Anda di halaman 1dari 17

180 BAGIAN II.

Pemberian Anestesi

11.
Obat Anestesi Intravena dan Inhalasi
Owais Saifee dan Ken Solt

I. Farmakologi obat anestesi intravena (IV)

Obat anestesi IV merupakan obat yang sangat umum


digunakan sebagai induksi dari anestesi general,
rumatan dari anestesi general dan sedasi selama
anestesi lokal ataupun regional. Onset yang cepat dan
offset obat ini karena tranlokasi fisik mereka asuk dan
keluar dari otak. Setelah injeksi bolus IV, obat yang larut
lemak seperti propofol, tiopental, dan etomidate
langsung tersebar ke jaringan yang memiliki perfusi
yang tinggi seperti otak dan jantung, menyebabkan
onset efek yang sangat cepat. Konsentrasi plasma
menurun dengan cepat saat obata terus di distribusikan
ke otot dan lemak. Ketika konsentrasi plasma telah
menurun dengan cukup, obat ini didistribusikan keluar
dari otak dan efeknya berakhir. Obat aktif tetap berada
di tubuh, dan akan dimetabolisme oleh hati dan ginjal.
Waktu paro eliminasi menjelaskan mengenai waktu
yang dibutuhkan untuk berkurangnnya 50%
konsentrasi obat yang ada di plasma. Konteks waktu
paro sensitif (KWPS) didefinisikan sebagai waktu untuk
penurunan 50% pada konsentrasi obat kompartemen
pusat setelah durasi infus yang ditentukan.
A. Propofol (2,6- diisopropylphenol)
Propofol digunakan sebagai induksi atau rumatan dari
anestesi general digunakan sebagai sedasi. Sediaanya
berupa emulsi minyak dalam air 1%, yang terdiri dari
lesitin-telur, gliserol, dan minyak kacang kedelai.
Pertumbuhan bakteri dihambat oleh asam
ethylenediaminetetraacetic atau sulfite, tergantung
pabrik pembuatnya.
1. Cara kerja
Meningkatkan aktifitas penghambatan gamma-
aminobutyric acid (GABA) synapses. Inhibisi dari
glutamat (N-methyl d aspartat [NMDA]) diduga karena
peranan suatu reseptor.
2. Farmakokinetik
a. Metabolisme hepatik dan beberapa ekstra hepatik
untuk menginaktifkan metabolit.
b. Konteks waktu paro sensitif dari propofol adalah 15
menit setelah infus selama 2 jam
3. Farmakodinamik
a. Sistem saraf pusat
1. Dosis induksi dengan cepat menyebabkan
penurunan kesadaran (30-45 detik). Dosis
rendah propofol dapat menimbulkan sedasi.
2. Analgesik lemah memberikan efek hipnosis.
The plasma EC50 (konsentrasi yang
181 BAGIAN II. Pemberian Anestesi

dibutuhkan untuk menimbulkan efek pada


50% orang) adalah 3.3 mcg/mL untuk
penurunan kesadaran dan >12 mcg untuk
mensupresi gerakan.
3. Peningkatan ambang kejang lebih dari
methohexital. Penurunan tekanan
intrakranial dan juga penurunan tekanan
perfusi. Dosis tinggi menyebabkan isoelectric
electroencephalogram.

Tabel 1.1 Dosis yang biasa digunakan untuk obat


anestesi
Drug Dosis
Ind Ruma
uksi (mcg
(mg /min
/kg
)

Propofol IV 2,0- 100-1


Thiopental 2,5
IV 3-5 0,5-1
Midazolam 0,1-
IV 0,4 15-90
Midazolam
IM 0,5- 10
Ketamine IV 2
Ketamine IM 5-
Etomidate IV 10
Dexmedoto 0,2-
midine IV 0,4

b. Sistem Kardiovaskuler
1. Sangat bergantung dosis yang akan
menurunkan preload dan afterload dan
depresi kontraktilitas mengarah kepada
penurunan tekanan arterial dan cardiac
output.
2. Frekuensi jantung hanya terpengaruh secara
minimal dan reflek baroreseptor menumpul
c. Sistem Respirasi
1) Obat ini akan mempengaruhi frekuensi napas
dan volume tidal.
2) Response ventilasi terhadap hypercarbia
hilang.

4. Dosis dan penggunaan Tabel 1.1


a. Dosis dikurangi terutama pada orang tua atau pada
seseorang yang memiliki gangguan hemodinamik
11. Anestesi Intravena dan Inhalasi 182

atau jika digunakan bersama dengan anestetik yang


lain.
b. Jika diperlukan perlu diencerkan, hanya dengan
Dekstrosa 5% sampai konsentrasi minimum 0,2 %
c. Emulsi propofol dapat memudahkan pertumbuhan
bakteri, siapkan obat dalam kondisi yang steril, beri
label tangggal dan waktu, hindari pemakaian
propofol lebih dari 6 jam setelah botol proppfol
dibuka.
5. Efek lain
a. Iritasi vena
1) Dapat menyebabkan nyeri selama
penggunaan IV pada sekitar 50% - 75%
pasien.
2) Nyeri dapat berkurang dengan pemberian
pada vena yang besar atau dengan
menambahkan lidokain pada sediaan obat.
Pilihan lain dapat menggunakan lidokain
(0,5mg/kg) dapat diberikan 1-2 menit
sebelu pemberian propofol dengan
pemasangan torniquet pada daerah
proksimal tempat penyuntikkan. Banyak
perlakuan yang sudah diberikan namun
tidak ada yang lebih efektif selain lidokain.
b. Mual dan muntah postoperatif
Terjadi lebih jarang pada anestetik dengan propofol
dibanding dengan anestetik lain, dan dosis subhipnotik
memilki dosis antiemetik.

c. Gangguan lemak
Propofol merupakan cairan emulsi lemak dan perlu
diperhatikan pada pasien dengan gangguan
metabolisme lemak (hiperlipidemia dan pankreatitis)
d. Myoklonus
Dapat terjadi pada dosis induksi propofol dan muncul
bersamaan dengan relaksasi otot.
e. Sindrom infus propofol
Adalah kejadian yang jarang dan seringkali fatal yang
dapat menyebabkan pasien menjadi kritis (biasanya
anak-anak) biasanya pada infus propofol dengan dosis
tinggi. Gejala yang timbul berupa rhabdomyolisis,
asidosis metabolik, gagal jantung, dan gagal ginjal.
B. Barbiturates
Barbiturat untuk anestesia termasuk thiopental dan
methohexital. Obat-obat ini seperti propofol memiliki
onset yang cepat dalam menurunkan kesadaran (30-45
detik) diikuti dengan bangun yang cepat. Barbiturate
sangat bersifat basa (pH>10) dan biasanya sediaannya
dalam bentuk solusio (1%-2,5%) untuk penggunaan IV.
1. Cara kerja
Barbiturat menempati reseptor yang mirip dengan
reseptor GABA di susunan saraf pusat dan menambah
penghambatan dari reseptor GABA.
2. Farmakokinetik
a. Metabolik hepatik
Methohexital (waktu paro 4 jam) memiliki klirens yang
lebih tinggi dari thiopental (waktu paro 12 jam).
183 BAGIAN II. Pemberian Anestesi

Thiopental dimetabolisme menjadi pentobarbital suatu


metabolit aktif dengan waktu paro yang lebih lama.
b. Dosis yang multipel atau infus
yang menetap dapat
menimbulkan sedasi dan
penurunan kesadaran yang
lebih lama. KWPS dari tiopental
cukup panjang meskipun
dengan infus yang sebentar.

3. Farmakodinamik
a. SSP
1). Menyebabkan penurunan kesadaran (tiopental EC 50 :
15,6 mg/ml) dan dapat mensupresi respon nyeri pada
konsentrasi yang lebih tinggi. Thiopental dapat
menyebabkan hiperalgesia pada konsentrasi
subhipnotik (kaitan secara klinis belum jelas)
2). Menghasilkan vasokonstriksi serebral dan
penurunan metabolisme serebral yang sangat berkaitan
dengan dosis dimana terjadi penurunan aliran serebral
dan tekanan intrakranial.
3). Pada dosis yang tinggi, thiopental akan
menghasilkan elekroensefalogram yang isoelektrik,
namun methohexital dapat menyebabkan kejang.
b. Sistem kardiovaskuler
Dapat menyebabkan venodilatasi dan depresi
kontraksi miokard, sehingga terjadi penurunan tekanan
darah dan penurunan cardiac output terutama pada
pasien dengan gangguan preload.
c. Sistem respirasi
Menyebabkan penurunan frekuensi napas dan volume
tidal. Apnea dapat terjadi 30-90 detik setelah dosis
induksi.
4. Dosis dan pemakaian lihat tabel 1.1
Kurangi dosis pada orang sakit , orang tua, dan pasien
dengan kondisi hipovolemi.

Hal 178
2. Farmakokinetik
a. Penurunan kesadaran terjadi
setelah 30-60 detik setelah
induksi IV dilakukan. Efek
diterminasi setelah 15-20
menit. Pemberian IM memiliki
onset yang lebih lambat yaitu
sekitar 5 menit dengan efek
tertinggi sekitar 15 menit.
b. Di metabolisme dengan cepat
oleh hati menjadi metabolit
11. Anestesi Intravena dan Inhalasi 184

multipel dimana diantaranya


memiliki mode aktif. Waktu
paro sekitar 2-3 jam.
c. Pemberian secara berulang baik
bolus atau infus menyebabkan
efek akumulasi.
3. Farmakodinamik
a. SSP

2) Tidak menghasilkan analgesi signifikan


3) Menurunkan aliran darah ke otak dan tingkat
metabolism

b. Sistem kardiovaskular
1) Menghasilkan vasodilatasi sistemik dan kardiak
output. Nadi biasanya tidak berubah
2) Perubahan hemodinamik biasanya terlihat pada
pasien yang memiliki sedikit keterbalikan
kardiovaskular jika dimasukan secara cepat dalam
dosis banyakatau jika diberikan bersama opioid.
c. Sistem pernafasan
1) Menghasilkan dosis tergantung sedang yang
menurunkan rasio Napas dan volume tidal
2) Depresi napas terjadi jika dimasukkan bersama
opioid pada pasien dengan penyakit paru, atau pada
pasien yang rentan.
4. Dosis dan cara masuk. Lihat table 11.1 untuk midazolam
A ) Tambahan dosis IV diazepam (2,5 mg) atau lorazepam (o,25
mg)dapat digunakan untuk sedasi. Dosis oral yang sesuai adalah 5 – 10 mg
diazepam atau 2-4 mg lorazepam.
5.Efek merugikan
a. interaksi obat. Masuknya benzodiazepine pada pasien yang menerima
antikonvulsan valproate dapat menyebabkan episode psikotik
b. kehamilan dan persalinan
1) dapat dihubungkan dengan kelainan lahir ( labio atau palate
skizis) bila obat diberikan pada trimester pertama
2) melewati plasentadan dapat menbyebabkan depresi
neonates
3) Nyeri suntukan dan thrombophlebitis superficial dapat
terjadi dengan obat diazepam dan lorazepam
6. Flumazenil. Adalah agonis konmpetitif untuk reseptor benzodiazepine
di SSP
a. pembalik dari efek sedative oleh benzodiazepine yang terjadi dalam 2
menit; efek puncak kira-kira dalam waktu 10 menit. Flumazenil tidaklah
seutuhnya antagonis efek depresi napas dari benzodiazepine.
b. Flumazenil bekerja lebih cepat daripada benzodiazepinsebagai
antagonisnya. Pemberian ulangan penting karena durasi kerja yang
singkat.
c. Metabolisme menjadi metabolit inaktif di hati.
d. Dosis ; 0,3 mg IV setiap 30-60 detik (sampai dosis maksimum 5 mg)
e. kontraindikasi flumazenil pasien dengan overdosis trisiklik
antidepresan dan yang mendapat benzodiazepine sebagai terapi control
kejang atau adapeningkatan tekanan intra kranial. Digunakan dengan
berhati-hati pada pasien yang memiliki pengobatan lama dengan
benzodiazepine karena bias terjadi efek “withdrawal”
185 BAGIAN II. Pemberian Anestesi

