Anda di halaman 1dari 12

14

1BAB III

PEMBAHASAN

Dalam bab ini, penulis akan mencoba membahas kesenjangan yang ada

dalam teori dengan kasus nyata pada Tn.S dengan gangguan sistem pencernaan : post

appendiktomy hari ke 4 di bangsal Anggrek RSUD Wonogiri.

Dalam pengkajian penulis menggunakan sebelas pola fungsional Gordon,

karena mencakup semua kebutuhan dasar manusia. Pengkajian dilakukan secara

sistematik melalui langkah-langkah pengumpulan data, pengelompokan dan analisa

data, yang akhirnya akan menemukan masalah yang dirumuskan dalam diagnosa

keperawatan.

Diagnosa yang muncul dalam kasus dan sesuai dengan teori yaitu :

1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya luka post operasi.

Menurut Kim (1995), gangguan rasa nyaman nyeri adalah suatu keadaan

dimana individu mengalami dan melaporkan adanya tidak nyaman yang berat

atau perasaan tidak menyenangkan yang didukung oleh data-data antara lain :

komunikasi verbal adanya nyeri yang dirasa, tingkah laku yang terlampau

berhati-hati, penyimpangan tingkah laku, (merintih, menangis, gelisah), wajah

menunjukkan rasa nyeri (mata suram, cemberut, membatasi gerakan). Menurut

Mansjoer (2000 : 310) luka insisi merupakan sayatan yang langsung menembus

otot dinding perut dan banyak memotong syaraf dan pembuluh darah sehingga

menimbulkan nyeri. Sedangkan pada pasien Tn.S ditemukan data-data : pasien

mengatakan nyeri pada luka operasi, terdapat luka di abdomen 9 jahitan, skala
15

nyeri 5 - 6 pada bagian bawah umbilikus, ekspresi wajah menahan sakit.

Sehingga penulis menegakkan diagnosa tersebut.

Diagnosa keperawatan ini penulis prioritaskan pada prioritas pertama

karena menurut konsep TRIAGE gangguan rasa nyaman termasuk urgent, apabila

tidak segera diatasi akan mengakibatkan skala nyeri terus meningkat sehingga

kondisi pasien akan lebih buruk.

Pada diagnosa ini penulis membuat tujuan untuk mengatasi nyeri dengan

kerangka waktu 3 x 24 jam karena berdasarkan etiologi dari diagnosa di atas

yaitu luka post operasi, terjadi karena dilakukan tindakan pembedahan. Kriteria

hasil : nyeri berkurang / hilang, luka sembuh, skala nyeri 1-2.

Intervensi yang ditetapkan dalam diagnosa ini a) Kaji skala nyeri,

rasional : untuk mengetahui karakteristik nyeri dan membantu keefektifan,

b) Catat lokasi nyeri, rasional : untuk mengetahui kondisi pasien dan membantu

keefektifan. c) Dorong ambulasi dini, rasional : meningkatkan normalisasi fungsi

organ, contoh merangsang peristaltik dan kelancaran flatus, menurunkan

ketidaknyamanan abdomen. d) Beri aktifitas hiburan, rasional : fokus perhatian

kembali, meningkatkan relaksasi dan dapat meningkatkan kemampuan koping.

e) Berikan teknik relaksasi, rasional : menghilangkan dan mengurangi nyeri serta

dapat meningkatkan kemampuan koping.

Dalam diagnosa ini intervensi yang telah penulis tetapkan dapat dilakukan

semua berkat kerjasama yang baik dengan perawat ruangan. Setelah dilakukan

tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam evaluasi yang diperoleh masalah dapat

teratasi, karena pada hari ke 6 luka sudah berada pada fase proliferasi dimana
16

terjadi pembentukan pembuluh darah baru dan pembentukan jaringan. Sesuai

dengan intruksi dokter pasien sudah boleh pulang, didukung dengan data

subyektif : pasien mengatakan nyeri berkurang, data obyektif : terdapat 9 jahitan

pada luka, skala nyeri 1 – 2 pada bagian median bawah umbilikus, luka kering,

tidak ada pus dan darah, sehingga intervensi dihentikan.

