبي‬ َ ‫ن غَريبُ َح‬ ُْ ‫َو َر َوى ْال َوجْ هُ َهذَا م‬
‫يث َهذَا بَ ْعضه ُْم‬ َُ ‫ن ْال َحد‬ ُْ ‫ع‬ َ ُ‫ارك‬ َ َ‫ضالَ ُةَ بْنُ ْالمب‬ َ َ‫ن ف‬ َ ُ‫ن ْالم ْن َكدرُ بْنُ م َح َّمد‬
ُْ ‫ع‬ ُْ ‫ع‬َ ُ‫ن َجابر‬ ُْ ‫ع‬َ ‫ي‬ُِّ ‫النَّب‬
‫صلَّى‬ َُّ ُ‫علَيْه‬
َ ‫َللا‬ َ ‫سلَّ َُم‬َ ‫ن فيهُ يَ ْذك ُْر َولَ ُْم َو‬ ُْ ‫ع‬ َ ُ‫عبْد‬ َ ُ‫سعيدُ بْنُ َربِّه‬ َ ‫صحُ َو َهذَا‬ َ َ ‫ْال َكثيرُ ه َُو َوالث َّ ْرثَارُ أ‬
‫ط َاولُ الَّذي َو ْالمتَشَدِّقُ ْال َك ََل ُم‬ َ ُ‫علَيْه ُْم َويَبْذو ْال َك ََلمُ في النَّاس‬
َ َ ‫علَى يَت‬ َ
Sunan Tirmidzi 1941: dari Jabir bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya di antara orang
yang paling aku cintai dan yang tempat duduknya lebih dekat
kepadaku pada hari kiamat ialah orang yang akhlaknya
paling bagus. Dan sesungguhnya orang yang paling aku benci
dan paling jauh tempat duduknya dariku pada hari kiamat
ialah orang yang paling banyak bicara (kata-kata tidak
bermanfaat dan memperolok manusia)." Para shahabat
bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling
banyak bicara itu?" Nabi menjawab: "Yaitu orang-orang yang
sombong."

 Dalil-dalil tentang akhlak baik di kehidupan sehari-hari

1. Gemar Membantu Orang Lain.


Banyak nash dalam al-Qur’ânُmaupunُSunnahُyangُmemotivasiُkitaُuntukُmempraktekkanُ
karakterُmuliaُini.ُDiُantaranya,ُsabdaُRasûlullâhُShallallahuُ‘alaihiُwaُsallam:ُ

ْ َ‫ُالعَبْد؛ُ َماُ َكان‬


ُ‫ُالعَبْدُفيُ َع ْونُأَخيه‬ ْ ‫َللاُفيُ َع ْون‬
َّ ‫َو‬

Allâh akan membantu seorang hamba jika ia membantu saudaranya [HR. Muslim no.
6793dari Abu Hurairah]

Sifat gemar membantu orang lain akan membuahkan dampak positif yang luar biasa bagi
keberhasilan dakwah pemilik karakter tersebut. Menarik untuk kita cermati ungkapan Ummul
Mukminin Khadîjah Radhiyallahu anhuma tatkala beliau menghibur suaminya; Rasûlullâh
Shallallahuُ‘alaihiُwaُsallamُyangُketakutanُdanُmerasaُkhawatirُtatkalaُwahyuُturunُ
pertama kali pada beliau. Khadîjah Radhiyallahu anhuma berkata:

ْ ‫ُوتُعينُ َعلَىُن ََوائب‬،


ُ‫ُال َح ِّق‬ َ ‫ْف‬ َّ ‫ُوت َ ْقريُال‬،
َ ‫ضي‬ َ ‫وم‬ ْ ‫ُوت َ ْكسب‬،َّ
َ ‫ُال َم ْعد‬ ْ ‫ُوتَحْ مل‬،
َ ‫ُال َكل‬ َّ ‫َُللاُأَبَدًا؛ُإنَّكَ ُلَت َصل‬
َ ‫ُالرح َم‬ َّ َ‫َللاُ َماُيُ ْخزيك‬ َ ‫ك َََّل‬
َّ ‫ُو‬

Demi Allâh tidak mungkin! Allâh tidak akan pernah menghinakanmu. Sebab engkau selalu
bersilaturrahmi, meringankan beban orang lain, memberi orang lain sesuatu yang tidak
mereka dapatkan kecuali pada dirimu, gemar menjamu tamu dan engkau membantu orang
lain dalam musibah-musibah [HR. al-Bukhâri no. 3 dan Muslim no. 401]

Maksud perkataan Khadîjah Radhiyallahu anhuma di atas, sesungguhnya engkau


Muhammad, tidak akan ditimpa sesuatu yang tidak kau sukai, karena Allâh Azza wa Jalla
telah menjadikan dalam dirimu berbagai akhlak mulia dan karakter utama. Lalu Khadîjah
Radhiyallahu anhuma menyebutkan berbagai contohnya,[4] di antaranya gemar membantu
orang lain.

Karakter ini sangat membantu keberhasilan dakwah. Tatkala seseorang dalam keadaan sangat
membutuhkan bantuan, kemudian ada orang yang membantunya, jelas susah baginya
melupakan kebaikan orang tersebut. Dia akan terus mengingat jasa baik itu, sehingga
manakala kita menyampaikan sesuatu padanya, minimal dia akan lebih terbuka untuk
mendengar ucapan kita, bahkan sangat mungkin dia akan menerima masukan dan nasehat
kita.ُSebagaiُsalahُsatuُbentukُ‘berbalasُbudi’ُatasُkebaikanُyangُkitaُsodorkanُkepadanya.ُ

Karena itu, seyogyanya kita berusaha menerapkan akhlak mulia ini dalam kehidupan sehari-
hari. Tatkala ada tetangga yang meninggal dunia, kitalah yang pertama kali memberikan
sumbangan belasungkawa kepada keluarganya. Manakala ada yang dioperasi karena sakit;
kita turut membantu secara materi semampunya. Saat ada yang membutuhkan bantuan
keuangan, kita berusaha memberikan hutangan pada orang tersebut. Begitu seterusnya.

Jika hal ini rajin diterapkan, lambat laun akan terbangun jembatan yang mengantarkan kita
untuk masuk ke dalam hati orang-orang yang pernah kita bantu, sehingga dakwah salafiyah
yang kita sampaikan lebih mudah untuk mereka terima.

