Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Ilmu kedokteran forensik adalah salah satu cabang spesialistik ilmu


kedokteran yang memanfaatkan ilmu kedokteran untuk membantu penegakan
hukum dan pemecahan masalah – masalah di bidang hukum. Memang pada
mulanya ilmu kedokteran forensik hanya diperuntukan bagi kepentingan
peradilan, namun dalam perkembangannya juga dimanfaatkan dibidang – bidang
yang bukan untuk peradilan.1

Ruang lingkup kedokteran forensik berkembang dari waktu ke waktu. Dari


semula hanya pada kematian korban kejahatan, kematian tak diharapkan/ tak
diduga, mayat tak dikenal, hingga para korban kejahatan yang masih hidup, atau
bahkan kerangka, jaringan, dan bahan biologis yang diduga berasal dari manusia.
Jenis perkaranya pum meluas dari pembunuhan, penganiayaan, kejahatan seksual,
kekerasan dalam rumah tangga, child abuse and neglect, perselisihan pada
perceraian, anak yang mencari ayah (paternity testing), hingga ke pelangggaran
hak asasi manusia. Apabila Ilmu Kedokteran Forensik yang digunakan utuk
menangani korban mati disebut sebagai patologi forensik, maka yang menangani
korban hidup ataupun tersangka pelaku disebut sebagai kedokteran forensik klinik
(clinical forensik medicine, atau di beberapa negara disebut police surgeon).1

Kedokteran forensik terdiri dari 2 cabang ilmu yaitu ilmu patologi forensik
dan forensik klinis. Patologi forensik sudah menjadi cabang spesialistik
kedokteran sejak 1958, dan dikenal sebagai ilmu yang memanfaatkan orang mati
untuk kepentingan orang hidup (learn from the dead for the living). Patologi
forensik membuat mayat dan barang bukti diam lain (silent witness) menjadi
mampu berbicar dan bersaksi untuk kepentingan hukum. Patologi forensik
melakukan pemeriksaan mayat, baik bagian luar maupun melakukan autopsi, dan
kemudian melakukan pemeriksaan laboratorium penunjang. Tidak jarang
pekerjaannya didahului dengan pemeriksaan di tempat kejadian perkara, serta
mereview keterangan saksi dan riwayat penyakit. Dalam prakteknya, patologi

1
forensik bekerjasama dengan ilmu – ilmu forensik lainnya, dalam mengungkap
tindak pidana, seperti entomologi, toksikologi, antropologi, balistik, odontologi,
serologi, forensik molekular (DNA) dan lain – lain. 1

Sedangkan forensik klinik adalah bidang kedokteran forensik yang relatif baru
berkembang. Di Indonesia bahkan baru dalam tahap penerapan awal setelah
diperkenalkan sejak tahun 1998. Bidang ini melayani korban perkara kekerasan
fisik (termasuk penganiayaan dan kekerasan dalam rumah tangga), pencederaan
diri, cedera non – aksidental pada anak, perkosaan dan kejahatan seksual lainnya,
kelayakan diperiksa atau ditahan (fitness to be interviewed, fitness to be detained).
Forensik klinik adalah cabang ilmu kedokteran forensik yang mempergunakan
ilmu dan pengetahuan klinik dalam usaha untuk pembuktian ilmiah dengan
pencatatan, pengumpulan dan interpretasi bukti medis dari korban hidup agar
tetap asli, ilmiah dan diterima di pengadilan. Pelayanan forensik klinik bersifat
komprehensif dengan mempertimbangkan korban bukan saja sebagai barang bukti
tetapi juga dilihat sebagai pasien.1

Sekitar 50-70% kasus yang terdapat di instalasi gawat darurat adalah kasus
perlukaan atau trauma. Luka-luka ini dapat terjadi akibat dari kecelakaan,
penganiayaan, bunuh diri, bencana, maupun terorisme. Luka pada trauma terjadi
sekitar 1,6 juta kasus setiap tahunnya. Salah satu luka yang disebabkan oleh
karena kekerasan benda tajam yaitu luka bacok. Luka bacok umumnya terjadi
pada daerah yang dapat terjangkau oleh tangan korban. Tempat yang lazim adalah
leher, dada sebelah kiri, pergelangan tangan, dan perut. 2

Ciri luka bacok yaitu luka biasanya besar dan menganga, panjang luka kurang
lebih sama dengan dalam luka yang dapat memutuskan bagian tubuh yang terkena
bacokan, kadang-kadang pada tepi luka terdapat memar. Untuk mendiagnosis luka
bacok, selain dalam ilmu forensik klinis dapat juga didiagnosis dengan
menggunakan ilmu radiologi, salah satunya dengan 3DCT.

2
1.2 Batasan Masalah
Makalah ini membahas mengenai journal reading denganreview studi
kasus dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang modern terhadap luka
bacok.

1.3 Rumusan Masalah


a. Mengetahui proses dan kegunaan 3DCT dalam evaluasi luka bacok pada
pengobatan forensik klinis
b. Mengetahui adakah peran penting antara kegunaan 3DCT dalam forensik
klinis
c. Mengetahui cara mengidentifikasi luka bacok pada 3DCT

1.4 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan makalah ini untuk mengetahui manfaat kegunaan 3DCT dalam
ilmu forensik

1.5 Manfaat
a. Dapat digunakan untuk menambang pengetahuan ilmu kedokteran fornsik
terutama kegunaaan 3DCT dalam evaluasi luka bacok pada pengobatan
forensik klinis
b. Dapat memberikan informasi yang bermanfaat tentang pengetahuan
kegunaan 3DCT dalam luka bacok

3
BAB II
JOURNAL READING

2.1 Jurnal Asli

4
5
6
7
8
2.2 Jurnal Terjemahan

PERAN 3DCT DALAM EVALUASI LUKA BACOKAN PADA


PENGOBATAN FORENSIK KLINIS

Abstrak

Dikarenakan serangan kapak ke kepala manusia seringkali menyebabkan


cedera yang fatal, pemeriksaan 9rofessi dari orang yang selamat dari luka bacokan
pada area kranial adalah fenomena yang langka dalam penanganan kasus forensik.
Disamping evaluasi dari rekam jejak klinis, foto dan pemeriksaan fisik Medico-
legal; analisis dan rekonstruksi tiga-dimensi dari data CT pra-perawatan (3DCT)
harus dipertimbangkan sebagai aspek penting dan tak tergantikan dalam penilaian
terhadap kasus-kasus tersebut; hal ini disebabkan beberapa karakteristik dari
trauma luka bacokan seringkali terselubung atau berubah-ubah apabila diberikan
penanganan klinis. Dalam artikel ini, peran dari 3DCT dalam evaluasi luka
bacokan pada pengobatan forensik klinis didemonstrasikan lewat sebuah laporan
kasus ilustratif dari seorang pria muda yang dilukai oleh kapak kecil
(hatchet/kapak beliung), dimana 3DCT menyediakan kemungkinan-kemungkinan
tambahan dalam menyuplai informasi yang hilang, seperti jumlah 9rofessi dari
serangan kapak serta identifikasi terhadap senjata yang digunakan. Lebih lanjut,
3DCT dapat memfasilitasi demonstrasi di ranah pengadilan dan dapat lebih
mudah dipahami oleh masyarakat yang awam medis. Kami menyimpulkan bahwa
3DCT memiliki nilai yang khusus dalam evaluasi terhadap pasien yang selamat
dari cedera wajah dan kepala yang berpotensi fatal. Maka dari itu, signifikansi
yang semakin tinggi dari penggunaan teknik ini dapat diperkirakan dalam
beberapa waktu ke depan.

© 2016 Elsevier Ltd and Faculty of Forensik and Legal Medicine. All rights reserved.

1. Pendahuluan
Luka bacokan umumnya dijabarkan sebagai hasil akhir dari gaya yang
disebabkan benda tajam, khususnya alat berat yang memiliki mata pisau tajam
seperti kapak, kapak kecil/beliung, machete, sekop dan pisau daging. (1,2) Baling-
baling kapal laut, pesawat terbang atau forensik dapat juga menyebabkan luka

9
serupa bacokan. (1,3) Temuan yang tipikal dari luka bacokan adalah luka torehan
yang menganga dan dalam disertai cedera terhadap struktur tulang dibawahnya.
(1,2,3.4.5)
Tepian dari luka umumnya lurus dan tajam, namun seringkali terdapat
abrasi setidaknya pada satu sisi, dimana abrasi ini dapat dikaitkan dengan
ketebalan mata pisau dan/atau derajat ketumpulannya. (2) Jembatan dari jaringan
lembut pada kedalaman luka, kerusakan jaringan disekitarnya serta pada tepian
(2,6)
luka dapat pula ditemukan. Maka dari itu, kebanyakan luka bacokan
memperlihatkan kombinasi dari karakteristik gaya yang disebabkan benda tumpul
dan tajam. Gaya kausatif ini dapat pula dijabarkan sebagai ‘gaya semi-tajam’,
khususnya oleh beberapa penulis berkebangsaan Jerman. Analisis luka yang
komprehensif, termasuk penilaian akan bentuk total, jenis dari fraktur didasar
luka, serta karakteristik histologis, dapat memfasilitasi identifikasi dari jenis
senjata yang digunakan. Beberapa ketidakteraturan kecil dari bentuk mata pisau
dapat pula menyebabkan pola fraktur unik yang dapat membantu mengenali jenis
10rofession pemotong tertentu yang menyebabkan luka tersebut. Namun,
disamping mempertimbangkan jenis senjata yang dipakai, derajat keparahan serta
morfologi dari luka bacokan bergantung pula pada gaya yang diberikan kepada
(4,5,8,10)
senjata. Target yang paling umum dari serangan benda tajam merupakan
daerah kepala dan leher, hal ini menjelaskan hasil akhir yang fatal pada
kebanyakan kasus. Dalam kasus dimana gaya tangensial (gaya dimana arahnya
membentuk kurva ‘menukik’) diberikan kepada area batok kepala, adanya
pengulitan terhadap kulit kepala serta fragmentasi tulang yang berbentuk piringan
atau baji (wedge) dapat pula ditemukan. (2,4)

Berbanding terbalik terhadap situasi di ruang otopsi, karakteristik-karakteristik


dari luka bacokan terkadang sulit untuk dinilai oleh patologis 10rofessi yang
terlibat dalam kasus-kasus semcaam ini. Maka dari itu, dalam beberapa tahun
belakangan ini, pencitraan medis dan rekonstruksi 3-dimensi dari trauma kranio-
serebral dan area aplikasi lain telah dianggap sebagai alat bantu yang penting dan
berharga oleh ahli 10rofessi. Dalam beberapa kasus, data radiologis klinis
merupakan satu-satunya sumber informasi yang dapat diandalkan mengenai
beberapa luka. (4,5,6)

10
Dalam artikel ini, kami melaporkan sebuah kasus langka dimana terdapat
pasien yang selamat dari trauma kepala parah dimana terdapat sebuah 11rofession
pemotong yang diduga digunakan sebagai senjata pelaku. Lebih lanjut, kasus ini
menunjukkan kemampuan dari rekonstruksi computed tomography 3-dimensi pra-
perawatan (3DCT) sebagai 11rofession yang dapat diandalkan dalam evaluasi luka
dan identifikasi senjata.

2. Laporan Kasus
2.1 Kronologis Kasus
Pada saat sedang tertidur, seorang pria 29 tahun diserang tetangganya oleh
kapak kecil/beliung. Sesaat kemudian pelaku meninggalkan TKP setelah yakin
bahwa ia telah membunuh korban, dan kemudian menyerahkan diri ke kantor
polisi terdekat. Sementara, si korban – yang masih hidup – dilarikan ke rumah
sakit pelayanan kesehatan tersier. Dokter unit gawat darurat yang menanganinya
melaporkan bahwa korban mengalami penurunan kesadaran, stabilitas sirkulasi
serta luka-luka yang parah pada area frontal dan midfacial. Setelah melakukan CT
scan darurat pada bagian kepala, luka-lukanya kemudian diberikan pembedahan
komprehensif serta rekonstruksi. Sejak penyerangan terjadi, pasien mengalami
rasa sakit yang permanen dan kemungkinan kehilangan indera penglihatannya
pada mata kanan.

Jaksa penuntut meminta laporan dari ahli forensik untuk mengevaluasi luka
yang dialami korban terkait jumlah luka yang dialami, aspek etiologisnya dan
ancamannya terhadap kehidupan. Hasil dari investigasi polisi serta rekam
medisnya kemudian diperbolehkan untuk dipakai dalam review ini.

2.2 Investigasi Medikolegal

Aspek mediko legal pemeriksaan fisik selama 2 hari setelah operasi


pembedahan mengungkapkan bahwa terdapat luka sepanjang 30 sentimeter
berbentuk semi-lunar (menyerupai bulan sabit) yang sudah dijahit pada area
kening bagian atas dan luka lurus sepanjang 12 sentimeter pada area kelopak mata
bagian atas dan hidung bagian atas. Pada awal peradilan belum jelas apakah kedua

11
luka ini merupakan hasil satu kali serangan atas korban atau salah satunya (pada
bagian mata) merupakan luka perpanjangan atau hasil dari kesalahan prosedur
pembedahan.

Kemudian rekam jejak medis menyertakan serangkaian foto pra-perawatan


dari luka di kepala yang menunjukkan kedua luka yang berdarah dan menganga.
Tepian luka tertutup sebagian oleh darah. Pada beberapa bagian, tepian dari luka
tersebut terlihat seperti hasil dari sayatan. Abrasi pada sekitar luka atau jembatan
jaringan lunak pada kedalaman luka tidak dapat dikenali pada foto ini.

2.3 Penyidikan Forensik-Radiologis

Menggunakan rekonstruksi axial, coronal dan sagittal, CT scan trauma


standar dengan 40 baris multi-detector computed tomography (MDCT;
SOMATOM Sensation 40 buatan Siemens), mengungkapkan dua zona luka utama.

1) Trauma kranioserebral yang menyertakan fraktur pada bagian frontal kiri


tengkorak, hematoma epidural, gelembung udara yang terperangkap dan
terbelahnya calvarium antara lapisan internal dan eksternal.

2) Fraktur midfacial kompleks disertai fragmentasi dari rongga hidung, sinus


paranasal dan kedua orbit, perpindahan bola mata secara latero-ventral (latero-
ventral displacement) serta keberadaan udara yang terperangkap.

Karena kerumitan dari cedera yang dialami pasien, alokasi menyeluruh


dan jelas dari dua zona luka yang ditemukan pada hasil pencitraan standar 2-
dimensi dianggap tidak memuaskan, begitu pula dengan foto pra-operasi dari
kedua luka tersebut, serta keadaan dari luka pasca-penanganan medis. Maka dari
3DCT memainkan peranannya untuk menyediakan pandangan tambahan kepada
radiologis klinis dan patologis forensik untuk menilai trauma kompleks yang
terjadi. Analisis citra 3DCT menunjukkan tak hanya pandangan yang jelas dari
kedua luka tersebut, namun juga sudut-sudut benturan benda tajam, dimana hal ini
dapat membantu membuat kesimpulan akan arah dari gaya mekanik yang
diberikan kepada si korban. Cedera frontal ini menyebabkan trauma yang
tangensial (sudutnya menukik) kepada area calvaria dengan disertai formasi

12
fragmen tulang yang berbentuk piringan, dimulai dari area frontal kiri atas dan
memanjang hingga ke area parietal kanan. Fraktur midfacial yang terjadi memiliki
konfigurasi serupa baji dan terdapat orientasi yang menurun/kemiringan terhadap
bidang (tulang) yang transversal/melintang.

2.4 Kesimpulan Medikolegal

Kesimpulan yang ditarik oleh ahli 13rofessiona menyatakan bahwa dua


hasil foto pra-perawatan dapat dianggap konsisten dengan setidaknya dua luka
bacokan yang disebabkan oleh senjata seperti kampak, dimana sebuah kapak kecil
ditemukan pada TKP. Kemungkinan besar, apabila tidak diberikan penanganan
medis secara cukup, kondisi ini dapat berujung kematian.

3.DISKUSI

Pemeriksaan forensik dari korban yang selamat dari luka seperti ini
mewakili fenomena yang langka pada pengobatan 13rofessi klinis. Dalam kasus-
kasus post-mortem, patologis 13rofessi seringkali diminta untuk mengklarifikasi
jenis 13rofession pembunuh, jumlah benturan/serangan yang diberikan, serta arah
serta sudut dari benturan. Mekanismenya (baik bersifat disengaja maupun tidak
disengaja) dan keberadaan atau ketiadaan dari luka-luka yang mengancam jiwa
merupakan pertanyaan umum yang diberikan oleh pihak penyidik kepada
patologis forensik.

