Anda di halaman 1dari 11

AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGATIF

PROYEK REKLAMASI TELUK JAKARTA

Oleh:

1. A Bervian Sonny W F1316001


2. Anisa Lutfia F1316013
3. Devi Mulia K F1316039
4. Dinda Orieama YP F1316044
5. Hafiedz Susilo F1316055
6. Karlina Yuni N.S F1316066
7. Shafa Febriliana WR F1316094

PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI TRANSFER

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2017
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

Teluk Jakarta, atau dikenal juga dengan sebutan Pantai Utara Jakarta,

berada di sebelah utara Jakarta. Salah satu kawasan perairan di Jakarta ini

secara geografis di sebelah barat berbatasan dengan Tanjung Pasir, sebelah

timur berbatasan dengan Tanjung Karawang, dan di sebelah utara berbatasan

dengan bagian luar Kepulauan Seribu. Tempat ini menjadi muara bagi sungai

besar yaitu Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane serta 13 sungai yang

berhulu di Bogor.

Teluk Jakarta adalah sebuah kawasan perairan yang kaya dengan hasil

lautnya berupa hewan laut seperti ikan, kerang, kepiting, dan udang. Perairan

Teluk Jakarta menjadi salah satu pemasok ikan dan hewan lainnya di Jakarta.

Wilayah Teluk Jakarta juga menjadi tempat yang penting bagi masyarakat di
pesisir Utara Jakarta yang mata pencahariannya adalah nelayan.

Perkampungan nelayan sudah berdiri lama dan kehidupan mereka bergantung

pada laut di Teluk Jakarta. Selain itu Teluk Jakarta juga menjadi habitat bagi

burung laut Cikalang Christmas. Bahkan, Teluk Jakarta pernah diusulkan

untuk menjadi cagar alam karena menjadi habitat bagi burung laut Cikalang

Christmas

Pada tahun 1995, pemerintah pusat memaksakan proyek Reklamasi

Teluk Jakarta dengan dikeluarkannya Keppres No. 52 Tahun 1995 tentang

Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang ditetapkan oleh Presiden Soeharto pada

13 Juli 1995. Keppres tersebut menetapkan Reklamasi Pantura sebagai satu-

satunya jalan upaya penataan dan pengembangan ruang daratan dan pantai

untuk mewujudkan Kawasan Pantai Utara sebagai Kawasan Andalan.

Kawasan andalan diartikan sebagai kawasan yang mempunyai nilai strategis

dipandang dari sudut ekonomi dan perkembangan kota.

Pada tahun 2003, Menteri Lingkungan Hidup mengeluarkan Surat

Keputusan No. 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan

Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta pada 19 Februari 2003.

Dalam keputusan tersebut dinyatakan bahwa hasil studi AMDAL

menunjukkan kegiatan reklamasi akan menimbulkan berbagai dampak

lingkungan. Namun, Surat Keputusan tersebut kemudian digugat oleh 6

perusahaan pengembang yang telah melakukan kerjasama dengan Badan

Pengelola Pantai Utara untuk melakukan reklamasi Pantura Jakarta.

Perusahaan tersebut antara lain PT. Bakti Bangun Era Mulia, PT. Taman
Harapan Indah, PT. Manggala Krida Yudha, PT. Pelabuhan Indonesia II, PT.

Pembangunan Jaya Ancol dan PT. Jakarta Propertindo.

Gugatan tersebut mempermasalahkan dua hal pokok terhadap SK

Menteri LH No. 14 Tahun 2003 yaitu Kewenangan Menteri LH menerbitkan

keputusan ketidaklayakan lingkungan rencana reklamasi pantura jakarta dan

kewenangan Menteri LH untuk mewajibkan instansi yang berwenang untuk

tidak menerbitkan izin pelaksanaan Reklamasi Pantura. Dalam persidangan di

PTUN tingkat pertama dan kedua, Majelis Hakim mengabulkan gugatan para

pengusaha (Penggugat). Dalam tingkat kasasi, Majelis Hakim berhasil

memenangkan Menteri Lingkungan Hidup dan Penggugat Intervensi lainnya.

Namun di tingkat peninjauan kembali, Mahkamah Agung kembali

memenangkan para pengusaha dan mencabut putusan kasasi. Putusan PK

menyatakan dicabutnya status hukum keberlakuan SK Menteri LH No. 14

Tahun 2003 sehingga proyek reklamasi tetap dilanjutkan.