Sumber: https://almanhaj.or.id/3614-berdakwah-dengan-akhlak-mulia.html

2. Jujur Dalam Bertutur Kata


Sifat jujur merupakan salah satu karakter mulia yang amat dianjurkan dalam Islam. Allâh
Azza wa Jalla berfiman:

ً‫سديدُا‬
َ ًُ‫ُوقولواُقَ ْوال‬ َّ ‫يَاُأَي َهاُالَّذينَ ُآ َمنواُاتَّق‬
َ َ‫واَُللا‬

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allâh dan ucapkanlah
perkataan yang benar [al-Ahzâb/33:70]

Kejujuran bertutur kata dalam kehidupan sehari-hari membuahkan kepercayaan masyarakat


terhadap apa yang kita sampaikan, bukan hanya dalam perkara duniawi, namun juga dalam
perkara agama.

Sumber: https://almanhaj.or.id/3614-berdakwah-dengan-akhlak-mulia.html

Seorang Muslim yang telah dikenal di masyarakatnya jujur dalam bertutur kata, berhati-hati
dalam berbicara dan menyampaikan berita, akan disegani. Ucapannya akan didengar. Dan ini
modal yang amat berharga untuk berdakwah. Didengarkannya apa yang kita sampaikan itu
sudah merupakan suatu langkah awal yang menyiratkan keberhasilan dakwah. Andaikan dari
awal saja, masyarakat sudah enggan mendengar apa yang kita sampaikan, karena kita telah
dikenal, misalnya mudah menyebarkan isu yang belum jelas kebenarannya, tentu jalan
dakwah berikutnya akan semakin terjal.

3. Bertindak Ramah Terhadap Orang Miskin Dan Kaum Lemah


RasûlullâhُShallallahuُ‘alaihiُwaُsallamُbersabda:ُ

َ ‫ُوت ْن‬
ُ‫صرونَ ُبض َعفَائك ْم‬ َ َ‫ابْغونيُالض َعفَا َء؛ُفَإنَّ َماُت ْرزَ قون‬
Tolonglah aku untuk mencari (dan membantu) orang-orang lemah. Sesungguhnya kalian
dikaruniai rezeki dan meraih kemenangan lantaran adanya orang-orang miskin di antara
kalian”.ُ[HR.ُAbuُDâwudُno.ُ2594,ُdanُsanadnyaُdinilaiُjayyidُ(baik)ُolehُan-Nawawi] [6]

Masih banyak hadits lain, juga ayat al-Qur’anُyangُmemerintahkanُkitaُuntukُberbuatُbaik,ُ


berlaku ramah dan membantu orang-orang lemah juga miskin. Bahkan Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihiُwaُsallamُpernahُditegurُlangsungُAllâhُAzzaُwaُJallaُtatkalaُsuatuُhariُbeliauُ
bermuka masam dan berpaling dari seorang lemah yang datang kepada beliau; karena saat itu
beliau sedang sibuk mendakwahi para pembesar Quraisy. Kejadian itu Allâh Azza wa Jalla
abadikanُdalamُsuratُ‘Abasa.ُSetelahُitu,ُRasûlullâhُShallallahuُ‘alaihiُwaُsallamُamatُ
memuliakan orang lemah tadi dan bahkan menunjuknya sebagai salah satu muadzin di kota
Madinah.ُDialahُ‘AbdullâhُIbnُUmmiُMaktûmُRadhiyallahuُanhuُ.ُ

Bersikap ramah dan perhatian terhadap orang-orang lemah menguntungkan dakwah dari dua
arah; sisi orang-orang lemah tersebut, juga sisi masyarakat yang menyaksikan sikap mulia
yang kita praktekkan tersebut.

Adapun sisi pertama, keuntungannya: orang-orang lemah tersebut akan mudah untuk
didakwahi dan diajak kepada kebenaran; apalagi pada umumnya mereka memang lebih
mudah untuk didakwahi. Perlu dicatat di sini, apa yang disebutkan para ahli sejarah tentang
salah satu isi dialog antara Abu Sufyan dan kaisar Romawi; Heraklius. Tatkala Abu Sufyan
ditanyaُtentangُsiapakahُpengikutُRasulُShallallahuُ‘alaihiُwaُsallamُ?ُDia menjawab,
“Orang-orangُlemahُdanُkaumُmiskin”.ُHerakliusُpunُmenimpali,ُ“Begitulahُkondisiُ
pengikutُparaُnabiُdiُsetiapُmasa”.[7]ُ

Ketika menafsirkan Surat asy-Syu’ârâُayatُke-111, Imam Abu Hayyân rahimahullah


menjelaskan bahwa orang-orang lemah lebih banyak untuk menerima dakwah dibanding
orang-orang yang terpandang. Sebab, otak mereka tidak dipenuhi dengan keindahan-
keindahan duniawi, sehingga mereka lebih mudah mengetahui al-haq dan menerimanya
dibanding orang-orang terpandang.[8]

Sedangkan keuntungan kedua, dipandang dari sisi ketertarikan orang-orang yang


menyaksikan praktek akhlak mulia tersebut, termasuk orang-orang yang memiliki status
sosialُtinggi.ُMasyarakatُcenderungُlebihُrespekُkepadaُulamaُatauُda’iُyangُrendahُhatiُ
serta akrab dengan orang-orang miskin dan lemah dibandingkan kepada penceramah yang
hanya berada dalam lingkaran kehidupan orang-orang kaya dan pemilik kekuasaan. Sebab
masyarakatُmenganggapُda’iُtersebutُcenderungُlebihُtulus.ُAdapunُpenceramahُ(Ulama)ُ
yang hanya beramah-tamah dengan para pejabat dan konglomerat; masyarakat akan bertanya-
tanya tentang motif kedekatan tersebut? Apakah karena mengharapkan harta duniawi atau
apa?

Keterangan ini sama sekali bukan untuk mengecilkan urgensi mendakwahi orang-orang yang
memiliki kedudukan[9] , namun penulis hanya ingin mengajak para pembaca untuk
membayangkanُalangkahُindahnyaُandaikanُparaُda’iُdanُUlamaُmenyeimbangkanُantaraُ
kedekatannya dengan orang-orang terpandang dan kedekatannya dengan orang-orang lemah
yang kekurangan, dengan satu tujuan lurus, mengajak mereka semua ke jalan Allâh Azza wa
Jalla .

BanyakُpelajaranُberhargaُyangُbisaُdipetikُdariُkisahُmasukُIslamnyaُ‘AdiُbinُHâtimُath-
Thâ’I,ُseorangُrajaُterpandangُdiُnegeriُArab.ُKetikaُmendengarُmunculnyaُRasûlullâhُ
Shallallahu ‘alaihiُwaُsallamُdanُpengikutnyaُdariُhariُkehariُsemakinُbertambah,ُ
membuncahlah dalam hatinya kebencian dan rasa cemburu atas kemunculan raja pesaing
baru, hingga datanglah suatu hari dimana Allâh Azza wa Jalla membuka hatinya untuk
mendatangi Rasul Shallallahuُ‘alaihiُwaُsallamُ.