2. Gangguan pemenuhan aktifitas sehari-hari berhubungan dengan ketakutan untuk

bergerak sekunder terhadap luka insisi..

Menurut Kim (1995), gangguan pemenuhan aktifitas sehari-hari adalah

suatu keadaan dimana individu mengalami keterbatasan kemampuan dalam

ketergantungan pergerakan fisik. Menurut Tuker (1998), adalah suatu keadaan

dimana individu mengalami ketidakcukupan energi fisiologis atau psikologis

untuk menahan atau memenuhi kebutuhan atau keinginan aktifitas sehari-hari

yang ditandai dengan kelemahan umum, gaya hidup monoton, tirah baring.

Sedangkan pada Tn.S ditemukan data-data : Data subyektif : pasien mengatakan

aktifitas sehari-hari dibantu keluarga, data obyektif : luka jahitan 9, skala nyeri 5-

6, aktifitas dibantu keluarga (mandi, makan, minum, berpakaian, dan lain-lain),

sehingga penulis menegakkan diagnosa tersebut..

Pada diagnosa ini penulis prioritaskan menjadi diagnosa ke tiga karena

gangguan pemenuhan aktivitas terjadi karena adanya ketakutan untuk bergerak

sedangkan gangguan akan teratasi apabila pasien mendapatkan rasa nyaman

dalam bergerak, dalam intervensi yang ditegakkan dengan membantu aktivitas

pasien dan melibatkan keluarga akan memberikan rasa nyaman. Menurut konsep
17

TRIAGE gangguan pemenuhan aktivitas merupakan non urgent, dimana pasien

masih dapat mentoleransi masalah tersebut.

Pada diagnosa ini penulis membuat tujuan aktifitas kembali normal

dengan kerangka waktu 3 x 24 jam, karena dalam waktu tersebut dapat penulis

lakukan untuk memotivasi pasien umtuk mandiri dalam melakukan aktifitas

sendiri. Kiteria hasil dari diagnosa diatas yaitu aktifitas sehari-hari dikerjakan

sendiri (makan, minum, berpakaian, dan lain-lain), skala nyeri berkurang sampai

dengan hilang (1-2).

Intervensi yang penulis tetapkan adalah : a) Kaji tanda-tanda vital,

rasional : untuk mengetahui perkembangan pasien, b) Kaji aktifitas pasien,

rasional : untuk meningkatkan kemajuan pasien, c) Kaji kemampuan mobilisasi,

rasional : untuk mengetahui kemampuan pasien untuk melakukan pergerakan.

d) Bantu aktifitas pasien, rasional : untuk memenuhi kebutuhan pasien,

e) Libatkan keluarga, rasional ; agar keluarga mengerti dalam membantu aktifitas

yang diperlukan pasien.

Implementasi dapat dikerjakan semua berkat kerjasama antara perawat

dan keluarga, dalam evaluasi tanggal 24 September 2003 pukul 12.00 WIB

ditemukan data subyektif : pasien mengatakan aktifitas dikerjakan sendiri, data

obyektif : skala nyeri menurun dari 3 – 4 menjadi 1 – 2, aktifitas dikerjakan

sendiri (makan, minum, berpakaian, dan lain-lain). Hal ini telah sesuai dengan

kriteria hasil yang diharapkan sehingga masalah teratasi, intervensi dihentikan.


18

3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses

penyakitnya.