Dalam pengobatan forensik klinis, karakteristik yang disebutkan diatas


mengenai trauma luka bacok seringkali ‘tertutupi’ atau berubah seiring dengan
pemberian penanganan klinis. Fotografi pra-penanganan yang sesuai dengan
tuntutan dari penyidikan pun tergolong jarang, dan apabila terdapat foto-foto
yang dianggap mencukupi sejumlah kriteria tersebut, resolusi serta kualitasnya
seringkali tidak cukup atau tidak menyertakan skala untuk ukuran (pengukuran
panjang luka, dsb). Maka dari itu, analisis 13rofessi-radiologis dari pencitraan CT
pra-perawatan standar, termasuk rekonstruksi 3-dimensi dari data (3DCT) akan
menyediakan informasi-informasi yang hilang serta membantu menarik

13
kesimpulan yang jelas. Dalam kasus yang dibahas diatas, 3DCT menampilkan
karakteristik tulang yang konsisten dengan dua luka bacokan yang disebabkan
oleh kapak beliung. Menurut pengalaman kami, interpretasi 14rofessiona dari
cedera-cedera semacam ini yang didasarkan hanya pada pencitraan CT 2-dimensi
saja lebih sulit bagi pihak radiologis dan patologis 14rofessi. Maka dari itu, kami
percaya bahwa 3DCT merupakan alat bantu yang sangat berharga untuk
mendukung evaluasi 14rofessiona dari (khususnya) luka bacok di area kranial.

Dengan menerapkan 14 rofessional 14 rofessi klasik kkepada korban yang


selamat, Grassberger dan kolega menyatakan bahwa 3DCT dalam kasus trauma
kepala parah memiliki beberapa kelebihan, khususnya kepada patologis 14rofessi
yang mengevaluasi kasus-kasus tersebut. Penulis khususnya menekankan
penampilan pola fraktur yang serupa pada proses otopsi, kemungkinan akan
pengukuran dimensi luka yang akurat, kemungkinan dalam melakukan reka ulang
kejadian perkara, serta kemungkinan penyocokan 14rofession yang dipakai
pelaku. Lebih lanjut, trauma kompleks pada area wajah atau kranial dapat
divisualisasikan secara lebih mudah dalam laporan ahli atau didemonstrasikan dan
dijelaskan di depan hakim, yang secara langsung juga memfasilitasi pemahaman
dari khalayak yang awam medis. Beberapa penulis juga menjelaskan potensi
berharga dari 3DCT dalam proses mengidentifikasi yang bertanggung jawab akan
luka terkait, bahkan dalam kasus dimana terdapat penggunaan jenis senjata yang
tidak lazim.

Dengan mempertimbangkan pencitraan forensik dari luka yang disebabkan


kapak beliung, Ampanozi dan kolega melaporkan bahwa dalam kasus post-
mortem yang menjalani prosedur CT scan dan MRI sebelum otopsi, penggunaan
3DCT sebaliknya dapat menunjukkan karakteristik dari trauma yang disebabkan
luka bacokan pada pengujian awal.

Johnson dan kolega juga melaporkan sejumlah kasus luka bacokan yang fatal
ke kepala dan interpretasi cedera yang optimal menggunakan 3DCT pada individu
yang masih hidup pada saat kejadian perkara. Sebaliknya dalam kasus yang kami
tangani, penulis dihadapkan oleh korelasi antara citra CT dan foto dari luka yang
telah dijahit dan diambil pada 3-4 hari pasca-operasi. Namun, peran 3DCT dalam

14
mendiagnosa kerusakan fraktur yang disebabkan luka bacok dapat
didemonstrasikan secara jelas. Lebih lanjut, penulis menekankan kebutuhan akan
menyelidiki serangkaian kasus yang lebih besar dengan disertai aplikasi dari
rekonstruksi yang dibantu 3DCT untuk mengevaluasi teknik ini lebih lanjut.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah, bahwa dalam pengalaman kami akan
analisa kasus tunggal ini, hasil yang didapatkan serupa dengan laporan-laporan
yang telah ada sebelumnya. 3DCT menyediakan bukti-bukti yang umumnya tidak
tersedia, hal ini kemudian memfasilitasi penilaian/assessment professional yang
lebih optimal. Karena aplikasi 15rofessi dari 3DCT telah menunjukkan nilai yang
tak terhingga dalam evaluasi pasien yang selamat dari cedera wajah dan kepala
yang berpotensi fatal, signifikansi yang kian meningkat dari penggunaan teknik
ini dapat diperkirakan dalam beberapa waktu yang akan datang. Seperti yang juga
direkomendasikan oleh penulis lain, penilaian gabungan dari rekonstruksi 3DCT
oleh patologi forensik yang berpengalaman dengan disertai radiologis klinis yang
berpengalaman merupakan cara yang paling efektif dalam menghasilkan opini ahli
forensik dalam kasus-kasus tersebut. (10)

15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Traumatologi (dari bahasa Yunani Trauma "yang berarti luka" atau luka)
adalah studi tentang luka dan luka yang disebabkan oleh kecelakaan atau
kekerasan kepada seseorang, dan terapi bedah dan perbaikan kerusakan.
Traumatologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tentang trauma
atau perlukaan, cedera serta hubungannya dengan berbagai kekerasan terhadap
jaringan tubuh yang masih hidup yang kelainannya terjadi pada tubuh karena
adanya diskontinuitas jaringan akibat kekerasan yang menimbulkan jejas.

Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit. Didalam
melakukan pemeriksaan terhadap orang yang menderita luka akibat kekerasan,
pada hakekatnya dokter diwajibkan untuk dapat memberikan kejelasan dari
permasalahan jenis luka yang terjadi, jenis kekerasan yang menyebabkan luka,
dan kualifikasi luka.

Pada pasal 133 ayat (1) KUHAP dan pasal 179 ayat (1) KUHAP
dijelaskan bahwa penyidik berwenang meminta keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter atau bahkan ahli lainnya. Keterangan ahli
tersebut adalah Visum et Repertum, dimana didalamnya terdapat penjabaran
tentang keadaan korban, baik korban luka, keracunan, ataupun mati. Seorang
dokter perlu menguasai pengetahuan tentang mendeskripsikan luka. Visum et
Repertum harus dibuat sedemikian rupa, yaitu memenuhi persyaratan formal dan
material , sehingga dapat dipakai sebagai alat bukti yang sah di sidang pengadilan.

Dokter sebagai warga Negara bahkan kebanyakan adalah pegawai negeri


maka berdasarkan pasal 108 KUHAP mempunyai kewajiban melaporkan kepada
yang berwenang bila mengetahui adanya tindak pidana. Dokter yang merupakan
bagian dari sumber daya rumah sakit yang harus dilindungi oleh rumah sakit.
Pemeriksaan pada korban hidup dalam hal korban tindak pidana
penganiayaan atau kelalaian orang lain makan bantuan dokter diperlukan untuk
membuktikan ada luka atau tidak, benda penyebab luka, bagaimana cara benda

16
tersebut dapat menimbulkan luka serta bagaimana dampak atau pengaruh luka
tersebut. Pengaruh luka pada tubuh dapat menyebabkan ketidaknyamanan dan
disfungsi, dinyatakan sebagai penyakit. Dampak atau pengaruh luka pada tubuh
menjadi dasar penentuan berat ringannya luka. Secara hukum hal ini didasarkan
atas pengaruhnya terhadap kesehatan jasmani, kesehatan rohani, kelangsungan
hidup janin di dalam kandungan, estetika jasmani, pekerjaan jabatan atau
pekerjaan mata pencarian serta fungsi alat indera. Penentuan berat ringannya luka
tersebut dicantumkan dalam bagian kesimpulan visum et repertum.
Menurut KUHP berat ringannya luka atau kualifikasi luka tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Luka ringan :
Adalah luka yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan dalam
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencariannya. Hukuman terhadap luka
ringan ini tercantum pada pasal 352 ayat 1 KUHP : kecuali yang tersebut pada
pasal 353 dan 356 maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam,
sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan
atau pidanan denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
2. Luka sedang :
Adalah luka yang menimbulkan penyakit atau halangan dalam menjalankan
pekerjaan jabatan atau mata pencariannya untuk sementara waktu. Hukuman
dapat dijatuhkan berdasarkan pasal 351 ayat 1 KUHP : penganiayaan diancam
dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
3. Luka berat :
Adalah sebagaimana tercantum di dalam pasal 90 KUHP, yaitu :
a. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak member harapan akan sembuh
sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut.
b. Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
pencarian
c. Kehilangan salah satu panca indera
d. Mendapat cacat berat

17
e. Menderita sakit lumpuh
f. Terganggunya daya piker selama empat minggu lebih
g. Gugur atatu matinya kandungan seorang perempuan

Hukuman dapat dijatuhkan berdasarkan dalam KUHP pasal 351 ayat 2 dan
ayat 3, pasal 353, pasal 354, pasal 355.