Begituُmendengarُkedatanganُ‘Adi,ُRasûlullâhُShallallahuُ‘alaihiُwaُsallamُyangُsaatُituُ
sedang berada di masjid dengan para Sahabatnya segera bergegas menyambut kedatangannya
dan menggandeng tangannya mengajak berkunjung ke rumah beliau. Di tengah perjalanan
menuju rumah, ada seorang wanita lemah yang telah lanjut usia memanggil-manggil beliau.
RasûlullâhُShallallahuُ‘alaihiُwaُsallamُpunُberhentiُdanُmeninggalkanُ‘Adiُgunaُ
mendatangiُwanitaُtersebut.ُRasûlullâhُShallallahuُ‘alaihi wa sallam cukup lama berdiri
melayaniُkebutuhanُsiُwanita.ُMelihatُtawadhu’ُRasûlullâhُShallallahuُ‘alaihiُwaُsallamُ,ُ
‘Adiُbergumamُdalamُhatinya,ُ“DemiُAllâh,ُiniُbukanlahُtipeُseorangُraja!”.

Setelah selesai urusannya dengan wanita tua tersebut, RasûlullâhُShallallahuُ‘alaihiُwaُ


sallamُmenggamitُtanganُ‘Adiُmelanjutkanُperjalanan.ُSesampaiُdiُrumah,ُRasûlullâhُ
Shallallahuُ‘alaihiُwaُsallamُbergegasُmengambilُsatu-satunya bantal duduk yang terbalut
kulit dan berisikan sabut pohon kurma, lalu mempersilahkanُ‘Adiُuntukُdudukُdiُatasnya.ُ
‘Adiُpunُmenjawab,ُ“Tidak,ُduduklahُengkauُdiُatasnya”.ُ“Tidak!ُEngkaulahُyangُdudukُdiُ
atasnya”ُsahutُRasûlullâhُShallallahuُ‘alaihiُwaُsallamُ.ُAkhirnya,ُ‘Adiُdudukُdiُatasُbantalُ
tersebutُdanُRasûlullâhُShallallahuُ‘alaihiُwaُsallamُdudukُdiُatasُtanah.ُSaatُitu,ُ‘Adiُ
kembaliُbergumamُdalamُhatinya,ُ“DemiُAllâh,ُiniُbukanlahُkarakterُseorangُraja!”.

Lantasُterjadiُdiskusiُantaraُkeduanya,ُhinggaُakhirnyaُ‘Adiُpunُmengucapkanُduaُkalimatُ
syahadat; menyatakan keislamannya. [10]

Lihatlahُbagaimanaُ‘AdiُbegituُterkesanُdenganُkerendahanُhatiُRasûlullâhُShallallahuُ
‘alaihiُwaُsallamُyangُdenganُsabarُmelayaniُkepentinganُseorangُwanitaُtuaُdanُlemahُdiُ
tengah-tengah perjalanannya mendampingi seorang raja besar! Goresan kesan baik yang
mengendapُdalamُhatinyaُterhadapُNabiُShallallahuُ‘alaihiُwaُsallamُ,ُmerupakanُtitikُawalُ
ketertarikan sang raja untuk memeluk Islam.

Penulisُtutupُpembahasanُiniُdenganُsebuahُkisahُnyataُtentangُsalahُseorangُda’iُmudaُ
Ahlus Sunnah di sebuah kota di tanah air. Dengan usianya yang masih sangat hijau, dalam
waktu singkat, sebagai pemain baru di kotanya, berkat taufik dari Allâh Azza wa Jalla , dia
telah berhasil mengambil hati banyak masyarakat di kota tersebut. Bahkan pernah pada suatu
momen, ia diundang untuk mengisi suatu acara kemasyarakatan di sebuah komunitas yang
sebenarnya di situ banyak tokoh-tokoh agama senior. Tatkala berusaha menghindar dengan
alasanُbanyakُkyaiُdiُsitu,ُorangُyangُmengundangُmenjawab,ُ“Kalauُyangُmengisiُ
pengajian kyai A, sebagian masyarakat tidak mau datang, dan kalau yang diundang kyai B,
yang mau datang juga hanya sebagian. Tapi kalau yang mengisi panjenengan, mereka semua
mauُdatang!”.ُKetikaُpenulisُcermati,ُternyataُsalahُsatuُrahasiaُkecintaanُmasyarakatُ
terhadapُda’iُtersebutُyaituُkeramahannyaُkepadaُsiapapun,ُapalagiُterhadapُorang-orang
‘kecil’.ُDiaُmenyapaُtukangُparkir,ُtukangُsapu,ُorangُtidakُpunya,ُbersalamanُdenganُ
mereka dan tidak segan-segan untuk bertanya tentang keadaan keluarga mereka dan anak-
anaknya!

4. Santun Dalam Menyampaikan Nasehat, Sambil Memperhatikan Kondisi Psikologis Orang


Yang Dinasehati.
DariُAbuُHurairah,ُRasûlullâhُShallallahuُ‘alaihiُwaُsallamُbersabda:ُ
ُ‫صدَقَة‬ َّ ‫َو ْالكَل َمةُال‬
َ ُ‫طيِّبَة‬

Ucapan yang baik adalah sedekah [HR. al-Bukhâri no. 2989 dan Muslim no. 2332]

Memilih kata-kata yang baik dan memperhatikan psikologis seseorang sangat menentukan
keberhasilan dakwah. Penulis pernah mendapatkan cerita dari saksi mata obrolan antara
seorang ikhwan yang sudah ngaji dengan seorang awam yang sebelumnya tidak pernah saling
bertemu. Orang awam tadi membuka obrolannya dengan kekagumannya akan perkembangan
pembangunan fisik kota tempat mereka berdua tinggal yang begitu cepat dan maju. Namun
ikhwanُtadiُlangsungُmenangkis,ُ“Ya,ُitukanُcuma lahiriahnya saja. Tapi kalau kita lihat
jiwa-jiwaُpenduduknya,ُternyataُkosongُdanُrapuh!”.ُBegituُmendengarُbalasanُlawanُ
bicaranya, muka orang awam tadi langsung berubah dan terdiam.

Kita bukan sedang meragukan niat baik ikhwan tadi, namun tidakkah ada kata-kata yang
lebihُsantun?ُHaruskahُkitaُ‘menabrak’ُlangsungُlawanُbicaraُkita.ُBukankahُituُakanُ
mengakibatkan dakwah kita sulit untuk diterima? Bukankah akan lebih enak didengar dan
diterima jika ikuti alur pembicaraannya, lalu secara perlahan kita arahkan kepada poin yang
kita sampaikan?

