Anda di halaman 1dari 3

Catcalling, wajarkah?

Istilah Catcall mungkin masih menjadi hal yang belum banyak diketahui oleh
banyak orang. Namun, di era teknologi yang serba canggih ini semua hal bisa kita
temukan jawabannya melalui Google. Bahkan, tidak perlu menghabiskan waktu
untuk mengetik. Gunakan saja fitur ‘Google Assistant’ atau ‘Talk to Google’ maka
hasil pencarian akan muncul dalam waktu sepersekian detik. Ketika saya
mengucapkan “Ok Google, define catcall” hasil pertama yang muncul adalah
pengertian dari Google Translate yang menyatakan bahwa cat·call: make a
whistle, shout, or comment of a sexual nature to a woman passing by. Hal ini
secara sederhana dapat diartikan ke dalam Bahasa Indonesia yang berarti siulan
atau komentar yang ditujukan kepada wanita dan menjurus ke arah seksual.

Pada awalnya, definisi catcall sama sekali bukan menjurus kepada hal berbau
seksual, melainkan memang istilah catcall ini bertujuan untuk membuat seseorang
atau sekelompok orang tidak nyaman di depan publik. Di pertengahan abad ke-17,
catcall adalah istilah untuk suara-suara yang dibuat oleh penonton untuk
mengungkapkan ketidaksetujuan pada saat pertunjukan teater atau pertandingan
olahraga. Seiring berjalannya waktu, istilah catcall ini semakin menyatu dengan
keadaan di lingkungan sekitar yang intinya sama-sama membuat orang lain
(kebanyakan adalah perempuan) tidak nyaman. Sehingga, muncullah istilah catcall
dengan artian yang kita kenal sekarang ini.

Memasuki fase hidup sebagai seorang mahasiswa yang menguras banyak waktu
dan energi, tak jarang kita jadi sering pulang malam. Entah karena ada kelas
malam, rapat organisasi, mengerjakan tugas, atau sekedar nongkrong bersama
teman-teman. Disinilah biasanya peluang terjadinya catcalling cukup besar.

Dari hasil penelitian kecil-kecilan pada fitur Instagram story saya, diperoleh bahwa
86% responden pernah mengalami tindakan catcalling. Secara umum, perempuan
masih dijadikan sebagai objek catcalling, namun tak sedikit pula laki-laki yang
mengaku bahwa mereka pernah menjadi korban catcalling. Perlu diketahui, bahwa
catcalling itu sendiri termasuk ke dalam bentuk kekerasan seksual verbal, lho! Tak
hanya itu, tindakan catcalling ini bisa saja berlanjut melalui kontak fisik yang
sangat membahayakan korban sehingga dapat dikategorikan sebagai kekerasan
seksual. Dari sini, juga dapat diketahui bahwa catcalling merupakan sebuah bentuk
dari seksisme yang secara sederhana merupakan pendiskriminasian terhadap suatu
gender tertentu. Seksisme umumnya terjadi pada perempuan, karena perempuan
dianggap lebih rendah atau tidak mampu dalam melakukan sesuatu. Meskipun
demikian, dari hasil penelitian saya terlihat bahwa tanpa kita sadari sebenarnya
tidak jarang juga kita melakukan tindakan seksisme ini kepada laki-laki.
Sayangnya, hal-hal tersebut sering terjadi di kehidupan sehari-hari dan bahkan
sudah dianggap biasa bahkan dimaklumi karena dianggap sebagai sesuatu yang
wajar oleh masyarakat.

Lantas, bagaimana kita menyikapinya? Dari penelitian kecil-kecilan saya 88%


responden yang pernah menjadi korban catcalling mengambil sikap ‘mengabaikan’
tindakan catcalling tersebut dengan cara berjalan melengos, memasang earphone
atau bermain handphone. Sisanya, atau sekitar 12% memilih untuk ‘melawan’
dengan cara membalas sambil berteriak, misalnya. Keduanya memang tidak bisa
disalahkan. Hal paling mudah memang dengan cara mengabaikannya, namun di
satu sisi tidak menimbulkan efek jera kepada para pelaku catcalling. Tindakan
sebaliknya adalah melawan yang terkesan berani, namun justru bisa
memperpanjang masalah. Dilemma, ya?

Bagi yang sudah pernah menonton serial TV 13 Reasons Why atau membaca
novelnya, pasti tahu dong bagaimana sedih dan terpuruknya menjadi sang tokoh
utama, Hannah Baker, saat menjadi korban catcalling di lingkungannya? Benar.
Korban catcalling tentu saja merasa terganggu, takut, bahkan dapat menyebabkan
ending yang tragis seperti yang dialami oleh Hannah Baker. Namun, para pelaku
catcalling sepertinya tidak menyadari hal tersebut. Mungkin menurut mereka,
alasan melakukan catcalling tersebut hanya sekedar iseng belaka atau mencari
perhatian (yang tentunya sangat menyedihkan).

Kembali kepada judul, catcalling wajarkah?

Sebagai manusia yang hidup berdampingan dengan manusia lain, tentunya kita
harus menjunjung tinggi HAM. Dimana semua orang, baik laki-laki maupun
perempuan, memiliki hak untuk merasa aman, tanpa adanya siulan-siulan maupun
panggilan-panggilan yang tidak pantas.

Untuk itu, marilah perkaya diri kita dengan pengetahuan akan hal ini. Cobalah
untuk lebih peduli dengan isu-isu di sekitar kita. Kita juga perlu lebih peka dengan
menghindari diri menjadi subjek yang justru menyudutkan gender tertentu. Karena
pada intinya, setiap orang ingin dihargai sebagai seorang manusia.

Anda mungkin juga menyukai