Anda di halaman 1dari 41

BAB PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia dan lingkungan pada hakekatnya ibarat satu bangunan yang
seharusnya saling menguatkan karena manusia amat bergantung pada lingkungan,
sedang lingkungan juga bergantung pada aktivitas manusia. Namun dilihat dari sisi
manusia maka lingkungan adalah sesuatu yang pasif, sedang manusialah yang aktif,
sehingga kualitas lingkungan amat bergantung pada kualitas manusia.
Sasaran kebijakan lingkungan hidup adalah merupakan perwujudan dari
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang
berkelanjutan (sustainability) dan berkeadilan seiring dengan peningkatan
kesejahteraan masyarakat dalam lingkungan yang lebih baik dan sehat.1
Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan standar
yang tidak hanya ditujukan bagi perlindungan lingkungan, melainkan juga bagi
kebijaksanaan pembangunan. Artinya, dalam penyediaan, penggunaan, peningkatan
kemampuan sumberdaya alam dan peningkatan taraf ekonomi, perlu menyadari
pentingnya pelestarian fungsi lingkungan hidup, kesamaan derajat antar generasi,
kesadaran terhadap hak dan kewajiban masyarakat, pencegahan terhadap
pembangunan yang merusak (destruktif) yang tidak bertanggungjawab terhadap

lingkungan, serta berkewajiban untuk turut serta dalam melaksanakan pembangunan


berkelanjutan pada setiap lapisan masyarakat.
Untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan diwujudkan dengan sebuah kebijakan yang merupakan suatu keputusan
dalam upaya memecahkan suatu permasalahan yang melibatkan banyak pihak dan
sumberdaya yang tidak sedikit. Sehingga diperlukan suatu pertimbangan yang serius
dalam menentukan serta menetapkan suatu kebijakan-kebijakan yang berkaitan
dengan pengelolaan lingkungan hidup tergolong pada kebijakan bagi kepentingan
umum. Dengan demikian kepentingan seluruh lapisan masyarakat akan ditentukan
oleh kebijakan tersebut.
Pembangunan berkelanjutan pertama kali di perkenalkan pada Konferensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (selanjutnya disebut PBB) tentang Lingkungan dan
Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development) atau
yang dikenal dengan Konferensi Tingkat Tinggi (Earth Summit) yang
diselenggarakan pada bulan Juni 1992 di Rio De Jeneiro, merupakan tonggak sejarah
yang menyatukan para Kepala Negara dan Pejabat Pemerintah dari seluruh dunia
bersama dengan utusan Badan-Badan PBB, organisasi Internasional dan utusan
lainnya dari berbagai organisasi non pemerintah (Ornop). Konferensi yang dihadiri
oleh 179 negara tersebut secara jelas menyatakan bahwa pembangunan nasional atau

negara tidak bisa lagi memisahkan antara pengelolaan lingkungan dengan


pembangunan sosial ekonomi sebagai bidang-bidang yang terpisah, mengandung
prinsip-prinsip dasar yang harus dilandasi setiap keputusan dan kebijakan pemerintah
dimasa depan, dengan mempertimbangkan implikasi lingkungan terhadap
pembangunan, sosial ekonomi.
Adapun modal pembangunan integrasi dimensi lingkungan keseluruh sektor
pembangunan terkait merupakan suatu prasyarat. Agenda 21 yang merupakan program
kerja besar untuk abad ini sampai dengan abad 21 dan cerminan konsensus yang
dicapai oleh 179 negara tersebut, merupakan dokumen cetak biru dalam
mewujudkan hubungan kemitraan global yang bertujuan terciptanya keserasian
antara dua kebutuhan penting, yaitu lingkungan yang bermutu tinggi dan
perkembangan serta pertumbuhan ekonomi yang sehat bagi seluruh penduduk
dunia.
Dengan adanya konferensi tersebut, pemerintah Indonesia dengan cepat
telah menyusun suatu rencana guna memenuhi persyaratan umum dari prinsip-
prinsip pembagian lingkungan serta tujuan umum dari KTT bumi dalam
melaksanakan pembangunan berkelanjutan. Dalam hal ini Pemerintah mempunyai
kewenangan untuk menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pengelolaan
lingkungan hidup.
Untuk menindaklanjuti hasil dari konferensi tersebut Pemerintah diberi
kewenangan untuk mengeluarkan kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Oleh karena itu diterbitkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UULH) yang
di ubah dengan dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut PPLH). Kemudian PPLH ini dalam
pelaksanaannya didukung dengan keluarnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
kemudian diubah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Undang-undang ini memberi kewenangan seluas-luasnya kepada pemerintah
daerah untuk mengelola sumberdaya alam dan lingkungan hidup sebaik mungkin
untuk kepentingan masyarakat dalam rangka pembangunan berkelanjutan.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) juncto Pasal
17 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, pengelolaan sumber daya alam ini
dilakukan pemerintah daerah dalam hubungannya dengan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah lainnya.
Dengan berlakunya Otonomi Daerah, telah memberikan kewenangan yang
nyata dan bertanggungjawab pada Pemerintahan Kota Binjai untuk menggali dan
melaksanakan pembangunan daerah sesuai dengan potensi yang terdapat di daerah
tersebut. Terutama untuk dapat mengantisipasi masalah-masalah lingkungan yang
terjadi akibat kecepatan dinamika perubahan pembangunan.
Untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan tersebut pemerintah kota
Binjai diperlukan membuat sebuah kebijakan dan sebuah perencanaan yang sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, sehingga dapat memberikan jaminan,
perlindungan, kepastian, dan arah bagi pengelolaan lingkungan hidup. Instrumen
yang dibutuhkan untuk itu adalah undang-undang yang mengatur tentang pengelolaan
lingkungan hidup, yaitu PPLH. Undang-undang ini berfungsi mengatur, juga
berfungsi sebagai pemberi kepastian, pengamanan, pelindung dan penyeimbang, yang
sifatnya dapat tidak sekedar adaftif, fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif.
Potensi undang-undang ini terletak pada dua dimensi utama dari fungsi
hukum yaitu fungsi preventif dan fungsi represif. Dimensi fungsi PPLH merupakan
instrumen yang tidak hanya potensial untuk mengatur dan menjaga harmonisasi
kehidupan masyarakat, melainkan juga potensial untuk merekayasa masyarakat dalam
hal ini hukum sebagai sarana perubahan sosial atau sarana pembangunan.
PPLH merupakan sarana bagi pembangunan berwawasan lingkungan,
dengan mengoperasionalkan dan memberdayakan hukum sebagai langkah yang harus
diambil untuk memacu kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat dan aparat
penegak hukum serta mengefektifkan pelaksanaan hukum (law enforcement).
PPLH telah mempresentasikan hak-hak masyarakat secara sosial,
ekonomi, hukum dan politik untuk berpartisipasi dalam pengelolaan lingkungan
hidup. Dengan demikian persoalan-persoalan pengelolaan lingkungan hidup harus
memiliki prinsip-prinsip dasar bagi berkembangnya demokratisasi, transparansi dan
independensi sebagai pelaksanaan good governance (tata pemerintahan yang efektif).
Hal ini disebabkan karena adanya berupa dikotomi pemikiran pembangunan
dengan lingkungan yang menimbulkan tidak berjalan dengan baiknya clean
government yang mengakibatkan program pembangunan berkelanjutan tidak berjalan
sesuai dengan prinsip-perinsip pengelolaan lingkungan hidup.
PPLH sebagai payung hukum dalam pengelolaan lingkungan hidup
merupakan sarana yang diterapkan untuk mengatasi masalah dan dampak yang
ditimbulkan dengan adanya kegiatan pembangunan tersebut. Oleh karena itu
diperlukan adanya kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah dalam
pengaturan pengelolaan lingkungan hidup yang diharapkan terwujudnya
pembangunan yang berkesinambungan dan berwawasan lingkungan hidup.

Kondisi yang terjadi adalah banyaknya terjadi perubahan terhadap


eksploitasi sumberdaya alam yang tidak sesuai dengan peruntukkannya,
pengembangan investasi, penerapan teknologi modern, perubahan kelembagaan
seperti pelaksanaan otonomi daerah, kesemuanya dapat dilakukan dengan adanya
kebijakan yang konsisten dari pemerintah daerah yang sesuai dengan kebutuhan pada
saat ini dan dimasa mendatang.
Peranan pembangunan dalam perumusan kebijakan pengelolaan lingkungan
hidup harus dioptimalkan dalam rangka meningkatkan penegakan supremasi hukum
untuk mewujudkan pelestarian fungsi lingkukungan hidup yang menyebabkan hak-
hak masyarakat untuk menggunakan dan menikmatinya menjadi terlindungi dan
terbuka dan dapat mengurangi terjadinya konflik baik yang bersifat vertikal maupun
horizontal.
Kebijakan pemerintah daerah dalam pengelolaan lingkungan hidup
bertujuan untuk menciptakan pembangunan daerah berkelanjutan berwawasan
lingkungan hidup harus didukung atas kerjasama yang erat serta memiliki komitmen
yang kuat antar lembaga/instansi yang berkaitan dengan sosial, kultur maupun
kependudukan, sehingga apa-apa saja kendala yang dihadapi memiliki landasan yang
dapat dijadikan tolak ukur keberhasilan pembangunan di kota Binjai.
Oleh karena itu berdasarkan uraian latar belakang di atas Penulis memilih
judul tentang “Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1997 di Kota Binjai”.

B. Tujuan
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian ini adalah tentang
1. Untuk mengetahui penerapan Undang-undang Nomor 23 Tahun1997 tentng
Pengelolaan Lingkungan Hidup Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam
perspektif otonomi daerah.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup di Kota
Binjai, beserta kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaannya.

BAB II pembahasan
C. Proses dan Mekanisme Pelaksanaan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam
Otonomi Daerah

Otonomi daerah telah memberikan kewenangan kepada Kabupaten/Kota


dengan ketentuan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah beserta Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonomi dalam rangka
pengelolaan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Dengan adanya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah beserta Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonomi,
peraturan ini pada pokoknya memberikan kewenangan yang luas, nyata dan
bertanggungjawab kepada daerah secara proposional yang diwujudkan dengan
pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional serta dengan
memperhatikan potensi keanekaragaman daerah.
Realita menunjukkan pembangunan di daerah dihadapkan pada
permasalahan pokok. Meningkatnya kegiatan ekonomi menyebabkan banyaknya
permintaan barang dan jasa, terutama yang disediakan alam dan memberi dampak

negatif pada ketersediaan sumberdaya alam dan lingkungan. Kecenderungan ini


tercermin dari meningkatnya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam.
Hal ini berpengaruh pada penurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya alam, dan
lingkungan hidup yang pada akhirnya akan menjadi ancaman bagi kelangsungan
kehidupan rakyat.
Berbagai pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pembangunan yang
berorientasi pada aspek ekonomi tanpa pendekatan pemanfaatan sumberdaya yang
berkelanjutan yang meliputi aspek pelestarian, kesejahteraan dan sosial ternyata
hanya memberikan manfaat dalam jangka pendek.
Pesatnya peningkatan pertumbuhan populasi, teknologi dan disisi lain
semakin terbatasnya sumberdaya dan rendahnya mutu lingkungan dituntut adanya
pola pembangunan yang terencana dengan baik, realistik dan strategik dan bernuansa
lingkungan yang dalam jangkan panjang dapat menjamin pemanfaatan sumberdaya
secara berkelanjutan.
Sebagaimana lazimnya setiap pemerintah daerah berusaha sedapat mungkin
mengembangkan potensi yang ada untuk menunjang biaya pembangunan
berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan pada dasarnya merupakan
suatu rangkaian usaha terencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu masyarakat
dan bangsa bersama pemerintah untuk mengubah suatu keadaan yang kurang baik
menjadi lebih baik dengan cara melakukan proses pengolahan sumber daya alam dan
sumber daya manusia dengan memanfaatkan teknologi untuk memenuhi masyarakat

yang semakin kompleks dan terus berkembang yang disebabkan oleh laju
pertambahan penduduk.
Keadaan ini akan membawa dampak negatif jika tidak ditata sejak dini
dengan melaksanakan konsep pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup. Hal ini disebabkan karena banyaknya permasalahan yang dihadapi
oleh daerah-daerah perkotaan di Indonesia. Melihat kecenderungan perkembangan
dan tantangan pembangunan daerah-daerah perkotaan dimasa yang akan datang, perlu
juga diperhatikan agar pembangunan dilakukan dan dipersiapkan sedini mungkin,
salah satu kebijakan yang dapat dioperasikan adalah meningkatkan dan memantapkan
peran pemerintah daerah sebagai fasilitator untuk mendorong peran swasta dan
masyarakat dalam pembangunan dipedesaan, dengan menciptakan iklim yang
kondusif bagi peran serta masyarakat, sehingga mutu atau kualitas pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan hidup dapat diwujudkan. Seperti kita ketahui
bahwa kondisi umum yang ada selama ini, konsep pembangunan berkelanjutan
diletakkan hanyalah sebagai kebijaksanaan saja. Namun, didalam pengalaman
prakteknya, justru terjadi pengelolaan sumber daya alam yang tidak terkendali
dengan akibat kerusakan lingkungan yang mengganggu kelestarian alam.
Hal ini timbul karena luasnya ruang lingkup pembangunan daerah
terutama dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang belum didukung oleh
kesiapan dan kemampuan sumber daya manusia dan aparatur pemerintah daerah yang
memadai serta belum adanya perangkat peraturan bagi pengelolaan sumber daya alam
di daerah.
Untuk itulah kebijakan dan program pembangunan nasional ditetapkan
sesuai dengan amanat konstitusi berdasarkan visi bangsa Indonesia yang ingin
dicapai yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai demokratis,
berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera, dalam wadah negara Kesatuan
Republik Indonesia yang didukung manusia Indonesia yang sehat, mandiri,
beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan
lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang
tinggi serta disiplin.
Kebijakan pengelolaan lingkungan hidup dalam proses pembangunan
dapat berjalan dengan baik dengan adanya peranserta masyarakat dalam
pembangunan amat penting pengaruhnya dalam upaya meningkatkan daya guna
pembangunan terkait dalam pengelolaan lingkungan hidup dan pembangunan.
Dalam rangka mewujudkan visi yang dimaksud di atas telah ditetapkan
salah satu misi pembangunan ekonomi nasional, yaitu pemberdayaan masyarakat dan
seluruh kekuatan ekonomi nasional, terutama pengusaha kecil, menengah dan
koperasi, dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada
mekanisme pasar yang berkeadilan berbasis pada sumber daya alam dan sumber daya
manusia yang produktif, mandiri, maju, berdaya saing, berwawasan lingkungan,
dan berkelanjutan.
Pengelolaan lingkungan dilakukan berdasarkan pengelolaan atas dasar
batas sistem ekologi suatu kawasan akan menjadi tidak efektif karena adanya
batasan administratif masing-masing daerah otonom. Pembagian batas wilayah
pengelolaan yang dipaksakan tersebut memunculkan dilema yang saat inisedang
dihadapi oleh pemerintah kabupaten/kota. Dilema pengelolaan sumber daya alam
dalam lingkup satu wilayah administratif relatif lebih kecil dibandingkan
pengelolaan sumber daya alam yang lintas batas administratif, bahkan pengelolaan
sumber daya alam lintas batas tersebut merupakan salah satu sumber konflik
antara beberapa wilayah kabupaten/kota.
Bertitik tolak dari kondisi yang sedang terjadi di atas, perlu segera
dirumuskan sebagaimana menyikapi penerapan otonomi daerah dalam konteks
pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam baik yang berada dalam batas
administratif satu daerah otonom maupun sumberdaya alam yang lintas batas
administratif. Forum dialog merupakan wahana yang tepat untuk menselaraskan
kembali, antara kerangka kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang berwawasan
lingkungan di satu-sisi dengan adanya pelimpahan wewenang kepada pemerintah
kabupaten/kota.
Untuk mengatasi berbagai masalah di bidang pengelolaan sumberdaya
alam dan lingkungan hidup, telah ditetapkan salah satu prioritas pembangunan
ekonomi nasional, yaitu mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan
pembangunan ekonomi berkelanjutan dan berkeadilan berdasarkan sistem ekonomi
kerakyatan. Pembangunan sumber daya alam dan lingkungan hidup dalam bab ini
menjadi acuan bagi kegiatan berbagai sektor pembangunan agar tercipta
keseimbangan dan kelestarian fungsi sumber daya alam dan lingkungan hidup
sehingga keberlanjutan pembangunan tetap terjamin.
Pola pemanfaatan sumber daya alam seharusnya dapat memberikan
akses kepada masyarakat adat dan lokal, bukan terpusat pada beberapa kelompok
masyarakat dan golongan tertentu. Dengan demikian pola pemanfaatan sumber
daya alam harus memberi kesempatan dan peran serta aktif masyarakat adat dan
lokal, serta meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengelola sumber daya
alam secara berkelanjutan.
Peranan pemerintah dalam perumusan kebijakan pengelolaan lingkungan
hidup harus dioptimalkan karena hal ini sangat penting peranannya terutama dalanl
rangka meningkatkan pendapatan negara melalui mekanisme pajak, retribusi dan
bagi hasil yang jelas dan adil, serta perlindungan dari bencana ekologi. Sejalan
dengan otonomi daerah, pendelegasian secara bertahap wewenang pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya. alam dimaksudkan
untuk meningkatkan peranan masyarakat lokal dan tetap terjaganya fungsi
lingkungan.
Otonomi daerah merupakan potensi utama dalam pengelolaan lingkungan
hidup dengan lebih baik, dalam perwujudan pemerintahan yang baik, tuntutan
kualitas sumberdaya manusia sangat diperlukan dalam rangka implementasi otonomi
daerah dalam pengelolaan lingkungan hidup, yaitu dengan adanya :
1. Visi dan orientasi yang menghargai keterbatasan daya dukung lingkungan (pro
nature). Visi yang demikian diharapkan mampu memadukan aspek ekonomi,
sosial, dan lingkungan.
2. Profesional, terbuka, akuntabel. Syarat inin diperlukan dalam menciptakan
pemerintahan yang kuat (profesional) tetapi responsif terhadap kepentingan,
aspirasi dan tuntutan masyarakat.
3. konsisten dan memiliki integritas, hal ini diperlukan dalam penegakan hukum.
Penegakan hukum mempersyaratkan lembaga peradilan yang independen dan
tidak memihak.
4. Berpikir dalam kerangka sistem dan holistic (bukan parsial dan ego daerah).
5. Daya kritis dan partisipatif dari masyarakat. Sebagaimana diketahui, salah satu
pendorong penataan lingkungan (environmental complience) adalah adanya
tekanan masyarakat.juga merupakan kontrol terhadap kebijakan pemerintah.
Karena itu diperlukan daya kritis dan peran aktif masyarakat dalam penyusunan
kebijakan dan implementasi. Daya kritis tentang lingkungan seharusnya perlu
dilarutkan dalam agenda politik, kinerja wakil
rakyat dan parpol harus dievaluasi dari aspek lingkungan.38
Kontrol masyarakat dan penegakan supremasi hukum dalam pengelolaan
lingkungan hidup dan pelestarian fungsi lingkungan hidup merupakan hal yang
penting, yang menyebabkan hak-hak masyarakat untuk menggunakan dan
menikmatinya menjadi terbuka dan mengurangi konflik, baik yang bersifat vertikal
maupun horizontal.
Jika semua pihak telah melarutkan aspek lingkungan dalam pertimbangan
kebijakannya, maka aspek lingkungan akan inheren dalam perilaku sehari-hari. Jika
terjadi penyimpangan, akan mendapat teguran dari yang melihatnya. Perilaku yang
demikian ini merupakan bagian penting dari self regulation dalam pengelolaan
lingkungan hidup.
Kemudian sistem hukum yang baik juga sangat diperlukan dalam
pengelolaan lingkungan hidup, dimana hukum lingkungan harus memiliki perspektif
berkelanjutan, penghormatan hak-hak asasi manusia, demokrasi, kesetaraan gender,
dan pemerintahan yang baik (good governance).
Peraturan perundangan yang mengatur pengelolaan lingkungan hidup
harus dapat mengurangi tumpang tindih peraturan penguasaan dan pemanfaatan
dalam rangka mewujudkan keselarasan peran antara pusat dan daerah serta antar
sektor. Selain itu, peran serta aktif masyarakat dalam memanfaatkan akses dan
mengendalikan kontrol terhadap penggunaan sumberdaya alam yang terdapat pada
lingkungan hidup harus lebih optimal karena dapat melindungi hak-hak publik

dan hak-hak masyarakat adat.


Kemiskinan akibat krisis ekonomi disertai melemahnya wibawa
hukum perlu diperhatikan agar kerusakan sumber daya alam tidak makin parah,
termasuk penjarahan terhadap hutan, kawasan konservasi alam dan sebagainya.
Meningkatnya intensitas kegiatan penduduk dan industri perlu dikendalikan untuk
mengurangi kadar kerusakan lingkungan dibanyak daerah antara lain pencemaran
industri, pembuangan limbah yang, tidak memenuhi persyaratan teknis dan
kesehatan, penggunaan bahan bakar yang tidak aman bagi lingkungan pertanian
penangkapan ikan dan pengelolaan hutan yang mengabaikan daya dukung dan daya
tampung lingkungan.
Dalam memperhatikan permasalahan dan kondisi sumber daya alam dan
lingkungan hidup dewasa ini, kebijakan di bidang pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup ditujukan pada upaya :
a. Mengelola sumber daya alam dan lingkungan hidup, baik yang dapat
diperbaharui maupun tidak dapat diperbaharui melalui penerapan teknologi
ramah lingkungan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampungnya;
b. Penegakan hukum secara adil dan konsisten untuk menghindari perusakan
dan/atau pencemaran lingkungan hidup;
c. Mendelegasikan kewenangan dan tanggung jawab kepada pemerintah
daerah dalam pengelolaan lingkungan hidup secara bertahap;

d. Memberdayakan masyarakat dan kekuatan ekonomi dalam pengelolaan


sumber daya alam dan lingkungan hidup bagi peningkatan kesejahteraan lokal;
e. Menerapkan secara efektif, penggunaan indikator-indikator untuk mengetahui
keberhasilan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup;
f. Memelihara kawasan konservasi yang sudah ada dan menetapkan kawasan
konservasi bagi di wilayah tertentu;
g. Mengikutsertakan masyarakat dalam rangka menanggulangi permasalahan
lingkungan global.
Sasaran yang ingin dicapai adalah terwujudnya pengelolaan sumberdaya
alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan dan berwawasan keadilan seiring
dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat lokal serta meningkatnya kualitas
lingkungan hidup sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan, serta terwujudnya
keadilan antar generasi, antar dunia usaha dan masyarakat dan antar negara maju
dengan negara berkembang dalam pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan
hidup yang optimal.
Menerapkan indikator-indikator yang memungkinkan pelestarian
kemampuan keterbaharuan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan
hidup yang dapat diperbaharui untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat baik.
Mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya alam secara selektif dan
pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga, yang
diatur dengan undang-undang.
Mendayagunakan sumberdaya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan
hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya
masyarakat lokal serta penataan ruang yang pengusahaannya diatur dengan undang-
undang.
Oleh karena itu kebijakan yang perlu diterapkan oleh pemerintah dalam
pengelolaan lingkungan hidup di era otonomi daerah adalah Pertama, adanya
peraturan perundang-undangan pemerintah yang tegas dan jelas, Kedua, adanya kode
praktek pengelolaan lingkungan hidup berbagai organisasi, misalnya International
Standardization Organization (ISO) dan asosiasi perusahaan, juga kode praktek
yang disusun oleh masyarakat, dimana kode praktek ini menjadi pedoman yang
mengikat untuk mencapai kebutuhan, Ketiga, adanya pengawasan juga sangat
diperlukan, dimana pengawasan ini yang dahulunya didominasi oleh pemerintah,
sekarang telah bergeser kearah pengawasan oleh masyarakat sendiri, baik secara
sendiri-sendiri, maupun sebagai anggota organisasi, misalnya LSM, Universitas,
anggota asosiasi perusahaan. Dengan adanya pengawasan yang efektif maka
pengelolaan lingkungan hidup dapat berjalan dengan baik dan kewenangan ini
diberikan sepenuhnya dalam otonomi daerah agar dapat dimanfaatkan oleh daerah
sebaik mungkin.
D. Hasil yang dicapai hingga saat ini mengenai pengelolaan lingkungan hidup
terhadap otonomi daerah (disertai data pendudkung) “ kota binjai”

1. Kebijakan Pengelolaan Tata Ruang


Kebijakan pengelolaan tata ruang diatur pada Peraturan Daerah Kota
Binjai Nomor 2 tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Binjai Tahun
2001, persetujuan DPRD Nomor 5/DPRD-II/5-2001 tanggal 29-3-2001, diundangkan
dalam Lembaran Daerah Nomor 2 Seri D tanggal 5-4-2000.
Perda ini dibuat untuk menertibkan proses pembangunan kota Binjai
dan selanjutnya Rencana Umum Tata Ruang Kota Binjai mampu mendukung
pembangunan dengan baik, hal ini dilakukan dengan maksud agar :
a. Pembangunan dilaksanakan dapat dilakukan secara konsisten dengan
peruntukan lahan yang telah disusun pada Rencana Umum Tata Ruang Kota
Binjai.
b. Tata Ruang yang ada terbukti mampu meningkatkan efisiensi dalam penggunaan
lahan dan pemanfaatan ruang.
c. Pembangunan dengan mengacu kepada Rencana Umum Tata Ruang terbukti
mampu mendukung pembangunan ekonomi yang digambarkan oleh
pertumbuhan ekonomi.
Berbagai kebijakan dan tindakan yang dilakukan Pemerintah Kota
Binjai untuk mendorong dan melaksanakan pembangunan khususnya berkaitan
dengan Rencana Umum Tata Ruang di kota Binjai adalah dengan melaksanakan :
a. Melakukan revisi terhadap Rencana Umum Tata Ruang wilayah untuk
menampung perubahan yang ada.
b. Penataan ruang kawasan jasa perdagangan selain kawasan bisnis juga dapat
bermanfaat untuk pembudidayaan burung walet.
c. Mengupayakan Perluasan Wilayah Kota Binjai dengan memasukkan sebagai
lahan PTP II.
d. Penataan tata ruang untuk membangun kawasan industri, peternakan dan jasa
perdagangan secara teratur
e. Melakukan identifikasi dan evaluasi penyimpangan-penyunpangan tata ruang.
f. Sosialisasi Rencana Tata Ruang secara luas di masyarakat.
g. Pemutahiran Rencana Tata Ruang.
h. Menerbitkan peraturan daerah tentang RUTR Kota Binjai.

2. Kebijakan Pengelolaan Sistem Perizinan


Dalam pengelolaan lingkungan hidup, sestem perizinan merupakan salah
satu aspek penting dalam pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
di suatu daerah. Dalam prakteknya, Pemerintah mempunyai kewenangan untuk
menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh izin tersebut yang
biasanya dituangkan dalam bentuk Surat Ketetapan.
Izin merupakan keputusan tata usaha negara (beschikking) yang dalam
hubungannya dengan pengelolaan lingkungan wajib disertai dengan persyaratan-
persyaratan dan pertimbangan lingkungan. Pada lazimnya jenis izin mengenai
kegiatan yang mempunyai dampak (penting) terhadap lingkungan dikenal dengan
istilah izin lingkungan (environmental license).
Khusus untuk kota Binjai sistem perizinan merupakan hal sangat signifikan
dalam pengaturannya. Oleh karena itu pemerintah kota binjai banyak mengeluarkan
peraturan tentang sistem perizinan baik berbentuk peraturan daerah atau keputusan
walikota Binjai, antara lain : Peraturan Daerah Kota Binjai Nomor 5 Tahun 2001
Tentang Izin Tempat Usaha, Peraturan Daerah Kota Madya Tingkat II Binjai Nomor
25 Tahun 1998 Tentang Retribusi Izin Gangguan, Peraturan Daerah Kota Binjai
Nomor 23 Tahun 1998 Tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan dalam Daerah
Kotamadya Daerah Tingkat II Binjai, Keputusan Walikota Binjai Nomor 503.640-
223/SK/2000 Tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II
Kota Binjai Nomor 23 Tahun 1998 Tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan,
Keputusan Walikota Binjai Nomor 503.640-223/SK/2000 Tentang Pelaksanaan
Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Kota Binjai Nomor 23 Tahun 1998
Tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan ini juga didukung dengan adanya
Ketetapan Tarif Retribusi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dalam Kota Binjai
Nomor 503.648-611 Tanggal 20 Maret 2000, Keputusan Walikota Binjai Nomor 620-
252/SK/2000 Tentang Penetapan Kelas Jalan, Daerah Milik Jalan (DAMIJA) dan
Garis Sempadan Bangunan (GSB) untuk izin Mendirikan Bangunan dalam Kota
Binjai.
Sistem perizinan yang mendapatkan perhatian khusus adalah mengenai Izin
Mendirikan Bangunan (IMB). Hal ini disebabkan karena Kota Binjai selain strategis,
merupakan kota pemukiman yang setiap tahun jumlah penduduknya meningkat, dan
akan berakibat pula terhadap jumlah bangunan-bangunan yang diperuntukkan dan
disesuaikan dengan sektor yang terdapat di daerah juga akan bertambah. Sebagai
sarana yang ditetapkan untuk mengatasi masalah dan dampak yang ditimbulkan
dengan adanya kegiatan pembangunan tersebut adalah melalu pemberian izin kepada
perusahaan-perusahaan untuk mendirikan bangunan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Bapedaldako Binjai
menyatakan bahwa : Pada dasarnya masalah mengenai prosedur dan persyaratan
untuk Memperoleh Izin Mendirikan Bangunan (IMB) merupakan ketentuan yang
mengatur secara khusus untuk melindungi lingkungan hidup, hal tersebut disebabkan
karena efek dari mendirikan bangunan dapat menjadi beban yang berkepanjangan
bagi lingkungan hidup apabila bangunan tersebut tidak memperhatikan ketentuan dari
syarat dan prosedur mendirikan bangunan tersebut.
Untuk daerah kota Binjai, pemerintah daerah telah mengeluarkan berbagai
peraturan yang mengatur mengenai ketentuan tentang Retribusi Izin Mendirikan
Bangunan yang bertujuan untuk memberikan perlindungan, pembinaan, pengamatan,
pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau
fasilitas guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestrarian lingkungan di
kota Binjai. Adapun prosedur dan Persyaratan-Persyaratan untuk Memperoleh Izin
Mendirikan Bangunan (IMB) pada Pemerintah Kota Binjai diatur pada Pasal 2
Keputusan Walikota Binjai Nomor 503.640-223/SK/2000 Tentang Pelaksanaan
Peraturan Daerah Kotamadaya Binjai Daerah Tingkat II Binjai Nomor 23 Tahun 1998
Tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan yang mengatur mengenai persyaratan
untuk memperoleh izin untuk mendirikan bangunan :
a. Setiap orang pribadi atau badan hukum yang mendirikan bangunan harus
memperoleh izin dari kepala daerah dengan terlebih dahulu mengajukan
permohonan melampirkan :
1) Tanda bukti pemilik dan penguasaan tanah yang dilegalisir oleh Camat
setempat.
2) Surat keterangan tidak ada silang sengketa terhadap tanah yang akan didirikan
bangunan dari Camat setempat;
3) Surat keterangan situasi bangunan;
4) Fotocopy tanda pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);
5) Dokumen Amdal (Analisis mengenai dampak lingkungan) yang disetujui Tim
Komisi tingkat dua untuk usaha industri/ pabrik/ perumahan/ Real estate,
pusat perbelanjaan dan usaha-usaha yang mempunyai dampak lingkungan
lainnya.
b. Hal-hal lain yang ditetapkan oleh Kepala Daerah.

1) Izin mendirikan bangunan yang diberikan terhadap kawasan-kawasan yang


peruntukan tanahnnya telah ditetapkan sesuai dengan rencana tata ruang kota.
2) Bangunan yang didirikan, diperbaiki, ditambah, dirubah maupun dibongkar
harus sesuai dengan izin yang diberikan.
3) Penggunaan bangunan yang telah selesai didirikan harus memperoleh izin dari
Kepala Daerah.
Adapun syarat-syarat untuk memperoleh izin mendirikan bangunan sebagai
berikut :
a. Permohonan izin mendirikan bangunan diajukan kepada Walikota Binjai c/q.

Kepala Dinas Tata Kota kota Binjai dengan mengisi formulir yang telah
disediakan untuk itu dan melampirkan syarat-syarat sebagai berikut :
1) surat permohonan diketahui oleh Kepala Kelurahaan setempat dan dibubuhi
material.
2) Fotocopy surat tanah yang dilegalisir camat setempat. Bagi tanah yang
dilegalisir camat setempat. Bagi tanah yang bersertifikat, melampirkan bukti
penguasaan/ pemilikan tanah lainnya dengan dilengkapi surat keterangan
tidak silang sengketa dari Lurah dan diketahui oleh Camat setempat.
3) Gambar bangunan terdiri dari :
a). Gambar rencana bagunan
b). Gambar konstruksi
c). Perhitungan konstruksi, rencana anggaran biaya serta gambar instalasi
untuk bangunan khusus atau bila dianggap perlu yang ditandatangani oleh
perencanaan.
d). Sistem pengelolaan limbah untuk bangunan khusus
e). Produk Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).
f). Foto copy pelunasan PBB tahun terakhir.
Setelah prosedur dan syarat-syarat diatas telah dipenuhi oleh orang pribadi
atau badan hukum maka izin tersebut berlaku 6 (enam) bulan sejak izin diterbitkan
dan dapat diperpanjang dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Daerah.
(Pasal 3 Keputusan Walikota Binjai Nomor 503.640-223/SK/2000 Tentang
Pelaksanaan Peraturan Daerah Kotamadaya Binjai Daerah Tingkat II Binjai Nomor
23 Tahun 1998 Tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan).
Dari ketentuan peraturan di atas jelas bahwa hukum lingkungan merupakan
hukum yang berorientasikan lingkungan hidup. Ketentuan dari Perda di atas
merupakan peraturan hukum yang berorientasikan kepada izin untuk mendirikan
bangungan yang bertujuan untuk mencegah timbulnya permasalahan lingkungan yang
membahayakan bagi kehidupan dan kesejahteraan manusia.

Pembangunan gedung-gedung yang akan didirikan di kota Binjai


merupakan salah satu program pembangunan Walikota Binjai untuk menciptakan
Kota Binjai yang semakin baik perkembangan kotanya.
3. Kebijakan Pengelolaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
Pengertian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan ditetapkan Pasal 1 butir
21 PPLH jo Pasal 1 butir PP 27 Tahun 1999, yang berbunyi sebagai berikut : Analisis
mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak
besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan
hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan
usaha dan/atau kegiatan.
Dengan kata lain, mencakup seluruh kegiatan studi/ pengkajian terhadap
dampak yang telah atau diperkirakan akan timbul oleh karena adanya suatu kegiatan/
proyek terhadap lingkungan, baik lingkungan fisik maupun non-fisik serta
rekomendasi berdasarkan hasil analisis tersebut.
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) merupakan instrumen
pengendalian dampak lingkungan di lndonesia. Bahkan hingga saat ini Amdal
masih dikenal meluas diberbagai lapisan dan golongan masyarakat. Instrumen
ini dengan cepat dikenal karena disosialisasikan secara aktif melalui jalur
pendidikan non formal (Kursus Dasar, Penyusun dan Penilai Amdal) maupun
secara tidak langsung melalui jalur penilaian dokumen Amdal. Dibentuknya
Komisi Pusat dan Daerah untuk penilaian Amdal, dan adanya persyaratan-
persyaratan perijinan yang terkait dengan Amdal, secara tidak langsung telah
mendorong banyaknya pihak, khususnya aparatur Pemerintah yang mengenal
istilah AMDAL.
Namun setelah lebih 15 tahun AMDAL berjalan di Indonesia (terhitung
sejak pertama kalinya ditetapkan Peraturan Pemerintah tentang AMDAL, yakni
PP Nomor 29 Tahun 1986), banyak pihak merasa bahwa AMDAL belum manjadi
instrument yang efektif untuk pengendalian (terutama pencegahan) dampak
lingkungan. Bahkan akhirnya AMDAL banyak dipandang sebagai cost center
ketimbang sebagai kontributor untuk cost s a v i n g .
Oleh karena itu untuk menanggulangi dan mengatasi masalah lingkungan
yang semakin kompleks yang terjadi di kota Binjai dibentuklah Komisi AMDAL
yang terdiri dari Badan/Dinas/Bagian serta LSM yang berkaitan dengan pengelolaan
lingkungan hidup.
Komisi AMDAL ini dibentuk untuk sebagai penilai kualitas lingkungan
hidup di Kota Binjai dengan menempatkan setiap anggota dalam Komisi AMDAL.
Agar Komisi Amdal ini dapat berlaku efektif, hal-hal yang dilakukan adalah :
a. Peningkatan terus menerus kompetensi teknis anggota,
b. Tersedianya panduan, prosedur dan criteria penilaian dokumen AMDAL yang
efektif digunakan;
c. Akuntabilitas proses penilaian AMDAL.
Ketiga faktor ini merupakan factor yang dapat terus ditingkatkan,
dikembangkan dan di fasilitasi oleh Pemerintah agar mutu penilai AMDAL
meningkat secara bertahap.
Kepala Bapedalda Kota Binjai Menyatakan bahwa telah dibentuk Komisi
AMDAL di kota Binjai yang terdiri dari Pakar lingkungan hidup, Perguruan Tinggi,
LSM, dan Instansi Teknis yang keanggotaannya berjumlah 13 orang. Komisi
AMDAL bertugas mengevaluasi layak tidaknya suatu kegiatan perekonomian
dibangun di kota Binjai dengan pertimbangan dampak lingkungan sosial dan
ekonomi.

4. Kebijakan Pengelolaan Kualitas Air


Air merupakan salah satu diantara pembawa penyakit yang berasal dari
tinja untuk sampai kepada manusia. Supaya air yang masuk ketubuh manusia baik
berupa minuman ataupun makanan tidak menyehatkan/merupakan pembawa
bibit penyakit, maka pengolahan air baik berasal dari sumber, jaringan transmisi
atau distribusi adalah mutlak diperlukan untuk mencegah terjadinya kontak
antara kotoran sebagai sumber penyakit dengan air yang sangat diperlukan.
Kebanyakan maupun kekurangan air akan menyebabkan masalah.
Apalagi kalau kebanyakan air itu sampai menyebabkan banjir. Kualitas air juga
sangat penting. Apabila kualitas air tidak memadai untuk suatu peruntukan
tertentu, misalnya minum, haruslah air itu diolah dulu sehingga memakan biaya
yang tinggi.
Kualitas air menurun disebabkan pencemaran,dimana pencemaran yang
terbesar adalah disebabkan karena limbah rumah tangga. Pencemaran air dapat terjadi
pada berbagai sumber air seperti mata air, air tanah dalam, danau, waduk, sungai dan
saluran buatan. Demikian pula perairan pantai dan laut yang merupakan penampung
air dari semua sumber pembuangan air limbah dapat pula tercemar.
Air merupakan bagian dari sumber daya alam, juga sebagai bagian dari
ekosistem secara keseluruhan. Mengingat keberadaannya di suatu tempat dan di suatu
waktu tidak tetap artinya bisa berlebih atau kurang maka air harus dikelola dengan
bijak dengan pendekatan terpadu dan menyeluruh. Terpadu mencerminkan keterikatan
dengan berbagai aspek, berbagai pihak (stakehoiders) dan berbagai disiplin ilmu.
Peningkatan kuantitas air adalah merupakan syarat kedua setelah kualitas,
karena semakin maju tingkat hidup seseorang, maka akan semakin tinggi pula
tingkat kebutuhan air dari masyarakat tersebut.
Wilayah kota Binjai dilalui oleh 3 (tiga) buah sungai yaitu Sungai Bangkatan
Sungai Mencirim, dan Sungai Bingei, ketiga sungai ini sangat dibutuhkan untuk
kegiatan sehari-hari masyarakat kota Binjai dan digunakan sebagai salah satu sumber
air minum bagi Perusahaan Daerah Air Minum (PSAM) Tirta Sari Kota Binjai. Oleh
karena itu untuk mencegah dan mengantisipasi terjadinya pencemaran yang
menyebabkan kondisi air menjadi tidak sehat atau tercemar, maka Pemerintah Kota
Binjai dalam hal ini diwakilkan oleh Bapedalda Kota Binjai melakukan kegiatan
bimbingan dan sosialisasi yang terpadu terhadap masyarakat yang berdomisili secara
langsung pada daerah aliran sungai tersebut.50
Pemerintah Kota Binjai telah pula melahirkan Peraturan Daerah (Perda)
Kota Binjai Nomor 26 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan Limbah Cair Industri,
tentunya dalam hal ini merupakan terobosan tersendiri dalam upaya menciptakan
lingkungan yang bersih, lestari dan asri di Kota Binjai.
Program kali bersih (Prokasih) di Kota Binjai juga dibarengi dengan
program pemberdayaan daerah hijau pada daerah aliran sungai, hal ini
dimaksudkan agar tidak terjadi degradasi (pengikisan tebing-tebing sungai) yang
berada disekitarnya serta terpeliharanya baku mutu air yaitu batas kadar yang
diperbolehkan bagi zat atau bahan pencemaran untuk dibuang dari sumber
pencemaran ke dalam air pada sumber air, sehingga tidak mengakibatkan
dilampauinya baku mutu air.
5. Kebijakan Pengelolaan Kawasan Hutan
Hutan merupakan paru-paru dunia karena banyak ditumbuhi oleh berbagai
jenis tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan oksigen sebagai pernafasan makhluk
hidup. Permasalahan yang sering muncul di kota-kota adalah kurangnya tingkat
kenyamanan penduduk kota. Kondisi ini lebih disebabkan oleh karena tidak sehatnya
lingkungan akibat polusi udara, air dan tanah serta suhu udara yang relatif tinggi.
Untuk mencegah terjadinya kerusakan hutan, khususunya hutan kota di
wilayah kota Binjai maka Pemerintah Kota Binjai melakukan Upaya rehabilitasi Hutan
dan Lahan (RHL) melalui Gerakan Nasional Gerakan Hutan dan Lahan (Gerhan)
dimaksudkan sebagai antisipasi terhadap dampak kerusakan hutan serta kritisnya
fungsi lahan yang telah melalui tahap mengkhawatirkan.
Gerakan Hutan dan Lahan (Gerhan) penyelenggaraannya dilaksanakan secara

smergi, terkoordinasi dan terintegrasi, merupakan upaya yang sangat strategis bagi
kepentingan nasional, sehingga kegiatan tersebut diarahkan sebagai gerakan berskala
nasional yang terencana dan terpadu, melibatkan berbagai pihak terkait, baik
pemerintah, swasta dan masyarakat luas melalui suatu perencanaan,
pelaksanaan serta pemantauan dan evaluasi yang efektif dan efesien.
Di samping itu pelaksanaan Gerhan diharapkan sebanyak mungkin
melibatkan masyarakat dan mendorong masyarakat untuk dapat berpartisipasi secara
nyata. Sehingga perlu pengembangan dan penguatan kelembagaan masyarakat melalui
upaya pengembangan kelembagaan aparatur pelaksana, penyuluhan dan pendampingan
kepada kelompok tani serta pengembangan kemitraan.
Dalam pelakanaannya Pemerintah Kota Binjai telah melakukan penanaman
bibit pohon sebanyak 48.000 bibit pohon. Adapun jenis bibit tersebut antara lain :
Pohon Rambutan, Mangga, Mahoni, Meranti, Melinjo, Asam Glugur, Jati, Jengkol,
Pete, Mindi dan sebagainya.
6. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Dalam Rangka Penataan Lingkungan
Adipura
Adipura merupakan prestasi tertinggi dari tata penyelenggaraan
pemerintahan di bidang pengelolaan lingkungan hidup (good environmental
governance). Sudah menjadi tuntutan global juga relevan dengan kebijakan
pembangunan nasional, yaitu pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan.
Penilaian adipura dilakukan meliputi penilaian tingkat kebersihan,
keteduhan, dan berwawasan lingkungan, semisal kantor, rumah sakit, puskesmas,
sekolah, taman, perumahan dan jalan-jalan yang kesemuanya berjumlah 67 titik
penilaian. Dalam rangka untuk meraih adipura dilakukan penataan lingkungan
adipura dengan melakukan sosialisasi untuk memotivasi masyarakat agar turut serta
dalam menjaga, menata dan memelihara pelestarian lingkungan. Sehingga piala
adipura sebagai penghargaan pada bidang kebersihan yang merupakan dambaan
setiap daerah dapat diraih dan dipertahankan.
Kota Binjai telah beberapa kali memperoleh piala Adipura sebagai
penghargaan maupun supremasi dalam bidang penataan penyelenggaraan
pemerintahan yang baik (good governance) di bidang pengelolaan lingkungan hidup.
Penghargaan ini didapat setelah melakukan pembenahan terhadap tatanan sosial,
politik, hukum yang berjalan saat ini untuk mewujudkan pemerintahan yang baik
(good governance). Dan pada tahun 2007 ini pemerintah kota Binjai meraih
kembali predikat Piala Adipura yang diserahkan langsung oleh Presiden Soesilo
Bambang Yodhoyono di Istana Negara yang diterima oleh Walikota Binjai,
Untuk membenahi dan memperkuat pemerintahan yang baik (good
governance) diperlukan paling tidak ada 5 (lima) yang harus dilakukan, yaitu :
a. Legislatif, lembaga perwakilan yang mampu menjalankan fungsi control yang
efektif.
b. Yudikatif, pengadilan yang independen (mandiri, bersih dan professional).
c. Eksekutif, aparatur pemerintah (birokrasi) yang professional
d. Masyarakat yang kuat sehingga mampu melaksanakan fungsi control public;
e. Desentralisasi dan lembaga di daerah yang kuat.
Kepemerintahan yang baik juga dituntut di bidang lingkungan hidup. Sejak
Konferensi Bumi Rio de Janeiro tahun 1992, Negara - Negara yang turut
menandatangani Deklarasi Rio dituntut untuk menjalankan pemerintahan yang
berwibawa, khususnya di bidang lingkungan hidup (good environmental governance)
atau Tata Praja Lingkungan. Beberapa faktor yang diyakini sebagai prinsip dari
Pemerintahan yang sudah melaksanakan tata praja lingkungan yang baik.
7. Kebijakan Pengelolaan Daur Ulang Limbah Rumah Tangga
Untuk menanggulangi daur ulang limbah rumah tangga, pemerintah daerah
kota Binjai dalam hal ini Bapedaldako Binjai melakukan kegiatan Sosialisasi dan
Pelatihan Daur Ulang Limbah Rumah Tangga bertujuan untuk memanfaatkan limbah
rumah tangga seperti sisa-sisa minyak goreng (jelantah) untuk diolah menjadi bahan
produktif seperti hiasan rumah tangga.
Pemanfaatan Sampah-sampah rumah tangga yang dapat dimanfaatkan sebagai
pupuk kompos, kompos merupakan pupuk yang penting karena kompos merupakan
pupuk organik. Penggunaan pupuk organik makin digalakkan penggunaannya karena
mempunyai tiga keuntungan, yaitu keuntungan bagi lingkungan, keuntungan bagi tanah,
dan keuntungan bagi tanaman. Kompos sangat membantu dalam penyelesaian
masalah lingkungan, terutama sampah. Karena bahan baku pembuatan kompos
adalah sampah maka permasalahan sampah rumah tangga dan sampah kota dapat di
atasi. Peserta sosialisasi dan pelatihan ini dihadiri dan diikuti oleh para ibu-ibu rumah

tangga. Kegiatan ini merupakan bentuk kerjasama Bapedalda Kota Binjai dan Bapedalda
Propinsi Sumatera Utara. Kegiatan ini sangat menarik dan mendapatkan respon yang
positif dari para peserta pelatihan.
E. Kelemahan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terdapat beberapa kendala-


kendala yang timbul dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup di kota Binjai.
Adapun kelemahan yang dijumpai dalam pelaksanaan Izin mendirikan bangunan di
Kota Binjai adalah :
1. Kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pengelolaan lingkungan
hidup bagi kepentingannya sendiri, masyarakat dan demi kelestarian
lingkungan.
Kurang sadarnya masyarakat akan pentingnya lingkungan hidup membawa
dampak negatif kepada setiap usaha dan/atau kegiatan untuk mencegah dan
melindungi lingkungan hidup sesuai dengan rencana pengelolaan lingkungan hidup
dan rencana pemantauan lingkungan hidup. Akibatnya dapat menimbulkan risiko-
risiko kerusakan dan/atau pencemaran pada kemampuan dan fungsi sumber alam dan
lingkungan hidup. Adapun resiko-resiko yang akan timbul dari kurang sadarnya
masyarakat akan pentingnya pengelolaan lingkungan hidup adalah :
a. Rusaknya berbagai sistem pendukung perikehidupan yang vital bagi manusia,
baik sistem biofisik maupun sosial;
b. Munculnya bahaya-bahaya baru akibat ciptaan manusia, seperti bahan berbahaya
dan beracun dan hasil-hasil bioteknologi;
c. Pengalihan beban dan risiko kepada generasi berikutnya atau kepada sektor atau
kepada daerah lain;
d. Kurang berfungsinya sistem organisasi sosial dalam masyarakat;