Misalnyaُkitaُkatakanُpadaُorangُawamُtersebut,ُ“BetulُPak,ُpembangunanُfisikُkotaُkitaُiniُ
memang amat membanggakan, dan ini amat bermanfaat untuk kesejahteraan ekonomi
masyarakat. Namun alangkah indahnya jika pembangunan fisik tersebut diiringi pula dengan
pembangunanُmentalُmasyarakat,ُsehinggaُtimbullahُkeseimbanganُantaraُduaُsisiُtersebut”.

KitaُbisaُmengambilُsuriُteladanُdariُmetodeُRasûlullâhُShallallahuُ‘alaihiُwaُsallamُdalamُ
menasehati para Sahabat.

Abu UmamahُRadhiyallahuُanhuُbercerita,ُ“Suatuُhariُadaُseorangُpemudaُyangُ
mendatangiُNabiُShallallahuُ‘alaihiُwaُsallamُserayaُberkata,ُ“WahaiُRasûlullâh,ُizinkanُ
akuُberzina!”.ُOrang-orang pun bergegas mendatanginya dan menghardiknya, mereka
berkata,ُ“Diamُkamu,ُdiam!”.ُRasûlullâhُShallallahuُ‘alaihiُwaُsallamُberkata,ُ
“Mendekatlah”.ُPemudaُtadiُmendekatiُbeliauُdanُduduk.
RasûlullâhُShallallahuُ‘alaihiُwaُsallamُbertanya,ُ“Relakahُengkauُjikaُibumuُdizinaiُorangُ
lain?”.
“TidakُdemiُAllâh,ُwahaiُRasul”ُsahut pemuda tersebut.
“Begituُpulaُorangُlainُtidakُrelaُkalauُibuُmerekaُdizinai”.
“Relakahُengkauُjikaُputrimuُdizinaiُorang?”.
“Tidak,ُdemiُAllâh,ُwahaiُRasul!”.
“Begituُpulaُorangُlainُtidakُrelaُjikaُputriُmerekaُdizinai”.
“Relakahُengkauُjikaُsaudariُkandungmuُdizinai?”.
“Tidak,ُdemiُAllâh,ُwahaiُRasul!”.
“Begituُpulaُorangُlainُtidakُrelaُjikaُsaudaraُperempuanُmerekaُdizinai”.
“Relakahُengkauُjikaُbibiُ(dariُjalurُbapakmu)ُdizinai?”.
“Tidak,ُdemiُAllâh,ُwahaiُRasul!”.
“Begituُpulaُorangُlainُtidakُrelaُjikaُbibiُmerekaُdizinai”.
“Relakahُengkauُjikaُbibiُ(dariُjalurُibumu)ُdizinai?”.
“Tidak,ُdemiُAllâh,ُwahaiُRasul!”.
“Begituُpulaُorangُlainُtidakُrelaُjikaُbibiُmerekaُdizinai”.
LaluُRasûlullâhُShallallahuُ‘alaihiُwaُsallamُmeletakkanُtangannyaُdiُdadaُpemuda tersebut
sembariُberkata,ُ“YaُAllâh,ُampunilahُkekhilafannya,ُsucikanlahُhatinyaُdanُjagalahُ
kemaluannya”.
Setelahُkejadianُtersebut,ُpemudaُituُtidakُpernahُlagiُtertarikُuntukُberbuatُzina”.ُ[HR.ُ
Ahmad XXXVI/545 no. 22211 dan sanad shahîh].[11]

CermatilahُbagaimanaُRasûlullâhُShallallahuُ‘alaihiُwaُsallamُtidakُlangsungُmenyalahkanُ
pemuda tadi. Namun, dengan sabar beliau mengajak pemuda tadi untuk berpikir sambil
memperhatikan kondisi psikologisnya. Mungkin, sebagian kalangan yang kurang paham
menilai bahwa metode tersebut terlalu panjang dan bertele-tele. Namun lihatlah apa hasilnya?
Jalan dakwah memang panjang dan membutuhkan kesabaran.

Tidak ada salahnya, kita kembali memutar rekaman perjalanan hidup kita dahulu sebelum
mengenal dakwah Salaf dan proses perkenalan kita dengan manhaj yang penuh dengan
berkah ini. Apakah dulu serta-merta sekali diomongi, kita langsung meninggalkan keyakinan
yang telah berpuluh tahun kita pegangi? Atau melalui proses panjang yang penuh dengan
lika-liku?

Dengan merenungi masa lalu kelam sebelum mendapat hidayah, dan bahwasanya kita
memperolehnya secara bertahap, kita akan terdorong untuk mendakwahi orang lain juga
dengan hikmah, nasehat yang bijak, serta secara bertahap. Demikian keterangan yang
disampaikanُSyaikhُ‘Abdur Rahmân as-Sa’diُrahimahullahُketikaُbeliauُmenafsirkanُfirmanُ
Allâh Azza wa Jalla :

ُ‫َُللاُ َعلَيْك ْم‬


ِّ ‫َكذَلكَ ُكنتمُ ِّمنُقَبْلُفَ َم َّن‬

Begitu pulalah keadaan kalian dahulu, lalu Allâh melimpahkan nikmat-Nya pada kalian. [an-
Nisâ/4: 94] [12]

Tidaklah mudah, mengajak seseorang meninggalkan ideologi lamanya untuk menganut


sebuah keyakinan baru. Maka, langkah awal yang ditempuh, buatlah ia ragu akan ideologi
lamanya, lalu secara bertahap kita jelaskan keunggulan (keistimewaan, kebenaran) ideologi
baru yang akan kita tawarkan padanya. Dengan berjalannya waktu, dengan izin Allâh Azza
wa Jalla , sedikit demi sedikit ideologi lama akan ditinggalkannya, kemudian beralih ke
ideologi yang baru.

5. Bersifat Pemaaf Terhadap Orang Yang Menyakiti Dan Membalas Keburukan Dengan
Kebaikan.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:

ْ ‫ضُ َعن‬
َُ‫ُال َجاهلين‬ َ ‫ُوأْم ْرُب ْالع ْرف‬
ْ ‫ُوأَعْر‬ ْ ‫خذ‬
َ ‫ُالعَ ْف َو‬

Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan kebajikan, serta jangan pedulikan orang-
orang jahil [al-A’râf/7:199]

Potret praktek akhlak muliaُiniُdalamُkehidupanُRasûlullâhُShallallahuُ‘alaihiُwaُsallamُ


amatlah banyak, baik dengan sesama Muslim, maupun dengan para musuh beliau dari
kalangan orang-orang kafir dan kaum musyrikin.