3.2 Etiologi
1. Luka karena kekerasan mekanik (benda tajam, tumpul, dan senjata api).
2. Luka karena kekerasan fisik (arus listrik, petir, suhu)
3. Luka karena kekerasan kimiawi (asam, basa, logam berat)

3.3 Traumatology Luka Bacok

Luka bacok ialah luka akibat benda atau alat yang berat dengan mata tajam
atau agak tumpul yang terjadi dengan suatu ayunan disertai tenaga yang cukup
besar. Ciri luka bacok yaitu luka biasanya besar, pinggir luka rata, sudut luka
tajam, hampir selalu menimbulkan kerusakan pada tulang, dapat memutuskan
bagian tubuh yang terkena bacokan, kadang-kadang pada tepi luka terdapat
memar, abrasi. Contoh alat yang biasa digunakan adalah pedang, clurit, kapak,
baling-baling kapal dan Machete. 14

18
Gambar 1.1 :Luka Bacok (6)
Sumber: Dix J. Color Atlas of Forensik Pathology. New York. 2000

3.4 Deskripsi Luka

1. Jumlah luka.
2. Lokasi luka, meliputi:
a. Lokasi berdasarkan regio anatomiknya.
b. Lokasi berdasarkan garis koordinat atau berdasarkan bagian-bagian
tertentu dari tubuh.

Menentukan lokasi berdasarkan garis koordinat dilakukan untuk luka pada


regio yang luas seperti di dada, perut, penggung. Koordinat tubuh dibagi dengan
menggunakan garis khayal yang membagi tubuh menjadi dua yaitu kanan dan kiri,
garis khayal mendatar yang melewati puting susu, garis khayal mendatar yang
melewati pusat, dan garis khayal mendatar yang melewati ujung tumit. Pada kasus
luka tembak harus selalu diukur jarak luka dari garis khayal mendatar yang
melewati kedua ujung tumit untuk kepentingan rekonstruksi. Untuk luka di bagian

19
punggung dapat dideskripsikan lokasinya berdasarkan garis khayal yang
menghubungkan ujung bawah tulang belikat kanan dan kiri.

3. Bentuk luka, meliputi :


a. Bentuk sebelum dirapatkan
b. Bentuk setelah dirapatkan
4. Ukuran luka, meliputi sebelum dan sesudah dirapatkan ditulis dalam
bentuk panjang x lebar x tinggi dalam satuan sentimeter atau milimeter.
5. Sifat-sifat luka, meliputi :
a. Daerah pada garis batas luka, meliputi :
- Batas (tegas atau tidak tegas)
- Tepi (rata atau tidak rata)
- Sudut luka (runcing atau tumpul)
b. Daerah di dalam garis batas luka, meliputi:
- Jembatan jaringan (ada atau tidak ada)
- Tebing (ada atau tidak ada, jika ada terdiri dari apa)
- Dasar luka
c. Daerah di sekitar garis batas luka, meliputi :
- Memar (ada atau tidak)
- Lecet (ada atau tidak)
- Tatoase (ada atau tidak)

3.5 Definisi Radiologi Forensik


Forensik berasal dari Bahasa Latin forens yang berarti dari atau termasuk
dalam forum, umum, setara dengan forum, dapat juga berarti argumentative,
retorika, termasuk debat atau diskusi. Namun secara modern forensik diartikan
sebagai berkaitan dengan, terhubung dengan atau digunakan di pengadilan
peradilan atau diskusi dan debat public, dengan demikian ilmu forensik meliputi
penerapan pengetahuan ilmiah dan / atau teknis khusus untuk permasalahan sipil
dan hukum pidana, terutama dalam proses peradilan. Sedangkan kedokteran
forensik telah diakui sebagai ilmu pengetahuan khusus atau disiplin ilmu yang
berhubungan dengan penerapan fakta dan pengetahuan medis terhadap masalah

20
hukum. Beberapa literature lebih suka menyebutnya yurisprudensi medis.
Kedokteran forensik ini sering disamakan dengan patologi forensik karena
keterlibatan penuh seorang dokter dengan aktivitas forensik yang hampir secara
khusus merupakan pusat bidang keahliannya. Ahli patologi forensik terutama
berkaitan dengan pemeriksaan post-mortem, yang mayoritas akan dekat dengan
jenazah, namun selain itu disiplin ilmu ini juga mencakup banyak masalah hukum
(misalnya, penentuan usia, penyerangan, pelanggaran hak-hak sipil, warisan,
pencurian, malapraktik, pelanggaran seksual, penyelundupan, keperawanan, dan
kelahiran atau kematian yang tidak wajar). Para pathologi forensik ini pada
nantinya akan memberikan keterangan atas sebuah hasil pemeriksaan kesehatan
serta diharapkan dapat menentukan identitas yang diperiksa, jenis luka yang
ditemukan, waktu, cara dan sebab kematian serta hal-hal khusus lainnya yang
berhubungan dengan kasus tertentu. 3,4,5
Dalam penerapannya, bidang forensik telah menggabungkan beberapa
subspesialisasi yang berbeda, seperti patologi forensik,yang meliputi pemeriksaan
manusia yang masih hidup dan sudah meninggal; toksikologi forensik; forensik
biologi molekuler ; dan psikiatri forensik. Namun, ada sebuah terobosan baru di
dunia forensik yaitu pencitraan postmortem yang dimasukkan ke dalam patologi
forensik. Pencitraan postmortem ini tentunya merupakan gabungan dari
subspesialis forensik patologi dan radiologi diagnostic. Ilmu ini juga dikenal
dengan sebutan radiologi forensik, namun dalam perjalanannya masing-masing
ahli patologi forensik dan ahli radilogi diagnostic akan berkerjasama dalam
mengungkap suatu kasus dikarenakan baik dari disiplin ilmu kedokteran forensik
maupun radiologi belum terdapat subspesialis radiologi forensik. Bidang radiologi
forensik ini biasanya meliputi pelaksanaan, interpretasi, dan expertise serta
prosedur radiologis yang ada hubungannya dengan pengadilan dan / atau hukum.
Sampai beberapa dekade yang lalu, radiologi bisa didefinisikan seperti cabang
ilmu kedokteran khusus yang menggunakan energi pancaran pengion dalam
diagnosis dan pengobatan penyakitnya. Modalitas yang bisa digunakan antara lain
mulai dari X-ray, USG, MRI, CT-scan, fluorosent imaging, dan radiologi
intervensi. 3,4,5

21
Dalam menerapkan praktik radiologi forensik, baik patologi forensik
maupun radiologi diagnostik harus diintegrasikan dan tidak dapat berjalan sendiri-
sendiri. Maka dari itu diperlukan komunikasi dan kerjasama yang baik antara
dokter patologi forensik dengan dokter radiologi untuk mengungkap sebuah
kasus, keduanya perlu mengetahui pencitraan kasus emergensi forensik termasuk
ilmu tentang perubahan-perubahan normal post-mortem, cara dan sebab kematian,
tanda radiologi khusus pada sebab kematian yang spesifik, dan mekanisme di
depan hukum serta jenis-jenis pertanyaan dari aparat penegak hukum, sehingga
kedepannya mungkin akan diperlukan subspesialis radiologi forensik untuk
mempelajari dan mengaplikasikan hal tersebut.3,4,5

3.6 Peran Radiologi Forensik dalam Peradilan


1.Peran Radiologis sebagai Saksi Ahli
Dasar Hukum

a. Pembuatan Visum et Repertum9


Pasal 133 KUHAP
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban
baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan
tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan
luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
(3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada
rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap
mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi
cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.
a. Permintaan sebagai Saksi Ahli9
KUHAP Pasal 179 (1)
“Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman
atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi
keadilan”

22
KUHP Pasal 244
“Barangsiapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-
undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-
undang yang harus dipenuhinya, diancam dalam perkara pidana dengan
penjara paling lama Sembilan Bulan”

3.7 Perbedaan radiologi klinis dan radiologi forensik

Dunia kedokteran sekarang ini sangat bergantung pada pencitraan


radiologi dalam Pratik klinis sehari – hari. Akurasi dalam diagnosis imagin sangat
penting dalam menentukan terapi yang efektif untuk sebuah keadaan patologi
yang parah. Pencitraan cross sectional berkembang pesat beberapa decade
terakhir, sebagai contoh seperti pengembangan dalam berbagai jenis modalitas
seperti computed tomografi (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI).
Bahkan, pencitraan cross sectional juga telah berevolusi dalam bidangg
kedokteran forensik, tidak hanya untuk keperluan diagnostic, tetapi juga untuk
dokumentasi seperti yang bisa diterima di pengadilan dan juga dapat
menggambarkan hubungan anatomi yang kompleks pada orang awam dalam
bentuk 3D dan bloodless. 3

Dengan masih berlangsungnya adaptasi pencitraaan cross sectional pada


patologi forensik, subspesialis radiologi yang dulunnya hampi terlantar kini
menjadi topik yang hangat, yaitu forensik radiologi. Radiologi klinis cenderung
salah dalam menangapi temuan pada pencitraan postmortem. Radiologi klinis
yang tidak mempunyai pengalaman dalam pencitraan postmortem akan dengan
mudah terjebak dan akan menyadari bahwa pencitraan postmortem dan radiologi
klinis sangat berbeda. Ppemeriksa haus memperhitungkan luasnya perubahaan
postmortem yang diakibatkan dari gravitasi, autolysis, edema, pemecahan darah
dan koagulasi atau pembentukan gas.3

Pada awal permulaan dari pencitraan cross sectional postmortem, keadaan


organ mayat dengan efek sedimentasi dari darah, pembentukan gas yang
disebabakan oleh dekomposisi, perubahan suhu tubuh,dan khususnya perbedaan

23
pendekatan forensikdalam mendiagnosis masih belum dipahami dengan baik.
Berbeda dengan radiologi klinis, artefak gerak (detak jantung, respirasi) tidak ada
dan paparan radiasi terhadap jenazah tidak diperhitungkan. Lengan mayat harus
ditinggikan di atas kepala, serupa dengan pemeriksaan klinis, untuk meningkatkan
kualitas gambar dan mengurangi artefak streak. Dalam pengaturan tersebut, rigor
mortis, jika ada, harus hilangkan. Sementara jenazah dipindahkan dari brankar ke
sofa CT atau setelah rigor mortis telah rusak, patah tulang postmortem jarang
terjadi dan harus dikomunikasikan ke ahli patologi forensik sebagai cedera
postmortem iatrogenik. Selain itu radiologi klinis biasa menggunakan kontras
dalam pencitraannya dibandingkan dengan pemeriksaan postmortem yang tidak
meggunakan kontras. Meskipun postmortem computed tomography angiography
menawarkan hasil yang baik dalam mnggambarkan kelainan vaskuler atau bagian
yang sulit untuk dilakukan pembedahan, Teknik ini belum diadaptasi secara luas
dalam komunitas forensik. Pembahasan selanjutnya akan fokus dalam perbedaan
antara radiologi klinis dan pencitraan postmortem non kontras. Perubahan dasar
postmortem yang terjadi pada cadaver menyebabkan temuan klinis yang dapat
menggambarkan secara baik suatu keadaan patologisnya, namun masih terlihat
normal pada pencitraan postmortem. 3

Tabel. 2 Perbandingan antara radiologi klinis dan forensik

Radiologi klinis Radiologi forensik

Motion artifacts (jantung, paru, Non motion related artifacs


instetinal)

Volume scan yang kecil karena Whole body scan


pertimbangan terhadap proteksi radiasi

Agen kontras enteral Tidak layak

Fase kontras dinamis Unenhanced imaging

24
BAB IV
JURNAL PEMBANDING
4.1 Jurnal Pembanding

25
26

26
27

27
28

28
29

29
30

30
31

4.2 Terjemahan Jurnal Pembanding

PENGGUNAAN REKONSTRUKSI 3-DIMENSI DARI PENCITRAAN CT


KRANIOSEREBRAL DARURAT DAN PASCA-OPERASI UNTUK
MENYELIDIKI MEKANISME TRAUMA KRANIOSEREBRAL

ABSTRAK

Kami melaporkan sebuah kasus trauma kranioserebral dimana seorang pria mengalami
fraktur tengkorak parah serta memar/kontusi serebral, kasus ini menuntut penjelasan
apakah mekanisme dari cidera yang dialami berasal dari hantaman atau benturan
Adapun, fitur-fitur awal dari fraktur pada tengkorak kebanyakan akan hilang apabila
dianalisa 5 bulan kemudian, dikarenakan penyembuhan dari cidera dan pembedahan
kranioserebral. Maka dari itu, kami bertujuan untuk me-rekonstruksi fitur-fitur fraktur
tengkorak awal dengan menggunakan teknologi rekonstruksi digital dari pencitraan CT
(computed tomography), rekonstruksi 3-dimensi dan peralatan bedah virtual. Tengkorak
ter-fraktur originalnya disusun dengan menggunakan Mimics 13.0 dengan
menggunakan slice/irisan data CT pasca-operasi kepala dan flap kraniotomi kepala yang
diangkat, dimana kedua aspek ini mengungkapkan fitur-fitur fraktur dari deformasi
tengkorak keseluruhan dan fokal. Berdasarkan model assembly tengkorak dan kontusio
contrecoup serebral, kami menyimpulkan bahwa pria tersebut mengalami benturan
dalam keadaan mabuk dan akibatnya trauma kranioserebral yang serius terjadi. Kasus
ini mendemonstrasikan bahwa teknologi rekonstruksi digital dapat berfungsi sebagai
pendekatan yang efektif terhadap penyelidikan forensik dalam kasus pasien yang
selamat dari trauma kranioserebral tanpa bukti langsung yang menerjemahkan pola
trauma orisinalnya, dimana hal ini sangat berpotensi membantu menyelidiki mekanisme
cedera.

1. PENDAHULUAN

Teknologi pencitraan medis telah menjadi alat bantu yang penting serta paling banyak
digunakan dalam ilmu forensik, karena sifatnya yang nondestruktif, serta dapat
memvisualisasikan dan mendokumentasikan informasi secara komplit. Dalam praktek
otopsi forensik, ahli patologi forensik selalu membutuhkan akses terhadap lokasi cidera,
derajat dan morfologi dari jaringan lunaknya, organ intrakorpoeral dan tulang, serta
kemampuan untuk menganalisa penyebab dari kematian serta mekanisme cidera yang
dialami korban. Trauma kranioserebral adalah penyebab umum dari kematian dan
disabilitas. Mekanisme trauma kepala umumnya sangatlah rumit untuk dianalisa oleh
ahli patologi forensik, khususnya apabila terdapat fitur-fitur trauma awal yang tidak
lengkap, hal ini dikarenakan para ahli yang terlibat umumnya menangani kasus-kasus
semacam itu pada hitungan hari atau beberapa bulan setelah terjadi dimana
pembedahan darurat umumnya telah merubah fitur-fitur tersebut (lewat pemulihan,

31
32

dll). Umumnya, para ahli forensik akan mengenali mekanisme cidera dari diagnosis akan
pencitraan dan model 3D yang dihasilkan dari gambaran medis awal. Namun, para
dokter umumnya berfokus pada trauma, implikasi prognostik dan terapeutik, dimana
hal-hal ini akan mengarah kepada kurangnya deskripsi cidera yang mendetail; terkadang
ketebalan dari citra awal yang dihasilkan pun tidak cukup tepat untuk membantu
rekonstruksi dari trauma yang telah terjadi. Lebih lanjut, trauma kranioserebral
merupakan prognosis terburuk atau bahkan mengancam jiwa, maka dari itu
pembedahan darurat sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan pasien dengan segera,
dimana hal ini akan merubah karakteristik trauma awal yang terjadi. Hilangnya fitur-fitur
ini, khususnya fraktur-fraktur pada tulang tengkorak, berakibat tidak adanya cara
langsung untuk merekonstruksi fitur-fitur dari trauma, maka terdapat kebutuhan khusus
untuk menyusun model terpisah yang berbeda kedalam model integral untuk
menunjukkan trauma awal ini.

Mimics (Materialise Inc., Belgia) merupakan perangkat lunak pengolahan citra medis
yang terspesialisasi, yang dapat secara cepat dan mudah menghasilkan model 3-dimensi
yang akurat dari data pencitraan medis. Alat bedah virtual yang disediakan oleh Mimics
dapat mensimulasikan osteotomi dengan memotong tulang, memposisikan ulang
bagian-bagiannya serta menaruh implan serta plat tulang untuk membantu memilih
rencana pembedahan yang optimal. Dalam kasus ini, alat bantu yang terkait telah
tersedia untuk menyusun ulang flap tengkorak yang sudah diangkat lewat operasi
pembedahan dengan tengkorak yang tersisa secara bersamaan, dimana dalam kasus ini
terdapat ketiadaan dari fitur-fitur orisinal dari fraktur. Kasus ini merupakan kasus
pertama yang melibatkan penerapan rekonstruksi 3-dimensi dan alat bantu
pembedahan virtual untuk memulihkan fraktur tengkorak awal pada praktek forensik,
dimana metode ini kemudian membuktikan dirinya sebagai pendekatan komplementer
yang efektif dalam penentuan mekanisme trauma kranioserebral pada operasi
pembedahan kepala yang didasarkan pada gambaran klinis tanpa disertai pola fraktur
awal.

2. LAPORAN KASUS

2.1. Informasi Kasus

Dalam kasus ini, seorang pria dewasa berumur 40 tahun sedang mabuk ketika ia
menimbulkan masalah di rumah temannya. Ia kemudian segera ditahan dan dibawa ke
kantor polisi pada pukul 10 malam dan setelah 5 menit berselang, pria tersebut pingsan
dan segera dilarikan ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan. Pria ini dibawa ke
rumah sakit lokal terdekat dimana CT scan darurat pada kepala segera dilakukan pada
pukul 10 lewat 16 menit (22:16), dimana kemudian terungkap bahwa ia mengalami
trauma kranioserebral parah. 6 jam kemudian, pria tersebut dipindahkan ke rumah sakit
spesialis syaraf daerah untuk menjalani operasi pembedahan dekompresi kraniotomi.
Hingga saat ahli patologi forensik diminta untuk terlibat dalam kasus ini lima bulan
kemudian, pria tersebut tidak pernah tersadar. Polisi lokal mempercayakan kasus ini
kepada ahli patologi forensik kami untuk mencaritau apakah trauma kepala yang dialami

32
33

pasien disebabkan oleh benturan atau hantaman. Pihak kepolisian juga mengumpulkan
video CCTV, foto TKP, data slice CT scan darurat pada kepala, set data DICOM (Digital
Imaging and Communications in Medicine) CT kranioserebral pasca-operasi, foto-foto
kulit kepala dan flap tulang tengkorak pasca-operasi untuk digunakan sebagai basis data
investigasi dan indentifikasi.

2.2. Investigasi Mediko-legal

2.2.1. Analisis Retrospektif dari Data Klinis

Analisis CT untuk bacaan radiologis forensik dan diagnostik radiologi klinis dilakukan
oleh ahli radiologi dan patologi forensik kami yang bersertifikasi dan berpengalaman.
Film CT darurat yang dilakukan pertama kali oleh rumah sakit lokal pada pukul 22:16
mengindikasikan bahwa terdapat pembengkakan kulit kepala (scalp swelling) pada
bagian temporal-parietal kanan, fraktur depresi pada tulang parietal-oksipital kanan,
hematoma subdural pada bagian temporal-parietal kanan, perdarahan subaraknoid,
kontusi serebral pada lobus frontal kiri dan kompresi dari ventrikel lateral kanan.
Dengan interferensi empiris, kontusio contrecoup pada otak menunjukkan mekanisme
cidera perlambatan (deceleration injury), sementara fraktur depresi dari tengkorak
sudah terlanjur rumit untuk menjelaskan proses terjadinya cidera. Karenanya,
penyelidikan lebih lanjut akan dilakukan. Film CT darurat awal kemudian di-scan dan
dibagi ke dalam 12 slice data untuk merekonstruksi model kasar 3-dimensi awal dari
fraktur pada tengkorak. Terdapat data DICOM CT kranioserebral pasca-operasi lain
dengan ketebalan slice sebesar 0,6 mm yang dilakukan oleh rumah sakit spesialis syaraf
daerah kedua pada 41 hari setelah trauma terjadi. Data ini mengindikasikan bahwa
bagian tengkorak yang retak telah diangkat dan 'jendela tulang' dilakukan pada area
temporal-parietal-oksipital kanan, pembengkakan pada kulit kepala juga mengecil dan
hematoma subdural juga menghilang, ditemukan pula bahwa lobus frontal kanan dan
temporal menunjukkan perubahan patologis dari kontusi pada otak.

Secara keseluruhan, terdapat empat foto kulit kepala yang diambil oleh polisi 40 hari
setelah cidera pasien, foto-foto ini kemudian diteliti secara sesama oleh ahli patologi
forensik kami untuk memverifikasi kemungkinan adanya fraktur-fraktur lain dan bekas-
bekas luka. Foto yang diambil secara jelas mengungkapkan serangkaian luka sayatan
linear berbentuk U dan melengkung yang telah sembuh pada bagian frontal, parietal dan
oksipital dari kepala. Tidak terdapat abrasi pada kulit kepala, kontusi dan
laserasi/sayatan lain. Terdapat pula bekas luka sayatan bedah yang sudah sembuh pada
bagian temporal kiri dari kulit kepala.

33
34

2.2.2. Pemeriksaan dari Flap Tulang Tengkorak

Flap tulang tengkorak pasca-operasi juga diselidiki secara seksama oleh ahli patologi
forensik kami untuk memeriksa adanya fraktur pada tengkorak. Flap yang sudah
diangkat dari kepala korban juga diperhatikan secara seksama dan disusun menjadi satu
flap tulang yang utuh. Dengan mempertimbangkan reaksi vital (seperti perdarahan
tulang spongiosa/cancellous bone pada tengkorak) dan fraktur berbentuk baji pada
tepian dari flap tulang yang terpisah-pisah, empat garis fraktur yang sebelumnya tidak
ditemukan berhasilkan diidentifikasi dan diverifikasi. Garis-garis ini menjalar dari
posterior ke anterior dan dari superior ke inferior, dengan bentuk fraktur yang serupa
busur dan beberapa garis tidak beraturan yang muncul pada flap tulang. Namun, kami
tidak dapat mengusulkan mekanisme cidera hanya dengan mempertimbangkan materi-
materi baru ini.

Gambar 1. Slice/irisan data CT darurat dari kepala pasien. A dan B: Pembengkakan kulit
kepala dan fraktur depresi pada bagian parietal-oksipital kanan. (Panah kuning:
pembengkakan kulit kepala; lingkaran titik kuning: fraktur depresi tengkorak); C dan D:
hematoma subdural, perdarahan subaraknoid dan kontusi serebral. (Panah merah:
kontusi serebral; panah kuning: hematoma subdural).

Pemeriksaan CT dari flap tulang yang telah diintegrasikan dilakukan pada CT scanner 40-
baris (Siemens Medical Solutions, Jerman) pada institut ilmu forensik kami. Scan CT dari
flap dilakukan dengan parameter-parameter sebagai berikut: collimation sebesar 40x0,6
mm, ketebalan slice 1,5 mm, voltase tabung 120 kV dan effective tube charge sebesar
350 mAs. Rekonstruksi gambar tambahan dengan ketebalan slice sebesar 0,6 mm dibuat
untuk penggunaan rekonstruksi 3-dimensi pada flap tulang.

34
35

2.2.3. Rekonstruksi 3-dimensi dan Penyusunan Model

Seluruh operasi rekonstruksi 3-dimensi dan simulasi pembedahan dilakukan dengan


software Mimics. Film CT darurat awal di-scan dan gambar yang didapat kemudian
dibagi ke dalam 12 slice/irisan di-import tulang yang sama dan kemudian di-import ke
dalam Mimics untuk mengkalkulasi model 3-dimensi kasar dari tengkorak korban.
Dengan pendekatan dan prosedur yang sama, model 3-dimensi dari flap tulang
tengkorak yang integral/utuh dan gambaran tengkorak pasca-operasi yang mendetail
kemudian dihasilkan. Seluruh rekonstruksi dilakukan sejalan dengan langkah-langkah
dan parameter yang tadi disebutkan.

Slice medis yang dihasilkan kemudian di-import dan diberikan orientasi yang sesuai,
kemudian ketika memilih nilai bone threshold antara 343 dan 1665 HU (Hounsfield unit)
untuk fungsi 'Thresholding' dari Mimics, seluruh bagian tengkorak diisolasikan dari data
CT. Dengan fitur 'Region Growing' dan 'Edit Masks', seluruh bagian yang tidak
dibutuhkan dan lubang-lubang kecil dieliminasikan, proses ini juga membentuk
serangkaian mask dari tengkorak. Seluruh mask/topeng tengkorak dengan kualitas tinggi
kemudian dikalkulasikan kedalam model 3-dimensi dengan fitur anatomis yang
mendetil. Parameter kalkulasi mencakup smoothing factor sebesar 0,3 dan 'iteration'
sebanyak 2 kali. Semua model yang dihasilkan kemudian dikonversi ke dalam format STL
(Standard Triangulated Language) dan kemudian di-export.

Gambar 2. Flap tulang tengkorak yang terpisah-pisah disusun kembali menjadi satu flap
tengkorak yang utuh dimana kemudian garis patahan/fraktur berhasil diidentifikasi dan
diverifikasi.

Model STL tengkorak pasca-operasi dan flap utuh kemudian di-import ke dalam project
yang sama, yang kemudian menempatkan ulang flap pada lokasi dan arah yang
semestinya untuk merekonstruksi pola-pola fraktur tulang tengkorak awal. Pertama,
model tengkorak dengan jendela tulang/bone window dipotong pada bidang sagittal
yang didefinisikan lewat tiga titik pada inion, intercillium dan tuberkel faring. Kemudian
kami 'mencerminkan' bagian utuh yang terpisah (tengkorak kiri) dengan sisi
berlawanannya dengan memotong bidang sagittal, untuk membantu penggantian dari
flap yang diangkat. Kedua, dengan bantuan dari bagian tengkorak 'bayangan', posisi dari

35
36

flap utuh kemudian diperbaiki dengan translasi dan rotasi pada/sekitar sumbu x, y dan z.
Ketika flap telah 'tumpang tindih' diatas tengkorak 'bayangan' dan titik-titik penanda
penting (seperti pterion dan eminentia arkuata) yang terletak pada bagian-bagian yang
sesuai dari tengkorak bayangan (Gambar 3), manipulasi penempatan
ulang/repositioning telah komplit dan model tengkorak yang relatif utuh dengan pola
fraktur awalnya berhasil diciptakan.

2.2.4. Perbandingan dengan Model-Model 3-Dimensi

Meskipun rekonstruksi model kepala awalnya didasarkan dari film hasil CT scan darurat
dan cenderung masih kasar, model ini memiliki beberapa garis fraktur/patahan yang
dapat digunakan untuk memverifikasi penyusunan model tengkorak utuh. Disini kami
mengukur diameter dari fraktur depresi pada bagian parietal-oksipital kanan dengan
menggunakan alat bantu pengukuran 3-dimensi dan membuat perbandingan
berdasarkan dua model tersebut. Lebih lanjut, kami membandingkan morfologi dari
fraktur, lokasi dan arah/direksi dari model kasar dan identik untuk memverifikasi
karakteristik fraktur orisinal yang telah disusun ulang.

Gambar 3. Manipulasi dari penempatan ulang flap tulang dan penyusunan dengan
bantuan bagian tengkorak 'bayangan.'

2.3. Kesimpulan Mediko-Legal

Gambar 6a memperlihatkan model rekonstruksi tengkorak berdasarkan data CT darurat


yang telah diambil. Kami telah mengamati keberadaan depresi fraktur berbentuk serupa
lingkaran pada bagian parietal-oksipital kanan, dengan fraktur panjang yang terbentang
ke arah depan dan belakang dari lokasi depresi sepanjang tulang parietal kanan dan
jahitan korona kearah tulang temporal kanan. Dikarenakan keterbatasan akan
kurangnya slice CT yang tersedia, model yang dihasilkan menjadi sangat kasar dan
beberapa detail dari fraktur akhirnya hilang.

36
37

Gambar 4. Reposisi/penempatan ulang dan penyusunan flap-flap kraniotomi dengan


model tengkorak pasca-operasi.

Gambar 4 memperlihatkan model 3-dimensi dari flap kraniotomi utuh dan gambaran
tengkorak pasca-operasi. Kedua model ini diposisikan ulang dan disusun sebagai satu
tengkorak utuh. Tengkorak yang telah tersusun ini secara akurat memperlihatkan
sejumlah karakteristik fraktur awal dari tengkorak: fraktur depresi, tiga garis fraktur
linear dimana salah satu terbentang ke arah depan dan ke belakang, salah satu
memanjang ke depan dan yang ketiga memanjang secara lurus ke arah bawah. Model
yang sudah disusun ini dapat memainkan peran penting dalam menyimpulkan
mekanisme trauma kranioserebral yang terjadi.

Perbandingan dari model kasar orisinal dan model yang sudah tersusun diperlihatkan
pada Gambar 5 dan 6. Diameter dari flap-flap depresi fraktur sirkular pada model kasar
adalah 61,62 mm, dimana hasil pengukuran ini sangat mendekati nilai pengukuran yang
didapat dari model akhir yang telah tersusun yaitu 61,94 mm (Gambar 5). Dengan
membandingkan pola garis fraktur diantara dua model 3-dimensi ini, terdapat lokasi,
arah dan bentuk yang serupa antara fraktur pada model kasar serta fraktur pada model
akhir (Gambar 6).

Seluruh perbandingan menunukkan konsistensi yang baik diantara kedua model. Fraktur
depresi dan ketiga fraktur yang meretak dan memanjang memperlihatkan ko-eksistensi
dari deformasi fokal serta keseluruhan dari tengkorak itu sendiri, hal ini mengindikasikan
bahwa tengkorak pasien kemungkinan berinteraksi dengan bidang tumpul dengan
disertai energi kinetik yang tinggi. Dengan mempertimbangkan kontusio contrecoup
pada otak, mekanisme trauma yang terjadi adalah deselerasi/perlambatan dari kepala
yang bergerak terhadap bidang tumpul dengan kecepatan awal yang tinggi.

37
38

Gambar 5. Perbandingan diameter dari fraktur depresi sirkular antara model awal yang
masih kasar dan model akhir yang telah tersusun. Diameter kedua fraktur depresi ini
hampir sama.

3. DISKUSI

Interpretasi yang dapat diandalkan dari trauma kepala pada praktek forensik menuntut
informasi dasar yang objektif serta pertimbangan yang hati-hati terhadap seluruh
barang bukti. Dikarenakan tingginya morbiditas dan mortalitas dari trauma
kranioserebral, penyelamatan darurat klinis adalah prioritas utamanya. Para ahli
forensik umumnya tidak dilibatkan dalam kasus ini hingga beberapa minggu atau bulan
setelah kejadian. Ketika ahli patologi forensik dihadapkan pada kasus-kasus semacam
ini, khususnya apabila para korban selamat setelah trauma, barang bukti untuk
pemeriksaan lebih lanjut umumnya tidak terlalu banyak dikarenakan penyembuhan dan
operasi pembedahan yang telah dilakukan pada korban. Dalam situasi semacam ini,
teknologi pencitraan modern dapat berfungsi sebagai pendekatan yang kuat untuk
menganalisa mekanisme cidera yang terjadi, hal ini juga didasari fakta bahwa metode
scan CT dan MRI pada kepala telah digunakan secara luas untuk menilai derajat trauma
pada kepala pada institusi medis. Biasanya, pemeriksaan radiografis dilakukan sesaat
setelah pasien dimasukkan ke dalam unit perawatan rumah sakit, maka data pencitraan
awal dapat mendokumentasi secara utuh karakteristik trauma awal dan cukup objektif
sebagai bahan analisa dari cidera. M. Thali dan kolega telah menerapkan pendekatan
pemindaian gambar dan rekonstruksi 3-dimensi yang berbeda dalam praktek forensik
dan telah mengenali aplikasi yang luas dan gambaran/latar depan akan eksploitasi yang
bagus dari metode ini. P. Schuh dan kolega mengindikasikan bahwa data CT merupakan
sumber informasi yang berharga untuk keperluan rekonstruksi forensik pada kasus-
kasus semacam ini dan bahwa slice data yang lebih tipis berguna untuk pembacaan citra
3-dimensi. M. Grassberger dan kolega menganggap pencitraan CT dan rekonstruksi 3-
dimensi sebagai alat bantu yang berguna dalam pengerjaan kasus forensik klinis. Pendek
kata, aplikasi dari data pencitraan medis dan rekonstruksi 3-dimensi langsung telah lebih

38
39

dikenali penggunaannya di kalangan ahli forensik.

Gambar 6a dan 6b. Perbandingan pola fraktur antara model kasar awal dan model akhir
yang telah disusun.