Pada tahun 2008 muncul Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2008

tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi,

Puncak, Cianjur (masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono). Perpres No.

54 Tahun 2008 ini mencabut Kepres No. 52 Tahun 1995 dan Keppres No. 73

Tahun 1995 soal reklamasi namun sepanjang yang terkait dengan penataan

ruang. Kemudian pada tahun 2012 (masa Gubernur Fauzi Bowo/Foke),

DPRD Jakarta mengesahkan Perda DKI Jakarta No. 1 Tahun 2012 tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 (Perda No. 1 Tahun 2012) yang
menggantikan Perda No. 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang habis masa berlakunya tahun 2010.

Dalam Perda ini, ditetapkan jika Kawasan Tengah Pantura akan

dijadikan lokasi program pengembangan baru di DKI Jakarta. Tidak

tanggung-tanggung, Kawasan Tengah Pantura dijadikan sebagai kawasan

Pusat Kegiatan Primer yang berfungsi melayani kegiatan berskala

internasional, nasional atau beberapa provinsi. Kawasan Tengah Pantura akan

menjadi pusat niaga baru di bidang perdagangan, jasa, MICE (Meeting,

Incentives, Convention, Exhibition), dan lembaga keuangan. Pada tahun 2015

(masa Gubernur Basuki Tjahaja Purnama/Ahok), pembangunan di Teluk

Jakarta mulai bergerak dengan dikeluarkannya izin reklamasi Pulau G, Pulau

F, Pulau I, dan Pulau K. Masih ada sekitar 13 Pulau yang belum mendapat

izin pelaksanaan reklamasi dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Proyek Reklamasi ini sedikit terhambat karena terjeratnya salahsatu

anggota DPRD DKI Jakarta yang tersandung kasus suap yang dilakuakan

tersebut dengan dalih untuk memuluskan pembahasan rancangan peraturan

daerah tentang rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Provinsi

DKI Jakarta pada periode 2015-2035 dan Raperda tentang rencana kawasan

tata ruang kawasan strategis pantai Jakarta Utara.

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menjadi saksi dalam

persidangan kasus suap untuk terdakwa mantan Ketua Komisi D DPRD DKI

Jakarta Mohammad Sanusi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

Ahok hadir sebagai saksi yang diundang oleh Jaksa Penuntut Umum Komisi
Pemberantasan Korupsi untuk memberatkan dakwaan terhadap Sanusi.

Sanusi didakwa menerima suap Rp2 miliar terkait pembahasan Rancangan

Peraturan Daerah mengenai zonasi pesisir untuk proyek reklamasi di Teluk

Jakarta. Ia juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang atas

dugaan penyimpangan terkait ketidaksesuaian antara harta kekayaannya

dengan pendapatannya sebagai pegawai negeri sipil.

Dalam persidangan dengan Saksi Ahli Ahok kerapkali dijatuhkan

pertanyaan tentang kejelasan aturan-aturan dan perhitungan pendapatan

reklamasi yang didapatkan dari pengembang. Pertanyaan-pertanyaan yang

ditanyakan kuasa hukum bahkan kerap kali menggiring ahok untuk menjadi

peran bersalah dalam kasus ini hingga timbul fitanh di media.

1.2. RUMUSAN SAKSI AHLI

Berdasarkan pemaparan latar belakang dan kisah persidangan di atas,

maka pernyataan yang diajukan kuasa hukum kepada saksi ahli adalah :

1. Kuasa Hukum Mohammad Sanusi

Tidak terdapat kata-kata Kontribusi Tambahan dalam Kepres No. 52

Tahun 1995 dan Keppres No. 73 Tahun 1995 !

Saksi Ahli

Kontribusi tambahan tercantum dalam perjanjian kerjasama MKY yang

menetapkan dasar hitung yang semula dari prosentase 30:70 antara

pengembang dengan pemerintah daerah, menjadi NJOP X 15%


2. Kuasa Hukum Mohammad Sanusi

Kenapa perjanjian dalam tahun 1997 menggunakan kata “Kontribusi

Tambahan” sedangkan masa pemerintahan Fauzi Bowo kata “Kontribusi

Tambahan“ hilang dan muncul lagi pada era anda (Basuki Tjahaja

Purnama) !