Di antara contoh jenis pertama, kejadian yang dikisahkan Anas bin Malik Radhiyallahu anhu
:
ُ‫يُفَ َجذَبَهُ َجذْبَةًُشَديدَةًُ َحتَّى‬ ْ ‫يُغَليظ‬
ٌّ ‫ُال َحاشيَةُفَأَد َُْركَهُأَع َْراب‬ َ ‫سلَّ َم‬
ٌّ ‫ُو َعلَيْهُب ْردُنَجْ َران‬ َ ‫ُو‬ َّ َّ‫صل‬
َ ‫ىَُللاُ َعلَيْه‬ ِّ ‫ك ْنتُأ َ ْمشيُ َم َعُالنَّب‬
َ ُ‫ي‬
ْ َ ْ
ُ‫ُ“م ْرُليُمنُ َمال‬:َ‫ُالردَاءُمنُشدَّةُ َجذبَتهُث َّمُقال‬ ْ ِّ ‫تُبهُ َحاشيَة‬ َّ َ َ َّ
ْ ‫سل َمُقدُْأث َر‬ َ ‫ُو‬ َ َّ ‫صل‬
َ ‫ىَُللاُ َعليْه‬ َّ َُ ُ‫ي‬ِّ ‫ص ْف َحةُ َعاتقُالنب‬
َّ َ ُ‫ظ ْرتُإلَى‬ َ َ‫ن‬
َ ‫ضحكَ ُث َّمُأَ َم َرُلَهُب َع‬
ُ‫طاء‬ ْ
َ َ‫َللاُالَّذيُع ْندَكَ !”ُفَالتَفَتَ ُإلَيْهُف‬
َّ

Suatu hari aku berjalan bersama Nabi Shallallahuُ‘alaihiُwaُsallamُdanُsaatُituُbeliauُ


mengenakan pakaian (kain) buatan Najran yang tepinya kasar. Tiba-tiba datanglah seorang
Arab badui dari belakang dan menarik keras kain beliau, hingga aku melihat di pundaknya
tergaris merah bekas kasarnya tarikanُorangُitu,ُsembariُberkata,ُ“Berilahُakuُsebagianُdariُ
hartaُyangُAllâhُberikanُpadamu!”.ُBeliauُpunُmenengokُkepadanyaُsembariُtersenyumُlaluُ
memerintahkanُagarُiaُdiberiُsebagianُharta”.ُ[HR.ُal-Bukhâri no. 3149 dan Muslim no.
2426]

Contoh jenis keduaُantaraُlain,ُkejadianُyangُdikisahkanُ‘AisyahُRadhiyallahuُanhumaُ:


SuatuُhariُakuُbertanyaُkepadaُNabiُShallallahuُ‘alaihiُwaُsallamُ,ُ“WahaiُRasûlullâh,ُ
apakah engkau pernah melewati suatu hari yang lebih berat dibandingkan hari peperangan
Uhud?”.
Beliauُmenjawab,ُ“Akuُtelahُmenghadapiُberbagaiُcobaanُdariُkaummu,ُdanُcobaanُyangُ
paling kurasa berat adalah kejadian di hari Aqabah. Saat itu, aku menawarkan dakwah kepada
Ibn Abd Yâlil bin Abd Kulal, namun ia enggan menerimaku. Aku pun pergi dalam keadaan
amat sedih dan tidak tersadar melainkan tatkala sampai di Qarn ats-Tsa’âlib.ُAkuُpunُ
mendongakkan kepala, ternyata di atasku ada awan yang menaungiku. Kulihat di sana ada
malaikatُJibril,ُiaُmemanggilku,ُ“SesungguhnyaُAllâhُtelahُmendengarُucapanُkaummuُdan
bantahan mereka padamu. Allâh telah mengirimkan untukmu malaikat gunung, supaya
engkauُmemerintahkannyaُmelakukanُapaُsajaُkepadaُmerekaُsesuaiُkehendakmu”.ُ
Malaikatُgunungُpunُmemanggilkuُdanُmengucapkanُsalamُlaluُberkata,ُ“Wahaiُ
Muhammad, jika engkau mau,ُakanُkutimpakanُduaُgunungُatasُmereka!”.ُNabiُShallallahuُ
‘alaihiُwaُsallamُpunُmenjawab,ُ“Justruُakuُberharap,ُsemogaُAllâhُberkenanُmenjadikanُ
keturunan mereka generasi yang mau beribadah kepada Allâh semata dan tidak
mempersekutukan-Nya dengan suatuُapapun”.ُ[HR.ُMuslimُno.ُ4629]

Jalan dakwah merupakan jalan yang terjal yang dipenuhi onak dan duri, apalagi mengajak
manusia meninggalkan keyakinan-keyakinan keliru yang telah mendarah-daging puluhan
tahun dalam diri mereka. Pasti akan muncul tantangan, berupa cemoohan, makian, atau
bahkan mungkin juga berbentuk serangan fisik, dari pihak yang antipati terhadap dakwah.
Ketikaُseorangُda’iُmenghadapiُsemuaُhalanganُtadiُdenganُketegaranُdanُkesabaran,ُtidakُ
lupa diiringi dengan kelapangan dada, bahkan justru membalas keburukan dengan kebaikan;
insyaُAllâhُdenganُberjalannyaُwaktu,ُhatiُparaُ‘lawan’ُdakwahُakanُluluh,ُatauُminimalُ
akan menyegani dakwah yang penuh berkah ini dan tidak mudah untuk melontarkan tuduhan-
tuduhan miring. [13]

Biografi para ulama Islam penuh dengan contoh praktek sifat mulia ini. Penulis bawakan dua
contoh dari kehidupan seorang ulama yang sangat masyhur keteguhannya dalam
mempertahankan prinsip dan ketegasannya dalam meluruskan penyimpangan sekte-sekte
sesat. Beliau adalah Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah.

Contohُpertama:ُSuatuُhariُsegerombolanُahlulُbid’ahُmenghadangُIbnuُTaimiyahُ
rahimahullah lalu mereka memukuli beliau ramai-ramai dan pergi. Tatkala kabar itu sampai
ke telinga murid-murid dan para pendukung beliau, mereka pun bergegas datang kepadanya,
memintaُizinُgunaُmembalasُdendamُperbuatanُjahatُgerombolanُahlulُbid’ahُitu.
NamunُIbnuُTaimiyahُrahimahullahُmelarangُmereka,ُserayaُberkata,ُ“Kalianُtidakُbolehُ
melakukanُhalُitu”.ُ

“Perbuatanُmerekaُpunُjugaُtidakُbolehُdidiamkan,ُkamiُsudahُtidakُtahanُlagi!”,ُtukasُ
mereka.