e. Kurangnya perhatian pelaku usaha dan/atau kegiatan untuk melengkapi


Dokumen-dokumen yang dimiliki untuk menjalankan usahanya.
2. Birokrasi yang tidak dimengerti oleh masyarakat untuk mendapatkan izin
yang berwawasan lingkungan
Banyaknya prosedur dan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai kelayakan untuk mendapatkan izin menyebabkan terjadinya Birokrasi dan
prosedur yang berbelit-belit dan tidak dimengerti oleh masyarakat sehingga
menyulitkan untuk mengurus mendapatkan izin.
Hal ini bertambah parah dengan lemahnya SDM dari aparat yang
bertanggungjawab untuk mengurus mendapatkan izin tersebut. Hal ini disebabkan
karena adanya kerancuan secara kelembagaan lingkungan hidup dan otonomi daerah
karena masih belum terpolanya pengertian manajemen lingkungan hidup yang baik.
Faktor inilah salah satu yang menyebabkan terjadinya keengganan dari masyarakat

khususnya bagi pihak perusahaan untuk mengurus proses pembuatan sertifikasi izin
yang mereka perlukan..
Oleh karena itu untuk menunjang adanya saling keterkaitan antara
masyarakat dengan kelembagaan untuk mendapatkan izin yang mereka perlukan
maka perlu disusun suatu sistem administrasi yang baik sehngga dapat menentukan
peran dan wewenang dalam pelaksanaan penerbitan izin dengan hubungannya dengan
pengelolaan lingkungan hidup. Sistem administrasi yang baik tentunya mempunyai
peran yang sangat penting untuk dijadikan pedoman dari setiap aparatur pemerintah
dan secara kelembagaan untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya untuk melayani
masyarakat. Hal ini dipandang dari aspek ekonomi, sosial politik dan lingkungan dari
setiap kelembagaan sehingga tercipta hubungan yang baik dengan masyarakat.
3. Kurangnya sosialisasi dari instansi yang berwenang mengenai pentingnya
pengelolaan lingkungan hidup.
Permasalahan mengenai kurangnya sosialisasi dari instansi yang
berwenang mengenai pentingnya lingkungan hidup bagi masyarakat dan pihak pelaku
kegiatan usaha dan/atau kegiatan merupakan permasalahan yang seharusnya tidak
perlu terjadi. Hal ini disebabkan karena pemerintah dengan diwakilkan oleh instansi
yang berwenang untuk itu telah memiliki tanggungjawab untuk memberikan
informasi dan melakukan pengawasan yang baik kepada segala jenis usaha dan/atau
kegiatan yang terjadi di lingkungan masyarakat.
Sosialisasi ini diperlukan untuk memberitahukan bahwa pengembangan
lingkungan tidak cukup hanya mengatur mengenai pengelolaan sumberdaya alam
secara bertanggungjawab, tetapi harus didukung oleh partisipasi masyarakat yang
dilengkapi dengan langkah-langkah usaha pengembangan konsumsi dan pola hidup
yang wajar sesuai dengan kemampuan daya dukung alam demi menjaga kelestarian
lingkungan hidup.
4. Keterbatasan Biaya
Keterbatasan biaya dalam pengelolaan lingkungan hidup merupakan
permasalahan klasik yang saat ini sedang dialami oleh pemerintah daerah dalam
menjalankan program-program pengembangan dan pelestarian lingkungan hidup
tidak berjalan dengan baik. Hal ini memicu terjadinya penurunan kualitas lingkungan
hidup sebagai akumulasi dari pemanfaatan sumber daya alam akibat dari proses
pembangunan di daerah yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan hidup. Jika
hal ini terjadi ditengah-tengah masyarakat maka bukan tidak mungkin akan memicu
berbagai konflik sosial yang dilatarbelakangi oleh permasalahan lingkungan hidup.
Kasus-kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan akan semakin
meluas akibat dari banyaknya bangunan-bangunan, usaha dan/atau kegiatan yang
berwawasan lingkungan karena tidak memiliki izin untuk menjalankan usaha danatau
kegiatan. Oleh karena itu pemerintah kota Binjai harus segera mengantisipasi dengan
melakukan social control bagi segala usaha dan/atau kegiatan yang tidak peduli
terhadap Pengelolaan lingkungan hidup.

5. Lemahnya Aparat dan Penegakan Hukum dalam Penegakan Hukum


Lingkungan.
Secara konseptual, inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan
menyerasikan hubungan nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap
dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan,
memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup di dalam masyarakat.
Penegakan hukum dapat dijalankan dengan baik apabila SDM dari aparat
telah sesuai dengan yang diharapkan sehingga dapat dilakukan berbagai kegiatan
kepada masyarakat untuk patuh terhadap aturan-aturan dalam pengelolaan lingkungan
hidup, hal ini dapat dilakukan melalui penyuluhan hukum sebagai tindakan preventif,
pengawasan dan penindakan sebagai tindakan represif. Oleh karena itu, hukum yang
ingin ditegakkan harus baik dan tidak bertentangan satu sama lain, baik secara
vertikal daupun horizontal.
Selain itu juga harus didukung oleh aparat hukum dan sarana yang
memadai. Suatu peraturan perundang-undangan atau hukum dapat dianggap baik dari
sudut berlakunya apabila hukum tersebut dapat berlaku secara yuridis, sosiologis, dan
filosofis.
Penegakan ketentuan hukum yang tidak konsisten terhadap pelaksanaan
mengenai sangat pentingnya kepatuhan terhadap hukum lingkungan dalam
pengelolaan lingkungan hidup merupakan permasalahan yang saling kait mengkait
antara berbagai aspek yang cukup kompleks. Tujuan utama pada penegakan hukum
lingkungan itu sendiri pada hakekatnya adalah untuk mempertahankan dan

menciptakan kestabilan terhadap perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar


yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan.
Untuk megnantisipasi permasalahan dalam pengekan hukum lingkungan
di kota Binjai, pemerintah daerah menerbitkan berbagai peraturan daerah dengan
maksud dan tujuan tersebut serta untuk menjaring para pelanggar hukum yang
melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Dengan adanya peraturan daerah terhadap pengelolaan lingkungan hidup
ini diharapkan pelanggaran terhadap penegakan hukum lingkungan dapat segera
ditindak dan ditertibkan oleh aparat penegak hukum. Oleh karena itu diperlukan
sanksi yang cukup keras untuk mengatur mengenai pelanggaran terhadap ketentuan
yang mengatur tentang pelaksanaannya.
Hal ini tentunya dimaksudkan agar kesadaran masyarakat akan perlunya
peraturan terhadap pengelolaan lingkungan hidup dan pentingnya penegakan hukum
lingkungan dalam kehidupan manusia terus ditumbuh kembangkan melalui
penerangan, penyuluhan dan pendidikan dalam dan luar sekolah, pembinaan
rangsangan penegakan hukum dan disertai dengan dorongan peran aktif masyarakat
(LSM) untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup dalam setiap ekonomi dan sosial.
Pelaku yang melakukan tindakan dan/atau usaha pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan harus segera ditangani dalam upaya penegakan hukum
lingkungan. Oleh karena itu penanggulangannya pun beraneka ragam, mulai dari
penerangan atau penyuluhan hukum sampai pada penjatuhan sanksi apabila terjadi

pelanggaran. adapun upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melalui berbagai
instrumen hukum, yaitu Administrasi (Tata Usaha Negara), Pidana ataupun Perdata
F. Kekuatan

Mengenai wewenang pengelolaan lingkungan hidup di daerah menurut


PPLH diatur pada Pasal 12 dan 13 PPLH, yang bertujuan untuk mewujudkan
keterpaduan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup.
Pemerintah berdasarkan Pasal 12 dan 13 PPLH melimpahkan wewenang
tertentu pengelolaan lingkungan kepada perangkat di wilayah dan mengikutsertakan
peran pemerintah daerah untuk membantu pemerintah pusat dalam melaksanakan
pengelolaan lingkungan di Daerah yang diatur dengan peraturan perundang-
undangan (Pasal 12).

Dengan rumusan Pasal 12 PPLH, seolah-olah Pemerintah Daerah belum


memiliki wewenang pengelolaan lingkungan. Penjelasan Pasal 12 ayat (1) huruf a
PPLH antara lain menyatakan: "... Pemerintah Pusat dapat menetapkan wewenang
tertentu ... kepada perangkat instansi pusat yang ada di daerah dalam rangka
pelaksanaan asas dekonsentrasi". Penjelasan huruf b menetapkan: "... Pemerintah
Pusat atau Pemerintah Daerah Tingkat I dapat menugaskan kepada Pemerintah
Daerah Tingkat II untuk berperan dalam pelaksanaan kebijaksanaan pengelolaan
lingkungan hidup sebagai tugas pembantuan. Melalui tugas pembantuan ini maka
wewenang, pembiayaan, peralatan, dan tanggungjawab tetap berada pada
pemerintah yang menugaskannya.
Mengingat kaburnya rumusan dan Penjelasan Pasal 12 ayat (1) PPLH,
wajarlah apabila menurut ayat (2) ketentuan lebih lanjut pada ayat (1) diatur dengan
peraturan perundang-undangan. Kita tunggu dengan sabar apalagi yang mau diatur,
karena sudah tujuh betas tahun lebih Pemerintah Daerah berwenang di bidang
pengelolaan lingkungan atas dasar Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun
1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH),
bahkan sudah dibentuk pula BAPEDAL Daerah.
Pasal 13 PPLH menetapkan bahwa dalam rangka pelaksanaan
pengelolaan lingkungan, Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan kepada
Pemerintah Daerah (ayat 1) yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (ayat 2).
Penjelasan ayat (1) menyatakan: "... Pemerintah Pusat dapat menyerahkan urusan di
bidang lingkungan hidup kepada daerah menjadi wewenang, tugas dan tanggung
jawab Pemerintah Daerah berdasarkan asas desentralisasi". Namun, oleh karena
menurut Pasal 13 ayat (2) PPLH, penyerahan urusan ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah, berarti wewenang pengelolaan lingkungan di Daerah masih harus
menunggu terbentuknya Peraturan Pemerintah. Tidak jelas, mengapa kelembagaan
yang sudah lama diatur dalam Pasal 18 ayat (3) UULH, yaitu pengelolaan lingkungan
di Daerah dilakukan oleh Pemerintah Daerah masih perlu menunggu Peraturan
pemerintah. Bagaimana seharusnya wewenang pengelolaan lingkungan di daerah telah
diatur secara teknis yuridis menurut PPLH.
Dari ketentuan Pasal 12 dan 13 PPLH tersebut, berarti pengelolaan
lingkungan di daerah merupakan pelimpahan wewenang diberikan pemerintah pusat
kepada daerah untuk ikut serta dalam rangka pengelolaan lingkungan
hidup.Kewenangan dimaksud diatur juga dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa kewenangan daerah mencakup
wvenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang
politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta
kewenangan bidang lain yang antara mencakup pemberdayaan sumber daya alam
serta teknologi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional.
Kewenangan yang diberikan kepada daerah merupakan kewenangan dalam
mengelola sumberdaya alam, sumberdaya buatan, sumberdaya manusia yang tersedia
di daerah. Kewenangan tersebut diberikan dengan tanggungjawab memelihara
kelestarian lingkungan, artinya pengelolaan lingkungan selalu membawa perubahan
sehingga yang dilestarikan bukanlah lingkungannya melainkan kemampuan (fungsi)
lingkungan.
Berdasarkan penjelasan di atas jelas diberikan kewenangan yang sangat
besar bahwa daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di
wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
G. Solusi atau kebijakan yang seharusnya diperlukan

Untuk mendukung dan memperlancar pelaksanaan pengelolaan lingkungan


hidup di atas, Pemerintah Daerah Kota Binjai melakukan beberapa program, yaitu :
1. Program Pengembangan dan Peningkatan Akses Informasi Sumber Daya
Alam dan Lingkungan Hidup.
Sasaran yang ingin dicapai dari program ini adalah tersedianya dan
teraksesnya informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup berupa infrastruktur
data spesial, nilai, dan neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup masyarakat
luas disetiap daerah.
Kegiatan pokok yang dilakukan adalah :
a. Inventarisasi dan evaluasi potensi sumber daya alam danlingkungan hidup baik
didarat, laut, maupun udara.
b. Pengkajian neraca sumber daya alam.
c. Program peningkatan efekiifitas pengelolaan, konservasi dan rehabilitasi sumber
daya alam.
Sasaran program ini adalah terlindunginya kawasan-kawasan konservasi dari
kerusakan akibat pemanfaatan sumber daya alam yang tidak terkendali ekploritatif.
Kegiatan pokok yang dilakukan adalah :
a. Pengkajian kembali kebijakan pengelolaan, konservasi, dan rehabilitasi sumber
daya alam;

b. Penerapan sistem disissentif yang diwujudkan dalam bentuk tarif yang


progresif dan rasional untuk melindungi sumber daya alam;
c. Pengembangan riset terhadap potensi dan pemanfaatan sumber daya alam clan
pelestarian lingkungan hidup dalam usaha meningkatkan nilai tambah yang optimal
pasar global dan kualitas lingkungan hidup melalui mekanisme pembiayaan yang
berasal dari hasil pemanfaatan sumber daya alam.
d. Pengembangan teknologi pengunaan sumber daya alam yang ramah lingkungan
termasuk teknologi yang terbaik, teknologi lokal, clan teknologi daur ulang yang
tersedia;
e. Rasionalisasi dan restrukturiasasi industri berbasis sumber daya alam.

2. Program Pencegahan dan Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran


Lingkungan Hidup.
Sasaran dari program ini adalah tercapainya kualitas lingkungan hidup yang
bersih dan sehat sesuai dengan baku mutu lingkungan yang ditetapkan.
Kegiatan pokok yang dilakukan adalah :
a. Pengembangan teknologi yang berwawasan lingkungan khususnya teknologi
tradisional yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya air, industri yang ramah
lingkungan;
b. Penetapan indeks dan baku mutu lingkungan;
c. Pengembangan teknologi pengelolaan limbah rumah tangga, industri, dan
transportasi;
d. Pengintegrasian biaya lingkungan terhadap biaya produktif;
e. Pengembangan teknologi produksi bersih;
f. Pengembangan kelembagaan pendanaan pengelolaan lingkungan hidup;
g. Penjaminan terjadinya alih kapasitas;
h. Pemantauan yang kontiniu, pengawasan dan evaluasi standard mutu lingkungan.
Dalam upaya ini termasuk penataan ruang, permukiman dan industri yang konsisten
dengan pencemaran lingkungan.
3. Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan Hukum, Pengelolaan
Sumber Daya dan Pelestarian Lingkungan Hidup.
Sasaran program ini tersedianya kelembagaan bidang sumber daya alam dan
lingkungan yang kuat, dengan didukung oleh perangkat hukum secara adil dan
konsisten. Kegiatan pokok yang dilakukan adalah :
a. Penyusunan Undang-undang Pengelolaan sumber daya alam berikut perangkat
peraturannya;
b. Penetapan kebijakan yang membuka peluang akses dan kontrol masyarakat sumber
daya alam dan lingkungan hidup;
c. Evaluasi terhadap pelaksanaan peraturan perundangan yang berkaitan dengan
pengelolaan sumber daya alam lingkungan hidup;
d. Pengakuan kelembagaan adat dan lokal dalam kepemilikan dan pengelolaan
sumber daya alam;
e. Penguatan institusi dan aparatur penegakan hokum dan pengelolaan somber daya

Alam dan lingkungan hidup;


f. Penguatan kapasitas pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam.
Selain itu juga akan dilaksanakan kegiatan pokok lainnya yaitu :
a. Pengembangan pelaksanaan perjanjian internasional dalam pengelolaan sumber
daya alam dan lingkungan hidup dan mewaspadai adanya upaya untuk
menggunakan isu lingkungan yang menghambat eksport dan perkembangan
ekonomi negara berkembang.
b. Peningkatan sistem pengawasan terhadap pembajakan sumber daya hayati
(biopiracy) dan pembajakan teknologi lokal dan pihak asing.
c. Pengembangan sistem insentif dan disinsentif dalam pengelolaan dan konservasi
sumber daya alam dan lingkungan hidup.
d. Pelaksanaan program-program sukarela seperti sistem menegemen dan kinerja
lingkungan (ISO-14000 dan Ekolobing). Sebanyak mungkin perusahaan industri
dan jasa dapat bersaing di tingkat internasional.
4. Program Peningkatan Peranan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber
Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup.
Sasaran dari program ini adalah tersedianya sarana bagi masyarakat
dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup sejak proses
perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaaan,
sampai pengawasan.

Kegiatan pokok yang dilakukan adalah :


a. Jumlah dan kualitas anggota masyarakat yang peduli dan mampu mengelola
sumber daya alam dan melestarikan lingkungan hidup.
b. Pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam dan
pemeliharaan lingkungan hidup melalui pendekatan keagamaan, adat dan
budaya.
c. Pengembangan pola kemitraan dengan lembaga masyarakat yang melibatkan
pihak dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup.
d. Perlindungan hak-hak adat dan ulayat dalam pengelolaan sumber daya alam
dan pelestarian hidup.
Selain itu terdapat kegiatan pokok lain yaitu :
a. Pemasyarakatan pembangunan berwawasan lingkungan;
b. Pengkajian keadaan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat adat dan lokal.
c. Pemanfaatan kearifan tradisional dalam pemeliharaan lingkungan hidup.
d. Peningkatan kepatuhan dunia usaha masyarakat terhadap peraturan perundang-
undangan dan tata nilai masyarakat lokal yang berwawasan lingkungan hidup.
Kebijakan pengelolaan lingkungan hidup kota Binjai tentunya berkaitan
dengan bidang-bidang lainnya, semisal pembangunan bidang ekonomi dan
pembangunan sosial, dalam upaya mencapai arah tujuan sekaligus terhadap sasaran
dari pelaksanaannya. Adapun sasaran dan tujuan yang perlu dikembangkan dan
ditindaklanjuti, adalah :

1. Mengacu pada visi Kota Binjai dalam mewujudkan Kota Binjai yang bersih,
nyaman, mandiri, sejahtera dan berwawasan lingkungan. Pembangunan
pada setiap sektor hendaknya lebih diperhatikan dan dijaga terhadap dampak
lingkungan yang dihasilkan dari pembangunan tersebut. Seperti halnya
pemenuhan penyediaan sarana dan prasarana penunjang untuk mewujudkan
kelestarian lingkungan sekitar. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga dampak
yang ditimbulkan dari pembangunan tersebut, karena ketiadaan sarana
penunjang terhadap lingkungan tersebut serta dalam upayamengurangi
tingkat kerusakan maupun degradasi terhadap lingkungan hidup. Hal ini
dimaksudkan dalam upaya menjamin keberlanjutan pembangunan, yaitu :
a. Pemberian kewenangan yang luas terhadap daerah dalam pengelolaan
sumber daya alam sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah.
b. Mengantisipasi tekanan - tekanan dari pihak - pihak lain, baik yang
berdampak secara langsung maupun tidak langsung dari
pembangunan tersebut, yang disebabkan telah terjadinya
pencemaran dan/atau kerusakan terhadap lingkungan.
2. Peningkatan dan pengoptimalan pemanfaatan area yang mengacu pada
prinsip tata ruang, kelengkapan dan rekomendasi terhadap pemecahan issu
lingkungan di Kota Binjai. Dengan ditingkatkannya fungsi pengawasan,
penertiban dalam pemberian ijin dengan pertimbangan

utama adalah pengalokasian sumber daya alam dan kegiatan pembangunan.


3. Pertumbuhan penduduk yang tinggi terutama sekali pada daerah
perkotaan perlu untuk segera diciptakan peluang-peluang baru yang
memungkinkan untuk menampung lapangan kerja.
4. Pengendalian Pencemaran Lingkungan :
a. Pencegahan pencemaran dan kerusakan terhadap lingkungan
dengan mengefektifkan fungsi AMDAL, UKL, UPL.
b. Peningkatan pengawasanpencemaran dan kerusakan lingkungan.
c. Pemberian penegakkan hukum terhadap pelaku kerusakan dan
pencemaran.
d. Penciptaan Peraturan Daerah yang berkenaan dengan lingkungan
5. Pemantauan dan Pemulihan Kualitas Lingkungan :
a. Meningkatkan pemantauan terhadap industri atau sector ekonomi yang
berindikasi terhadap pencemaran lingkungan.
b. Pemenuhan kualitas data yang akurat dan terpercaya.
c. Program kali bersih.
d. Program langit biru.
e. Program reboisasi dan penghijauan.
f. Terbentuknya kelompok pecinta lingkungan.
Peran mahasiswa
Mahasiswa juga memiliki peranan penting dalam upaya pelestarian lingkungan. Mahasiswa memiliki
peranan penting dalam pelestarian lingkungan karena mahasiswa yang nantinya akan menggantikan
pemerintah dalam menjaga lingkungan hidup. mahasiswa yang memiliki peranan penting dalam
menjaga dan melestarikan lingkungan adalah mahasiswa yang mengambil konsemtrsi ilmu di bidang
lingkungan khususnya. Banyak kegiatan pelestarian lingkungan yang dapat dilakukan oleh
mahasiswa, contohnya penanaman mangrove, kegiatan reboisasi, kegiatan kebersihan lingkungan,
kegiatan konservasi, dan lain lain
Kegiatan pelestarian seperti yang dilakukan di atas dapat mengembalikan kelestarian
lingkungan. Kegiatan mahasiswa dalam upaya pelestarian lingkuangan salah satunya adalah
begabung dengan gerakan pecinta alam atau gerakan gerakan yang berbasis pada lingkungan alam.
Banyak yang dapat mahasiswa lakukan dalam gerakan gerakan tersebut, misalnya konservasi
terhapat tanaman-tanaman langka, konservasi terhadap hewan-hewan langka, dan kegiatan lainnya.
salah satu gerakan cinta lingkungan yang ada di unversitas adalah Haliaster, yang merupakan salah
satu biro yang bergerak di bidang lingkungan di jurusan Biologi Universitas Diponegoro. Biro ini
banyak melakukan kegiatan konservasi terhadap burung, capung, dan yang dalam proses adalah
konservasi tanaman anggrek. Kegiatan kegiatan seperti inilah yang diharapkan mampu menjaga
kalestarian lingkungan.
Menjaga kelestarain lingkungan adalah tugas semua makhluk hidup yang hidup dibumi ini,
karena lingkungan adalah sepenuhnya tanggung jawab kita. Apabila lingkungan kita lestari, kita juga
yang akan menikmati hasilnya. Dan sebaliknya apabila lingkungan rusak maka kita juga yang akan
menanggung akibat dari kerusakan tersebut.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan

Dari uraian dalam tulisan ini, maka dapatlah diberikan kesimpulan demi
menjawab permasalahan, yaitu :
1. Otonomi daerah telah memberikan kewenangan penuh kepada setiap pemerintah
daerah secara proporsional untuk mengembangkan potensi yang ada dalam proses
pembangunan yang terencana dengan baik, realistik dan strategik dan bernuansa
lingkungan yang dalam jangka panjang dapat menjamin pemanfaatan sumberdaya
alam secara berkelanjutan. Oleh karena itu peran pemerintah daerah kota Binjai
dalam perumusan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup sangat diperlukan
untuk mengurangi terjadinya dan pemanfaatan sumberdaya alam dengan tetap
memperhatikan memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan,
penghormatan hak-hak asasi manusia, demokrasi, kesetaraan gender dan
pemerintah yang baik.
2. Pelaksanaan kebijakan pengelola lingkungan hidup di kota binjai merupakan
bagian dari pembangunan nasional yang sejalan dalam rangka implementasi
otonomi daerah, berbagai kebijakan dan program yang telah dilakukan bertujuan
dalam rangka peningkatan pembangunan daerah yang berwawasan lingkungan
dengan tetap beracuan kepada Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi
sumberdaya alam dan lingkungan serta memberikan kesempatan kepada
masyarakat adat dan lokal untuk dapat berperan aktif sehingga pembangunan
berkelanjutan berwawasan lingkungan di kota Binjai dapat tetap terjamin.

B. Saran-Saran

1. Dalam penerapan otonomi daerah pemerintah daerah diharapkan


mengembangkan potensi sumberdaya alam yang ada untuk menunjang
pembangunan berkelanjutan yang meliputi aspek pelestarian, kesejahteraan sosial
dengan melakukan :
a. memperluas area hutan kota;

b. meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat dalam pengurusan izin;

c. melakukan sosialisasi yang rutin kepada masyarakat dan pelaku usaha


dan/atau kegiatan terhadap pentingnya pengelolaan lingkungan hidup.
2. Diharapkan kepada pemerintah daerah Kota Binjai setiap mengeluarkan
kebijakan yang berkaitan dengan proses pembangunan daerahnya tetap
memperhatikan aspek pengelolaan lingkungan hidup dan melibatkan peran serta
masyarakat untuk aktif dalam pengelolaan lingkungan hidup, sehingga secara
dini dapat diantisipasi munculnya permasalahan dan resiko lingkungan yang
negatif.
DAFTAR BACAAN

A. Buku-Buku
Abdurrahman, Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia. Bandung: Alumni, 1983.
Absori, Penegakan Hukum Lingkungan & Antisipasi dalam Era Perdagangan Bebas.
Yogyakarta: Muhammadiyah University Press, 2000.

Alvi Syahrin, Tindak Pidana Lingkungan Hidup. Medan: Fakultas Hukum USU,
1997.

Amsyari, Fuad, Prinsip-Prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Ghalia


Indonesia, 1981.

Alam Setia Zain, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan, Rineka Cipta, 1997.

Arifin, Syamsul, Upaya Penegakan Hukum Lingkungan dalam Mewujudkan


Pembangunan Berwawasan Lingkungan di Sumatera Utara. Medan: Pustaka
Bangsa Press, 2004.

Bismar Nasution, dkk., Perilaku Hukum dan Moral di Indonesia, Kumpulan Tulisan
70 Tahun Prof. Muhamamad Abduh, SH. Medan: USU Press, 2004.

Bapedaldasu bekerjasama dengan Lembaga Penelitian USU, Prosedur Penegakan


Hukum Lingkungan Hidup. Medan: t.p., 2002.

Harahap, M. Yahya, Beberapa Tinjauan tentang Permasalahan Hukum. Bandung:


Citra Aditya Bakti, 1997.

Hardjasoemantri, Koesnadi, Hukum Tata Lingkungan, Edisi ke-7. Yogyakarta:


Gadjah Mada University Press, 1999.
Kamelo, Tan, Butir-Butir Pemikiran Hukum Guru Besar Dari Masa ke Masa, Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Hukum USU 1979-2001. Medan:
Pustaka Bangsa Press, 2003.

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional


Suatu Uraian tentang Landasan Pikiran Pola dan Mekanisme Pembaharuan
Hukum Indonesia. Jakarta: Bina Cipta, 1976.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Liberty,


1988.
M. Hamdan, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, Bandung: Mandar
Maju, 2000.

Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan, Buku I Umum, Bandung : Binacipta,


1981.
-----------------, Bunga Rampai Hukum Lingkungan I, Jakarta : Binacipta, 1984.
Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja Rosda
Karya, 1998.

Nasution, Bismar, dkk., Perilaku Hukum dan Moral di Indonesia, Kumpulan Tulisan
70 Tahun Prof. Muhamamad Abduh, SH. Medan: USU Press, 2004.

Patterson, Edwin, Law in a Scientific Age. New York: Columbia University Press,
1963.

Rasjidi, Lili dan Putra, I.B. Wiyasa, Hukum Sebagai Suatu Sistem. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1993.

R M. Gatot P Soemartono, Mengenal Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika,


1991.

Santoso, Mas Achmad, Penegakan Hukum Lingkungan Administratif, Pidana dan


Perdata Berdasarkan Sistem Hukum Indonesia. 2000.

---------------, Peran Serta Masyarakat dalam Pengendalian Dampak Lingkungan,


Jakarta : Indonesian Centre for Environmental Law, 1995.

Sunoto, 1997, Analisis Kebijakan dalam Pembangunan Berkelanjutan, Bahan


Pelatihan Analisis Kebijakan Bagi Pengelola Lingkungan, Kantor Menteri
Negara Lingkungan Hidup, Jakarta.
Schaffmeister, E., Kekhawatiran Masa Kini (Pemikiran Mengenai Hukum Pidana
Lingkungan Dalam Teori dan Praktek). Diterjemahkan oleh Tritam P.
Moeliono, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1984.

----------------, Pembangunan Berkelanjutan (Perkembangannya, Prinsip-Prinsip dan


Status Hukumnya). Medan: Fakultas Hukum USU, 1999.
----------------, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan
Permukiman Berkelanjutan. Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003.

B. Makalah

Arifin, Syamsul, “Peraturan Perundang-undangan Pengelolaan Lingkungan Hidup”,


Makalah Materi Kursus Dasar-Dasar Amdal Tipe A, Tanggal 10 s/d 20 Maret
2003. (Angkatan VI).

Hamid, Hamrat, Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Tindakan Administrasi


Negara, Perdata, dan Pidana. Makalah Seminar Hukum Lingkungan
Fakultas Hukum UNS, Surakarta, tanggal 21 Pebruari 1992.

Staudinger, Jeff, RCRA Enforcement : Problem and Reform, dalam Stanford


Environmental Law Society, Strategis for Environmental Enforcement. The
Stanford University School of Law Environmental and Natural Resources,
Stanford University, 1995.

C. Peraturan Perundang-Undangan

Undang–Undang Dasar 1945 (Hasil Amandemen)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup


Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya

Anda mungkin juga menyukai