PENDAHULUAN
Dalam dunia pendidikan agama Katolik di sekolah, sebenarnya sejak Kurikulum 1984, sudah terjadi
pergeseran oritentasi, yaitu dari orientasi pada materi kepada orientasi pada peserta didik, tepatnya
orientasi pada situasi dan kemampuan peserta didik. Sejak saat itu sudah diyakini bahwa keberhasilan
dalam hidup dan beragama tidak terletak terutama pada apa yang diketahui, tetapi lebih pada kemampuan
untuk mengolah pengetahuan itu (termasuk pengetahuan iman) supaya hidup lebih berhasil dan beriman.
Kemampuan atau kompetensi peserta didik untuk mencernakan dan mengaplikasikan apa yang diketahui dan
dimiliki dalam hidup nyata, akan merupakan modal untuk hidupnya supaya lebih berkembang secara rohani
dan jasmani. Pengetahuan dapat terlupakan atau berubah, tetapi kompetensi dalam mengolah hidupnya akan
terus terbawa dan berkembang sebagai modal yang akan senantiasa memperkaya hidup peserta didik.
Gagasan pemerintah (Depdiknas) untuk mengembangkan suatu kurikulum yang berdasarkan “basic
competency” tentu saja diterima oleh dunia pendidikan agama Katolik dengan antusiasme yang besar. Maka
sejak “Pertemuan Komisi Kateketik Keuskupan se Indonesia (PKKI VII) di Sawiran, Jawa Timur tahun 2000,
Gereja Katolik Indonesia telah bersungguh-sungguh memikirkan kurikulum pendidikan agama Katolik yang
berbasiskan kompetensi itu. Sejak saat itu telah dilakukan serangkaian lokakarya, yang melibatkan Komisi
Kateketik Keuskupan seluruh Indonesia, para pakar Teologi, Kitab Suci, Pedagogi, Psikologi, Sosiologi dan
Kateketik, untuk menyusun suatu kurikulum yang berbasiskan kompetensi yang dapat dipertanggungjawabkan
dari segala segi.
Kurikulum yang telah disusun ini adalah hasil dari kerja keras selama 2 tahun, dimana terlibat semua
perwakilan Gereja-Gereja lokal dan para pakar dari pelbagai disiplin ilmu yang ada sangkut-pautnya dengan
dunia pendidikan agama Katolik di sekolah.
Kurikulum nasional ini adalah kurikulum global yang minimal, namun disusun dan dilengkapi dengan
pencapaian target yang jelas, materi pokok, standar hasil belajar peserta didik, dan dapat dibayangkan proses
pelaksanaan pembelajaran yang berkesinambungan. Dari segi materi pokok kurikulum ini sungguh kurikulum
minimal, yang membuka peluang bagi pengayaan lokal. Namun harus tetap diperhatikan bahwa dalam
kurikulum yang berbasiskan kompetensi, materi sedikit banyaknya hanya merupakan sarana untuk
merangsang kompetensi peserta didik, walaupun penguasaan materi tetaplah penting pula.
A. Rasional
Dari pengalaman dapat dilihat bahwa apa yang diketahui (pengetahuan, ilmu) tidak selalu membuat hidup
seseorang sukses dan bermutu. Tetapi kemampuan, keuletan dan kecekatan seseorang untuk
mencernakan dan mengaplikasikan apa yang diketahui dalam hidup nyata, akan membuat hidup
seseorang sukses dan bermutu. Demikian pula dalam kehidupan beragama. Orang tidak akan beriman
dan diselamatkan oleh apa yang ia ketahui tentang imannya, tetapi terlebih oleh pergumulannya
bagaimana ia menginterpretasikan dan mengaplikasikan pengetahuan imannya dalam hidup nyata sehari-
hari. Seorang pakar ilmu agama belum tentu seorang beriman dan diselamatkan, tetapi seorang yang
senantiasa berusaha untuk melihat, menyadari dan menghayati kehadiran Allah dalam hidup
nyatanya, ia sungguh seorang beriman dan dapat diselamatkan. Jadi yang menyelamatkan, bukanlah
terutama pengetahuan, tetapi kompetensi untuk mencernakan dan mengaplikasikan pengetahuan itu.
Selanjutnya dapat dikatakan bahwa kemampuan dan kompetensi peserta didik semakin dituntut pada
saat ini, dimana arus globalisasi dan krisis multi dimensi sedang melanda negeri dan bangsa kita.
Budaya global yang dibangun oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi media
informasi, telah membawa banyak perubahan, termasuk perubahan nilai-nilai. Perubahan-perubahan nilai
ini bisa bersifat konstruktif, tetapi juga dekstruktif. Sementara itu bangsa Indonesia sedang mengalami
krisis multi dimensi. Krisis di bidang politik, hukum, ekonomi, budaya, lingkungan hidup dan sebagainya.
Menurut para pakar, krisis multi dimensi itu berakar pada krisis etika, krisis moral. Bangsa Indonesia telah
berpolitik, berekonomi, melaksanakan hukum dan sebagainya tanpa etika, tanpa moral.
Dalam bidang pendidikan agamapun seharusnya demikian. Pendidikan agama bukan sekedar proses
pengalihan pengetahuan iman dari guru kepada peserta didik, tetapi suatu proses pergumulan untuk
menginterpretasikan ajaran imannya dalam kehidupan nyata sehari-hari. Kalau proses ini dilatih terus
menerus, maka peserta didik akan terampil dan kompeten untuk selalu melihat intervensi Allah dalam
Kehidupan nyata sehari-hari. Dan itulah artinya hidup beriman. Dengan demikian keterampilan dan
kompetensi ini akan merupakan bekal bagi hidupnya yang tak ternilai.
Pendidikan Agama Katolik adalah usaha yang dilakukan secara terencana dan berkesinambungan dalam
rangka mengembangkan kemampuan pada peserta didik untuk memperteguh iman dan ketaqwaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan ajaran iman agama Katolik, dengan tetap memperhatikan
penghormatan terhadap agama lain dalam hubungan kerukunan antarumat beragama dalam masyarakat
untuk mewujudkan persatuan nasional.
Secara lebih tegas dapat dikatakan bahwa pendidikan agama Katolik di sekolah merupakan salah satu
usaha untuk memampukan peserta didik berinteraksi (berkomunikasi) pemahaman, pergumulan dan
penghayatan iman. Jadi interaksi ini mengandung unsur pengetahuan iman, unsur pergumulan iman dan
unsur penghayatan iman. Dengan kemampuan berinteraksi pemahaman iman, pergumulan iman dan
penghayatan iman itu, diharapkan iman peserta didik semakin diperteguh.
B. Tujuan
Pendidikan Agama Katolik (PAK) pada dasarnya bertujuan memampukan peserta didik untuk membangun
hidup yang semakin beriman. Membangun hidup beriman Kristiani berarti membangun kesetiaan pada Injil
Yesus Kristus, yang memiliki keprihatinan tunggal, yakni Kerajaan Allah. Kerajaan Allah merupakan situasi
dan peristiwa penyelamatan: situasi dan perjuangan untuk perdamaian dan keadilan, kebahagiaan dan
kesejahteraan, persaudaraan dan kesetiaan, kelestarian lingkungan hidup, yang dirindukan oleh setiap
orang dari pelbagai agama dan kepercayaan.
C. Ruang Lingkup
a. Standar kompetensi yang disusun ini berbasis pada kompetensi peserta didik. Orientasinya
bukan terutama pada materi, tetapi pada kompetensi peserta didik. Materi di sini menjadi sarana
supaya kompetensi peserta didik bisa dirangsang, namun materi tetap juga penting dalam PAK.
b. Standar kompetensi PAK SLTP yang disusun di sini ada yang bersifat linier dan ada yang
bersifat spiral. Aspek-aspek yang bersifat linier harus disampaikan dan diterima peserta didik secara
tuntas. Sedangkan aspek yang bersifat spiral, muncul di setiap tahun tetapi selalu diperdalam dan
diperluas.
c. Pendekatan Pembelajaran yang dipakai hendaknya menunjang ketercapaian kompetensi
peserta didik itu. Oleh karena itu pendekatan yang dipakai hendaknya:
- Memungkinkan peserta didik untuk aktif. Dia menjadi partisipan aktif dalam proses PAK.
- Kalau peserta didik menjadi patrisipan, maka diandaikan dalam proses PAK ada interaksi antar
peserta didik serta antara peserta didik dan guru.
- Interaksi yang terjadi hendaknya terarah, sehingga diandaikan ada suatu proses yang
berkesinambungan.
- Interaksi yang berkesinambungan ini bertujuan untuk menginterpretasikan dan mengaplikasikan
ajaran iman dalam hidup nyata sehingga peserta didik semakin beriman.
Pendekatan atau pola yang dipakai dapat dikatakan pendekatan atau pola interaksi (komunikasi)
aktif untuk menginterpretasikan dan mengaplikasikan ajaran imannya dalam hidup nyata
(dalam Kurikulum PAK' 84 disebut pendekatan atau pola "pergumulan").
h. PAK bukan segala-galanya. Maka PAK perlu ditunjang dengan kegiatan ekstra-kurikuler dan pastoral
sekolah.
i. Bila di suatu sekolah PAK tidak terlaksana karena tidak adanya guru agama Katolik, maka peserta
didik dan atau orang tua peserta didik dapat mencari kemungkinan pelaksanaannya bersama dengan
pastor setempat atau yang mewakilinya.
j. Buku pegangan pokok adalah Kitab Suci. Adapun buku-buku pegangan yang lain, baik buku
pegangan untuk guru maupun buku pegangan untuk peserta didik, harus mendapat pengesahan dari
Pimpinan Gereja atau yang diberi wewenang olehnya. Pengesahan ini tampak dengan adanya tulisan
‘NIHIL OBSTAT” dan “IMPRIMATUR”.
KELAS : VII
Semester : 1
Aspek : Pribadi Peserta Didik