D. Ketamin meiliki kemiripin dengan phensiklidin. Merupakan


sedative hipnotik yang memiliki kemampuan analgesi yang kuat. Biasanya
digunakan sebagai agen induksi.
1,Cara kerja. Belum jelas diketahui, tetapi tergolong dalam antagonis
Reseptor NMDA.

1). Menyebabkan status disosiatif berupa amnesia dan


analgesia. Kerja analgesia muncul pada dosis lebih kecil
karena itu efek analgesia tetap ada setelah pasien sadar.
2). Peningkatan aliran darah otak (ADO), laju
metabolisme, tekanan intrakranial. ADO yang berespon
pada hiperventilasi tidak terblok.

a. Sistem kardiovaskular
1) Peningkatan laju frekuensi jantung disebabkan oleh
mediasi sentral katekolamin endogen.
2) Sering digunakan untuk pasien dengan gangguan
hemodinamik, atau bagi siapun yang mengharuskan
memiliki frekuensi jantung, preloada dan afterload
yang tinggi.
3) Dapat bertindak sebagai depresan miokardium jika
digunakan pada pasien dengan stimulasi sistem
saraf simpatis yang maksimal atau pada pasien
dengan blokade otonom.
b. Sistem respirasi
1). Biasanya mendepresi sistem pernapasan dan volume
tidal
2). Mengurangi bronkospasme dengan efek
simpatomimetik.
3). Refleks proteksi laringeal dapat dipertahankan
damun aspirasi masih dapat mungkin
terjadi.
4. Dosis dan pemakaian lihat tabel 1.1
a. Ketamin mungkin dapat digunakan untuk induksi IM
pada pasien dengan jalur IV yang sulit (contoh: anak-
anak). Ketamin larut dalam air karena itu dapat
digunakan IV ataupun IM
b. Konsentrasi 10 % dapat digunakan hanya pada IM
5. Efek merugikan
a. Sekresi oral
Disebabkan oleh ketamin. Pengguanaan antisialagogue
(glikopyrolate) dapat membantu.
d. Gangguan emosional
Pengguanaan ketamin dapat menyebabkan agitasi dan
kegelisahan, halusinasi dan mimpi yang tidak
menyenangkan dapat muncul postoperatif. Faktor
resiko yang dapat menglami hal ini adalah peningkatan
usia, wanita, dan dosis lebih dari 2 mg/kg. Angka
kejadian ( lebih dari 30%) dapat dikurangi dengan
golongan benzodiazepin (midazolam) atau propofol.
Pemberian pilihan ketamin perlu diperhatikan
terutama pada pasien psikiatrik.
e. Tonus otot
Dapat menyebabkan pergerakan mioklonik yang
random, terutama sebagai respons dari stimulasi
f. Peningkatan tekanan intrakranial
11. Anestesi Intravena dan Inhalasi 186

Merupakan kontraindikasi relatif pada pasien dengan


trauma kepala dan hipertensi intrakranial
g. Efek ocular
Dapat menyebakan midriasis, nistagmus, diplopia,
blefarospasme, dan peningktan tekanan intra ocular,
perlu dipikirkan alternatif lain pada saat operasi mata.
h. Kesulitan untuk anestersi yang dalam
Tanda umum yang muncul pada anestesi dalam (laju
napas, tekanan darah, laju frekuensi jantung, tanda
mata) kurang dapat tercapai jika menggunakan ketamin

E. ETOMIDATE
Merupakan jenis hipnosis imidazole yang tidak terkait
dengan jenis anestetik lain. Sediaan berupa solusi 35 %
propylene glicol. Obata ini sering dipakai sebagai agen
induksi untuk general anestesi.
1. Cara kerja
Menghambat kerja GABA di SSP
2. Farmakokinetik
a. Memiliki klirens yang tinggi di hati dan esterase
sirkulasi untuk menginaktifkan metabolit.
b. Waktu untuk onset mulai terjai penurunan
kesadaran mirip dengan propofol. Efek yang
diberikan secara bolus diterminasi oleh
redistribusi.
3. Farmakodinamik
a. CNS
1. Tidak ada kemampuan analgesik sehingga seringkali
harus diberikan tambahan opioid.
2. Penurunan aliran darah serebral, metabolisme, dan
tekanan intrakranial namun perfusi otak masih
dapat terpelihara.
b. Sistem kardiovaskuler
Obat ini menyebabkan sedikit perubahan pada
frekuensi jantung, tekanan darah, dan cardiac output.
Obat ini tidak mempengaruhi saraf simpatis ataupun
fungsi baroreseptor dan tidak efektif menekan respons
hemodinamik terhadap nyeri. Etomidate biasanya
menjadi pilihan induksi anestesi pada pasien dengan
gangguan hemodinamik.
c. Sistem pernapasan.
Menyebabkan penurunan frekuensi napas yang
tergantung dengan dosis obat dan volume tidal, apneu
sementara dapat terjadi. Efek etomidate menyebabkan
depresi napas lebih rendah dibanding propofol ataupun
barbiturat.
4. Dosis dan pemakaian Lihat tabel 1.1
5. Efek yang merugikan
a. Myoklonus dapat muncul setelah
pemberian, biasanya respons dari suatu
rangsangan.
b. Mual dan muntah lebih sering muncul
pada saat postoperatif dibanding dengan
obat anestetik lain.
187 BAGIAN II. Pemberian Anestesi

c. Iritasi vena dan tromboflebitis superfisialis


d. Dapat disebabkan olej propylene glycol
vehicle.
Diminimalisasi dengan pemberian melalui tetesan cepat
infus IV.
d. Supresi adrenal. Dosis tunggal steroid sintesis dapat
mensupresi adrenal sampai 24 jam (mungkin berupa
efek klinis yang sedikit signifikan). Dosis atau infus
ulangan tidak dianjurkan karena resiko supresi adrenal
yang signifikan.
F. Deksmedetomidin adalah agen sedatif yang juga besifat
analgetik. Agen ini digunakan sebagai tambahan untuk anastesi
umum dan regional, dan untuk sedatif pada ruang ICU.
1. Cara kerja: Agonis adrenoseptor α2 selektif. Klonidin
kurang selektif sebagai agonis α2 dengan sifat sedatif dan
analgetik yang sama.
2. Farmakokinetik:
a. Mengalami redistribusi yang cepat setelah pemberian
IV. Waktu paruh eliminasi sekitar 2 jam.
b. Dimetabolisme secara aktif di hati.
3. Farmakodinamik
a. Sistem saraf pusat
(1) Memunculkan sedasi tetapi keadaan tidak sadar
tampak seperti tidur normal.
(2) Meningkatkan efek propofol, anestesi yang mudah
menguap, benzodiazepin, dan opioid.
b. Sistem kardiovaskular
(1) Menurunkan tekanan darah dan denyut jantung,
meskipun hipertensi transien sering muncul setelah
pemberian IV bolus.
(2) Barorefleks dipertahankan dengan baik.
c. Sistem respirasi: depresi nafas minimal, meskipun
dapat memperberat efek depresi nafas agen anestesi
lainnya.
d. Sistem endokrin: mengurangi respon adrenal
terhadap hormon adrenokortikotropin setelah
pemberian infus lama, meskipun dampak klinisnya
masih belum jelas.
4. Dosis dan pemberian: lihat Tabel 11.1
a. Penurunan dosis harus dipertimbangkan pada pasien
dengan gangguan hati yang signifikan. Karena aktivitas
metabolit deksmedetomidin belum diteliti, penurunan
dosis mungkin baik untuk pasien dengan gangguan
ginjal berat.
b. Diindikasikan hanya untuk penggunaan infus <24 jam.
G. Opioid. Morfin, meperidin, hidromorfon, fentanil, sufentanil,
alfentanil, dan remifentanil adalah jenis opioid yang sering
digunakan pada anestesi umum. Efek utama opioid adalah
analgesi, dan karena itu agen ini melengkapi agen lain sejak
induksi atau sebagai agen utama pada anestesi agen tunggal
(misalnya pada operasi jantung). Tiap opioid berbeda dalam hal
potensi, farmakokinetik, dan efek samping.
1. Cara kerja: Opioid berikatan dengan reseptor spesifik di
otak, medula spinalis, dan saraf perifer. Opioid merupakan
agen yang bersifat selektif relatif untuk opioid reseptor µ.
2. Farmakokinetik
11. Anestesi Intravena dan Inhalasi 188

a.
Data farmakokinetik ditampilkan pada Tabel 11.2 dan
CSHT (context sensitive half-time) untuk alfentanil,
sufentanil, dan remifentanil dapat dilihat pada Gambar
11.1.
Tabel 11.2 Dosis, waktu untuk mencapai efek puncak, dan durasi
analgesi untuk agonis dan agonis-antagonis opioid intravena a
Opioid Dosis (mg)b Puncak (min) Durasi (jam)c
Morfin
10
30-60 3-4
Meperidin 5-7 2-3
80
Hidromorfon 15-30 2-3
1,5
Oksimorfon 15-30 3-4
1,1
Metadon 15-30 3-4
10
Fentanil 3-5 0,5-1
0,1
Sufentanil 3-5 0,5-1
0,01
Alfentanil 1,5-2 0,2-0,3
0,75
Remifentanil 1,5-2 0,1-0,2
0,1
Pentazokin 15-30 2-3
60
Butorfanol 15-30 2-3
2
Nalbufin 15-30 3-4
10
Buprenorfin <30 5-6
0,3
a
Data untuk derivat fentanil berasal dari penelitian intraoperatif; sisanya dari penelitian nyeri
postoperatif.
b
Perkiraan dosis analgesi ekuivalen (lihat teks).
c
Durasi rerata dari dosis tunggal pertama.

b. Eliminasi utama oleh hati dan bertahan dalam aliran


darah hepatik. Remifentanil dimetabolisme oleh
esterase pada sirkulasi dan otot skelet. Morfin dan
meperidin mempunyai metabolit aktif yang penting;
tidak untuk hidromorfon dan derivat fentanil. Metabolit
diekskresikan terutama lewat urin.
c. Setelah pemberian IV, onset kerja dalam beberapa
menit untuk derivat fentanil; hidromorfon dan morfin
mungkin 20 sampai 30 menit untuk mencapai efek
puncak. Berakhirnya efek untuk semua agen, kecuali
remifentanil, adalah dengan redistribusi.
3. Farmakodinamik
a. Sistem saraf pusat
(1) Menghasilkan sedasi dan analgesi pada dosis
tertentu; euforia sering terjadi. Dosis yang sangat
besar menyebabkan amnesia dan kehilangan
kesadaran, tetapi opioid bukan hipnotik yang baik.
(2) Menurunkan minimum alveolar concentration
(MAC) agen anestesi bentuk gas dan yang mudah
menguap, menurunkan kebutuhan obat sedatif-
hipnotik IV.
(3) Mengurangi laju cerebral blood flow (CBF) dan
metabolit. Meperidin, dalam dosis ulangan, akan
menyebabkan eksitasi SSP dan kejang, efek
sekunder dari akumulasi normeperidin.
b. Sistem kardiovaskular
(1) Semua, kecuali meperidin, menyebabkan
perubahan minimal pada kontraktilitas jantung.
189 BAGIAN II. Pemberian Anestesi

Opioid tidak menghalangi respon baroreseptor


tekanan darah rendah atau tinggi.

(2) Systemic vascular resistance (SVR) biasanya


mengalami penurunan sedang karena aliran keluar
simpatetik medular. Meperidin atau morfin bolus
dapat menurunkan SVR karena pelepasan histamin.

(3) Menyebabkan bradikardi pada dosis tertentu


dengan cara menstimulasi nukleus pusat vagal.
Meperidin mempunyai efek seperti atropin yang
bersifat lemah dan tidak menyebabkan bradikardi.

(4) Hemodinamik yang relatif stabil pada pemberian


opioid menjadi alasan penggunaannya untuk sedasi
atau anestesi pada pasien dengan gangguan
hemodinamik atau pada pasien kritis.

c. Sistem respirasi

(1) Menyebabkan depresi nafas pada dosis tertentu.


Diawali dengan frekuensi nafas yang turun; pada
dosis besar, volume tidal menurun. Efek ditekankan
pada sedatif yang dihasilkan, depresi nafas lain,
atau penyakit paru yang telah ada.

(2) Menurunkan respon ventilasi terhadap hiperkapnia


dan hipoksia. Efek akan meningkat nyata jika pasien
tertidur.

(3) Opioid mengurangi refleks batuk pada dosis


tertentu. Dosis tinggi menekan refleks trakea dan
bronkus terhadap benda asing, jadi pipa endo-
trakela dan ventilasi mekanik sebaiknya tidak
digunakan.

d. Diameter pupil mengecil (miosis) karena adanya


stimulasi pada nukleus Edinger-Westphal nervus
okulomotorius.

e. Kekakuan otot mungkin terjadi setelah pemberian


opioid, khususnya pada dada, perut, dan saluran nafas
atas, terlihat sebagai ketidakmampuan pasien untuk
bernafas. Kejadian kaku otot meningkat seiring dengan
potensi obat, dosis, frekuensi pemberian, dan
penggunaan nitrit oksida. Kekakuan ini dapat
dihilangkan dengan pemberian neuromuskular relaksan
atau antagonis opioid. Kekakuan berkurang setelah
pemberian dosis sedatif benzodiazepin atau propofol
sebelumnya.

f. Sistem gastrointestinal
11. Anestesi Intravena dan Inhalasi 190

(1) Menyebabkan tertundanya pengosongan lambung


dan mengurangi sekresi intestinal. Tekanan kolon
dan spingter meningkat, peristaltik menurun.

(2) Meningkatkan tekanan bilier dan mungkin


menghasilkan kolik bilier; spasme spingter Oddi
dapat mencegah aliran cairan di dalam duktus.
Kasus ini jarang terjadi pada penggunaan agonis-
antagonis opioid.

g. Mual dan muntah dapat terjadi karena stimulasi


langsung pada chemoreceptor trigger zone. Mual sering
terjadi pada pasien yang bergerak.

h. Retensi urin mungkin terjadi karena peningkatan


tekanan pada spingter vesika urinaria dan
penghambatan refleks detrusor (kencing). Mungkin
juga terjadi penurunan perasaan ingin kencing.

i. Reaksi alergi jarang, meskipun reaksi anafilaksis


(histamin) terlihat pada penggunaan morfin dan
meperidin.

j. Interaksi obat. Pemberian meperidin pada pasien yang


telah mendapatkan inhibitor monoamin oksida dapat
menyebabkan delirium atau hipertermi dan mungin
bisa fatal.

4. Dosis dan pemberian. Opioid biasanya diberikan IV, secara


bolus atau infus. Dosis yang digunakan dapat dilihat pada
Tabel 11.2. Dosis klinis tiap orang berbeda-beda,
berdasarkan pada kondisi yang mendasari dan respon
klinis. Dosis besar mungkin diperlukan pada pasien yang
telah mendaparkan opioid dalam jangka waktu lama.

5. Nalokson adalah antagonis opioid murni untuk mencegah


efek opioid yang tidak diduga atau tidak diinginkan seperti
depresi nafas dan SSP.

a. Cara kerja. Nalokson adalah antagonis kompetitif


reseptor opioid pada otak dan medula spinalis.

b. Farmakokinetik

(1) Efek puncak terlihat pada 1 sampai 2 menit;


penurunan efek klinis yang signifikan terlihat
setelah 30 menit pemberian karena redistribusi.

(2) Dimetabolisme oleh hati.

c. Farmakodinamik
191 BAGIAN II. Pemberian Anestesi

(1) Melawan efek farmakologik opioid seperti depresi


nafas dan SSP.

(2) Dapat melewati plasenta; pemberian pada ibu


hamil sebelum persalinan akan menurunkan
depresi nafas neonatus yang disebabkan oleh
opioid.

d. Dosis dan pemberian: Depresi nafas perioperatif pada


dewasa dapat diterapi dengan 0,04 mg IV setiap 2
sampai 3 menit jika diperlukan.

e. Efek samping

(1) Nyeri. Dapat muncul mendadak sebagai tolerasi


melawan efek opioid. Hal ini mungkin dapat
disertai dengan perubahan mendadak pada
hemodinamik (misalnya hipertensi dan takikardi).

(2) Henti jantung. Pemberian nalokson, meskipun


jarang, menyebabkan edem paru dan henti jantung.

(3) Pemberian ulang mungkin diperlukan karena


durasi yang pendek.

II. Farmakologi anestesi inhalasi. Anestesi inhalasi sering diberikan


untuk mempertahankan anestesi umum tetapi juga bisa diberikan
sebagai induksi, khususnya pada pasien anak. Sifat umum anestesi
inhalasi dipaparkan pada Tabel 11.3. Dosis anestesi inhalasi
dinyatakan sebagai MAC, minimum alveolar concentration pada
satu atmosfer 50% pasien tidak memberikan respon terhadap
stimulus pembedahan.

A. Cara kerja

1. Nitrit oksida. Menghasilkan anestesi umum melalui


interaksi dengan membran selular SSP; mekanisme pasti
masih belum jelas.

2. Anestesi yang mudah menguap. Mekanisme pasti belum


diketahui. Berbagai kanal ion di SSP (termasuk reseptor
GABA, glisin, dan NMDA) terlihat sensitif terhadap anestesi
inhalasi dan mungkin memiliki peran penting.

B. Farmakokinetik

1. Nitrit oksida

a. Pengambilan dan eliminasi nitrit oksida relatif cepat


dibandingkan anestesi inhalasi lainnya, terutama
karena koefisien partisi gas darah yang rendah (0,47).

Tabel 11.3 Sifat anestesi inhalasi


11. Anestesi Intravena dan Inhalasi 192

Tekanan MAC (%
Koefisien Partisi
Uap a
hanya
(mmHg, Gas Darah Darah Otak dengan
Anestesi 20oC) (37oC) (37oC) O2)
Halotan 243 2,3 2,0 0,74
Enfluran 175 1,8 1,4 1,68
Isofluran 239 1,4 1,6 1,15
Desfluran 664 0,42 1,3 6,0
Sevofluran 157 0,69 1,7 2,05
Nitrit oksida 39.000 0,47 1,1 104
MAC, minimum alveolar concentration menghambat pergerakan pada respon terhadap insisi kulit
50% pasien.
a
Partisi koefisien gas darah berbading terbalik dengan tingkat induksi.

b. Nitrit oksida dieliminasi melalui ekshalasi.


c. Biotransformasi signifikan belum didemontrasikan.
2. Anestesi yang mudah menguap
a. Faktor yang mempengaruhi onset dan offset.
Konsentrasi anestesi di alveolar (FA) mungkin berbeda
secara signifikan dari konsentrasi anestesi yang
diinhalasi (FI). Laju kenaikan ratio dari kedua
konsentrasi ini (FA/FI) mempengaruhi kecepatan
induksi pada anestesi umum (Gambar 11.2). Dua proses
yang berlawanan, anestesi diantarkan ke dan diserap
dari alveoli, dipengaruhi FA/FI pada saat pemberian.
Faktor yang mempengaruhi penyerapan adalah:
(1) Partisi koefisien gas darah. Daya larut yang lemah
di darah menyebabkan penyerapan ke aliran darah
lemah, sehingga meningkatkan FA/FI. Daya larut
anestesi halogenasi yang mudah menguap dalam
darah meningkat, dengan cara yang belum
diketahui, pada hipotermi dan hiperlipidemi.
(2) Meningkatkan konsentrasi anestesi, dipengaruhi
oleh ukuran pipa, kadar gas segar yang dihirup, dan
penyerapan anestesi yang mudah menguap oleh
komponen pipa.
(3) Ventilasi alveolar. Meningkatkan kecepatan
ventilasi, tanpa merubah proses lain, berefek pada
pengantaran dan penyerapan anestesi, meningkat-
kan FA/FI. Efek ini akan lebih nyata dengan lebih
banyaknya agen yang larut dalam darah.
(4) Efek konsentrasi. Peningkatan FI, peningkatan
FA/FI juga terjadi. Untuk gas dengan FI yang tinggi
seperti nitrit oksida, banyak yang diserap ke dalam
darah, tetapi hal ini menyebabkan banyaknya
volume gas total yang hilang. Nitrit oksida yang
tersisa “terkonsentrasi”, dan penambahan anestesi
yang lebih banyak pada nafas selanjutnya akan
meningkatkan konsentrasi. Penyerapan volume gas
lebih banyak juga menyebabkan kekosongan yang
akan menarik lebih banyak gas segar ke alveoli,
dengan demikian meningkatkan FA dan menambah
tidal volume inspirasi. Efek konsantrasi
menjelaskan kenapa rasio FA/FI meningkat
Lebih cepat untuk nitrous oxide dibandingkan
desfluran meskipun partisi koefisien gas darah
untuk desfluran lebih kecil.
193 BAGIAN II. Pemberian Anestesi

(5) Efek gas kedua. Ini adalah hasil langsung dari


efek konsentrasi. Ketika nitrous oxide dan anestesi
inhalasi ampuh dikelola bersama-sama, penyerapan
nitrogen oksida mengkonsentrasikan gas "kedua"
(misalnya isoflurane) dan meningkatkan masukan
tambahan dari gas kedua ke alveoli melalui
pembesaran volume terinspirasi.
(6) Cardiac output. peningkatan cardiac output
(dan aliran darah pulmonary) akan meningkatkan
penyerapan zat anestesi dan dengan demikian
menurunkan laju kenaikan FA/F1. Penurunan curah
jantung akan memiliki efek sebaliknya. efek curah
jantung Ini lebih jelas dengan sirkuit
nonrebreathing atau anestesi volatil dan paling
menonjol di awal perjalanan masuknya anestesi.
(7) Gradien antara alveolar dan darah vena.
Penyerapan anestesi dalam darah akan menurun
sebagai i gradien tekanan parsial antara alveoli dan
penurunan darah. Gradien ini sangat besar di awal
perjalanan dari masuknya anestesi.

B. Distribusi dalam jaringan. Tekanan parsial anestesi


inhalasi dalam darah arteri biasanya mendekati tekanan
alveolar nya. Tekanan parsial arteri mungkin kurang
signifikan, namun, ketika ditandai kelainan ventilasi-
perfusi (misalnya, shunt) yang hadir, terutama dengan
anestesi nonvolatile (misalnya, nitrat oksida). Tingkat
keseimbangan tekanan parsial anestesi antara darah
dan sistem organ tertentu tergantung pada faktor-
faktor berikut:

(1) aliran darah jaringan. keseimbangan terjadi lebih


cepat pada jaringan yang menerima peningkatan
perfusi. Sistem organ yang paling tinggi menerima
perfusi sekitar 75% dari cardiac output, organ-organ ini
termasuk otak, ginjal, jantung, hati, dan kelenjar
endokrin dan disebut sebagai kelompok kaya pembuluh
darah.. Sisa dari cardiac output memperdarahi erutama
otot dan lemak.

2) kelarutan jaringan. Untuk tekanan parsial arteri


anestesi yang diberikan, obat anestesi dengan kelarutan
jaringan tinggi lebih lambat untuk menyeimbangkan.
Kelarutan dari agen anestesi berbeda antara jaringan.
Koefisien partisi Darah otak agen inhalasi ditunjukkan
pada tabel 11.3

(3) Gradient antara darah arteri dan jaringan. Sampai


keseimbangan tercapai antara tekanan parsial anestesi
dalam darah dan jaringan tertentu, gradien ada yang
mengarah ke penyerapan obat bius oleh jaringan.
Tingkat serapan akan berkurang karena gradien
menurun.
11. Anestesi Intravena dan Inhalasi 194

C. Eliminasi

(1) Ekshalasi. Ini adalah rute utama dari eliminasi. Setelah


penghentian, jaringan obat bius dan penurunan tekanan
parsial alveolar dengan membalik proses yang terjadi ketika
anestesi dimasukkan.

(2) Metabolisme. Anestesi volatile dapat mengalami berbagai


tingkat metabolisme hati (halotan, 15%, enfluran, 2% sampai
5%, 1,5% sevoflurane, isoflurane, <0,2%, desfluran, <0,2).
Ketika konsentrasi agen anestesi yang hadir, metabolisme
mungkin memiliki pengaruh yang kecil pada konsentrasi
alveolar karena kejenuhan enzim hati. Setelah penghentian
obat bius, metabolisme dapat menyebabkan penurunan
konsentrasi alveolar, namun pengaruhnya tidak signifikan
secara klinis.
(3) kehilangan anestesi. Anestesi inhalasi dapat kehilangan
lewat kulit dan melalui membran viseral, meskipun kerugian
tersebut mungkin dapat diabaikan.

C. Farmakodinamik

1. Nitrous oxide
a. SSP
(1) menghasilkan analgesia
(2) Konsentrasi yang lebih besar dari 60% dapat menghasilkan
amnesia, meskipun tidak maksimal.
(3) Karena MAC nya tinggi (104%), biasanya dikombinasikan
dengan anestesi lain untuk mencapai anestesi bedah.
b. sistem kardiovaskular
(1) menekan ringan jantung dan stimulan sistem saraf
simpatik ringan.
(2) Denyut jantung dan tekanan darah biasanya tidak berubah.
(3) Dapat meningkatkan resistensi pembuluh darah paru pada
orang dewasa
c. Sistem pernapasan. Nitrous oxide ini adalah depresan
pernafasan ringan, meskipun kurang begitu besar daripada
anestesi volatil.
2. Anestesi volatil
a. SSP
(1) Menghasilkan ketidaksadaran dan amnesia pada
konsentrasi terinspirasi relatif rendah (25% MAC).
(2) Menghasilkan efek tergantung dosis umum depresi SSP dan
depresi aktivitas elektroensefalografik yang termasuk
penurunan ekstrem
(3) Menghasilkan penurunan amplitudo dan peningkatan
latensi potensial sel yang membangkitkan somatosensori.
(4) peningkatan CBF (halotan> enfluran> isoflurane,
sevofluran atau desflurane)
(5) Penurunan tingkat metabolisme serebral (isoflurane,
desflurane, atau sevoflurane> enfluran> halotan).
(6) autoregulasi dari CBF, penurunan tingkat metabolisme otak
195 BAGIAN II. Pemberian Anestesi

tidak menyebabkan penurunan CBF.


b. sistem kardiovaskular
(1) Menghasilkan dosis tergantung terhadap depresi miokard
(halotan> enfluran> isoflurane (desfluran atau sevoflurane)
dan sistemik vasodilatasi (isoflurane> desfluran atau
sevoflurane> enfluran> halotan).
(2) Denyut jantung cenderung tidak berubah, meskipun
desfluran telah dikaitkan dengan stimulasi symphatethic,
takikardia dan hipertensi pada induksi atau ketika konsentrasi
inspirasi yang tiba-tiba meningkat. Masuknya isoflurane dapat
menyebabkan efek yang sama, tetapi tingkat yang lebih rendah
daripada desfluran.
(3) sensitisasi miokardium terhadap efek arrhthmogenic dari
katekolamin (halotan> enfluran> isoflurane> atau desfluran>
sevofluran), yang menjadi perhatian khusus selama infiltrasi
epinefrin yang mengandung cairan atau masuknya agen
symphatomimethic. Dengan halotan, subkutan infiltrasi dengan
epinefrin tidak boleh melebihi 2 μg/kg/20 menit. Dalam
subkelompok pasien dengan penyakit arteri koroner, isoflurane
dapat mengarahkan aliran koroner jauh dari daerah iskemik,
signifikansi klinis ini tidak jelas.

C. Sistem pernapasan
(1) Menghasilkan dosis tergantung depresi pernafasan dengan
penurunan volume tidal, peningkatan laju pernapasan dan
peningkatan tekanan CO2 arteri.
(2) Menghasilkan iritasi saluran napas (desfluran> isoflurane>
enflurane.halothane> sevofluran) dan selama tingkat ringan
anestesi, mungkin endapan batuk, spasme laring, atau
bronkospasme, terutama pada pasien yang merokok atau
memiliki asma. Semakin rendah pada halotan dan sevoflurane
dan dapat membuat mereka lebih cocok sebagai agen induksi
inhalasi.
(3) dosis equipotent volatile agen dimiliki efek bronkodilator
yang sama dengan pengecualian desfluran, yang memiliki
aktivitas bronchoconstricting ringan.
D. Sistem otot
(1) Menghasilkan penurunan dosis tergantung pada otot,
sering meningkatkan kondisi bedah.
(2) Dapat memicu hipertermia ganas pada pasien yang rentan
E. Hati. Dapat menyebabkan penurunan perfusi hepatik
(halotan> enfluran> isoflurane, desflurane, atau sevofluran).
Jarang, pasien dapat mengalami hepatitis sekunder akibat
paparan agen volatile, terutama agen halotan ("hepatitis
halotan")
F. sistem ginjal. Penurunan aliran darah ginjal baik melalui
penurunan tekanan darah arteri rata-rata atau peningkatan
resistensi pembuluh darah ginjal.
11. Anestesi Intravena dan Inhalasi 196

Masalah D. berhubungan dengan agen khusus


1. Nitrous oxide
a. Perluasan ruang gas tertutup. Yang dominan dalam ruang gas
tertutup dalam tubuh adalah nitrogen. Karena oksida nitrat
adalah 31 kali lebih mudah larut dalam darah dari nitrogen,
ruang udara tertutup akan memperluas nitrous oxide
menyebar ke ruang-ruang lebih besar dari jumlah nitrogen
menyebarkan keluar. Ruang berisi udara seperti
pneumotoraks, telinga tengah tersumbat, lumen usus, atau
pneumocephalus nyata akan membesar jika nitrous oxide
diberikan. Nitrous oxide akan berdifusi ke dalam manset dari
tabung endotrakeal dan dapat meningkatkan tekanan di dalam
manset, tekanan ini harus dinilai sebentar-sebentar dan jika
perlu, disesuaikan.
b.diffusion hipoksia. Setelah penghentian nitrous oxide, difusi
cepat dari darah ke paru-paru dapat menyebabkan tekanan
parsial rendah oksigen dalam alveoli, menyebabkan hipoksia
dan hipoksemia jika oksigen tidak diberikan.
c. Penghambatan sintesis tetrahydrofolate. N2O menginaktivasi
sintetase metionin, vitamin B12 tergantung enzim yang
diperlukan untuk sintesis DNA. Nitrous oxide harus digunakan
dengan hati-hati pada pasien hamil dan orang-orang
kekurangan vitamin B12
2. Desfluran bisa didegradasi menjadi karbon monoksida
dalam absorben karbon dioksida (terutama baralyme). Hal ini
kemungkinan besar terjadi ketika penyerap baru kering dari
bagian volume besar gas kering, beberapa kasus keracunan
karbon monoksida klinis signifikan telah dilaporkan.
3. Sevofluran bisa terdegradasi dalam absorben CO2 (terutama
baralyme) ke fluoromethyl -2,2,-difluoro-1-vinil eter (senyawa
A), yang telah terbukti untuk menghasilkan toksisitas ginjal
pada hewan model.. Sejauh ini, belum ada bukti toksisitas
ginjal konsisten dengan penggunaan sevofluran pada manusia.
4. Enfluran dapat menghasilkan aktivitas epileptiform
elektroensefalografik pada konsentrasi terinspirasi tinggi (>
2%).

Anda mungkin juga menyukai