Anda di halaman 1dari 24

SISTEM MUSKULOSEKLETAL

SPONDILITIS

OLEH :

KELOMPOK 2

ABDUL KHOLIL NIM : 1714314201051

RINI HANDAYANI NIM 1714314201045

YULIUS PANCA SEPUTRA NIM 1714314201049

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAHARANI MALANG
2017
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul........................................................................................................... i
Kata Pengantar......................................................................................................... ii
Daftar Isi................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
A. Latar Belakang..................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................................ 2
C. Tujuan.................................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................... 3
A. Pengertian Spondilitis.......................................................................................... 3
B. Etiologi Spondilitis.............................................................................................. 4
C. Patofisiologi Spondilitis ...................................................................................... 5
D. Manifestasi Klinik Spondilitis............................................................................. 7
E. Pemeriksaan Diagnosis......................................................................................... 8
F. Terapi Spondilitis................................................................................................ 10
BAB III PENUTUP............................................................................................ 16
A. Kesimpulan ....................................................................................................... 16
B. Saran.................................................................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Spondylitis merupakan penyakit peradangan pada tulang belakang. Keadaan ini
dapat terjadi akibat adanya infeksi dari bakteri. Spondylitis ada 2 macam yaitu
spondylitis tuberculosa dan spondylitis ankilosa.
Spondilitis ankilosis (SA) merupakan penyakit inflamasi kronik, bersifat sistemik,
ditandai dengankekakuan progresif, dan terutama menyerang sendi tulang belakang
(vertebra) dengan penyebab yang tidak diketahui. Penyakit ini dapat melibatkan sendi-
sendi perifer, sinovia, dan rawan sendi, serta terjadi osifikasitendon dan ligamen yang
akan mengakibatkan fibrosis dan ankilosis tulang. Terserangnya sendi
sakroiliakamerupakan tanda khas penyakit ini. Ankilosis vertebra biasanya terjadi pada
stadium lanjut dan jarangterjadi pada penderita yang gejalanya ringan. Nama lain SA
adalah Marie Strumpell disease atau Bechterew's disease
Spondylitis tuberculosis pertama kali dideskripsikan oleh Percival Pott pada tahun
1779 yangmenemukan adanya hubungan antara kelemahan alat gerak bawah dengan
kurvatura tulangbelakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan dengan basil
tuberkulosa hingga ditemukannyabasil tersebut oleh Koch tahun 1882, sehingga etiologi
untuk kejadian tersebut menjadi jelas.Di waktu yang lampau, spondilitis tuberkulosa
merupakan istilah yang dipergunakanuntuk penyakit pada masa anak-anak, yang
terutama berusia 3– 5 tahun. Saat ini dengan adanyaperbaikan pelayanan kesehatan,
maka insidensi usia ini mengalami perubahan sehingga golonganumur dewasa menjadi
lebih sering terkena dibandingkan anak-anak.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian spondilitis?
2. Apa etiologi spondilitis?
3. Bagaimana patofisiologi spondilitis?
4. Apa saja manifestasi klinik spondilitis?
5. Apa saja pemeriksaan diagnosa spondilitis?
6. Apa saja terapi spondilitis?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian spondilitis
2. Untuk mengetahui etiologi spondilitis
3. Untuk mengetahui patofisiologi spondilitis
4. Untuk mengetahui manifestasi klinik spondilitis
5. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnosa spondilitis
6. Untuk mengetahui terapi spondilitis
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Dalam kamus keperawatan spondilitis adalah inflamasi vertebra. Spondilitis
adalah Inflamasi pada tulang vertebrae yang bisa disebabkan oleh beberapa hal,
misalnya proses infeksi, imunitas. Spondylitis merupakan penyakit peradangan pada
tulang belakang. Keadaan ini dapat terjadi akibat adanya infeksi dari bakteri.
Spondylitis ada 2 macam yaitu spondylitis tuberculosa dan spondylitis ankilosa.
Spondilitis ankilosis Berasal dari bahasa Yunani, dari kata : ankylos = melengkung
spondylos = vertebra adalah merupakan penyakit inflamasi kronik, bersifatsistemik,
ditandai dg kekakuan progresif dan terutama menyerangsendi tulang belakang
(vertebra) dengan penyebab yg tidak diketahui. Penyakit ini daapt melibatkan sendi-
sendi perifer,sinovial dan rawan sendi, serta terjadi osifikasi tendon dan ligamen yg
akan mengakibatkn fibrosis dan ankilosis tulang.
Spondilitis tuberculosa adalah infeksi yang sifatnya kronis berupa infeksi
granulomatosis di sebabkan oleh kuman spesifik yaitu mycubacterium tuberculosa yang
mengenai tulang vertebra. Tuberkulosis yang menyerang vertebra disebut dengan
spondilitis Tuberkulosis. Spondilitis tuberkulosis ini disebut juga dengan Pott
Desease jika disertai dengan paraplegi atau defisit neurologis. Spondilitis tuberkulosis
sering mengenai thorakal 8 hingga lumbal 3, dan sering mengenai bagian korpus
vertebra.

B. ETIOLOGI
1. Spondilitis tuberculosa
Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus).
Bakteri yang paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium
tuberculosis, walaupun spesies Mycobacterium yang lainpun dapat juga bertanggung
jawab sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium africanum (penyebab paling
sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus, ataupun non
tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita HIV)(7,10). Perbedaan
jenis spesies ini menjadi penting karena sangat mempengaruhi pola resistensi obat.
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat acid-
fastnon-motile dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara yang konvensional.
Dipergunakan teknik Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya. Bakteri tubuh
secara lambat dalam media egg-enriched dengan periode 6-8 minggu. Produksi
niasin merupakan karakteristik Mycobacterium tuberculosis dan dapat membantu
untuk membedakannnya dengan spesies lain.

2. Spondilitis ankilosis
Patogenesis pada SA tidak begitu dipahami, tetapi SA merupakan penyakit
yang diperantari olehsistem imun, dibuktikan dengan adnya peningkatan IgA dan
berhubungan erat dengan HLA B27. Secaraimunologi terdapat interaksi antara class I
HLA molecule B27 dan Limfosit T. Tumor necrosis factor (TNF- ) teridentifikasi
sebagai pengatur sitokin. Kecenderungan terjadinya SA dipercayai sebagai penyakit
yang diturunkan secara genetik, danmayoritas (hampir 90%) penderita SA lahir
dengan suatu gen yang disebut dengan HLA B27.
Pada pemeriksaan darah dapat ditemukan adanya HLA B27 gene
marker yang dapat menjelaskan adanyahubungan HLA B27 dengan SA. Adanya gen
HLA B27 ini hanya menunjukan adanya kecenderungan yangmeningkat terhadap
terjadinya SA ini meskipun ada faktor lain yang mempengaruhi seperti
lingkungan.Akhir-akhir ini, dua gen lain telah teridentifikasi berhubungan dengan
SA, yaitu ARTS1 dan Il23R yangmempunyai peran dalam mempengaruhi fungsi
imunitas.

