Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ilmu kedokteran forensik adalah salah satu cabang spesialistik ilmu kedokteran yang
memanfaatkan ilmu kedokteran untuk membantu penegakan hukum dan pemecahan
masalah – masalah di bidang hukum. Memang pada mulanya ilmu kedokteran forensik
hanya diperuntukan bagi kepentingan peradilan, namun dalam perkembangannya juga
dimanfaatkan dibidang – bidang yang bukan untuk peradilan.

Ruang lingkup kedokteran forensik berkembang dari waktu ke waktu. Dari


semula hanya pada kematian korban kejahatan, kematian tak diharapkan/ tak diduga,
mayat tak dikenal, hingga para korban kejahatan yang masih hidup, atau bahkan
kerangka, jaringan, dan bahan biologis yang diduga berasal dari manusia. Jenis
perkaranya pum meluas dari pembunuhan, penganiayaan, kejahatan seksual, kekerasan
dalam rumah tangga, child abuse and neglect, perselisihan pada perceraian, anak yang
mencari ayah (paternity testing), hingga ke pelangggaran hak asasi manusia. Apabila
Ilmu Kedokteran Forensik yang digunakan utuk menangani korban mati disebut sebagai
patologi forensik, maka yang menangani korban hidup ataupun tersangka pelaku disebut
sebagai kedokteran forensik klinik (clinical forensic medicine, atau di beberapa negara
disebut police surgeon).

Kedokteran forensic terdiri dari 2 cabang ilmu yaitu ilmu patologi forensik dan
forensik klinis. Patologi forensik sudah menjadi cabang spesialistik kedokteran sejak
1958, dan dikenal sebagai ilmu yang memanfaatkan orang mati untuk kepentingan orang
hidup (learn from the dead for the living). Patologi forensik membuat mayat dan barang
bukti diam lain (silent witness) menjadi mampu berbicar dan bersaksi untuk kepentingan
hukum. Patologi forensik melakukan pemeriksaan mayat, baik bagian luar maupun
melakukan autopsi, dan kemudian melakukan pemeriksaan laboratorium penunjang.
Tidak jarang pekerjaannya didahului dengan pemeriksaan di tempat kejadian perkara,
serta mereview keterangan saksi dan riwayat penyakit. Dalam prakteknya, patologi

1
forensik bekerjasama dengan ilmu – ilmu forensik lainnya, dalam mengungkap tindak
pidana, seperti entomologi, toksikologi, antropologi, balistik, odontologi, serologi,
forensik molekular (DNA) dan lain – lain.

Sedangkan forensik klinik adalah bidang kedokteran forensik yang relatif baru
berkembang. Di Indonesia bahkan baru dalam tahap penerapan awal setelah
diperkenalkan sejak tahun 1998. Bidang ini melayani korban perkara kekerasan fisik
(termasuk penganiayaan dan kekerasan dalam rumah tangga), pencederaan diri, cedera
non – aksidental pada anak, perkosaan dan kejahatan seksual lainnya, kelayakan
diperiksa atau ditahan (fitness to be interviewed, fitness to be detained). Forensik
klinik adalah cabang ilmu kedokteran forensik yang mempergunakan ilmu dan
pengetahuan klinik dalam usaha untuk pembuktian ilmiah dengan pencatatan,
pengumpulan dan interpretasi bukti medis dari korban hidup agar tetap asli, ilmiah dan
diterima di pengadilan. Pelayanan forensic klinik bersifat komprehensif dengan
mempertimbangkan korban bukan saja sebagai barang bukti tetapi juga dilihat sebagai
pasien.

Sekitar 50-70% kasus yang terdapat di instalasi gawat darurat adalah kasus
perlukaan atau trauma. Luka-luka ini dapat terjadi akibat dari kecelakaan, penganiayaan,
bunuh diri, bencana, maupun terorisme. Luka pada trauma terjadi sekitar 1,6 juta kasus
setiap tahunnya. Salah satu luka yang disebabkan oleh karena kekerasan benda tajam
yaitu luka bacok. Luka bacok umumnya terjadi pada daerah yang dapat terjangkau oleh
tangan korban. Tempat yang lazim adalah leher, dada sebelah kiri, pergelangan tangan,
dan perut.
Ciri luka bacok yaitu luka biasanya besar, pinggir luka rata, sudut luka tajam,
hampir selalu menimbulkan kerusakan pada tulang, dapat memutuskan bagian tubuh
yang terkena bacokan, kadang-kadang pada tepi luka terdapat memar. Untuk
mendiagnosis luka bacok, selain dalam ilmu forensic klinis dapat juga didiagnosis dengan
menggunakan ilmu radiologi, salah satunya dengan 3DCT.

2
1.2 Rumusan Masalah
Apa kegunaan pengetahuan proses peran 3DCT dalam evaluasi luka bacok pada
pengobatan forensik klinis

1.3 Tujuan Masalah


a) Mengetahui proses dan kegunaan 3DCT dalam evaluasi luka bacok pada
pengobatan forensic klinis
b) Mengetahui adakah peran penting antara kegunaan 3DCT dalam forensic klinis
c) Mengetahui cara mengidentifikasi luka bacok pada 3DCT

1.4 Manfaat
a) Dapat digunakan untuk menambang pengetahuan ilmu kedokteran forensik
terutama kegunaaan 3DCT dalam evaluasi luka bacok pada pengobatan forensik
klinis
b) Dapat memberikan informasi yang bermanfaat tentang pengetahuan kegunaan
3DCT dalam luka bacok

3
BAB II
JOURNAL READING

PERAN 3DCT DALAM EVALUASI LUKA BACOKAN PADA PENGOBATAN


FORENSIK KLINIS

ABSTRAK

Dikarenakan serangan kapak ke kepala manusia seringkali menyebabkan cedera yang fatal,
pemeriksaan 4rofessi dari orang yang selamat dari luka bacokan pada area kranial adalah
fenomena yang langka dalam penanganan kasus 4rofessi. Disamping evaluasi dari rekam jejak
klinis, foto dan pemeriksaan fisik 4rofes-legal; analisis dan rekonstruksi tiga-dimensi dari data
CT pra-perawatan (3DCT) harus dipertimbangkan sebagai aspek penting dan tak tergantikan
dalam penilaian terhadap kasus-kasus tersebut; hal ini disebabkan beberapa karakteristik dari
trauma luka bacokan seringkali terselubung atau berubah-ubah apabila diberikan penanganan
klinis. Dalam artikel ini, peran dari 3DCT dalam evaluasi luka bacokan pada pengobatan
4rofessi klinis didemonstrasikan lewat sebuah laporan kasus ilustratif dari seorang pria muda
yang dilukai oleh kapak kecil (hatchet/kapak beliung), dimana 3DCT menyediakan
kemungkinan-kemungkinan tambahan dalam menyuplai informasi yang hilang, seperti jumlah
4rofessi dari serangan kapak serta identifikasi terhadap senjata yang digunakan. Lebih lanjut,
3DCT dapat memfasilitasi demonstrasi di ranah pengadilan dan dapat lebih mudah dipahami
oleh masyarakat yang awam medis. Kami menyimpulkan bahwa 3DCT memiliki nilai yang
khusus dalam evaluasi terhadap pasien yang selamat dari cedera wajah dan kepala yang
berpotensi fatal. Maka dari itu, signifikansi yang semakin tinggi dari penggunaan teknik ini
dapat diperkirakan dalam beberapa waktu ke depan.

PENDAHULUAN

Luka bacokan umumnya dijabarkan sebagai hasil akhir dari gaya yang disebabkan benda tajam,
khususnya alat berat yang memiliki mata pisau tajam seperti kapak, kapak kecil/beliung,

4
machete, sekop dan pisau daging. Baling-baling kapal laut, pesawat terbang atau 5rofession
dapat juga menyebabkan luka serupa bacokan. Temuan yang tipikal dari luka bacokan adalah
luka torehan yang menganga dan dalam disertai cedera terhadap struktur tulang dibawahnya.
Tepian dari luka umumnya lurus dan tajam, namun seringkali terdapat abrasi setidaknya pada
satu sisi, dimana abrasi ini dapat dikaitkan dengan ketebalan mata pisau dan/atau derajat
ketumpulannya. Jembatan dari jaringan lembut pada kedalaman luka, kerusakan jaringan
disekitarnya serta pada tepian luka dapat pula ditemukan. Maka dari itu, kebanyakan luka
bacokan memperlihatkan kombinasi dari karakteristik gaya yang disebabkan benda tumpul dan
tajam. Gaya kausatif ini dapat pula dijabarkan sebagai ‘gaya semi-tajam’, khususnya oleh
beberapa penulis berkebangsaan Jerman. Analisis luka yang komprehensif, termasuk penilaian
akan bentuk total, jenis dari fraktur didasar luka, serta karakteristik histologis, dapat
memfasilitasi identifikasi dari jenis senjata yang digunakan. Beberapa ketidakteraturan kecil dari
bentuk mata pisau dapat pula menyebabkan pola fraktur unik yang dapat membantu mengenali
jenis 5rofession pemotong tertentu yang menyebabkan luka tersebut. Namun, disamping
mempertimbangkan jenis senjata yang dipakai, derajat keparahan serta morfologi dari luka
bacokan bergantung pula pada gaya yang diberikan kepada senjata. Target yang paling umum
dari serangan benda tajam merupakan daerah kepala dan leher, hal ini menjelaskan hasil akhir
yang fatal pada kebanyakan kasus. Dalam kasus dimana gaya tangensial (gaya dimana 5rofes
arahnya membentuk kurva ‘menukik’) diberikan kepada area batok kepala, adanya pengulitan
terhadap kulit kepala serta fragmentasi tulang yang berbentuk piringan atau baji (wedge) dapat
pula ditemukan.

Berbanding terbalik terhadap situasi di ruang otopsi, karakteristik-karakteristik dari luka bacokan
terkadang sulit untuk dinilai oleh patologis 5rofessi yang terlibat dalam kasus-kasus semcaam
ini. Maka dari itu, dalam beberapa tahun belakangan ini, pencitraan medis dan rekonstruksi 3-
dimensi dari trauma kranio-serebral dan area aplikasi lain telah dianggap sebagai alat bantu yang
penting dan berharga oleh ahli 5rofessi. Dalam beberapa kasus, data radiologis klinis merupakan
satu-satunya sumber informasi yang dapat diandalkan mengenai beberapa luka.

Dalam artikel ini, kami melaporkan sebuah kasus langka dimana terdapat pasien yang selamat
dari trauma kepala parah dimana terdapat sebuah 5rofession pemotong yang diduga digunakan
sebagai senjata pelaku. Lebih lanjut, kasus ini menunjukkan kemampuan dari rekonstruksi

5
computed tomography 3-dimensi pra-perawatan (3DCT) sebagai 6rofession yang dapat
diandalkan dalam evaluasi luka dan identifikasi senjata.

LAPORAN KASUS

Riwayat Kasus

Pada saat sedang tertidur, seorang pria 29 tahun diserang tetangganya oleh kapak kecil/beliung.
Sesaat kemudian pelaku meninggalkan TKP setelah yakin bahwa ia telah membunuh korban, dan
kemudian menyerahkan diri ke kantor polisi terdekat. Sementara, si korban – yang masih hidup –
dilarikan ke rumah sakit pelayanan kesehatan tersier. Dokter unit gawat darurat yang
menanganinya melaporkan bahwa korban mengalami penurunan kewaspadaan, stabilitas 6rofes
sirkulasi serta luka-luka yang parah pada area frontal dan midfacial. Setelah melakukan CT scan
darurat pada bagian kepala, luka-lukanya kemudian diberikan pembedahan komprehensif serta
rekonstruksi. Sejak penyerangan terjadi, pasien mengalami rasa sakit yang permanen dan
kemungkinan kehilangan indera penglihatannya pada mata kanan.

Jaksa penuntut meminta laporan dari ahli 6rofessiona untuk mengevaluasi luka yang dialami
korban terkait jumlah luka yang dialami, aspek etiologisnya dan ancamannya terhadap
kehidupan. Hasil dari investigasi polisi serta rekam medisnya kemudian diperbolehkan untuk
dipakai dalam review ini.

Investigasi Medikolegal

Pemeriksaan fisik 6rofessiona selama 2 hari setelah operasi pembedahan mengungkapkan bahwa
terdapat luka sepanjang 30 sentimeter berbentuk semi-lunar (menyerupai bulan sabit) yang sudah
dijahit pada area kening bagian atas dan luka lurus sepanjang 12 sentimeter pada area kelopak
mata bagian atas dan hidung bagian atas. Pada awal peradilan belum jelas apakah kedua luka ini
merupakan hasil satu kali serangan atas korban atau salah satunya (pada bagian mata) merupakan
luka perpanjangan atau hasil dari kesalahan prosedur pembedahan.

Kemudian rekam jejak medis menyertakan serangkaian foto pra-perawatan dari luka di kepala
yang menunjukkan kedua luka yang berdarah dan menganga. Tepian luka tertutup sebagian oleh

6
darah. Pada beberapa bagian, tepian dari luka tersebut terlihat seperti hasil dari sayatan. Abrasi
pada sekitar luka atau jembatan jaringan lunak pada kedalaman luka tidak dapat dikenali pada
foto ini.

Penyidikan Forensik-Radiologis

Menggunakan rekonstruksi axial, coronal dan sagittal, CT scan trauma standar dengan 40 baris
7rofes multi-detector computed tomography (7rofes MDCT; SOMATOM Sensation 40 buatan
Siemens), mengungkapkan dua zona luka utama.

1) Trauma kranioserebral yang menyertakan fraktur pada bagian frontal kiri tengkorak,
hematoma epidural, gelembung udara yang terperangkap dan terbelahnya calvarium antara
lapisan internal dan eksternal.

2) Fraktur midfacial kompleks disertai fragmentasi dari rongga hidung, sinus paranasal dan
kedua orbit, perpindahan bola mata secara latero-ventral (latero-ventral displacement) serta
keberadaan udara yang terperangkap.

Karena kerumitan dari cedera yang dialami pasien, alokasi menyeluruh dan jelas dari dua zona
luka yang ditemukan pada hasil pencitraan standar 2-dimensi dianggap tidak memuaskan, begitu
pula dengan foto pra-operasi dari kedua luka tersebut, serta keadaan dari luka pasca-penanganan
medis. Maka dari 3DCT memainkan peranannya untuk menyediakan pandangan tambahan
kepada radiologis klinis dan patologis 7rofessi untuk menilai trauma kompleks yang terjadi.
Analisis citra 3DCT menunjukkan tak hanya pandangan yang jelas dari kedua luka tersebut,
namun juga sudut-sudut benturan benda tajam, dimana hal ini dapat membantu membuat
kesimpulan akan arah dari gaya mekanik yang diberikan kepada si korban. Cedera frontal ini
menyebabkan trauma yang tangensial (sudutnya menukik) kepada area calvaria dengan disertai
formasi fragmen tulang yang berbentuk piringan, dimulai dari area frontal kiri atas dan
memanjang hingga ke area parietal kanan. Fraktur midfacial yang terjadi memiliki konfigurasi
serupa baji dan terdapat orientasi yang menurun/kemiringan terhadap bidang (tulang) yang
transversal/melintang.

7
Kesimpulan Medikolegal

Kesimpulan yang ditarik oleh ahli 8rofessiona menyatakan bahwa dua hasil foto pra-perawatan
dapat dianggap konsisten dengan setidaknya dua luka bacokan yang disebabkan oleh senjata
seperti kampak, dimana sebuah kapak kecil ditemukan pada TKP. Kemungkinan besar, apabila
tidak diberikan penanganan medis secara cukup, kondisi ini dapat berujung kematian.

DISKUSI

Pemeriksaan 8rofessi dari korban yang selamat dari luka seperti ini mewakili fenomena yang
langka pada pengobatan 8rofessi klinis. Dalam kasus-kasus post-mortem, patologis 8rofessi
seringkali diminta untuk mengklarifikasi jenis 8rofession pembunuh, jumlah benturan/serangan
yang diberikan, serta arah serta sudut dari benturan. Mekanismenya (baik bersifat disengaja
maupun tidak disengaja) dan keberadaan atau ketiadaan dari luka-luka yang mengancam jiwa
merupakan pertanyaan umum yang diberikan oleh pihak penyidik kepada patologis 8rofessi.

Dalam pengobatan 8rofessi klinis, karakteristik yang disebutkan diatas mengenai trauma luka
bacok seringkali ‘tertutupi’ atau berubah seiring dengan pemberian penanganan klinis. Fotografi
pra-penanganan yang sesuai dengan tuntutan dari penyidikan 8rofessiona pun tergolong jarang,
dan apabila terdapat foto-foto yang dianggap mencukupi sejumlah kriteria tersebut, resolusi serta
kualitasnya seringkali tidak cukup atau tidak menyertakan skala untuk ukuran (pengukuran
panjang luka, dsb). Maka dari itu, analisis 8rofessi-radiologis dari pencitraan CT pra-perawatan
standar, termasuk rekonstruksi 3-dimensi dari data (3DCT) akan menyediakan informasi-
informasi yang hilang serta membantu menarik kesimpulan yang jelas. Dalam kasus yang
dibahas diatas, 3DCT menampilkan karakteristik tulang yang konsisten dengan dua luka bacokan
yang disebabkan oleh kapak beliung. Menurut pengalaman kami, interpretasi 8rofessiona dari
cedera-cedera semacam ini yang didasarkan hanya pada pencitraan CT 2-dimensi saja lebih sulit
bagi pihak radiologis dan patologis 8rofessi. Maka dari itu, kami percaya bahwa 3DCT
merupakan alat bantu yang sangat berharga untuk mendukung evaluasi 8rofessiona dari
(khususnya) luka bacok di area kranial.

Dengan menerapkan 8rofessional 8rofessi klasik kkepada korban yang selamat, Grassberger dan
kolega menyatakan bahwa 3DCT dalam kasus trauma kepala parah memiliki beberapa kelebihan,
khususnya kepada patologis 8rofessi yang mengevaluasi kasus-kasus tersebut. Penulis khususnya

8
menekankan penampilan pola fraktur yang serupa pada proses otopsi, kemungkinan akan
pengukuran dimensi luka yang akurat, kemungkinan dalam melakukan reka ulang kejadian
perkara, serta kemungkinan penyocokan 9rofession yang dipakai pelaku. Lebih lanjut, trauma
kompleks pada area wajah atau kranial dapat divisualisasikan secara lebih mudah dalam laporan
ahli atau didemonstrasikan dan dijelaskan di depan hakim, yang secara langsung juga
memfasilitasi pemahaman dari khalayak yang awam medis. Beberapa penulis juga menjelaskan
potensi berharga dari 3DCT dalam proses mengidentifikasi 9rofession yang bertanggung jawab
akan luka terkait, bahkan dalam kasus dimana terdapat penggunaan jenis senjata yang tidak
lazim.

Dengan mempertimbangkan pencitraan 9rofessi dari luka yang disebabkan kapak beliung,
Ampanozi dan kolega melaporkan bahwa dalam kasus post-mortem yang menjalani prosedur CT
scan dan MRI sebelum otopsi, penggunaan 3DCT sebaliknya dapat menunjukkan karakteristik
dari trauma yang disebabkan luka bacokan pada pengujian awal.

Johnson dan kolega juga melaporkan sejumlah kasus luka bacokan yang fatal ke kepala dan
interpretasi cedera yang optimal menggunakan 3DCT pada individu yang masih hidup pada saat
kejadian perkara. Sebaliknya dalam kasus yang kami tangani, penulis dihadapkan oleh korelasi
antara citra CT dan foto dari luka yang telah dijahit dan diambil pada 3-4 hari pasca-operasi.
Namun, peran 3DCT dalam mendiagnosa kerusakan fraktur yang disebabkan luka bacok dapat
didemonstrasikan secara jelas. Lebih lanjut, penulis menekankan kebutuhan akan menyelidiki
serangkaian kasus yang lebih besar dengan disertai aplikasi dari rekonstruksi yang dibantu 3DCT
untuk mengevaluasi teknik ini lebih lanjut.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah, bahwa dalam pengalaman kami akan analisa kasus
tunggal ini, hasil yang didapatkan serupa dengan laporan-laporan yang telah ada sebelumnya.
3DCT menyediakan bukti-bukti yang umumnya tidak tersedia, hal ini kemudian memfasilitasi
penilaian/assessment 9rofessiona yang lebih optimal. Karena aplikasi 9rofessi dari 3DCT telah
menunjukkan nilai yang tak terhingga dalam evaluasi pasien yang selamat dari cedera wajah dan
kepala yang berpotensi fatal, signifikansi yang kian meningkat dari penggunaan teknik ini dapat
diperkirakan dalam beberapa waktu yang akan datang. Seperti yang juga direkomendasikan oleh
penulis lain, penilaian gabungan dari rekonstruksi 3DCT oleh patologis 9rofessi yang
berpengalaman dengan disertai radiologis klinis yang berpengalaman merupakan cara yang

9
paling efektif dalam menghasilkan opini ahli 10rofessional dalam kasus-kasus tersebut.