Menurut Kim (1995 : 44) kurang pengetahuan adalah suatu keadaan

dimana informasi sangat kurang ditandai dengan pasien mengatakan mempunyai

masalah, prilaku yang tidak sesuai (seperti apatis, bermusuhan), menginginkan

informasi. Menurut Carpenito (2000), kurang pengetahuan adalah suatu kondisi

dimana individu atau kelompok mengalami kekurangan pengetahuan kognitif

atau ketrampilan psikomotor mengenai suatu keadaan dan rencana tindakan

pengobatan, batasan karakteristik : (mayor) harus terdapat ungkapan kurangnya

pengetahuan atau ketrampilan / meminta informasi, mengekspresikan persepsi

yang tidak akurat terhadap kondisi kesehatannya, menampilkan secara tidak tepat

perilaku yang sehat yang diiginkan atau yang sudah ditentukan. (minor) mungkin

terdapat : Kurang integrasi rencana tindakan ke dalam kegiatan sehari-hari,

menunjukkan atau mengekspresikan gangguan psikologis, misal : cemas, depresi

yang diakibatkan oleh salahnya informasi atau kurangnya informasi. Sedangkan

pada pasien Tn.S ditemukan data-data : Data subyektif : Pasien mengatakan

belum tahu tentang penyakitnya, data obyektif : Pasien sering bertanya tentang

penyakitnya, pasien tampak cemas. Sehingga berdasarkan data diatas maka

diagnosa tesebut dapat ditegakkan.

Diagnosa keperawatan ini penulis prioritaskan pada prioritas keempat

karena menurut Carpenito (2000) kurang pengetahuan dapat mendukung respon-

respon yang bervariasi seperti ansietas, kurangnya perawatan diri, ketidakpatuan.


19

Pada diagnosa ini penulis membuat tujuan untuk mengatasi kurangnya

pengetahuan dengan kerangka waktu 1 x 15 menit karena dalam waktu tersebut

penulis dapat melakukan penyuluhan kepada keluarga dan pasien. Kriteria hasil

dari diagnosa diatas yaitu pasien tidak cemas, pengetahuan pasien betambah.

Intervensi yang penulis tetapkan adalah : a) Kaji pengetahuan pasien,

rasional : mengetahui kemampuan pasien, b) Kaji kesiapan pasien dalam

menerima pendidikan kesehatan, rasional : bila pasien siap akan lebih mudah

menerima penjelasan perawat. c) Libatkan keluarga dalam pendidikan kesehatan,

rasional : kalau terjadi kekambuhan di rumah pasien bisa melakukan tindakan

yang tepat, d) Siapkan lingkungan, rasional : keluarga mengerti sehingga bisa

melakukan tindakan tindakan yang tepat bila terjadi kekambuhan dirumah,

e) Berikan pendidikan kesehatan, rasional : untuk memberikan pengertian

kepada keluarga dan pasien mengenai pengertian, tujuan, alat, cara perawatan

luka dirumah. f) Evaluasi hasil penyuluhan kesehatan dan catat pemahaman

pasien, respon:untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan pasien dan keluarga

mengenai pengertian, tujuan, alat, cara perawatan luka di rumah.

Implementasi dapat dikerjakan semua berkat kerjasama antara perawat

dan keluarga, dalam evaluasi tanggal 24 September 2003 pukul 12.00 WIB

masalah teratasi didukung dengan data subyektif : pasien mengatakan mengetahui

tentang pengertian, tujuan, alat, cara merawat luka di rumah, data obyektif :

pasien mampu menjawab, menyebutkan, dan menjelaskan tentang cara merawat

luka di rumah, pasien tampak tenang, sehingga intervensi dihentikan.


20

4. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya peningkatan kerentanan

bakteri sekunder terhadap luka.