C. PATOFISIOLOGI
1. Spondilitis tuberculosa
Infeksi tuberkulosa pada awalnya mengenai tulang cancellous dari vertebra.
Area infeksi secara bertahap bertambah besar dan meluas, berpenetrasi ke dalam
korteks tipis korpus vertebra sepanjang ligamen longitudinal anterior, melibatkan dua
atau lebih vertebrae yang berdekatan melalui perluasan di bawah ligamentum
longitudinal anterior atau secara langsung melewati diskus intervertebralis.
Terkadang dapat ditemukan fokus yang multipel yang dipisahkan oleh vertebra yang
normal, atau infeksi dapat juga berdiseminasi ke vertebra yang jauh melalui abses
paravertebral. Terjadinya nekrosis perkijuan yang meluas mencegah pembentukan
tulang baru dan pada saat yang bersamaan menyebabkan tulang menjadi avascular
sehingga menimbulkan tuberculous sequestra, terutama di regio torakal. Discus
intervertebralis, yang avaskular, relatif lebih resisten terhadap infeksi tuberkulosa.
Penyempitan rongga diskus terjadi karena perluasan infeksi paradiskal ke dalam
ruang diskus, hilangnya tulang subchondral disertai dengan kolapsnya corpus
vertebra karena nekrosis dan lisis ataupun karena dehidrasi diskus, sekunder karena
perubahan kapasitas fungsional dari end plate. Suplai darah juga akan semakin
terganggu dengan timbulnya endarteritis yang menyebabkan tulang menjadi
nekrosis.
Destruksi progresif tulang di bagian anterior dan kolapsnya bagian tersebut
akan menyebabkan hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk menahan berat badan
sehingga kemudian akan terjadi kolaps vertebra dengan sendi intervertebral dan
lengkung syaraf posterior tetap intak, jadi akan timbul deformitas berbentuk kifosis
yang progresifitasnya (angulasi posterior) tergantung dari derajat kerusakan, level
lesi dan jumlah vertebra yang terlibat. Bila sudah timbul deformitas ini, maka hal
tersebut merupakan tanda bahwa penyakit ini sudah meluas.
2. Spondilitis ankilosis
Penyakit ini bersifat kronis dan progresif yang menyerang pada sendi
sakroiliakal dan sendi panggul serta sendi-sendi sinovial pada spiral. Inti kuman
biasanya merusak spongiosa korpus vertebra. Bagian-bagian intervertebra menjadi
meradang dan akhirnya terjadi fusi atau kekakuan atau persatuan tulang pada sendi
sakriliakal dan spinal-spinal yang melalui servikal.
Proses fusi ini terjadi setelah 10-20 tahun, penyakit ini dapat timbul pada usia 10-30
tahun dan biasanya menjadi progresif setelah 50 tahun dan lebih banyak terjadi pada
laki-laki.
D. MANIFESTASI KLINIK
1. Spondilitis tuberculosa
Seperti manifestasi klinik pasien TB pada umumnya, pasien mengalami
keadaan sebagai berikut, berat badan menurun selama 3 bulan berturut-turut tanpa
sebab yang jelas, demam lama tanpa sebab yang jelas, pembesaran kelenjar limfe
superfisial yang tidak sakit, batuk lebih dari 30 hari, terjadi diare berulang yang
tidak sembuh dengan pengobatan diare disertai benjolan/masa di abdomen dan
tanda-tanda cairan di abdomen. Manifestasi klinis pada spondilitis TB tidak dite-
mukan pada bayi di bawah 1 tahun. Penyakit ini baru muncul setelah anak belajar
berjalan atau melompat. Gejala pertama biasanya dikeluhkan adanya benjolan pada
tulang belakang yang disertai oleh nyeri. Untuk mengurangi rasa nyeri, pasien akan
enggan menggerakkan punggungnya, sehingga seakan-akan kaku. Pasien akan
menolak jika diperintahkan untuk membungkuk atau mengangkat barang dari lantai.
Nyeri tersebut akan berkurang jika pasien beristirahat
. Keluhan deformitas pada tulang belakang (kyphosis) terjadi pada 80% kasus
disertai oleh timbulnya gibbus yaitu punggung yang membungkuk dan membentuk
sudut, merupakan lesi yang tidak stabil serta dapat berkembang secara progresif.
Terdapat 2 tipe klinis kiposis yaitu mobile dan rigid. Pada 80% kasus, terjadi kiposis
100, 20% kasus memiliki kiposis lebih dari 100 dan hanya 4% kasus lebih dari 300.
Kelainan yang sudah berlangsung lama dapat disertai oleh paraplegia ataupun tanpa
paraplegia. Abses dapat terjadi pada tulang belakang yang dapat menjalar ke rongga
dada bagian bawah atau ke bawah ligamen inguinal.
Paraplegia pada pasien spondilitis TB dengan penyakit aktif atau yang dikenal
dengan istilah Pott’s paraplegi, terdapat 2 tipe defisit neurologi ditemukan pada
stadium awal dari penyakit yaitu dikenal dengan onset awal, dan paraplegia pada
pasien yang telah sembuh yang biasanya berkembang beberapa tahun setelah
penyakit primer sembuh yaitu dikenal dengan onset lambat.
2. Spondilitis ankilosis
a. Nyeri punggung, yang pada permulaan penyakit tidak khas.
b. Tanda – tanda peradangan pembuluh darah (vesculitis).
c. Purpura karena trombosit turun tanpa penyebab yang jelas (Ideophatic
Thrombositopenic purpura = ITP).
d. Limpoma.
e. Pericarditis karena virus.
f. Penyebab kematin karena terjadi gangguan pembuluh darah disertai hipetensi
pulmonal atau gagal ginjal.
g. Gejala sistemik timbul pada 1/3 penderita (misalnya, peradangan uvea akut) dan
seringnya bias sembuh sendiri tanpa pengobatan.
h. Gejala gangguan saraf, biasanya karena radiculitis dan sciatica dari patah tulang
belakang atau pergeseran ruas tulang belakang.
i. Sindroma cauda equine (impoten, pengeluaran air seni tidak terkontrol, gangguan
persarafan rektum, dan gangguan refleks sendi lutut).
j. Gejala kardiovaskuler seperti angina, fungsi aorta menurun, radang selaput jantung
(pericarditis), dan kelainan gambaran EKG.
k. Kelainan yang jarang, terjadi fibrosis lobus atau paru.

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSA
1. Spondilitis tuberculosa
Pemeriksaan rutin yang biasa dilakukan untuk menentukan adanya infeksi
Mycobacterium tuberculosis adalah dengan menggunakan uji tuberkulin (Mantoux
tes). Uji tuberkulin merupakan tes yang dapat mendeteksi adanya infeksi tanpa
adanya menifestasi penyakit, dapat menjadi negatif oleh karena anergi yang berat
atau kekurangan energi protein. Uji tuberkulin ini tidak dapat untuk menentukan
adanya TB aktif. Pemeriksaan laju endap darah (LED) dilakukan dan LED yang
meningkat dengan hasil >100 mm/jam. Pemeriksaan radiologi pada tulang belakang
sangat mutlak dilaksanakan untuk melihat kolumna vertebralis yang terinfeksi pada
25%-60% kasus. Vertebra lumbal I paling sering terinfeksi. Pemeriksaan radiologi
dapat ditemukan fokus infeksi pada bagian anterior korpus vertebre dan menyebar ke
lapisan subkondral tulang.
Pada beberapa kasus infeksi terjadi di bagian anterior dari badan vertebrae
sampai ke diskus intervertebrae yang ditandai oleh destruksi dari end plate. Elemen
posterior biasanya juga terkena. Penyebaran kediskus intervertebrae terjadi secara
langsung sehingga menampakkan erosi pada badan vertebra anterior yang
disebabkan oleh abses jaringan lunak. Ketersediaan computerized tomography scan
(CT scan) yang tersebar luas dan magnetic resonance scan (MR scan) telah me-
ningkat penggunaannya pada manajemen TB tulang belakang. CT scan dikerjakan
untuk dapat menjelaskan sklerosis tulang belakang dan destruksi pada badan
vertebrae sehingga dapat menentukan kerusakan dan perluasan ekstensi posterior
jaringan yang mengalami radang, material tulang, dan untuk mendiagnosis keter-
libatan spinal posterior serta keterlibatan sacroiliac join dan sacrum. Hal tersebut
dapat membantu memandu biopsi dan intervensi perencanaan pembedahan.
Pemeriksaan CT scan diindikasikan bila pemeriksaan radiologi hasilnya
meragukan. Gambaran CT scan pada spondilitis TB tampak kalsifikasi pada psoas
disertai dengan adanya kalsifikasi periperal.9 Magnetic resonance imaging (MRI)
dilaksanakan untuk mendeteksi massa jaringan, appendicular TB, luas penyakit, dan
penyebaran subligamentous dari debris tuberculous.Biopsi tulang juga dapat
bermanfaat pada kasus yang sulit, namun memerlukan tingkat pengerjaan dan
pengalaman yang tinggi serta pemeriksaan histologi yang baik. Pada pemeriksaan
histologi akan ditemukan nekrosis kaseosa dan formasi sel raksasa, sedangkan
bakteri tahan asam tidak ditemukan dan biakan sering memberikan hasil yang
negatif.
2. Spondilitis ankilosis
a. Laju endap darah meningkat.
b. Protein C-reactif meningkat.
c. Kadar lg dalam serum meningkat.
d. IgM rheumatic factor, negatif.
e. Antibody antinuclear, negative.
f. Test HLA-B27 positif, tetapi lebih berarti bila hasilnya negatif untuk menyingkirkan
penyakit spondilitis.
g. Pada gambaran rontgen, terlihat erosi subchondral yang kemudian mengalami
nekrosis dan penyempitan rongga sendi tulang panggul.
F. TERAPI
1. Spondilitis tuberculosa
a. Pemberian nutrisi yang bergizi
b. Pemberian kemoterapi atau terapi anti tuberkulosa. Pemberian kemoterapi anti
tuberkulosa merupakan prinsip utama terapi pada seluruh kasus termasuk
tuberkulosa tulang belakang. Pemberian dini obat antituberkulosa dapat secara
signifikan mengurangi morbiditas dan mortalitas. Hasil penelitian Tuli dan Kumar
dengan 100 pasien di India yang menjalani terapi dengan tiga obat untuk
tuberkulosa tulang belakang menunjukkan hasil yang memuaskan. Mereka
menyimpulkan bahwa untuk kondisi negara yang belum berkembang secara
ekonomi manajemen terapi ini merupakan suatu pilihan yang baik dan kesulitan
dalam mengisolasi bakteri tidak harus menunda pemberian terapi. Adanya pola
resistensi obat yang bervariasi memerlukan adanya suatu pemantauan yang ketat
selama pemberian terapi, karena kultur dan uji sensitivitas terhadap obat anti
tuberculosa memakan waktu lama (kurang lebih 6-8 minggu) dan perlu biaya yang
cukup besar sehingga situasi klinis membuat dilakukannya terapi terlebih dahulu
lebih penting walaupun tanpa bukti konfirmasi tentang adanya tuberkulosa.
Adanya respon yang baik terhadap obat antituberculosa juga merupakan suatu
bentuk penegakkan diagnostik.
c. Obat anti tuberkulosa yang utama adalah isoniazid (INH), rifamipicin (RMP),
pyrazinamide (PZA), streptomycin (SM) dan ethambutol (EMB).

Obat antituberkulosa sekuder adalah para-aminosalicylic acid (PAS),


ethionamide, cycloserine, kanamycin dan capreomycin.
Di bawah adalah penjelasan singkat dari obat anti tuberkulosa yang primer:
(1) Isoniazid (INH)
(a) Bersifat bakterisidal baik di intra ataupun ekstraseluler
(b) Tersedia dalam sediaan oral, intramuskuler dan intravena.
(c) Bekerja untuk basil tuberkulosa yang berkembang cepat.
(d) Berpenetrasi baik pada seluruh cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal.
(e) Efek samping : hepatitis pada 1% kasus yang mengenai lebih banyak pasien
berusia lanjut usia, peripheral neuropathy karena defisiensi piridoksin secara
relatif (bersifat reversibel dengan pemberian suplemen piridoksin).
(f) Relatif aman untuk kehamilanDosis INH adalah 5 mg/kg/hari – 300 mg/hari
(2) Rifampin (RMP)
(a) Bersifat bakterisidal, efektif pada fase multiplikasi cepat ataupun lambat dari
basil, baik di intra ataupun ekstraseluler.
(b) Keuntungan : melawan basil dengan aktivitas metabolik yang paling rendah
(seperti pada nekrosis perkijuan).
(c) Lebih baik diabsorbsi dalam kondisi lambung kosong dan tersedia dalam
bentuk sediaan oral dan intravena.
(d) Didistribusikan dengan baik di seluruh cairan tubuh termasuk cairan
serebrospinal.
(e) Efek samping yang paling sering terjadi : perdarahan pada traktus
gastrointestinal, cholestatic jaundice, trombositopenia dan dose dependent
peripheral neuritis. Hepatotoksisitas meningkat bila dikombinasi dengan
INH.
(f) Relatif aman untuk kehamilan
(g) Dosisnya : 10 mg/kg/hari – 600 mg/hari.
(3) Pyrazinamide (PZA)
(a) Bekerja secara aktif melawan basil tuberkulosa dalam lingkungan yang
bersifat asam dan paling efektif di intraseluler (dalam makrofag) atau dalam
lesi perkijuan.
(b) Berpenetrasi baik ke dalam cairan serebrospinalis.
(c) Efek samping :
1. Hepatotoksisitas dapat timbul akibat dosis tinggi obat ini yang
dipergunakan dalam jangka yang panjang tetapi bukan suatu masalah bila
diberikan dalam jangka pendek.
2. Asam urat akan meningkat, akan tetapi kondisi gout jarang tampak.
Arthralgia dapat timbul tetapi tidak berhubungan dengan kadar asam
urat. Dosis : 15-30mg/kg/hari
(4) Ethambutol (EMB)
(a) Bersifat bakteriostatik intraseluler dan ekstraseluler
(b) Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal Efek samping :
toksisitas okular (optic neuritis) dengan timbulnya kondisi buta warna,
berkurangnya ketajaman penglihatan dan adanya central scotoma.
(c) Relatif aman untuk kehamilan
(d) Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal
(e) Dosis : 15-25 mg/kg/hari Streptomycin (STM)
(f) Bersifat bakterisidal
(g) Efektif dalam lingkungan ekstraseluler yang bersifat basa sehingga
dipergunakan untuk melengkapi pemberian PZA.
(h) Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal
(i) Efek samping : ototoksisitas (kerusakan syaraf VIII), nausea dan vertigo
(terutama sering mengenai pasien lanjut usia)
(j) Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal
(k) Dosis : 15 mg/kg/hari – 1 g/kg/hari

d. Peran steroid pada terapi medis untuk tuberculous radiculomyelitis masih


kontroversial. Obat ini membantu pasien yang terancam mengalami spinal block
disamping mengurangi oedema jaringan (Ogawa et.al 1987). Pada pasien-pasien
yang diberikan kemoterapi harus selalu dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis dan
pemeriksaan laboratorium secara periodik.
e. Istirahat tirah baring (resting) Terapi pasien spondilitis tuberkulosa dapat pula berupa
local rest pada turning frame / plaster bed atau continous bed rest disertai dengan
pemberian kemoterapi. Tindakan ini biasanya dilakukan pada penyakit yang telah
lanjut dan bila tidak tersedia keterampilan dan fasilitas yang cukup untuk melakukan
operasi radikal spinal anterior, atau bila terdapat masalah teknik yang terlalu
membahayakan. Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi
tulang belakangnya dalam posisi ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau fase
aktif. Pemberian gips ini ditujukan untuk mencegah pergerakan dan mengurangi
kompresi dan deformitas lebih lanjut. Istirahat di tempat tidur dapat berlangsung 3-4
minggu, sehingga dicapai keadaan yang tenang dengan melihat tanda-tanda klinis,
radiologis dan laboratorium.

Secara klinis ditemukan berkurangnya rasa nyeri, hilangnya spasme otot


paravertebral, nafsu makan dan berat badan meningkat, suhu badan normal. Secara
laboratoris menunjukkan penurunan laju endap darah, Mantoux test umumnya < 10 mm.
Pada pemeriksaan radiologis tidak dijumpai bertambahnya destruksi tulang, kavitasi
ataupun sekuester. Pemasangan gips bergantung pada level lesi. Pada daerah servikal
dapat diimobilisasi dengan jaket Minerva; pada daerah vertebra torakal, torakolumbal
dan lumbal atas diimobilisasi dengan body cast jacket; sedangkan pada daerah lumbal
bawah, lumbosakral dan sakral dilakukan immobilisasi dengan body jacket atau korset
dari gips yang disertai dengan fiksasi salah satu sisi panggul. Lama immobilisasi
berlangsung kurang lebih 6 bulan, dimulai sejak penderita diperbolehkan berobat jalan.
Terapi untuk Pott’s paraplegia pada dasarnya juga sama yaitu immobilisasi di plaster
shell dan pemberian kemoterapi. Pada kondisi ini perawatan selama tirah baring untuk
mencegah timbulnya kontraktur pada kaki yang mengalami paralisa sangatlah penting.
Alat gerak bawah harus dalam posisi lutut sedikit fleksi dan kaki dalam posisi netral.
Dengan regimen seperti ini maka lebih dari 60% kasus paraplegia akan membaik dalam
beberapa bulan. Hal ini disebabkan oleh karena terjadinya resorpsi cold abscess
intraspinal yang menyebabkan dekompresi. Seperti telah disebutkan diatas bahwa
selama pengobatan penderita harus menjalani kontrol secara berkala, dilakukan
pemeriksaan klinis, radiologis dan laboratoris. Bila tidak didapatkan kemajuan, maka
perlu dipertimbangkan hal-hal seperti adanya resistensi obat tuberkulostatika, jaringan
kaseonekrotik dan sekuester yang banyak, keadaan umum penderita yang jelek, gizi
kurang serta kontrol yang tidak teratur serta disiplin yang kurang.

2. Spondilitis ankilosis
a. Keluhan nyeri sendi perlu diobati segera, yang berfungsi untuk pencegahan dan
memperlambat timbulnya kelainan bentuk persendian. Juga untuk mengatasi keluhan
psiko-sosial si penderita.
b. Membaca dengan posisi tengkurap, dimana leher agak diangkat bias merelaksasikan
otot punggung.
c. Obat NSAID bermanfaat, agar latihan fisik masih bias dilakukan karena dapat
mengurangi nyer dan reaksi peradangan tulang belakang serta mengurangi kaku otot
punggung.
d. Obat kortikosteroid tidak boleh diberikan lama-lama da dalam dosis tinggi karena
bias timbul sebagai efek samping seperti osteoporosis.
e. Obat kortikosteroid topical diberikan langsung pada sendi bias menguntungkan.
Terutama bila sendi yang dikenal adalah sendi perifer dan berat.
f. Obat rheumatoid arthritis yang berefek lambat dapat diberikan melalui suntikan intra
muscular.
g. Sulfasalazine membantu meringankan keluhan bila sendi yang diserang adalah sendi
perifer, dengan dosis awal 500 mg/hari. Kemudian ditingkatkan menjadi 500mg/hari
dengan interval 1 minggu yang diberikan 2 kali sehari.
h. Pengobatan dengan penyinaran dari tulang belakang. Meskipun berdampak
memuaskan tetapi perlu pertimbangan resiko timbulnya leukemi akut sampai 4 kali
lipat.
G. PATWAY SPONDILITIS TB

RESIKO CIDERA

NYERI

HAMBATAN MOBILITAS
FISIK

H. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri kronik b.d Ketidakmampuan fisik secara terus menerus
2. Resiko cidera b.d keterbatasan gerak dan anemia
3. Hambatan mobilitas Fisik
I. Asuhan Keperawatan Spondilitis TB
No. NANDA NOC NIC
1. Nyeri kronik b.d 1. Kontrol nyeri 1. Managemen nyeri
Ketidakmampuan fisik Definisi: Perilaku Defenisi :
secara terus menerus seseorang untuk Pengurangan rasa nyeri serta
mengontrol nyeri. peningkatan kenyamanan
Gambaran Karakteristik: Setelah dilakukan yang bisa diterima oleh
 Menggunakan simbol ( tindakan pasien
seperti menggunakan keperawatan selama
skala nyeri) …x 24 jam,daya Aktivitas:
 Mengubah kemampuan tahan pasien akan 1. Lakukan penilaian nyeri
untuk melanjutkan meningkat dengan secara komprehensif
aktivitas terdahulu. indikator: dimulai dari lokasi,

 Melaporkan nyeri karakteristik, durasi,


- Dapat mengontrol frekuensi, kualitas,
nyeri. intensitas dan penyebab.
- Gunakan catatan 2. Gunakan komunikasi
nyeri yang terapeutik agar
- Melaporkan pasien dapat menyatakan
tanda/gejala nyeri pengalamannya terhadap
pada tenaga nyeri serta dukungan
kesehatan dalam merespon nyeri
- Melaporkan bila 3. Tentukan dampak nyeri
nyeri terkontrol terhadap kehidupan
- Penggunaan non sehari-hari (tidur, nafsu
analgesic untuk makan, aktivitas,
mengurangi nyeri. kesadaran, mood,
- hubungan sosial,
performance kerja dan
melakukan tanggung
jawab sehari-hari)
4. Bantu pasien dan
keluarga mencari dan
menyediakan dukungan.
5. Gunakan metoda
penilaian yang
berkembang untuk
memonitor perubahan
nyeri serta
mengidentifikasi faktor
aktual dan potensial
dalam mempercepat
penyembuhan
6. Tentukan tingkat
kebutuhan pasien yang
dapat memberikan
kenyamanan pada pasien
dan rencana keperawatan
7. Menyediakan informasi
tentang nyeri, contohnya
penyebab nyeri,
bagaimana kejadiannya,
mengantisipasi
ketidaknyamanan
terhadap prosedur
8. Kontrol faktor
lingkungan yang dapat
menimbulkan
ketidaknyamanan pada
pasien (suhu ruangan,
pencahayaan, keributan)
9. Ajari untuk
menggunakan tehnik
non-farmakologi (spt:
biofeddback, TENS,
hypnosis, relaksasi, terapi
musik, distraksi, terapi
bermain, acupressure,
apikasi hangat/dingin,
dan pijatan ) sebelum,
sesudah dan jika
memungkinkan, selama
puncak nyeri , sebelum
nyeri terjadi atau
meningkat, dan
sepanjang nyeri itu masih
terukur.
10. Pastikan pasien
mendapatkan perawatan
dengan analgesic

2.Administrasi Analgesik.
Defenisi :
Penggunaan agen
farmakologi untuk
menghentikan atau
mengurangi nyeri.
Aktivitas :
tentukan lokasi,
karakteristik, kualitas,
dan derajat nyeri sebelum
pemberian obat
2.Cek instruksi dokter
tentang jenis obat, dosis
dan frekuensi
3. cek riwayat alergi
4. pilih analgetik yang
diperlukan atau
kombinasi dari analgetik
ketika pemberian lebih
dari satu
5. monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgetik
pertama kali
6. berikan analgetik tepat
waktu terutama saat nyeri
hebat
7.evaluasi efektifitas
analgetik, tanda dan
gejala (efek samping)
8. mengelola analgesic
sekitar jam untuk
mencegah puncak dan
melalui analgesia,
terutama dengan sakit
parah
9. Mengevaluasi efektivitas
analgesic pada interval
yang sering rutin setelah
setiap administrasi, tetapi
terutama setelah dosis
awal, juga mengamati
untuk tanda-tanda dan
gejala efek tak
diinginkan (misalnya,
depresi pernapasan, mual
dan muntah, mulut
kering, dan sembelit)

2. Resiko Cidera Perilaku Pencegahan Pasien Jatuh


Faktor resiko: pencegahan jatuh Definisi:
- Darah yang abnormal Definisi: Tindakan pencegahan
(leukositosis atau Tindakan pasien khusus untuk pasien dengan
leukopenia, perubahan atau keluarga untuk resiko luka karena terjatuh.
faktor penggumpalan meminimalkan Aktivitas:

darah, trombosiopenia, faktor resiko jatuh 1. Identifikasi kelemahan
sel berbentuk bulan di lingkungan. kognitif atau fisik pasien
sabit, thalasemia, Setelah dilakukan yang dapat meningkatkan
menurunnya kadar tindakan kemungkinan jatuh pada
hemoglobin) keperawatan selama lingkungan tertentu
…x 24 jam,daya
2. 2. Identifikasi perilaku dan
- Fisik (desain, struktur, tahan pasien akan faktor – faktor yang
dan penataan meningkat dengan beresiko menyebabkan
komunitas, bangunan, indikator: jatuh
dan /perlengkapan) - Menggunakan
3. 3. Kaji pengalaman jatuh
handrail jika bersama pasien dan
dibutuhkan keluarga
- Biologis ( tingkat
- Sediakan bantuan 4. 4. Identifikasi karakteristik
imunisasi komunitas,
- Penggunaan alat lingkungan yang dapat
mikroorganisme) bantu dengan benar menigkatkan
- Penyakit imun -/ Kontrol kelemahan kemungkinan jatuh
autoimun
(seperti lantai yang licin)
5. 5. Monitor cara berjalan,
keseimbangan, dan tingkat
kelelahan klien saat
berjalan
6 6.Latih pasien untuk
beradaptasi dengan
perubahan cara berjalan
7. 7. Kunci roda pada kursi roda
atau tempat tidur saat akan
memindahkan pasien
8. 8.Monitor kemampuan
berpindah pasien dari
tempat tidur ke kursi
9. 9. Gunakan pembatas pada
sisi tempat tidur untuk
mencegah pasien jatuh
dari tempat tidur, jika
diperlukan
1010.Sediakan alat pemanggil
bagi pasien yang
memerlukan bantuan
(seperti bel atau cahaya
lampu) jika perawat
sedang tidak berada di
dekat pasien
1111.Bantu pasien mencari
kegiatan yang aman untuk
menghabiskan waktu
luang
1212.Pasang tanda untuk
memberi tahu staf lain
bahwa pasien beresiko
tinggi terjatuh

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Walaupun insidensi spinal tuberkulosa secara umum di dunia telah berkurang pada
beberapa dekade belakangan ini dengan adanya perbaikan distribusi pelayanan
kesehatan dan perkembangan regimen kemoterapi yang efektif, penyakit ini akan terus
menjadi suatu masalah kesehatan di negara-negara yang belum dan sedang berkembang
dimana diagnosis dan terapi tuberkulosa sistemik mungkin dapat tertunda. Kemoterapi
yang tepat dengan obat antibuberkulosa biasanya bersifat kuratif, akan tetapi morbiditas
yang berhubungan dengan deformitas spinal, nyeri dan gejala sisa neurologis dapat
dikurangi secara agresif dengan intervensi operasi, program rehabilitasi serta kerja sama
yang baik antara pasien, keluarga
dan tim kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA

Isnaini, Uswatun., dan Risnanto. 2014. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah :
Sistem Muskuluskeletal. Yogyakarta: Deepublish.
Paramarta, I Gede Epi., dkk. 2008. Spondilitis Tuberkulosis. Vol 10 No 3. Sari
Pediatri
Prasetya, Damar. 2011. Ankilosis Spondilitis. Dalam buku Vitriana. 2002. “Bagian
Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi RSUP dr. Ciptomangunkusumo.
Wulandari, Maya. Kamus Keperawatan. Gama Press.
Yatim, Faisal. 2006. Penyakit Tulang dan Persendian (Arthritis dan Arthralgia).
Jakarta: Pustaka Populer.

Anda mungkin juga menyukai