IbnuُTaimiyahُrahimahullahُmenimpali,ُ“Hanyaُadaُtigaُkemungkinan;ُhakُuntukُbalasُ
dendam itu milikku, atau milik kalian, atau milik Allâh. Seandainya hak untuk balas dendam
itu adalah milikku, maka aku telah memaafkan mereka! Jika hak itu adalah milik kalian,
seandainya kalian tidak mau mendengar nasehatku dan fatwaku maka berbuatlah semau
kalian! Andaikan hak itu adalah milik Allâh, maka Dia k yang akan membalas jika Dia k
berkehendak!”.ُ[14]

Contohُkedua:ُKisahُmakarُahlulُbid’ahُuntukُmenggantungُIbnuُTaimiyyah.
Sultan Muhammad Qalawun rahimahullah termasuk penguasa yang mencintai dan
mendukung dakwah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Pada suatu tahun, Sultan
Qalawun pergi berhaji ke Baitullah. Selama menjalankan ibadah haji, pemerintahan
diserahkan kepada salah seorang wakilnya, Sultan al-Muzhaffar Ruknuddin Piprus, yang
merupakan murid salah satu tokoh sufi abad itu, Nashr al-Manbaji, dikenal sangat benci
terhadap Ibnu Taimiyah.

TatkalaُPiprusُmengambilُtampukُpemerintahan,ُahlulُbid’ahُpunُsegeraُmenyusunُmakarُ
agar pemerintah mengeluarkan surat perintah hukum mati Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Namun sebelum makar mereka berhasil, Sultan Qalawun terlebih dahulu kembali dari haji.

Mendengarُberitaُadanyaُmakarُahlulُbid’ahُtersebut,ُSultanُQalawunُpunُmarahُbesarُdanُ
memerintahkan bawahannya untuk menghukum mati para pelaku makar tersebut. Namun,
begitu sampai berita itu ke telinga Ibnu Taimiyah rahimahullah , ulama ini bergegas
mendatangiُSultanُQalawunُ,ُsambilُmengatkan,ُ“Sayaُtelahُmemaafkanُmerekaُsemua”.ُ
Akhirnya, Sultan pun memaafkan mereka.

Setelah peristiwa itu, salah seorang musuh besar Ibnu Taimiyah rahimahullah , Zainuddîn bin
Makhlûfُpunُberkata,ُ“Tidakُpernahُkitaُmendapatkan orang setakwa Ibnu Taimiyah! Setiap
ada kesempatan untuk mencelakakannya, kami berusaha untuk memanfaatkan kesempatan itu
sebaik-baiknya. Namun, tatkala dia memiliki kesempatan untuk membalas, malah
memaafkanُkami!”.[15]ُ

Begitulah orang-orang berjiwa besar menyikapi kejahatan orang lain, dan lihatlah buahnya!
Disegani lawan maupun kawan. Betapa banyak musuh bebuyutan yang berubah menjadi
teman seperjuangan, berkat taufiq dari Allâh Azza wa Jalla , kemudian dengan ketulusan hati
paraُda’i.ُ

6. Menahan Diri Dari Meminta-Minta Apa Yang Dimiliki Orang Lain.


SifatُiniُlebihُdikenalُparaُUlamaُdenganُistilahُ‘iffahُatauُ‘afâf.ُIniُmerupakanُsalahُsatuُ
karakterُparaُSahabatُNabiُShallallahuُ‘alaihiُwaُsallamُsebagaimanaُAllâhُAzzaُwaُJallaُ
beritakan dalam al-Qur’ân,

“ًُ‫اسُإ ْل َحافا‬ ْ ‫سبهم‬


َ َّ‫ُال َجاهلُأ َ ْغنيَاءُمنَ ُالتَّعَففُت َ ْعرفهمُبسي َماه ْمُالَُ َي ْسأَلونَ ُالن‬ َ ْ‫“ُيَح‬.
“(Orangُlain)ُyangُtidakُtahuُmenyangkaُbahwaُmerekaُadalahُorang-orang kaya; karena
mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (wahai Muhammad) mengenal mereka
dari ciri-cirinya,ُmerekaُtidakُmemintaُdenganُcaraُmendesakُkepadaُorangُlain”.ُ[Al-
Baqarah: 273].

Tidak heran andaikan mereka memiliki karakter mulia tersebut; sebab mereka dapat
menyaksikan langsung Rasûlullâh Shallallahuُ‘alaihiُwaُsallamُsendiriُmempraktekkannyaُ
dan senantiasa memotivasi mereka untuk mempraktekkannya juga. Di antara nasehat yang
beliau sampaikan: sabdanya,

َّ ‫ُو َم ْنُيَ ْستَ ْغنُي ْغنه‬،


“ُ‫َُللا‬ َّ ‫فُيعفَّه‬
َ ‫َُللا‬ ْ ‫” َم ْنُيَ ْستَع‬.

“Barangُsiapaُmenahanُdiri untuk tidak minta-minta; maka Allâh akan jadikan ia memiliki


sifatُ‘iffah.ُDanُbarangُsiapaُmenampakkanُdiriُberkecukupan;ُniscayaُAllâhُakanُ
menjadikannyaُkaya”.ُ[HR.ُal-Bukhâri no. 1427 dan Muslim no. 2421 dari Hakîm bin Hizâm
Radhiyallahu anuh]

Lantasُapaُkorelasiُantaraُbersifatُ‘iffahُdenganُkeberhasilanُdakwah?ُSekurang-kurangnya
bisa ditinjau dari dua sisi:

Pertama: Orang yang menjaga diri dari meminta apa yang dimiliki orang lain, juga tidak silau
dengan apa yang dimiliki orang lain; akan dicintai mereka. Sebab secara tabiat, manusia tidak
menyukai orang lain yang meminta-minta apa yang dimilikinya. Hal itu telah Rasûlullâh
Shallallahuُ‘alaihiُwaُsallamُisyaratkanُdalamُnasehatnyaُuntukُseseorangُyangُbertanya,ُ
“WahaiُRasûlullâh,ُberitahukanُpadakuُsuatuُamalanُyangُjikaُkukerjakan,ُakuُakanُ
disayangُAllâhُdanُdicintaiُmanusia!”.ُBeliauُpunُmenjawab:ُ

َُ‫از َهدُْفي َماُفيُأَيْديُالنَّاسُيحبوك‬


ْ ‫ُو‬، ْ
َّ َ‫از َهدُُْفيُالد ْنيَاُيحبَّك‬
َ ‫َُللا‬

Bersifat zuhudlah di dunia, niscaya engkau akan disayang Allâh. Dan bersikap zuhudlah dari
apa yang ada di tangan manusia, niscaya mereka mencintaimu [HR. Ibnu Mâjah no. 4177 dari
SahlُbinُSa’dُas-Sâ’idiُRadhiyallahuُanhuُdanُsanadnyaُdinilaiُhasanُolehُImamُan-Nawawi
rahimahullah] [16]

Jikaُseorangُda’iُtelahُdicintaiُmasyarakat,ُmakaُmerekaُakanُlebihُmudahُuntukُmenerimaُ
dakwahnya.

Kedua:ُOrangُyangُmemilikiُsifatُ‘afâf,ُketika ia berdakwah, masyarakat akan menilai


bahwa dakwahnya tersebut ikhlas karena Allâh Azza wa Jalla , bukan karena mengharapkan
balasanُduniawiُdariُmereka.ُSaatُmerekaُmerasakanُketulusanُniatُda’iُtersebut;ُjelasُ-
dengan izin Allâh Azza wa Jalla – mereka akan lebih mudah untuk menerima dakwahnya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:

َ ً‫اتَّبعواُ َمنُالَُّيَسْأَلك ْمُأَجْ را‬


َُ‫ُوهمُم ْهتَدون‬

Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk [Yâsin/36:21]
Sumber: https://almanhaj.or.id/3614-berdakwah-dengan-akhlak-mulia.html

3. Perbedaan akhlak, atika dan moral

1. Sumber dari Akhlak, Etika dan Moral.

Yang dimaksud dengan sumber akhlak adalah yang menjadi ukuran baik dan buruk atau
mulia dan tercela. Sumber akhlak adalah Al-Quran dan sunah, bukan akal pikiran atau
pandangan masyarakat sebagaimana konsep etika dan moral. Dan bukan karena baik dan
buruk dengan sendirinya sebagaimana pandangan muktazilah.

Hati nurani atau fitrah dalam bahasa Al-Quran memang dapat menjadi ukuran baik dan buruk
karena manusia diciptakan oleh Allah swt memiliki fitrah bertauhid, mengakui keesaan-Nya
(QS. Arrum: 30). Karena fitrah itulah manusia cinta kepada kesucian dan selalu cenderung
kepada kebenaran. Namun fitrah manusia tidak selalu terjamin dapat berfungsi dengan baik
karena pengaruh dari luar, misalnya pengaruh pendidikan dan linngkungan. Oleh sebab itu
ukuran baik dan buruk tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada hati nurani atau fitrah
manusia semata. Fitrah hanyalah potensi dasar yang perlu dipelihara dan dikembangkan.

Semuaُkeputusanُsyara’ُtidakُakanُbertentanganُdenganُhatiُnuraniُmanusia,ُkarenaُkedua-
duanya berasal dari sumber yang sama yaitu Allah swt. Demikian juga dengan akal pikiran,
Ia hanyalah salah satu kekuatan yang dimilki manusia untuk mencari kebaikan atau
keburukan. Pandangan masyarakat juga bisa dijadikan salah satu ukuran baik dan buruk.
Masyarakat yang hati nuraninya sudah tertututp dan akal pikiran mereka sudah dikotori oleh
perilaku tercela tidak bisa dijadikan ukuran. Hanya kebiasaan masyarakat yang baiklah yang
dapat dijadikan ukuran.[4]

Namun demikian dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan. Pertama,
kalau dalam pembicaraan etika untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk
tolak ukur yang digunakan atau sumbernya adalah akal pikiran atau rasio (filsafat),
sedangkan dalam pembicaraan moral tolak ukur yanng digunakan adalah norma-norma yang
tumbuh dan berkembang dan berlangsung dimasyarakat.[5]

Mengenai istilah akhlak, etika dan moral dapat dilihat perbedaannya dari objeknya, dimana
akhlak menitikberatkan perbuatan terhadap Tuhan dan sesama manusia, sedangkan etika dan
moral hanya menitikberatkan perbuatan terhadap sesama manusia saja. Maka istilah akhlak
sifatnya teosentris, meskipun akhlak itu ada yang tertuju kepada manusia dan makhluk-
makhluk lain, namun tujuan utamanya karena Allah swt. Tetapi istilah etika dan moral
semata-mata sasaran dan tujuannya untuk manusia saja. Karena itu, istilah tersebut bersifat
antroposentris (kemanusiaan saja).

1. Macam-macam Akhlak, Etika dan Moral.


2. Macam-macam akhlak

Ulama akhlak menyatakan bahwa akhlak yang baik merupakan sifat para Nabi dan orang-
orang sidiq, sedangkan akhlak yang buruk merupakan akhlak setan dan orang-orang tercela.
Maka pada dasarnya akhlak itu dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Akhlak baik (al-akhlaqul mahmudah), yaitu perbuatan baik terhadap Tuhan, sesama
manusia dan makhluk-makhluk yang lain.
2. Akhlak buruk atau tercela (al-akhlakul madzmumah), yaitu perbuatan buruk terhaap
Tuhan , sesama manusia dan makhluk-makhluk yang lain.[6]

1. Macam-macam Etika

Dalam membahas etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang tanggapan kesusilaan atau etis
itu sama halnya dengan berbicara tentang moral. Manusia disebut etis karena manusia secara
utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat hidupnya dalam rangka asas keseimbangan
antara kepentingan pribadi dengan pihak yang lainnya, antara rohani dengan jasmaninya, dan
antara ssebagai makhluk dengan penciptanya. Termasuk di dalamnya membahas nilai-nilai
atau norma-norma yang dikaitkan dengan etika, terdapat dua macam etika yaitu sebagai
berikut:

1. Etika Deskriptif

Etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan perilaku manusia, serta apa
yang dikejar oleh setiap orang dalam hidupnya sebagai sesuatu yang bernilai. Etika deskriptif
tersebut berbicara mengenai fakta secara apa adanya, yakni mengenai nilai dan perilaku
manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan realitas yang membudaya. Dapat
disimpulkan bahwa tentang kenyataan dalam penghayatan nilai atau tanpa nilai dalam suatu
masyarakat yang dikaitkan dengan kondisi tertentu yang memungkinkan manusia dapat
bertindak secara etis.

1. Etika Normatif

Etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan seharusnya dimiliki oleh
manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai
dalam hidup ini. Jadi etika normatif merupakan norma-norma yang dapat menuntun agar
manusia bertindak secara baik dan menghindarkan hal-hal yang buruk sesuai dengan kaidah
atau norma yang disepakati dan berlaku di masyarakat.

1. Etika metaetika

Merupakan sebuah cabang dari etika yang membahas dan menyelidiki serta menetapkan arti
dan makna istilah-istilah normatif yang diungkapkan lewat pertanyaan-pertanyaan etis yang
membenarkan atau menyalahkan suatu tindakan. Istilsh-istilah normatif yang sering
mendapat perhatian khusus, antara lain keharusan, baik, buruk, benar, salah, yang terpuji,
tercela, yang adil, yang semestinya.[7]

1. Macam- macam moral


1. Moral keagamaan

Merupakan moral yang selalu berdasarkan pada ajaran agama Islam.