Namun, dikarenakan kalangan dokter umumnya berfokus pada diagnosa dan


pengobatan, lokasi cidera yang tepat, pola fraktur, detil-detil morfologis, dan aspek-
aspek lainnya umumnya tidak didokumentasikan dalam laporan klinis yang dibuat, dan
umumnya data rekaman CT klinis memiliki ketebalan 1,5 cm, dimana ketebalan ini tidak
cocok untuk rekonstruksi CT forensik. Bahkan beberapa rumah sakit utama di China
tidak menyimpan data pencitraan DICOM. Seperti yang telah diketahui, proses
penyembuhan alami luka dan pengobatan dapat merubah morfologi dari cidera awal,
khususnya setelah pembedahan kraniotomi. Apabila terdapat data gambar yang cukup
untuk merekonstruksi secara langsung trauma awalnya, penyusunan flap kraniotomi
yang telah diangkat dan tengkorak pasca-operasi oleh peralatan bedah virtual pada
software Mimics sangatlah dibutuhkan dan praktis.

Mimics merupakan reverse engineering suite 3-dimensi yang sangat mudah digunakan.
Manipulasi utama dari segmentasi bagian-bagian objektif dan kalkulasi model 3-dimensi
yang dapat dilakukannya tidak sulit untuk dipelajari. Software ini lebih baik
dibandingkan workstation medis umum dikarenakan kemampuannya untuk meng-
import berbagai jenis gambar/citra medis dan model 3-dimensi, menampilkan slice
dalam bidang-bidang anatomis yang berbeda, menyusun beberapa model 3-dimensi
sekaligus ke dalam satu model dan bahkan meng-export model element 3-dimensi yang
final dan akurat untuk analisis biomekanis. Namun, untuk fungsi terakhir, software
Mimics tidak terlalu dibutuhkan untuk melakukan operasi tersebut, karena perangkat
lunak apapun dengan fungsionalitas rekonstruksi 3-dimensi dan model
assembly/penyusunan model dapat melakukan rekonstruksi fitur trauma awal.

Dalam kasus yang sedang dibahas, hasil-hasil rekonstruksi 3-dimensi yang telah tersusun
dapat mengungkapkan pola-pola fraktur orisinal secara akurat. Untuk rekonstruksi 3-
dimensi, semakin tipis slice CT yang digunakan, maka semakin bagus pula kualitas detil
model 3-dimensi yang dihasilkannya. Dalam aplikasi forensik, slice 0,6 mm yang telah

39
40

direkalkulasi terhitung memungkinkan namun tidak cocok dalam pembacaan klinis.


Beberapa catatan khusus harus diingat bahwa trauma-trauma yang berukuran lebih kecil
dibandingkan ketebalan slice yang dipilih umumnya akan 'hilang' dalam citra yang
dihasilkan. Dalam penyelidikan yang kami lakukan, garis fraktur lurus pada tulang
temporal kanan tidak memiliki pasangan fraktur yang sama pada model awal yang masih
kasarnya. Hal ini disebabkan oleh slice yang tebal dan efek volume parsial.

Mengenai keterbatasan dari pendekatan rekonstruksi 3-dimensi dan penyusunan,


manipulasi ini dapat dilakukan secara manual, namun hal ini dapat memicu asumsi-
asumsi subjektif pada proses penyidikan dan tidak dapat menjamiin akurasi dan
konsistensi dari pengulangan proses tersebut. Untuk alasan ini, prosedur verifikasi
sangat dibutuhkan dalam rekonstruksi forensik. Perbandingan yang kami lakukan
menunjukkan bahwa karakteristik-karakteristik dari kedua model (model kasar dan
model akhir) sesuai dengan satu sama lain, hal ini menunjukkan bahwa model 3-dimensi
yang berhasil direkonstruksi serta metode assembly/penyusunan yang digunakan dapat
memulihkan fitur-fitur trauma orisinal/awal yang kerapkali hilang dan dapat berguna
sebagai alat bantu yang efektif dalam identifikasi mekanisme trauma forensik.

Kesimpulannya, data pencitraan medis, rekonstruksi 3-dimensi dan metode penyusunan


yang tepat dapat berfungsi sebagai pendekatan-pendekatan yang efektif untuk
penyelidikan forensik dalam kasus pasien yang selamat dari trauma kranioserebral tanpa
bukti langsung yang dapat menunjukkan asal-usul pola trauma awal yang dialaminya.
Model tengkorak 3-dimensi yang sudah tersusun dapat memfasilitasi proses analisa dari
ahli patologi forensik dan dapat didemonstrasikan sebagai barang bukti di pengadilan.

40
41

BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Kedokteran forensik telah diakui sebagai ilmu pengetahuan khusus atau
disiplin ilmu yang berhubungan dengan penerapan fakta dan pengetahuan medis
terhadap masalah hukum. Dalam penerapannya, bidang forensik telah
menggabungkan beberapa subspesialisasi yang berbeda, seperti patologi
forensik,yang meliputi pemeriksaan manusia yang masih hidup dan sudah
meninggal; toksikologi forensik; forensik biologi molekuler ; dan psikiatri
forensik. Ilmu ini juga dikenal dengan sebutan radiologi forensik, namun dalam
perjalanannya masing-masing ahli patologi forensik dan ahli radilogi diagnostic
akan berkerjasama dalam mengungkap suatu kasus dikarenakan baik dari disiplin
ilmu kedokteran forensik maupun radiologi belum terdapat subspesialis radiologi
forensik. Bidang radiologi forensik ini biasanya meliputi pelaksanaan,
interpretasi, dan expertise serta prosedur radiologis yang ada hubungannya
dengan pengadilan dan / atau hukum. Modalitas yang bisa digunakan antara lain
mulai dari X-ray, USG, MRI, CT-scan, fluorosent imaging, dan radiologi
intervensi.
Ruang lingkup radiologi forensik sama halnya dengan disiplin ilmu lain
yang bertumpu pada pelayanan, pendidikan, penelitian dan administrasi.
Pelayanan yang dapat diberikan dalam bidang radiologi forensik meliputi :
penentuan identitas, evaluasi cedera dan kematian (accidental, nonaccidental),
proses pengadilan tindak pidana, proses pengadilan tindak perdata, dan prosedur
administrasinya. Evaluasi kematian atau cedera nonaccidental meliputi cedera
tulang, peluru dan benda asing, trauma lain dan penyebab lainnya.

5.2. Saran
Untuk berikutnya dapat mengembangkan penelitian tentang radiologi forensik
serta penerapannya di Indonesia

41
42

DAFTAR PUSTAKA
1. Nurochman H. Forensik Klinik.di unduh dari
http://www.academia.edu/11623266/forensik_klinik diakses tanggal
20 november 2017
2. Driscoll P. Incidence and prevalence of wounds by etiology
(homepage on the internet). Available from: www.mediligence.com
3. Brogdon BG. In: Brogdon BG, ed. Forensik radiology. Boca Raton,
FL: CRC, 1998
4. Flach PM, Thali MJ, Germerrot T. Times have changed! Forensik
radiology : A new challenge for radiology and forensik pathology.
American Journal of Roentgenology.2014.202:W325-W334
5. Lichtenstein J E. Forensik Radiology. Di unduh pada
www.arrs.org/publications/HRS/diagnosis/RCI_D_c26 pada 28 nov
2017 pk. 21.36 wibThe Virtopsy Project website. www.virtopsy.com.
Accessed November 1, 2017
6. Thali MJ, Yen K, Schweitzer W, et al. Otopsi virtual, a new imaging
horizon in forensik pathology: virtual autopsy by postmortem
multislice computed tomography (MSCT) and magnetic resonance
imaging (MRI)—a feasibility study. J ForensikSci.2003; 48:386–403
7. Thali MJ, Jackowski C, Oesterhelweg L, Ross SG, Dirnhofer R.
Virtopsy—the Swiss virtual autopsy approach. Leg Med (Tokyo) 2007;
9:100–104
8. East Midlands Forensik Pathology Unit. A brief history of forensik
radiology.website www2.le.ac.uk/departments/emfpu/imaging/brief-
history
9. Kitab KUHAP
10. Krogman, W. M. and Iscan, M.Y., The Human Skeleton in Forensik
Medicine, 2nd ed., Charles C Thomas, Springfield, IL, 1986, chap. 13.
11. Graham, C. B., Assessment of bone maturation — methods and
pitfalls, Radiol. Clin. N. Am., 10, 185, 1972.
12. Girdany, B. R. and Golden, R., Centers of ossification of the skeleton,
Am. J. Roentgenol., 68, 922, 1952.

42
43

13. Keats, T. E, Atlas of Roentgenographic Measurement, 6th Mosby Year


Book, St. Louis, 1990, chap. 4B.
14. Dix J. Color Atlas of Forensic Pathology. New York 2000.p 32-42

43

Anda mungkin juga menyukai