10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Traumatology

Traumatologi (dari bahasa Yunani Trauma "yang berarti luka" atau luka) adalah studi
tentang luka dan luka yang disebabkan oleh kecelakaan atau kekerasan kepada seseorang, dan
terapi bedah dan perbaikan kerusakan. Traumatologi adalah cabang ilmu kedokteran yang
mempelajari tentang trauma atau perlukaan, cedera serta hubungannya dengan berbagai
kekerasan (rudapaksa), yang kelainannya terjadi pada tubuh karena adanya diskontinuitas
jaringan akibat kekerasan yang menimbulkan jejas.

Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit. Didalam melakukan
pemeriksaan terhadap orang yang menderita luka akibat kekerasan, pada hakekatnya dokter
diwajibkan untuk dapat memberikan kejelasan dari permasalahan jenis luka yang terjadi, jenis
kekerasan yang menyebabkan luka, dan kualifikasi luka.

3.2 Etiologi

1. Luka karena kekerasan mekanik (benda tajam, tumpul, dan senjata api).

2. Luka karena kekerasan fisik (arus listrik, petir, suhu)

3. Luka karena kekerasan kimiawi (asam, basa, logam berat)

3.3 Traumatology Luka Bacok

Luka bacok ialah luka akibat benda atau alat yang berat dengan mata tajam atau
agak tumpul yang terjadi dengan suatu ayunan disertai tenaga yang cukup besar. Ciri luka
bacok yaitu luka biasanya besar, pinggir luka rata, sudut luka tajam, hampir selalu
menimbulkan kerusakan pada tulang, dapat memutuskan bagian tubuh yang terkena
bacokan, kadang-kadang pada tepi luka terdapat memar, abrasi. Contoh alat yang biasa
digunakan adalah pedang, clurit, kapak, baling-baling kapal dan Machete. (6)

11
Gambar 1.1 :Luka Bacok (6)
Sumber: Dix J. Color Atlas of Forensic Pathology. New York. 2000

3.4 Deskripsi Luka

1. Jumlah luka.
2. Lokasi luka, meliputi:
a. Lokasi berdasarkan regio anatomiknya.
b. Lokasi berdasarkan garis koordinat atau berdasarkan bagian-bagian tertentu dari
tubuh.
Menentukan lokasi berdasarkan garis koordinat dilakukan untuk luka pada regio
yang luas seperti di dada, perut, penggung. Koordinat tubuh dibagi dengan
menggunakan garis khayal yang membagi tubuh menjadi dua yaitu kanan dan
kiri, garis khayal mendatar yang melewati puting susu, garis khayal mendatar
yang melewati pusat, dan garis khayal mendatar yang melewati ujung tumit. Pada
kasus luka tembak harus selalu diukur jarak luka dari garis khayal mendatar yang
melewati kedua ujung tumit untuk kepentingan rekonstruksi. Untuk luka di bagian

12
punggung dapat dideskripsikan lokasinya berdasarkan garis khayal yang
menghubungkan ujung bawah tulang belikat kanan dan kiri.
3. Bentuk luka, meliputi :
a. Bentuk sebelum dirapatkan
b. Bentuk setelah dirapatkan
4. Ukuran luka, meliputi sebelum dan sesudah dirapatkan ditulis dalam bentuk panjang x
lebar x tinggi dalam satuan sentimeter atau milimeter.
5. Sifat-sifat luka, meliputi :
a. Daerah pada garis batas luka, meliputi :
- Batas (tegas atau tidak tegas)
- Tepi (rata atau tidak rata)
- Sudut luka (runcing atau tumpul)
b. Daerah di dalam garis batas luka, meliputi:
- Jembatan jaringan (ada atau tidak ada)
- Tebing (ada atau tidak ada, jika ada terdiri dari apa)
- Dasar luka
c. Daerah di sekitar garis batas luka, meliputi :
- Memar (ada atau tidak)
- Lecet (ada atau tidak)
- Tatoase (ada atau tidak)

13

Anda mungkin juga menyukai