Menurut Kim (1995:29) resiko tinggi infeksi merupakan keadaan dimana

individu mengalami peningkatan resiko untuk terserang bakteri patogen, seperti

tidak adekuatnya daya tahan misalnya adanya luka, trauma jaringan, prosedur

invasif, kenaikan suhu tubuh. Menurut Carpenito (2001) resiko tinggi infeksi

adalah suatu keadaan dimana seorang individu beresiko terserang oleh agen

patogenik atau oportunistis (virus, jamur, bakteri, protozoa / parasit lain), dari

sumber-sumber eksternal, sumber-sumber endogen atau eksogen. Dengan adanya

insisi pembedahan maka akan menimbulkan luka sayatan atau insisi yang

merupakan media masuknya mikroorganisme sekunder terhadap luka, sehingga

etiologi dari diagnosa ini lebih dispesifikkan oleh adanya media masuknya mikro

organisme terhadap luka. Resiko tinggi infeksi menggambarkan suatu situasi bila

pertahanan individu (pasien) melemah akan membuat pasien lebih mudah

terserang oleh patogen-patogen yang ada di lingkungan. Sedangkan pada Tn.S

ditemukan data subyektif : pasien mengatakan adanya luka sayatan pada perut,

data obyektif : Skala nyeri 5 - 6, terdapat luka jahitan 9.

Diagnosa ini penulis prioritaskan menjadi diagnosa ke lima karena masih

resiko tinggi dan belum ditemukan tanda-tanda infeksi yaitu rubor, tumor, dolor,

redness, dan fungsiolesi.

Pada diagnosa ini penulis membuat tujuan untuk mengatasi/mencegah

resiko tinggi infeksi dengan kerangka waktu 3 x 24 jam, karena diagnosa tersebut

baru resiko tinggi sehingga belum tentu terjadi dan dalam rentang waktu tersebut
21

penulis dapat melakukan observasi tanda-tanda infeksi yang dapat muncul

sewaktu-waktu. Kriteria hasil dari diagnosa diatas yaitu tidak ada tanda-tanda

infeksi seperti :rubor, tumor, dolor, kolor, redness, fungsiolesa.

Intervensi yang penulis tetapkan adalah : a) Kaji tanda-tanda vital,

rasional : meminimalkan suhu tubuh sampai batas normal 36 0 -370 c apabila

terjadi peningkatan, b) Kaji keadaan umum, rasional : untuk mengetahui

perkembangan pasien, c) Pantau tanda dan gejala infeksi, rasional : untuk deteksi

dini terjadinya infeksi. d) Pantau penyembuhan luka, rasional : untuk mengetahui

perkembangan penyembuhan luka, e) Lakukan perawatan luka, rasional : dapat

mencegah kontaminasi silang dan kemungkinan infeksi.

Implementasi dapat dikerjakan semua berkat kerjasama perawat dan

keluarga, dalam evaluasi tanggal 24 September 2003 pukul 11.30 WIB masalah

teratasi, didukung data subyektif : pasien mengatakan ada luka sayatan pada

perut, data obyektif : skala nyeri dari 3 – 4 menjadi 1 – 2, terdapat 9 jahitan pada

bagian median bawah umbilikus, sehingga intervensi dihentikan.

Diagnosa yang terdapat dalam teori tetapi tidak muncul dalam kasus nyata

adalah :

Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan anestesi dan insisi operasi.

Menurut Tuker (1998 : 440) Ketidakefektifan pola pernafasan adalah suatu keadaan

dimana pola inhalasi suatu ekhalasi individu tidak memberikan ventilasi yang tidak

adekuat, ditandai dengan dipsnea, sesak napas, takipnea, sianosis dan batuk. Anastesi

akan berefek pada kelemahan otot-otot pernapasan sehingga ekspansi paru menurun.

Operasi pasien menggunakan general anestesi dan dilakukan tanggal 19 September


22

2003, sedangkan penulis melakukan pengkajian tanggal 23 September 2003,

diperoleh data : RR : 24 x / menit, tidak ada sianosis, sehingga diagnosa ini tidak

dapat ditegakkan.