Saksi Ahli

Didalam peraturan memang tercantum Hak dan Kewajian pihak Pertama

untuk membangun semua yang didarat. Karena akan menjadi pertanyaan

Auditor dikemudian hari apabila saya juga menghilangkan kata

“Kontribusi Tambahan” tersebut.

3. Kuasa Hukum Mohammad Sanusi

Penetapan “ Kontribusi Tambahan” kenapa menggunakan dasar hitung

NJOP tidak 70%:30% seperti sebelum-sebelumnya ?

Saksi Ahli

Ya, karena apabila Pemprov DKI Jakarta menggunakan prosentase seperti

yang sebelumnya bisa saja pengembang menggunakan dasar penghasilan

setelah dilakukanya transfer pricing.

4. Kuasa Hukum Mohammad Sanusi

Adakah insentif untuk staff atau pegawai daerah yang diperoleh dari PAD?
Saksi Ahli

Ya, terdapat Peraturan Gubernur No. 183 yang mengatur tentang insentif

(uang operasional) yang didapat dari PBB (Pajak Bumi dan Bangunan),

akan tetapi bukan wewenang kuasa hukum untuk tanya-menanya seputar

ini.

5. Kuasa Hukum Mohammad Sanusi

Apakah dengan melakukan reklamasi ini, pengembang mendapatkan

keutungan/kerugian dalam menerima penghasilanya terkait proses

reklamasi dalam hitungan selama 30 tahun kedepan?

Saksi Ahli

Saya tidak tahu menahu soal itu, apabila pengembang merasa rugi silahkan

jangan di ambil proyek tersebut, apabila merasa untung juga silahkan

mengikuti proses pelelangan.

PEMBAHASAN

2.

2.1. Saran untuk Saksi Ahli

Berdasarkan pemaparan latar belakang dan kisah persidangan di atas,

maka pernyataan yang diajukan kuasa hukum kepada saksi ahli adalah :
1. Kuasa Hukum Mohammad Sanusi

Tidak terdapat kata-kata Kontribusi Tambahan dalam Kepres No. 52

Tahun 1995 dan Keppres No. 73 Tahun 1995 !

Saksi Ahli

Dalam Keppres No.52 Tahun 1995, ada konsideran yang berbunyi: bahwa

untuk mewujudkan fungsi Kawasan Pantai Utara Jakarta sebagai

Kawasan Andalan, diperlukan upaya penataan dan pengembangan

Kawasan Pantai Utara melalui reklamasi pantai utara dan sekaligus

menata ruang daratan pantai yang ada secara terarah dan terpadu.

Kemudian, Pasal 12 Keppres No.52 Tahun 1995 mengatur, segala biaya

yang diperlukan bagi penyelenggaraan Reklamasi Pantura dilakukan

secara mandiri oleh Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta

bekerja sama dengan swasta, masyarakat, dan sumber lain yang sah

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam pasal 12 Keppres No.52 Tahun 1995 menjelaskan bahwa segala

biaya yang diperlukan bagi penyelenggaraan Reklamasi Pantura dilakukan

secara mandiri oleh Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta

bekerja sama dengan swasta, masyarakat, dan sumber lain yang sah

2. Kuasa Hukum Mohammad Sanusi


Kenapa perjanjian dalam tahun 1997 menggunakan kata “Kontribusi

Tambahan” sedangkan masa pemerintahan Fauzi Bowo kata “Kontribusi

Tambahan“ hilang dan muncul lagi pada era anda (Basuki Tjahaja

Purnama) !

Saksi Ahli

Karena selama ini hanya mengikuti prosedur dan aturan yang telah ada

sejak dari dulu, kalau dihilangkan seperti Era Fauzi Bowo akan

menimbulkan pertanyaan dikemudian hari. Akan tetapi apabila

mengikuti/menjalankan tatanan kembali ke awal bukan menjadi sebuah

temuan.

3. Kuasa Hukum Mohammad Sanusi

Penetapan “ Kontribusi Tambahan” kenapa menggunakan dasar hitung

NJOP tidak 70%:30% seperti sebelum-sebelumnya ?

Saksi Ahli

Ya, karena apabila Pemprov DKI Jakarta menggunakan prosentase seperti

yang sebelumnya bisa saja pengembang menggunakan dasar penghasilan

setelah dilakukanya transfer pricing.


DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai