Anda di halaman 1dari 14

ASUHAN KEPERAWATAN

PASIEN DEWASA DENGAN SINDROMA NEFROTIK

Dosen Pembimbing:
Erik Ilham, S.Kep,.Ns

Disusun Oleh:
1. Mariana (13620862)
2. Ratna Sari Putri (13620874)
3. Suryanto (13620883)
4. Trisda Windrayanty Saputri (13620889)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN (S1)

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS KADIRI

2016
BAB I
TINJAUAN TEORI

1.1 PENGERTIAN
Nefrotik sindrom adalah kumpulan gejala degenerasi ginjal tanpa
adanya peradangan, ditandai dengan edema, albuminuria dan penurunan
albumin dalam serum (Ramali, 2003, hal 230).
Nefrotik sindrom berkaitan erat dengan proteinuria (Tisher, 1997, hal
37).
Sindrom nefrotik merupakan kumpulan manifestasi klinis (di tandai
proteinuria masif lebih dari 3,5 gram per 1, 73 m2 luas permukaan badan
perhari dan hipoalbuminemia kurang dari 3 gram per milliliter) dan
berhubungan dengan kelainan glomerulus akibat penyakit - penyakit tertentu
atau tidak diketahui/idiopatik (Soeparman, 1990, hal 282).
Sindrom nefrotik adalah penyakit yang terjadi secara tiba-tiba, biasanya
berupa oliguria dengan urin berwarna gelap, atau urin yang kental akibat
proeinuria berat. Tanda yang terlihat jelas adalah oedema pada kaki dan
genetalia (Mansjoer, 1999, hal 525).
Sindrom nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria,
hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia, kadang-kadang terdapat
hematuria, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal (Ngastiyah,1997, hal 304).
Dari beberapa pengertian diatas, penulis mengambil kesimpulan bahwa
nefrotik sindrom adalah suatu penyakit degenerasi fungsi ginjal yang ditandai
dengan edema, albuminuria, dan penurunan albumin serum yang diakibatkan
oleh penyakit - penyakit tertentu yang terjadi secara tiba-tiba.

1.2 ETIOLOGI
Mansjoer (1999, hal 525) menyatakan bahwa penyebab sindrom nefrotik pada
orang dewasa adalah :
1. Glomerulonefritis primer (sebagian besar tidak diketahui sebabnya)
a. Glomerulonefritis membranosa
b. Glomerulonefritis kelainan minimal
c. Glomerulonefritis membranoproliperatif
d. Glomerulonefritis pascastreptokokok
2. Glomerulonefritis sekunder
a. Lupus Eritemotosus Sistemik (LES)
b. Obat (emas, pensilalanin, anti inflamsi nonsteroid)
c. Neoplasma (kanker payudara, kolon, bronkus)
d. Penyakit sistemik yang mempengaruhi glomerulus (diabetes,
amiloidosis).
Sedangkan Tisher (1997, hal 38) menyebutkan bahwa penyebab nefrotik
sindrom ada 2 yaitu kelainan primer glomerulus dan kelainan sekunder yakni:
1. Kelainan primer glomerulus
a. Proteinuria ortostatik atau postural (benigna)
b. Glomerulonefritis membranosa
c. Glomerulonefritis membranoproliferatik idiopatik
d. Glomerulonefritis fokal segmental
e. Nefropati IgA
f. Penyakit lesi minimal
g. Glomerulonefritis proliferative
2. Kelainan sekunder
a. Herediter-familial: diabetes mellitus, sindrom Alport, penyakit sel sabit
b. Autoimun: lupus eritematosus sistemik (LSE), sindrom Goodpasture,
granulomatosis wegener, poliartesis nodosa, rematoid arthritis
c. Infeksi: postinfeksi glomerulonefritis, endokarditis, hepatitis B.
d. Obat: agen inflamasi nonsteroid, heroin, emas, merkuri
e. Neoplasma: penyakit Hodgkin, leukemia, multiple myeloma
f. Lain-lain: amiloidosis, preeklampsia-eklampsia, demam, hipertensi
renovaskular, nefritis interstitial, olahraga.

1.3 PATOFISIOLOGI
Pada individu yang sehat, dinding kapiler glomerolus berfungsi sebagai
sawar untuk menyingkirkan protein agar tidak memasuki ruangan urinarius
melalui diskriminasi ukuran dan muatan listrik (Tisher, 1997, hal 37).
Dengan adanya gangguan pada glomerulus, ukuran dan muatan sawar
selektif dapat rusak sehingga terjadi peningkatan permeabilitas membran
glomerolus. Proses penyaringan pun menjadi terganggu.molekul protein yang
seharusnya mampu tersaring oleh glomerulus, tidak dapat tersaring. Sehingga
urine mengandung protein (Tisher, 1997, hal 37).
Sebagian besar protein dalam urine adalah albumin. Dengan banyaknya
albumin yang keluar bersama urine, mengakibatkan kandungan albumin
dalam darah menjadi rendah yang disebut hipoalbuminemia (Mansjoer, 1999,
hal 526).
Rangkaian keadaan yang menunjukkan mulai dari proteinuria sampai
sindrom nefrotik tergantung pada perkembangan dari hipoalbuminemia.
Hipoalbuminemia mengurangi tekanan onkotik plasma, dan kemudian
mengakibat perpindahan cairan intravaskular ke ruang interstitial.
Perpindahan cairan ini akan menjadikan volume cairan intravaskular
menurun, sehingga menurunkan jumlah aliran darah ke ginjal / volume darah
efektif menurun (Soeparman, 1990, hal 286).
Ginjal akan melakukan kompensasi dengan merangsang produksi
rennin angiotensin dan sekresi aldosteron yang kemudian mengakibatkan
retensi natrium dan air. Kejadian ini menimbulkan edema perifer, anasarka
dan asites. Kondisi hipoalbuminemia juga mempengaruhi respon imun
seseorang. Faktor imun IgG menurun sehingga penderita nefrotik sindrom
lebih peka terhadap semua macam infeksi (Soeparman, 1990, hal 286).

1.4 MANIFESTASI KLINIS


Pada penderita Sindrom Nefrotik, edema merupakan gejala klinik yang
menonjol. Kadang-kadang mencapai 40% dari pada berat badan dan
didapatkan edema anasarka. Pasien sangat rentan terhadap infeksi sekunder.
Selama beberapa minggu mungkin terdapat hematuria, azotemia dan
hipertensi ringan. Terdapat proteinuria terutama albumin (85-95%) sebanyak
10-15 gram perhari. Selama edema masih banyak biasanya produksi urin
berkurang, berat jenis urin meninggi. Sedimen dapat normal atau berupa torak
hialin, granula, lipoid, terdapat pula sel darah putih. Pada fase non nefritis, uji
fungsi ginjal tetap normal atau meninggi. Dengan perubahan yang progresif
di glomerulus terdapat penurunan fungsi ginjal pada fase nefrotik.
Kimia darah menunjukkan hipoalbuminemia. Kadar globulin normal
atau meninggi sehingga terdapat perbandingan albumin - globulin yang
terbalik. Didapatkan pula hiperkolesterolemia, kadar fibrinogen meninggi
sedangkan kadar ureum normal. Pada keadaan lanjut biasanya terdapat
glukosuria tanpa hiperglikemia (Ngastiyah, 1997, hal 306).
Mansjoer (1999, hal 526) menyatakan bahwa gejala utama yang
ditemukan pada penderita nefrotik sindrom adalah :
1. proteinuria > 3,5 g / hari
2. hipoalbuminemia < 30 g / l
3. edema anasarka
4. hiperlipidemia / hiperkolesterolemia
5. hiperkoagulabilitas, yang akan meningkatkan resiko trombosis vena dan
arteri.
6. hematuria, hipertensi pada kasus berat dapat ditemukan gagal ginjal.

1.5 KOMPLIKASI
1. Infeksi sekunder mungkin karena kadar imunoglobulin yang rendah akibat
hipoalbuminemia.
2. Shock hipovolemik: terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (< 1
gram/100ml) yang menyebabkan hipovolemia berat sehingga
menyebabkan shock.
3. Trombosis vaskuler : mungkin akibat gangguan sistem koagulasi sehingga
terjadi peninggian fibrinogen plasma.
4. Komplikasi yang bisa timbul adalah kegagalan ginjal.
5. Trombosis vena, akibat kehilangan anti-thrombin 3, yang berfungsi untuk
mencegah terjadinya trombosis vena ini sering terjadi pada vena renalis.
Tindakan yang dilakukan untuk mengatasinya adalah dengan pemberian
heparin.
6. Gagal ginjal akut akibat hipovolemia. Disamping terjadinya penumpukan
cairan di dalam jaringan, terjadi juga kehilangan cairan di dalam
intravaskuler.
7. Edema pulmonal, akibat kebocoran cairan, kadang-kadang masuk kedalam
paru-paru yang menyebabkan hipoksia dan dispnea.
8. Perburukan pernafasan (berhubungan dengan retensi cairan)
9. Kerusakan kulit
10. Peritonitis (berhubungan dengan asites)
11. Hipovolemia
12. Komplikasi tromboemboli-terombosis vena renal, trombosis vena dan
arteri ekstremitas dan trombosis arteri serebral

1.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Untuk pemeriksaan penunjang, dilakukan pemeriksaan urine dan darah
untuk memastikan adanya proteinuria, proteinemia, hipoalbuminemia, dan
hiperlipidemia. Biasanya ditemukan hematuria mikroskopik lebih dari 20
eritrosit/luas permukaan badan. Pemeriksaan darah lengkap juga diperlukan
untuk mencari mikroangiopati, pemeriksaan imunologi untuk menentukan
adanya Lupus Eritematosus Sistemik (Mansjoer, 1999, hal 528).
Selain itu, untuk menunjang diagnosa, perlu dilakukan pemeriksaan
fungsi ginjal berupa urin mikroskopik, ureum, kreatinin, elektrolit, dan
protein urin (Tisher, 1997, hal 40).
Untuk pengawasan kemajuan penderita Sindrom Nefrotik, dilakukan
pengukuran dan pencatatan berkala dari tekanan darah, keseimbangan cairan
serta berat badan (Mansjoer, 1999, hal 528).

1.7 PENATALAKSANAAN
Ngastiyah (1997, hal 306) menjelaskan penatalaksanaan penderita
Sindrom Nefrotik adalah sebagai berikut:
1. Medis (Pengobatan) :
a. Istirahat sampai edema tinggal sedikit.
b. Diet tinggi protein 2-3 gram/kgBB/hari dengan garam minimal bila
edema masih berat. Bila edema berkurang dapat diberi garam sedikit.
c. Diuretik
d. Kortikosteroid: Berikan prednison peroral dengan dosis awitan 60
mg/hari/luas permukaan badan (lbp) selama 28 hari. Kemudian
dilanjutkan dengan prednison per oral selama 28 hari dengan dosis 40
mg/hari/lbp, setiap 3 hari dalam satu minggu dengan dosis maksimum
60 mg/hari.
e. Antibiotik diberikan untuk mencegah infeksi
f. Berikan obat digitalis bila ada indikasi gagal jantung.
2. Keperawatan
Penderita sindrom nefrotik perlu dirawat di rumah sakit karena
memerlukan pengawaan dan pengobatan yang khusus. Masalah pasien
yang perlu diperhatikan adalah edema anasarka, diet, risiko terjadi
komplikasi dan pengawasan mengenai pengobatan/gangguan rasa aman
dan nyaman.
ASUHAN KEPERAWATAN
PASIEN DEWASA DENGAN SINDROMA NEFROTIK

A. DATA DEMOGRAFI
Identitas pasien meliputi nama, usia, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, agama,
dan ras.

B. RIWAYAT PENYAKIT
1. Riwayat Penyakit Dahulu (riwayat penyakit yang sama atau penyakit lain
yang pernah diderita oleh pasien).
2. Riwayat Penyakit Sekarang (riwayat penyakit yang diderita pasien saat
masuk rumah sakit).
3. Riwayat Kesehatan Keluarga, penyakit yang pernah diderita anggota
keluarga yang menjadi faktor resiko.

C. PENGKAJIAN
1. Keadaan Umun dan TTV
a. Keadaan Umum : Klien lemah dan terlihat sakit berat. Kesadaran
composmentis
b. TTV : sering tidak didapatkan adanya perubahan
2. Per Sistem
a. B1 (Breathing)
Biasanya tidak didapatkan adanya gangguan pola napas dan jalan napas
walau secara frekuensi mengalami peningkatan terutama pada fase akut.
Pada fase lanjut sering didapatkan adanya gangguan pola napas dan jalan
napas yang merupakan respons terhadap edema pulmoner dan efusi
pleura.
b. B2 (Blood)
Sering ditemukan penurunan curah jantung respon sekunder dari
peningkatan beban volume.
c. B3 (Brain)
Didapatkan edema wajah terutama periorbital, sklera tidak ikterik. Status
neurologis mengalami perubahan sesuai tingkat parahnya azotemia pada
sistem saraf pusat.
d. B4 (Bledder)
Perubahan warna urine output seperti warna urine berwarna kola.
e. B5 (Bowel)
Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia sehingga sering
didapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan. Didapatkan asites
pada abdomen.
f. B6 (Bone)
Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum, efek sekunder dari
edema tungkai dari keletihan fisik secara umum.

D. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan mekanisme regulator ginjal
dengan retensi air dan natrium
2. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun, prosedur
invasif dan kateterisasi
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan
5. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan efek diuretic
6. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan edema anasarka
7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi mengenai
penyakit

E. INTERVENSI
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan mekanisme regulator ginjal
dengan retensi air dan natrium
Kriteria hasil :
a. Menunjukkan keluaran urine tepat dengan hasil laboratorium mendekati
normal.
b. BB stabil, TTV dalam batas normal, tak ada edema.
c. Keseimbangan masukan dan pengeluaran.
Intervensi :
a. Pantau keluaran urine, catat jumlah dan warna
Rasional : keluaran urin mungkin sedikit dan pekat karena penurunan
perfusi.
b. Pantau / hitung keseimbangan pemasukan dan pengeluaran cairan selama
24 jam.
Rasional : terapi diuretik dapat diakibatkan oleh kehilangan cairan tiba -
tiba berlebihan meskipun edema masih ada.
c. Pertahankan tirah baring selama fase akut.
Rasional : posisi telentang meningkatkan filtrasi ginjal dan menurunkan
produksi ADH sehingga meningkatkan diuresis.
d. Ubah posisi dengan sering, tinggikan kaki bila duduk.
Rasional : pembentukan edema, nutrisi melambat, gangguan pemasukan
nutrisi dan imobilisasi lama merupakan stressor yang mempengaruhi
intregitas kulit.
e. Kaji TTV terutama tekanan darah.
Rasional : hipertensi menunjukkan kelebihan natrium, serta dapat
menunjukkan terjadinya kongesti paru, gagal jantung.
f. Pertahankan asupan cairan, pembatasan asupan natrium sesuai indikasi.
Rasional : asupan narium yang terlalu tinggi memperberat kondisi
edema.
2. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun, prosedur
invasif dan kateterisasi
Kriteria hasil: Tak mengalami tanda / gejala infeksi.
Intervensi :
a. Tingkatkan cuci tangan yang baik pada pasien dan perawat.
Rasional : menurunkan resiko kontaminasi silang.
b. Pertahankan prinsip aseptik dalam setiap tindakan keperawatan yang
berhubungan dengan area invasive dan kateterisasi.
Rasional : membatasi introduksi bakteri kedalam tubuh.
c. Lakukan perawatan kateter rutin dan perawatan infuse.
Rasional : Meningkatkan rasa nyaman klien serta mencegah kontaminasi
bakteri ke tubuh.
d. Kaji intregitas kulit.
Rasional : ekskorisi akibat gesekan dapat menjadi infeksi sekunder.
e. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
Rasional : membantu pemilihan pengobatan infeksi paling efektif.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia
Kriteria hasil :
Mempertahankan / meningkatkan berat badan seperti yang diindikasikan
oleh klien, bebas edema.
Intervensi :
a. Kaji / catat pemasukan diet.
Rasional : membantu dan mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan diet.
b. Berikan makanan sedikit tapi sering.
Rasional : meminimalkan anoreksia dan mual sehubungan dengan status
uremik.
c. Tawarkan perawatan mulut sebelum dan sesudah makan.
Rasional : meningkatkan nafsu makan.
d. Timbang BB tiap hari.
Rasional : perubahan kelebihan 0,5 kg dapat menunjukkan perpindahan
keseimbangan cairan.
e. Berikan diet tinggi protein dan rendh garam.
Rasional : memenuhi kebutuhan protein, yang hilang bersama urine,
mengurangi asupan garam untuk mencegah edema bertambah.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan
Kriteria hasil:
a. Terjadi peningkatan mobilitas
b. Melaporkan perbaikan rasa berenergi.
Intervensi :
a. Kaji kemampuan klien melakukan aktivitas.
Rasional : sebagai pengkajian awal aktivitas klien.
b. Tingkatkan tirah baring / duduk.
Rasional : meningkatkan istirahat dan keteenangan klien, posisi telentang
meningkatkan filtrasi ginjal dan menurunkan produksi ADH sehingga
meningkatkan diuresis.
c. Ubah posisi dengan sering.
Rasional : pembentukan edema, nutrisi melambat, gangguan pemasukan
nutrisi dan imobilisasi lama merupakan stressor yang mempengaruhi
intregitas kulit.
d. Berikan dorongan untuk beraktivitas secara bertahap.
Rasional : melatih kekuatan otot sedikit demi sedikit.
e. Ajarkan teknik penghematan energi contoh duduk, tidak berdiri.
Rasional : menurunkan kelelahan.
f. Berikan perawatan diri sesuai kebutuhan klien.
Rasional : memenuhi kebutuhan perawatan diri klien selama intoleransi
aktivitas.
5. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan efek diuretic
Kriteria hasil: Menunjukkan pemasukan dan pengeluaran mendekati
seimbang, turgor kulit baik, membran mukosa lembab.
Intervensi:
a. Kaji input dan output cairan
Rasional : membantu memperkirakan kebutuhan cairan
b. Pantau Tanda vital
Rasional : perubahan tekanan darah dan nadi dapat digunakan untuk
perkiraan kadar kehilangan cairan, hipotensi postural menunjukkan
penurunan volume sirkulasi
c. Anjurkan tirah baring atau istirahat
Rasional : aktivitas berlebih dapat meningkat kebutuhan akan cairan.
d. Berikan cairan sesuai indikasi
Rasional : penggantian cairan tergantung dari berapa banyaknya cairan
yang hilang atau dikeluarkan.
6. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan edema anasarka
Kriteria hasil :
a. Mempertahankan kulit utuh
b. Menunjukkan perilaku untuk mencegah kerusakan kulit.
Intervensi :
a. Inspeksi kulit terhadap penebalan, warna, turgor, vaskularisasi.
Rasional: menandakan area sirkulasi buruk yang dapat menimbulkan
pembentukan dekubits
b. Inspeksi area tergantung terhadap edema.
Rasional: jaringan edema cenderung rusak
c. Berikan perawatan kulit.
Rasional: memberikan rasa nyaman dan mencegah terjadi komplikasi
kulit.
d. Ubah posisi dengan sering.
Rasional: Menurunkan tekanan pada edema
e. Pertahankan linen kering.
Rasional: Menurunklan iritasi dermal.
7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi mengenai
penyakit
Kriteria hasil: Menunjukkan respon pemahaman terhadap penyakitnya dan
mengetahui bagaimana perawatannya.
Intervensi:
a. Kaji status pendidikan klien.
Rasional : menentukan status awal pengetahuan klien.
b. Kaji pengetahuan klien akan penyakitnya, prognosanya, dietnya dan hal-
hal yang perlu dilakukan klien agar memperingan gejala yang muncul.
Rasional : Menentukan sejauh mana pengetahuan klien tentang penyakit
yang dideritanya.
c. Kaji pengetahuan keluarga tentang penyakit klien.
Rasional : menentukan pengetahuan keluarga akan penyakit klien.
d. Berikan penyuluhan kesehatan tentang penyakitnya termasuk diet dan
perawatannya.
Rasional : memberikan informasi yang actual yang mampu merubah
persepsi klien tentang penyakitnya.

Anda mungkin juga menyukai