2.Moral sekuler
Merupakan moral yang tidak berdasarkan pada ajaran agama dan hanya bersifat duniawi
semata-mata.[8]
https://ismailmg677.wordpress.com/2014/01/08/perbedaan-antara-akhlak-etika-dan-moral/

4. Ciri-ciri berakhlaqul karimah

Macam-macam Akhlakulkarimah

2.2.1 Khusnudzhan kepada Allah

Khusnudzhan kepada Allah adalah kita memiliki keyakinan yang kuat bahwa Allah

SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang senantiasa berbuat dan menentukan yang

terbaik untuk kehidupan manusia.

Hikmah yang dapat kita ambil dari husnudzhan kepada Allah, yaitu :

a) Banyak bersyukur kepada Allah

Tulisan arab

b) Selalu beribadah kepada Allah

c) Tidak menyekutukan Allah dengan suatu apapun

d) Mencintai Allah SWT dengan cara mencintai perintah-perintah-Nya dan membenci

perbuatan yang dilarang-Nya.

e) Ridho dan ikhlas terhadap qadha dan qadar Allah.

f) Mentaati, takut dan bertaqwa kepada Allah SWT.

g) Bertaubat kepada Allah

h) Selalu mencari keridhaan Allah SWT

i) Selalu memohon dan berdoa kepada Allah

j) Meniru sifat-sifat Allah, meneladani asmaul husna yang diterapkan dalam kehidupan
Husnudzhan terhadap sesama manusia yaitu memiliki sifat berprasangka baik

terhadap sesama manusia dan jangan memiliki prasangka buruk terhadpa manusia.

2.2.2 Qana’ah

Qana’ahُdalamُkacamataُilmuُ akhlakُmemilikiُartiُmenerimaُsegalaُnaugerahُ yangُ

diberikan Allah SWT serta bersabar atas ketentuannya besar dan tidak meninggalkan usaha

dan ikhtiar lahiriyah.

Orangُmempunyaiُsifatُqana’ahُakanُmemilikiُpendirianُapaُyang diperoleh atau apa

yang ada pada dirinya adalah sesuai dengan Qadar ketentuan Allah SWT sebagai firman-Nya.

Orang-orangُ yangُ bersifatُ qana’ahُ ialahُ merekaُ yangُ memilikiُ ciri-ciri sebagai

berikut :

a. Ia menerima anugerah yang diberikan Allah SWT dan sabar atas ketentuan (ujian, cobaan)

yang menimpanya.

b. Ia meminta tambahan yang layak, berusaha dan tawakal.

c. Hatinya tidak tertarik (terpedaya) dengan kekayaan duniawi.

2.2.3 Ikhlas

Ikhlas adalah mengerjakan sesuatu perbuatan yang baik tanpa pamrih kecuali hanya

karena Allah dan mengharapkan ridha-Nya. Allah SWT berfirman :

Beramal dengan ikhlas akan menjadikan seseorang bekerja dengan jujur, disiplin dan

tanggung jawab, serta sanggup berkorban dalam melaksanakan tugas pekerjaan tersebut.

2.2.4 Sabar

Sabar artinya tahan uji, tahan menderita, menerima apa yang diberikan Allah baik

yang berupa nikmat maupun berupa penderitaan.

Orang yang sabar adlaah orang yang memiliki keteguhan dan ketabahan hati dalam

usaha mencapai cita-cita. Pantang menyerah terhadap segala rintangan yang menghadangnya
dan selalu sabar bahwa setiap cita-cita luhur memerlukan kesabaran (ketabahan). Sabar bukan

berarti menyerah ketika mengalami kegagalan tanpa usaha yang maksimal. Akan tetapi ulet

dan tahan banting di dalam menghadapi segala rintangan.

Sebagaimana Firman Allah SWT :

2.2.5 Istiqomah

DalamُbahasaُIndonesiaُpadananُkataُistiqomahُadalahُkataُ“taatُasas”,ُyakniُselaluُ

taat dan setia kepada asas suatu keyakinan oleh sebab itulah orang yang istiqomah dikatakan

juga sebagai orang yang taat asas.

Orang yang berlaku istiqomah disebut juga orang yang mempunyai resiko yang tidak

kecil seperti mendapat celaan. Dalam hal ini orang yang istiqomah tidak pernah ragu,

walalupun ia menghadapi kesulitan dalam perjuangannya.

2.2.6 Tasammuh

Dalam bahasa Indonesia, kata tasammuh dapat diartikan dengan tenggang rasa, lapang

dada atau toleransi. Oleh karena itu orang yang bersifat tasammuh berarti memiliki

kelapangan dada, menghormati orang yang berpendapat atau berpendirian lain, tidak mau

mengganggu kebebasan berfikir dan orang berkeyakinan lain.

2.2.7 Ikhtiar (Kerja Keras)

Untuk mempertahankan hidup dan kehidupan, manusia dituntut untuk berjuang baik

secara perorangan (individu) maupun secara kelompok (kolektif). Tuntutan tersebut

berdasarkan fitrah (naluri) kemanusiaan yang tumbuh karena adanya hidayah dari Allah

sesuai asas penciptaan-Nya. Sebagai mana Firman Allah SWT :

2.2.8 Berdoa

Yaitu memohon kepada Allah, agar segala yang telah kita lakukan ada dalam ridha

Allah SWT dan diqobulkan oleh Allah SWT. Firman Allah :

(http://centermakalah.blogspot.co.id/2012/02/makalah-akhlakul-karimah-diklat.html )
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Akhlak adalah hal yang terpenting dalam kehidupan manusia karena akhlak mencakup segala
pengertianُtingkahُlaku,ُtabi’at,ُperangai,ُkarakterُmanusiaُyangُbaikُmaupunُyangُburukُ
dalam hubungannya dengan Khaliq atau dengan sesama makhluk. Akhlak ini merupakan hal
yang paling penting dalam pembentukan akhlakul karimah seorang manusia. Dan manusia
yang paling baik budi pekertinya adalah Rasulullah S.A.W.

AnasُbinُMalikُradhiallahuُ‘anhuُseorangُsahabatُyangُmuliaُmenyatakan:ُ“Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling baik budi pekertinya.”
(HR.Bukhari dan Muslim).

B. Saran

Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penyusun dan bagi pembaca
semuanya. Serta diharapkan, dengan diselesaikannya makalah ini, baik pembaca maupun
penyusun dapat menerapkan akhlak yang baik dan sesuai dengan ajaran islam dalam
kehidupan sehari-hari. Walaupun tidak sesempurna Nabi Muhammad S.A.W , setidaknya kita
termasuk kedalam golongan kaumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai