TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
Glukosa atau gula darah adalah suatu gula monosakarida, merupakan salah
satu karbohidrat terpenting yang digunakan sebagai sumber tenaga utama dalam
tubuh. Glukosa merupakan prekursor untuk sintesis semua karbohidrat lain di dalam
tubuh seperti glikogen, ribosa dan deoksiribosa dalam asam nukleat, galaktosa dalam
laktosa susu, dalam glikolipid, dan dalam glikoprotein dan proteoglikan. 1
Kadar gula darah adalah istilah yang mengacu kepada tingkat gula darah di
dalam darah. Konsentrasi gula darah, atau tingkat glukosa serum, diatur dengan ketat
di dalam tubuh.1
1. Glukosa darah sewaktu. Pemeriksaan gula darah yang dilakukan setiap waktu
sepanjang hari tanpa memperhatikan makanan terakhir yang dimakan dan
kondisi tubuh orang tersebut.
2. Glukosa darah puasa dan 2 jam setelah makan Pemeriksaan glukosa darah
puasa adalah pemeriksaan glukosa yang dilakukan setelah pasien berpuasa
selama 8-10 jam, sedangkan pemeriksaan glukosa 2 jam setelah makan adalah
pemeriksaan yang dilakukan 2 jam dihitung setelah pasien menyelesaikan
makan.
Pada saat ini, insulin berperan dalam mengontrol kadar gula darah dalam tubuh.
Glukosa kemudian dapat digunakan oleh tubuh untuk menghasilkan energi.
Kandungan karbohidrat dalam tiap makanan dan kadar kalori dapat dilihat dalam
Tabel 1.3
Perubahan gaya hidup yang berpengaruh pada perubahan pola perilaku makan
dapat menyebabkan timbulnya penyakit degenratif yang salah satunya adalah
penyakit diabetes mellitus. Dahulu DM dianggap sebagai penyakit tua karena lebih
banyak dijumpai pada usia >40 tahun, naumn saat ini telah terjadi pergeseran
penyakit. Pergeseran penyakit menunjukkan bahwa DM tidak hanya menyerang usia
lanjut namun bisa menyerang anak dan remaja. Penelitian yang dilakukan oelh Unit
Kerja Koordinasi Endokrinologi anak diseluruh Indonesia tahun 2012 menunjukkan
jumlah penyandang diabetes pada anak dan remaja di bawah usia 20 tahun adalah 731
anak/remaja.5 Hal lain yang dapat membawa kepada pengaruh pola perilaku makan
pada anak sekolah dan remaja adalah karena kebutuhan gizi selama masa remaja
relatif lebih besar dari mada lainnya karena masa remaja merupakan masa
pertumbuhan dan perkembangan. Pada saat ini anak remaja lebih cenderung
mengkonsumsi makanan yang menggugah selera dan tinggi glukosa.1
Selain itu, anak sekolah dan remaja juga memiliki kebiasaan mengemil serta
tidak merasakan lapar pada saat jam makan sehingga pola dan frekuensi makannya
menjadi tidak beraturan.5 Frekuensi makan adalah jumlah makan sehari-hari, baik
kualitatif maupun kuantitatif sedangkan porsi makan pula adalah kuantiti yang diukur
dengan sepiring makanan. Di samping frekuensi makan, porsi makan dan komposisi
makanan juga memainkan peran penting dalam pengaturan kadar gula dalam darah
serta berat badan.4 Menurut Depkes, porsi makan yang baik itu adalah berdasarkan
prinsip Piring Makanku: Sajian Sekali Makan (PMSSM). Prinsip ini menganjurkan
makan sehat dimana 50% total makanan adalah sayur dan buah, dan 50% lagi adalah
makanan pokok dan lauk-pauk. PMSSM juga menganjurkan bahwa porsi sayur harus
lebih banyak dari porsi buah dan porsi makanan pokok lebih banyak dari porsi lauk-
pauk. 9
Menurut Putri dan Isfandiari (2013), penelitian yang telah dilakukan keatas pasien
DM di Puskesmas Pacarkeling Surabaya untuk menilai keberkesanan strategi 4 pillar
DM, ditemukan pasien DM yang mengamalkan pengaturan makan yang sesuai
memiliki rerata kadar gula darah < 160 mg/dl dan hasil ini menunjukkan adanya
hubungan antara pengaturan makan dengan rerata kadar gula darah.10 Menurut
Kahleova dkk (2012) pula, subjek yang hanya makan 2 kali makanan pokok tiap hari
(makan pagi dan siang) mempunyai hubungan dengan menurunkan kadar gula darah
puasa dan berat badan berbanding subjek yang mengamalkan frekuensi 6 kali makan
(3 kali makanan pokok dan 3 kali cemilan).11 Namun, pada studi yang dijalankan oleh
Mekary dkk (2012), ditemukan laki-laki yang makan 1-2 kali per hari memiliki resiko
yang lebih tinggi dalam menderita DM berbanding laki-laki yang makan 3 kali per
hari. Menurut studi ini juga, cemilan juga dapat menjadi faktor resiko DM namun
dapat diawasi sekiranya IMT masih dapat dipertahankan dalam batas normal.12
2.2.3 Cara Menghitung Kebutuhan Karbohidrat Berdasarkan Angka
Kecukupan Gizi
Kebutuhan Energi (kal) – (Kebutuhan Protein (g) x 4) – ( Kebutuhan Lemak (g) x 9) kal 4
Tabel 2. Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak, Karbohidrat, Serat dan Air yang
Dianjurkan untuk Orang Indonesia
Sumber : Angka kecukupan gizi bagi bangsa Indonesia.14
Jadi, untuk menghitung kecukupan karbohidrat tiap individu dapat digunakan rumus
seperti berikut :13
𝐵𝐵 𝑎𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙
𝑥 𝐾𝑎𝑟𝑏𝑜ℎ𝑖𝑑𝑟𝑎𝑡 𝐴𝐾𝐺 = 𝐾𝑒𝑐𝑢𝑘𝑢𝑝𝑎𝑛 𝑘𝑎𝑟𝑏𝑜ℎ𝑖𝑑𝑟𝑎𝑡
𝐵𝐵 𝐴𝐾𝐺
Selain itu, terdapat cara untuk menghitung konsumsi karbohidrat, protein dan
lemak berdasarkan asupan nutrisi harian. Penghitungan ini juga mengambil kira aspek
jenis kelamin, usia, status gizi dan aktivitas harian tiap individu. Berdasarkan
PERKENI, karbohidrat dikonsumsi dengan komposisi 45%-65% dari total kalori
harian.9 Cara hitungnya adalah seperti berikut:15
3) Tambahkan faktor aktivitas & stress pada kebutuhan kalori basal. Klasifikasi
tingkat aktivitas dapat ditentukan berdasarkan Tabel :
Kondisi Koreksi
40-59 tahun -5% (minus)
60-69 tahun -10% (minus)
>70 tahun -20% (minus)
BB lebih -20-30% (minus; tergantung darejat obesitas individu)
BB kurang + 20-30% (plus; tergantung darejat kekurusan individu)
Stress dan infeksi +10-30-40% (plus; tergantung berat ringannya penyakit)
Kebutuhan kalori basal + Koreksi faktor aktivitas – Koreksi faktor usia, BB, stress
Dari kebutuhan kalori harian, dapat dihitung kebutuhan karbohidrat yaitu sebanyak
45-65% dari kebutuhan kalori harian. Hasil ukuran kadar kebutuhan karbohidrat ini
biasanya dalam bentuk kilo kalori, maka dapat ditukarkan ke dalam satuan gram
dengan memperkirakan 1 kkal = 4 gram karbohidrat.15
Prinsip dari metode food recall 24 jam, dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah
bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Menurut E-Siong,
Dop, Winichagoon (2004) untuk survei konsumsi gizi individu lebih disarankan
menggunakan recall 24 jam konsumsi gizi dikarenakan dari sisi kepraktisan dan
kevalidan data masih dapat diperoleh dengan baik selama yang melakukan terlatih.
Metode ini cukup akurat, cepat pelaksanaannya, murah, mudah, dan tidak
memerlukan peralatan yang mahal dan rumit. Ketepatan menyampaikan ukuran
rumah tangga (URT) dari pangan yang telah dikonsumsi oleh responden, serta
ketepatan pewawancara untuk menggali semua makanan dan minuman yang
dikonsumsi responden beserta ukuran rumah tangga (URT).15
Recall konsumsi gizi memiliki unit analisis terkecil selama 24 jam atau sehari. Jangka
waktu minimal yang dibutuhkan untuk recall 24 jam konsumsi gizi adalah satu hari
(dalam kondisi variasi konsumsi pangan dari hari ke hari tidak beragam) dan
maksimal 7 hari. Namun paling ideal dilakukan dalam satu minggu atau 7 hari.
Pengulangan recall dapat dilakukan untuk meningkatkan ketepatan data zat gizi yang
diperoleh.15
Latihan recall 24 jam konsumsi gizi dapat dilakukan sebagai berikut :15
Jumlah GI actual dalam makanan bervariasi dari nilai yang ditunjukkan karena
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah bentuk fisik makanan akan
mengubah GI. Menghancurkan susunan makanan akan meningkatkan GI seperti GI
kentang meningkat sebesar 25% jika kentang ditumbuk. Pematangan buah juga
mempengaruhi nilai GI karena pati akan dikonversi menjadi gula ketika buah matang.
Pisang setengah matang mempunyai GI sebangyak 30, sedangkan pisang yang sudah
matang memiliki GI 50. Metode pengolahan dan memasak makanan juga akan
mengganggu GI seperti memanaskan, melembapkan dan memeras makanan akan
membuat pati lebih mudah dicerna sehingga meningkatkan GI.1,3
Secara umum, rentang GI yang rendah adalah <55, GI sedang adalah 55-70
dan GI tinggi adalah >70. Berdasarkan Tabel 2.5, berikut adalah daftar makanan
sesuai dengan indeks glikemiknya.3
Beberapa penelitian telah dilakukan sebelumnya untuk menilai efek indeks glikemik
terhadap respons kadar gula darah dalam tubuh. Salah satunya, penelitian oleh
Solomon dkk (2010), menyatakan diet indeks glikemik rendah dapat mengurangkan
keadaan hiperglikemik, hyperinsulinemia dan stress terhadap sel β sehingga
menurunkan resiko terjadinya diabetes.16 Namun, pada penelitian yang dilakukan oleh
Sacks dkk (2014), dinyatakan diet indeks glikemik rendah tidak membantu dalam
memperbaiki sensitifitas insulin.5
Dari sebuah studi oleh Sufiati B dan Erma H tentang asupan serat dengan
kadar gula darah, dari sampel yang diambil, rata-rata asupan serat sampel adalah 7,98
g/hari yaitu jauh kurang dari konsumsi serat yang dianjurkan. Studi ini mendapatkan
hasil terdapat hubungan antara asupan serat dengan kadar glukosa darah dengan
p=0,001.8 Studi ini sejalan dengan studi oleh Fitri RI dan Wirawanni Yekti yang juga
mendapatkan hasil terdapat hubungan antara konsumsi serat dengan kadar glukosa
darah 2 jam postprandial dengan p=0,000.5 Sebuah studi meta-analisis dari Amerika
Serikat oleh Robert E dkk tentang serat pangan sebagai pengobatan pada DM tipe 2
juga mendapat hasil dimana intervensi suplementasi serat pada pasien DM tipe 2
mampu untuk menurunkan kadar gula darah puasa dan HbA1c.9 Namun begitu,
penelitian dari Ucik Witasari dkk tidak sependapat dimana menurut dari penelitian
dengan pendekatan cross-sectional yang dilakukan oleh mereka, didapatkan hasil
tidak ada hubungan bermakna antara asupan serat dengan pengendalian kadar glukosa
darah dengan nilai p=0,561.10
Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI) merupakan alat atau
cara yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa, khususnya yang
berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Indeks Massa Tubuh (IMT)
adalah rasio standar berat terhadap tinggi, dan sering digunakan sebagai indikator
kesehatan umum. IMT dihitung dengan membagi berat badan (dalam kilogram)
dengan kuadrat tinggi badan (dalam meter). Angka IMT antara 18,5 kg/m2 dan 24,9
kg/m2 dianggap normal untuk kebanyakan orang dewasa. IMT yang lebih tinggi
mungkin mengindikasikan kelebihan berat badan atau obesitas.3 Namun, ukuran
untuk anak usia 5-18 tahun masih menggunakan kurva tumbuh kembang menurut
WHO dimana dikelompokkan menurut standard deviasi dengan rentang -3SD sampai
dengan 3SD.13
Menurut D’adamo orang yang mengalami kelebihan berat badan, kadar leptin
dalam tubuh akan meningkat. Leptin adalah hormon yang berhubungan dengan gen
obesitas. Leptin berperan dalam hipotalamus untuk mengatur tingkat lemak tubuh,
kemampuan untuk membakar lemak menjadi energi, dan rasa kenyang. Kadar leptin
dalam plasma meningkat dengan meningkatnya berat badan. Leptin bekerja pada
sistem saraf perifer dan pusat. Peran leptin terhadap terjadinya resistensi yaitu leptin
menghambat fosforilasi insulin receptor substrate-1 (IRS) yang akibatnya dapat
menghambat ambilan glukosa. Sehingga mengalami peningkatan kadar gula dalam
darah. 3
Menurut penelitian Miftahul Adnan dkk pada Hubungan Indeks Massa Tubuh
(IMT) Dengan Kadar Gula Darah Penderita Diabetes Mellitus (DM) Tipe 2 Rawat
Jalan Di RS Tugurejo Semarang, terdapat adanya hubungan antara IMT dengan kadar
gula darah.3
Kadar gula darah berkait erat dengan aktivitas fisik seseorang. Sebuah
penelitian oleh Nurul Aini Fadilah tentang gambaran karakteristik dan faktor-faktor
yang berhubungan dengan kejadian DM tipe 2 pada wanita menunjukkan bahwa
aktivitas fisik merupakan salah satu dari faktor yang mempengaruhi kejadian DM tipe
2.2 Hal ini karena aktivitas fisik memerlukan glukosa sebagai bahan bakar untuk
menghasilkan energi yang cukup untuk aktivitas yang dilakukan. Aktifitas fisik yang
kurang menyebabkan ketidakseimbangan antara kebutuhan energi yang diperlukan
dengan yang dikeluarkan.2 Selain itu, aktifitas fisik juga dapat memberikan efek
kepada kerja insulin. Efek akut peningkatan kerja insulin terjadi dalam waktu 2-72
jam setelah beraktiftas fisik ringan dan sedang. Orang yang melakukan aktivitas fisik
ringan hingga sedang mengalami penurunan kadar gula darah disebabkan oleh efek
akut peningkatan kerja insulin ini.1
Jenis olahraga yang paling berkesan dalam pengendalian kadar gula darah
adalah dengan olahraga aerobik. Hal ini karena aerobik meliputi variasi gerakan-
gerakan semua otot-otot besar, otot pernapasan, dan jantung. Contoh dari olahraga
aerobik adalah seperti jogging, berenang, senam kelompok dan bersepeda. Senam
aerobik misalnya, mempunyai variasi gerakan-gerakan yang banyak terutama gerakan
dasar kaki dan jalan dapat memenuhi kriteria CRIPE (continuous, rhythmical,
interval, progresif, dan endurance).3 Olahraga aerobik disarankan dilakukan
sekurang-kurangnya 3-5 hari seminggu, selama 20-60 menit pasa 55%-90% detak
jantung maksimal. Namun begitu, penderita DM tidak boleh berolahraga seenaknya
meraka. Sebelum diresepkan olahraga dari dokter, penderita DM harus dilakukan
penilaian uji gradasi pra-olahraga supaya olahraga yang akan menjadi rutin penderita
DM sesuai dengan compliancenya. Antara hal yang perlu dipertimbangkan adalah
jenis dan intensitas olahraga, derajat kebugaran fisik, status gizi sebagai penentu
cadangan glikogen, jadwal makan, jenis DM, obat yang digunakan serta derajat
keterkendalian kadar glukosa. Penderita DM tidak boleh berolahraga jika gula
darahnya tidak terkendali (>250mg/dl atau <100mg/dl).4 Penelitian dari Puji Indriyani
dkk yang melakukan eksperimen tanpa kelompok pembanding dengan menggunakan
group pretest-posttest design yang bertujuan melihat pengaruh senam aerobik
terhadap kadar gula darah pada penderita Diabetes Mellitus tipe 2 menunjukkan hasil
bahwa ada pengaruh latihan fisik senam aerobic terhadap penurunan kadar gula darah
pada penderita DM tipe 2 dengan kadar signifikan p=0.0001.3
Sebuah penelitian kros-seksional yang dilakukan oleh Fitri R.I dan Yekti W
tentang hubungan latihan jasmani dengan kadar glukosa darah pada pasien DM tipe 2
juga menunjukkan hubungan yang bersifat negatif dimana semakin banyak latihan
jasmani dalam seminggu maka semakin rendah kadar glukosa darah.5 Hal yang sama
didapatkan dari penelitian tentang hubungan empat pilar pengendalian DM tipe 2
dengan rerata kadar gula darah oleh Nurlaini Haida dan Muhammad Atoillah dengan
metode observasional yang bersifat analitik. Mereka mendapatkan hasil sebagian
besar responden yang melakukan olahraga memiliki kadar gula darah <160mg/dl
yaitu sebanyak 50,9%. Sebagian besar responden dengan tidak melalukan olahraga
memiliki kadar gula >160 mg/dl yaitu sebanyak 18,8%. Berdasarkan uji statistic
dengan Uji Chi Square didapatka p=0,017 yang berarti terdapat hubungan yang
signifikan antara olahraga dengan kadar gula darah sewaktu.6
Jika dilihat dari namanya, stress sepertinya tidak ada hubungan dengan
kejadian peningkatan gula darah. Namun begitu, sebenarnya stress mempunyai
hubungan secara tidak langsung dengan peningkatan kadargula darah. Hal ini
disebabkan oleh produksi hormone kortisol secara berlebihan saat seseorang
mengalami stress. Prokduksi kortisol yang berlebihan ini akan menyebabkan
seseorang itu mengalami kesulitan untuk tidur, depresi, tekanan darah menurun,
sehingga individu tersebut menjadi lemas, dan nafsu makannya meningkat.11 selain
itu, kortisol memain peran yang penting dalam pengaturan distribusi lemak tubuh dan
dapat menyebabkan lipolisis. Timbunan lemak intraabdominal memiliki resistensi
insulin lebih tinggi daripada lemak perifer sehingga merusak regulasi glukosa tubuh. 2
Oleh karena itu, kondisi stress yang panjang akan menyebabkan seseorang itu
mempunyai kecenderungan berat badan yang berlebih, yang merupakan salah satu
dari faktor resiko diabetes mellitus.
Menurut penelitian Hafifatul Auliya Rahmy, Triyanti dan Ratu Ayu Dewi
Sartika, terdapat hubungan antara riwayat keluarga DM dengan kadar gula darah.4
Sejalan dengan penelitian dari Shara Kurnia dan Soedjono S yang meneliti tentang
faktor resiko kejadian DM tipe 2 di Puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat
Tahun 2012 yang mendapatkan hasil terdapat hubungan antara riwayat DM dalam
keluarga dengan kejadian DM tipe 2.11aina Terdapat juga penelitian oleh Siti Aini dkk
tentang gambaran karakteristik dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
DM tipe 2 pada wanita dimana mereka mendapatkan hasil 49% dari responden
mempunyai riwayat keluarga dengan DM.2aina
Besar uang saku dapat mempengaruhi frekuensi jajan pada remaja usia
sekolah. Remaja yang mendapatan uang saku yang lebih dari orang tua mempunya
kecenderungan untuk membeli jajanan di pinggir jalan dekat sekolah yang tidak
berkhasiat buat anak-anak. Banyak jajanan yang kurang memenuhi syarat kesehatan
sehingga justru mengancam kesehatan. Sebagian besar makanan jajanan hanya
mengandung karbohidrat yang dapat menimbulkan rasa kenyang (Khomsan, 2002).
Maka dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara jumlah uang saku
dengan konsumsi makanan jajanan di sekolah dan hubungannya positif. Ada
kecenderungan makin besar uang saku makin beragam makanan jajana dikonsumsi
siswa.
2.3 KerangkaTeori
Riwayat Keluarga
Jenis
Kelamin
Konsumsi Makanan
Karbohidrat Tinggi
Indeks
Glikemik
Tingkat Stress
Indeks Massa
Tubuh (IMT) Konsumsi
Serat