Adapun diagnosa yang muncul pada kasus nyata, tidak ada di teori adalah :

Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake yang

kurang. Diagnosa ini muncul karena menurut Kim (1995), kebutuhan nutrisi kurang

dari kebutuhan tubuh adalah suatu keadaan dimana individu mengalami asupan

nutrisi yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan metabolisme yang ditandai

dengan nafsu makan menurun, mual, tidak mampu menelan. Sedangkan pada pasien

Tn.S ditemukan data-data. Data subyektif : pasien mengatakan nafsu makan

menurun, data obyektif : makan habis ½ porsi, keadaan umum sedang. Sedangkan

berdasarkan data diatas maka diagnosa tesebut dapat ditegakkan.

Diagnosa ini penulis prioritaskan menjadi diagnosa kedua karena nutrisi

sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk kebutuhan metabolisme, menambah energi, jika

nutrisi kurang akan menghambat proses penyembuhan.

Pada diagnosa ini penulis membuat tujuan untuk mengatasi gangguan nutrisi

dengan kerangka waktu 3 x 24 jam karena diharapkan dapat mengajarkan pada

pasien atau keluarga untuk melakukan intervensi sendiri. Kriteria hasil dari diagnosa

diatas yaitu nafsu makan meningkat, makan habis 1 porsi, keadaan umum membaik.

Intervensi yang penulis tetapkan adalah : a) Kaji tanda-tanda vital rasional :

untuk mengetahui perkembangan pasien, b) observasi keadaan umum pasien, rasional

: untuk mengetahui perkembangan pasien, c) Kaji kebiasaan makan pasien, rasional :

memberikan situasi terstruktur untuk makan sementara memungkinkan pasien


23

mengontrol beberapa pilihan perubahan perilaku dapat efektif pada kasus ringan atau

untuk peningkatan berat badan jangka pendek. d) Lakukan oral higiene, rasional :

memberikan rasa nyaman dan merangsang selera makan. e) Sajikan makanan dalam

keadaan hangat, rasional : menurunkan stimulasi pada pusat muntah, f) Lanjutkan

diet nutrisi, rasional : memberikan nutrien cukup untuk memperbaiki, mencegah

penggunaan otot, meningkatkan regenerasi jaringan / penyembuhan, dan

keseimbangan elektrolit.

Implementasi dapat dikerjakan semua dengan kerjasama antara perawat dan

keluarga, dalam evaluasi tanggal 24 September 2003 pukul 11.30 WIB ditemukan

data subyektif : pasien mengatakan nafsu makan meningkat, makan-makanan

tambahan (telur, susu, snack), data obyektif : Pasien makan habis 1 porsi, keadaan

umum membaik, makan-makanan tambahan (telur, susu, snack). Hal ini telah sesuai

dengan kriteria hasil yang diharapkan sehingga masalah teratasi, interensi dihentikan.
24

DAFTAR PUSTAKA

Arif M dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jilid II. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Doenges, M E et all. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan (Terjemahan). Jakarta :


EGC.

Engram, B. 1996. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah (Terjemahan).


Volume I. Jakarta : EGC.

Hudak, C M et all. 1996. Keperawatan Kritis (Terjemahan). Edisi VI. Volume II.
Jakarta : EGC.

Kim, Mi Ja et all. 1995. Diagnosa Keperawatan (Terjemahan). Edisi 5. Jakarta :


EGC.

Long, B C. 1996. Perawatan Medikal Bedah (Terjemahan). Bandung.

Rab, Tabrani. 1998. Agenda Gawat Darurat. Jilid 2. Bandung : Alumni.

Sabiston, David C. 1994. Buku Ajar Bedah (Terjemahan). Bagian 2. Jakata : EGC.

Soeparman, dkk. 1994. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2 . Jakarta : FKUI.

Sylvia, Anderson Price et all. 1996. Patofisiologi (Terjemahan). Edisi 2. Jakarta :


EGC.

Tucker SM, et all. (1998). Standart Perawatan Pasien (Terjemahan). Edisi V.


Volume 4. Jakarta : EGC.
25

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai