PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kedokteran forensik terdiri dari 2 cabang ilmu yaitu ilmu patologi forensik
dan forensik klinis. Patologi forensik sudah menjadi cabang spesialistik
kedokteran sejak 1958, dan dikenal sebagai ilmu yang memanfaatkan orang mati
untuk kepentingan orang hidup (learn from the dead for the living). Patologi
forensik membuat mayat dan barang bukti diam lain (silent witness) menjadi
mampu berbicar dan bersaksi untuk kepentingan hukum. Patologi forensik
melakukan pemeriksaan mayat, baik bagian luar maupun melakukan autopsi, dan
kemudian melakukan pemeriksaan laboratorium penunjang. Tidak jarang
pekerjaannya didahului dengan pemeriksaan di tempat kejadian perkara, serta
mereview keterangan saksi dan riwayat penyakit. Dalam prakteknya, patologi
1
forensik bekerjasama dengan ilmu – ilmu forensik lainnya, dalam mengungkap
tindak pidana, seperti entomologi, toksikologi, antropologi, balistik, odontologi,
serologi, forensik molekular (DNA) dan lain – lain. 1
Sedangkan forensik klinik adalah bidang kedokteran forensik yang relatif baru
berkembang. Di Indonesia bahkan baru dalam tahap penerapan awal setelah
diperkenalkan sejak tahun 1998. Bidang ini melayani korban perkara kekerasan
fisik (termasuk penganiayaan dan kekerasan dalam rumah tangga), pencederaan
diri, cedera non – aksidental pada anak, perkosaan dan kejahatan seksual lainnya,
kelayakan diperiksa atau ditahan (fitness to be interviewed, fitness to be detained).
Forensik klinik adalah cabang ilmu kedokteran forensik yang mempergunakan
ilmu dan pengetahuan klinik dalam usaha untuk pembuktian ilmiah dengan
pencatatan, pengumpulan dan interpretasi bukti medis dari korban hidup agar
tetap asli, ilmiah dan diterima di pengadilan. Pelayanan forensik klinik bersifat
komprehensif dengan mempertimbangkan korban bukan saja sebagai barang bukti
tetapi juga dilihat sebagai pasien.1
Sekitar 50-70% kasus yang terdapat di instalasi gawat darurat adalah kasus
perlukaan atau trauma. Luka-luka ini dapat terjadi akibat dari kecelakaan,
penganiayaan, bunuh diri, bencana, maupun terorisme. Luka pada trauma terjadi
sekitar 1,6 juta kasus setiap tahunnya. Salah satu luka yang disebabkan oleh
karena kekerasan benda tajam yaitu luka bacok. Luka bacok umumnya terjadi
pada daerah yang dapat terjangkau oleh tangan korban. Tempat yang lazim adalah
leher, dada sebelah kiri, pergelangan tangan, dan perut. 2
Ciri luka bacok yaitu luka biasanya besar dan menganga, panjang luka kurang
lebih sama dengan dalam luka yang dapat memutuskan bagian tubuh yang terkena
bacokan, kadang-kadang pada tepi luka terdapat memar. Untuk mendiagnosis luka
bacok, selain dalam ilmu forensik klinis dapat juga didiagnosis dengan
menggunakan ilmu radiologi, salah satunya dengan 3DCT.
2
1.2 Batasan Masalah
Makalah ini membahas mengenai journal reading denganreview studi
kasus dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang modern terhadap luka
bacok.
1.5 Manfaat
a. Dapat digunakan untuk menambang pengetahuan ilmu kedokteran fornsik
terutama kegunaaan 3DCT dalam evaluasi luka bacok pada pengobatan
forensik klinis
b. Dapat memberikan informasi yang bermanfaat tentang pengetahuan
kegunaan 3DCT dalam luka bacok
3
BAB II
JOURNAL READING
4
5
6
7
8
2.2 Jurnal Terjemahan
Abstrak
© 2016 Elsevier Ltd and Faculty of Forensik and Legal Medicine. All rights reserved.
1. Pendahuluan
Luka bacokan umumnya dijabarkan sebagai hasil akhir dari gaya yang
disebabkan benda tajam, khususnya alat berat yang memiliki mata pisau tajam
seperti kapak, kapak kecil/beliung, machete, sekop dan pisau daging. (1,2) Baling-
baling kapal laut, pesawat terbang atau forensik dapat juga menyebabkan luka
9
serupa bacokan. (1,3) Temuan yang tipikal dari luka bacokan adalah luka torehan
yang menganga dan dalam disertai cedera terhadap struktur tulang dibawahnya.
(1,2,3.4.5)
Tepian dari luka umumnya lurus dan tajam, namun seringkali terdapat
abrasi setidaknya pada satu sisi, dimana abrasi ini dapat dikaitkan dengan
ketebalan mata pisau dan/atau derajat ketumpulannya. (2) Jembatan dari jaringan
lembut pada kedalaman luka, kerusakan jaringan disekitarnya serta pada tepian
(2,6)
luka dapat pula ditemukan. Maka dari itu, kebanyakan luka bacokan
memperlihatkan kombinasi dari karakteristik gaya yang disebabkan benda tumpul
dan tajam. Gaya kausatif ini dapat pula dijabarkan sebagai ‘gaya semi-tajam’,
khususnya oleh beberapa penulis berkebangsaan Jerman. Analisis luka yang
komprehensif, termasuk penilaian akan bentuk total, jenis dari fraktur didasar
luka, serta karakteristik histologis, dapat memfasilitasi identifikasi dari jenis
senjata yang digunakan. Beberapa ketidakteraturan kecil dari bentuk mata pisau
dapat pula menyebabkan pola fraktur unik yang dapat membantu mengenali jenis
10rofession pemotong tertentu yang menyebabkan luka tersebut. Namun,
disamping mempertimbangkan jenis senjata yang dipakai, derajat keparahan serta
morfologi dari luka bacokan bergantung pula pada gaya yang diberikan kepada
(4,5,8,10)
senjata. Target yang paling umum dari serangan benda tajam merupakan
daerah kepala dan leher, hal ini menjelaskan hasil akhir yang fatal pada
kebanyakan kasus. Dalam kasus dimana gaya tangensial (gaya dimana arahnya
membentuk kurva ‘menukik’) diberikan kepada area batok kepala, adanya
pengulitan terhadap kulit kepala serta fragmentasi tulang yang berbentuk piringan
atau baji (wedge) dapat pula ditemukan. (2,4)
10
Dalam artikel ini, kami melaporkan sebuah kasus langka dimana terdapat
pasien yang selamat dari trauma kepala parah dimana terdapat sebuah 11rofession
pemotong yang diduga digunakan sebagai senjata pelaku. Lebih lanjut, kasus ini
menunjukkan kemampuan dari rekonstruksi computed tomography 3-dimensi pra-
perawatan (3DCT) sebagai 11rofession yang dapat diandalkan dalam evaluasi luka
dan identifikasi senjata.
2. Laporan Kasus
2.1 Kronologis Kasus
Pada saat sedang tertidur, seorang pria 29 tahun diserang tetangganya oleh
kapak kecil/beliung. Sesaat kemudian pelaku meninggalkan TKP setelah yakin
bahwa ia telah membunuh korban, dan kemudian menyerahkan diri ke kantor
polisi terdekat. Sementara, si korban – yang masih hidup – dilarikan ke rumah
sakit pelayanan kesehatan tersier. Dokter unit gawat darurat yang menanganinya
melaporkan bahwa korban mengalami penurunan kesadaran, stabilitas sirkulasi
serta luka-luka yang parah pada area frontal dan midfacial. Setelah melakukan CT
scan darurat pada bagian kepala, luka-lukanya kemudian diberikan pembedahan
komprehensif serta rekonstruksi. Sejak penyerangan terjadi, pasien mengalami
rasa sakit yang permanen dan kemungkinan kehilangan indera penglihatannya
pada mata kanan.
Jaksa penuntut meminta laporan dari ahli forensik untuk mengevaluasi luka
yang dialami korban terkait jumlah luka yang dialami, aspek etiologisnya dan
ancamannya terhadap kehidupan. Hasil dari investigasi polisi serta rekam
medisnya kemudian diperbolehkan untuk dipakai dalam review ini.
11
luka ini merupakan hasil satu kali serangan atas korban atau salah satunya (pada
bagian mata) merupakan luka perpanjangan atau hasil dari kesalahan prosedur
pembedahan.
12
fragmen tulang yang berbentuk piringan, dimulai dari area frontal kiri atas dan
memanjang hingga ke area parietal kanan. Fraktur midfacial yang terjadi memiliki
konfigurasi serupa baji dan terdapat orientasi yang menurun/kemiringan terhadap
bidang (tulang) yang transversal/melintang.
3.DISKUSI
Pemeriksaan forensik dari korban yang selamat dari luka seperti ini
mewakili fenomena yang langka pada pengobatan 13rofessi klinis. Dalam kasus-
kasus post-mortem, patologis 13rofessi seringkali diminta untuk mengklarifikasi
jenis 13rofession pembunuh, jumlah benturan/serangan yang diberikan, serta arah
serta sudut dari benturan. Mekanismenya (baik bersifat disengaja maupun tidak
disengaja) dan keberadaan atau ketiadaan dari luka-luka yang mengancam jiwa
merupakan pertanyaan umum yang diberikan oleh pihak penyidik kepada
patologis forensik.
13
kesimpulan yang jelas. Dalam kasus yang dibahas diatas, 3DCT menampilkan
karakteristik tulang yang konsisten dengan dua luka bacokan yang disebabkan
oleh kapak beliung. Menurut pengalaman kami, interpretasi 14rofessiona dari
cedera-cedera semacam ini yang didasarkan hanya pada pencitraan CT 2-dimensi
saja lebih sulit bagi pihak radiologis dan patologis 14rofessi. Maka dari itu, kami
percaya bahwa 3DCT merupakan alat bantu yang sangat berharga untuk
mendukung evaluasi 14rofessiona dari (khususnya) luka bacok di area kranial.
Johnson dan kolega juga melaporkan sejumlah kasus luka bacokan yang fatal
ke kepala dan interpretasi cedera yang optimal menggunakan 3DCT pada individu
yang masih hidup pada saat kejadian perkara. Sebaliknya dalam kasus yang kami
tangani, penulis dihadapkan oleh korelasi antara citra CT dan foto dari luka yang
telah dijahit dan diambil pada 3-4 hari pasca-operasi. Namun, peran 3DCT dalam
14
mendiagnosa kerusakan fraktur yang disebabkan luka bacok dapat
didemonstrasikan secara jelas. Lebih lanjut, penulis menekankan kebutuhan akan
menyelidiki serangkaian kasus yang lebih besar dengan disertai aplikasi dari
rekonstruksi yang dibantu 3DCT untuk mengevaluasi teknik ini lebih lanjut.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah, bahwa dalam pengalaman kami akan
analisa kasus tunggal ini, hasil yang didapatkan serupa dengan laporan-laporan
yang telah ada sebelumnya. 3DCT menyediakan bukti-bukti yang umumnya tidak
tersedia, hal ini kemudian memfasilitasi penilaian/assessment professional yang
lebih optimal. Karena aplikasi 15rofessi dari 3DCT telah menunjukkan nilai yang
tak terhingga dalam evaluasi pasien yang selamat dari cedera wajah dan kepala
yang berpotensi fatal, signifikansi yang kian meningkat dari penggunaan teknik
ini dapat diperkirakan dalam beberapa waktu yang akan datang. Seperti yang juga
direkomendasikan oleh penulis lain, penilaian gabungan dari rekonstruksi 3DCT
oleh patologi forensik yang berpengalaman dengan disertai radiologis klinis yang
berpengalaman merupakan cara yang paling efektif dalam menghasilkan opini ahli
forensik dalam kasus-kasus tersebut. (10)
15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Traumatologi (dari bahasa Yunani Trauma "yang berarti luka" atau luka)
adalah studi tentang luka dan luka yang disebabkan oleh kecelakaan atau
kekerasan kepada seseorang, dan terapi bedah dan perbaikan kerusakan.
Traumatologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tentang trauma
atau perlukaan, cedera serta hubungannya dengan berbagai kekerasan terhadap
jaringan tubuh yang masih hidup yang kelainannya terjadi pada tubuh karena
adanya diskontinuitas jaringan akibat kekerasan yang menimbulkan jejas.
Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit. Didalam
melakukan pemeriksaan terhadap orang yang menderita luka akibat kekerasan,
pada hakekatnya dokter diwajibkan untuk dapat memberikan kejelasan dari
permasalahan jenis luka yang terjadi, jenis kekerasan yang menyebabkan luka,
dan kualifikasi luka.
Pada pasal 133 ayat (1) KUHAP dan pasal 179 ayat (1) KUHAP
dijelaskan bahwa penyidik berwenang meminta keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter atau bahkan ahli lainnya. Keterangan ahli
tersebut adalah Visum et Repertum, dimana didalamnya terdapat penjabaran
tentang keadaan korban, baik korban luka, keracunan, ataupun mati. Seorang
dokter perlu menguasai pengetahuan tentang mendeskripsikan luka. Visum et
Repertum harus dibuat sedemikian rupa, yaitu memenuhi persyaratan formal dan
material , sehingga dapat dipakai sebagai alat bukti yang sah di sidang pengadilan.
16
tersebut dapat menimbulkan luka serta bagaimana dampak atau pengaruh luka
tersebut. Pengaruh luka pada tubuh dapat menyebabkan ketidaknyamanan dan
disfungsi, dinyatakan sebagai penyakit. Dampak atau pengaruh luka pada tubuh
menjadi dasar penentuan berat ringannya luka. Secara hukum hal ini didasarkan
atas pengaruhnya terhadap kesehatan jasmani, kesehatan rohani, kelangsungan
hidup janin di dalam kandungan, estetika jasmani, pekerjaan jabatan atau
pekerjaan mata pencarian serta fungsi alat indera. Penentuan berat ringannya luka
tersebut dicantumkan dalam bagian kesimpulan visum et repertum.
Menurut KUHP berat ringannya luka atau kualifikasi luka tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Luka ringan :
Adalah luka yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan dalam
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencariannya. Hukuman terhadap luka
ringan ini tercantum pada pasal 352 ayat 1 KUHP : kecuali yang tersebut pada
pasal 353 dan 356 maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam,
sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan
atau pidanan denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
2. Luka sedang :
Adalah luka yang menimbulkan penyakit atau halangan dalam menjalankan
pekerjaan jabatan atau mata pencariannya untuk sementara waktu. Hukuman
dapat dijatuhkan berdasarkan pasal 351 ayat 1 KUHP : penganiayaan diancam
dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
3. Luka berat :
Adalah sebagaimana tercantum di dalam pasal 90 KUHP, yaitu :
a. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak member harapan akan sembuh
sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut.
b. Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
pencarian
c. Kehilangan salah satu panca indera
d. Mendapat cacat berat
17
e. Menderita sakit lumpuh
f. Terganggunya daya piker selama empat minggu lebih
g. Gugur atatu matinya kandungan seorang perempuan
Hukuman dapat dijatuhkan berdasarkan dalam KUHP pasal 351 ayat 2 dan
ayat 3, pasal 353, pasal 354, pasal 355.
3.2 Etiologi
1. Luka karena kekerasan mekanik (benda tajam, tumpul, dan senjata api).
2. Luka karena kekerasan fisik (arus listrik, petir, suhu)
3. Luka karena kekerasan kimiawi (asam, basa, logam berat)
Luka bacok ialah luka akibat benda atau alat yang berat dengan mata tajam
atau agak tumpul yang terjadi dengan suatu ayunan disertai tenaga yang cukup
besar. Ciri luka bacok yaitu luka biasanya besar, pinggir luka rata, sudut luka
tajam, hampir selalu menimbulkan kerusakan pada tulang, dapat memutuskan
bagian tubuh yang terkena bacokan, kadang-kadang pada tepi luka terdapat
memar, abrasi. Contoh alat yang biasa digunakan adalah pedang, clurit, kapak,
baling-baling kapal dan Machete. 14
18
Gambar 1.1 :Luka Bacok (6)
Sumber: Dix J. Color Atlas of Forensik Pathology. New York. 2000
1. Jumlah luka.
2. Lokasi luka, meliputi:
a. Lokasi berdasarkan regio anatomiknya.
b. Lokasi berdasarkan garis koordinat atau berdasarkan bagian-bagian
tertentu dari tubuh.
19
punggung dapat dideskripsikan lokasinya berdasarkan garis khayal yang
menghubungkan ujung bawah tulang belikat kanan dan kiri.
20
hukum. Beberapa literature lebih suka menyebutnya yurisprudensi medis.
Kedokteran forensik ini sering disamakan dengan patologi forensik karena
keterlibatan penuh seorang dokter dengan aktivitas forensik yang hampir secara
khusus merupakan pusat bidang keahliannya. Ahli patologi forensik terutama
berkaitan dengan pemeriksaan post-mortem, yang mayoritas akan dekat dengan
jenazah, namun selain itu disiplin ilmu ini juga mencakup banyak masalah hukum
(misalnya, penentuan usia, penyerangan, pelanggaran hak-hak sipil, warisan,
pencurian, malapraktik, pelanggaran seksual, penyelundupan, keperawanan, dan
kelahiran atau kematian yang tidak wajar). Para pathologi forensik ini pada
nantinya akan memberikan keterangan atas sebuah hasil pemeriksaan kesehatan
serta diharapkan dapat menentukan identitas yang diperiksa, jenis luka yang
ditemukan, waktu, cara dan sebab kematian serta hal-hal khusus lainnya yang
berhubungan dengan kasus tertentu. 3,4,5
Dalam penerapannya, bidang forensik telah menggabungkan beberapa
subspesialisasi yang berbeda, seperti patologi forensik,yang meliputi pemeriksaan
manusia yang masih hidup dan sudah meninggal; toksikologi forensik; forensik
biologi molekuler ; dan psikiatri forensik. Namun, ada sebuah terobosan baru di
dunia forensik yaitu pencitraan postmortem yang dimasukkan ke dalam patologi
forensik. Pencitraan postmortem ini tentunya merupakan gabungan dari
subspesialis forensik patologi dan radiologi diagnostic. Ilmu ini juga dikenal
dengan sebutan radiologi forensik, namun dalam perjalanannya masing-masing
ahli patologi forensik dan ahli radilogi diagnostic akan berkerjasama dalam
mengungkap suatu kasus dikarenakan baik dari disiplin ilmu kedokteran forensik
maupun radiologi belum terdapat subspesialis radiologi forensik. Bidang radiologi
forensik ini biasanya meliputi pelaksanaan, interpretasi, dan expertise serta
prosedur radiologis yang ada hubungannya dengan pengadilan dan / atau hukum.
Sampai beberapa dekade yang lalu, radiologi bisa didefinisikan seperti cabang
ilmu kedokteran khusus yang menggunakan energi pancaran pengion dalam
diagnosis dan pengobatan penyakitnya. Modalitas yang bisa digunakan antara lain
mulai dari X-ray, USG, MRI, CT-scan, fluorosent imaging, dan radiologi
intervensi. 3,4,5
21
Dalam menerapkan praktik radiologi forensik, baik patologi forensik
maupun radiologi diagnostik harus diintegrasikan dan tidak dapat berjalan sendiri-
sendiri. Maka dari itu diperlukan komunikasi dan kerjasama yang baik antara
dokter patologi forensik dengan dokter radiologi untuk mengungkap sebuah
kasus, keduanya perlu mengetahui pencitraan kasus emergensi forensik termasuk
ilmu tentang perubahan-perubahan normal post-mortem, cara dan sebab kematian,
tanda radiologi khusus pada sebab kematian yang spesifik, dan mekanisme di
depan hukum serta jenis-jenis pertanyaan dari aparat penegak hukum, sehingga
kedepannya mungkin akan diperlukan subspesialis radiologi forensik untuk
mempelajari dan mengaplikasikan hal tersebut.3,4,5
22
KUHP Pasal 244
“Barangsiapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-
undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-
undang yang harus dipenuhinya, diancam dalam perkara pidana dengan
penjara paling lama Sembilan Bulan”
23
pendekatan forensikdalam mendiagnosis masih belum dipahami dengan baik.
Berbeda dengan radiologi klinis, artefak gerak (detak jantung, respirasi) tidak ada
dan paparan radiasi terhadap jenazah tidak diperhitungkan. Lengan mayat harus
ditinggikan di atas kepala, serupa dengan pemeriksaan klinis, untuk meningkatkan
kualitas gambar dan mengurangi artefak streak. Dalam pengaturan tersebut, rigor
mortis, jika ada, harus hilangkan. Sementara jenazah dipindahkan dari brankar ke
sofa CT atau setelah rigor mortis telah rusak, patah tulang postmortem jarang
terjadi dan harus dikomunikasikan ke ahli patologi forensik sebagai cedera
postmortem iatrogenik. Selain itu radiologi klinis biasa menggunakan kontras
dalam pencitraannya dibandingkan dengan pemeriksaan postmortem yang tidak
meggunakan kontras. Meskipun postmortem computed tomography angiography
menawarkan hasil yang baik dalam mnggambarkan kelainan vaskuler atau bagian
yang sulit untuk dilakukan pembedahan, Teknik ini belum diadaptasi secara luas
dalam komunitas forensik. Pembahasan selanjutnya akan fokus dalam perbedaan
antara radiologi klinis dan pencitraan postmortem non kontras. Perubahan dasar
postmortem yang terjadi pada cadaver menyebabkan temuan klinis yang dapat
menggambarkan secara baik suatu keadaan patologisnya, namun masih terlihat
normal pada pencitraan postmortem. 3
24
BAB IV
JURNAL PEMBANDING
4.1 Jurnal Pembanding
25
26
26
27
27
28
28
29
29
30
30
31
ABSTRAK
Kami melaporkan sebuah kasus trauma kranioserebral dimana seorang pria mengalami
fraktur tengkorak parah serta memar/kontusi serebral, kasus ini menuntut penjelasan
apakah mekanisme dari cidera yang dialami berasal dari hantaman atau benturan
Adapun, fitur-fitur awal dari fraktur pada tengkorak kebanyakan akan hilang apabila
dianalisa 5 bulan kemudian, dikarenakan penyembuhan dari cidera dan pembedahan
kranioserebral. Maka dari itu, kami bertujuan untuk me-rekonstruksi fitur-fitur fraktur
tengkorak awal dengan menggunakan teknologi rekonstruksi digital dari pencitraan CT
(computed tomography), rekonstruksi 3-dimensi dan peralatan bedah virtual. Tengkorak
ter-fraktur originalnya disusun dengan menggunakan Mimics 13.0 dengan
menggunakan slice/irisan data CT pasca-operasi kepala dan flap kraniotomi kepala yang
diangkat, dimana kedua aspek ini mengungkapkan fitur-fitur fraktur dari deformasi
tengkorak keseluruhan dan fokal. Berdasarkan model assembly tengkorak dan kontusio
contrecoup serebral, kami menyimpulkan bahwa pria tersebut mengalami benturan
dalam keadaan mabuk dan akibatnya trauma kranioserebral yang serius terjadi. Kasus
ini mendemonstrasikan bahwa teknologi rekonstruksi digital dapat berfungsi sebagai
pendekatan yang efektif terhadap penyelidikan forensik dalam kasus pasien yang
selamat dari trauma kranioserebral tanpa bukti langsung yang menerjemahkan pola
trauma orisinalnya, dimana hal ini sangat berpotensi membantu menyelidiki mekanisme
cedera.
1. PENDAHULUAN
Teknologi pencitraan medis telah menjadi alat bantu yang penting serta paling banyak
digunakan dalam ilmu forensik, karena sifatnya yang nondestruktif, serta dapat
memvisualisasikan dan mendokumentasikan informasi secara komplit. Dalam praktek
otopsi forensik, ahli patologi forensik selalu membutuhkan akses terhadap lokasi cidera,
derajat dan morfologi dari jaringan lunaknya, organ intrakorpoeral dan tulang, serta
kemampuan untuk menganalisa penyebab dari kematian serta mekanisme cidera yang
dialami korban. Trauma kranioserebral adalah penyebab umum dari kematian dan
disabilitas. Mekanisme trauma kepala umumnya sangatlah rumit untuk dianalisa oleh
ahli patologi forensik, khususnya apabila terdapat fitur-fitur trauma awal yang tidak
lengkap, hal ini dikarenakan para ahli yang terlibat umumnya menangani kasus-kasus
semacam itu pada hitungan hari atau beberapa bulan setelah terjadi dimana
pembedahan darurat umumnya telah merubah fitur-fitur tersebut (lewat pemulihan,
31
32
dll). Umumnya, para ahli forensik akan mengenali mekanisme cidera dari diagnosis akan
pencitraan dan model 3D yang dihasilkan dari gambaran medis awal. Namun, para
dokter umumnya berfokus pada trauma, implikasi prognostik dan terapeutik, dimana
hal-hal ini akan mengarah kepada kurangnya deskripsi cidera yang mendetail; terkadang
ketebalan dari citra awal yang dihasilkan pun tidak cukup tepat untuk membantu
rekonstruksi dari trauma yang telah terjadi. Lebih lanjut, trauma kranioserebral
merupakan prognosis terburuk atau bahkan mengancam jiwa, maka dari itu
pembedahan darurat sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan pasien dengan segera,
dimana hal ini akan merubah karakteristik trauma awal yang terjadi. Hilangnya fitur-fitur
ini, khususnya fraktur-fraktur pada tulang tengkorak, berakibat tidak adanya cara
langsung untuk merekonstruksi fitur-fitur dari trauma, maka terdapat kebutuhan khusus
untuk menyusun model terpisah yang berbeda kedalam model integral untuk
menunjukkan trauma awal ini.
Mimics (Materialise Inc., Belgia) merupakan perangkat lunak pengolahan citra medis
yang terspesialisasi, yang dapat secara cepat dan mudah menghasilkan model 3-dimensi
yang akurat dari data pencitraan medis. Alat bedah virtual yang disediakan oleh Mimics
dapat mensimulasikan osteotomi dengan memotong tulang, memposisikan ulang
bagian-bagiannya serta menaruh implan serta plat tulang untuk membantu memilih
rencana pembedahan yang optimal. Dalam kasus ini, alat bantu yang terkait telah
tersedia untuk menyusun ulang flap tengkorak yang sudah diangkat lewat operasi
pembedahan dengan tengkorak yang tersisa secara bersamaan, dimana dalam kasus ini
terdapat ketiadaan dari fitur-fitur orisinal dari fraktur. Kasus ini merupakan kasus
pertama yang melibatkan penerapan rekonstruksi 3-dimensi dan alat bantu
pembedahan virtual untuk memulihkan fraktur tengkorak awal pada praktek forensik,
dimana metode ini kemudian membuktikan dirinya sebagai pendekatan komplementer
yang efektif dalam penentuan mekanisme trauma kranioserebral pada operasi
pembedahan kepala yang didasarkan pada gambaran klinis tanpa disertai pola fraktur
awal.
2. LAPORAN KASUS
Dalam kasus ini, seorang pria dewasa berumur 40 tahun sedang mabuk ketika ia
menimbulkan masalah di rumah temannya. Ia kemudian segera ditahan dan dibawa ke
kantor polisi pada pukul 10 malam dan setelah 5 menit berselang, pria tersebut pingsan
dan segera dilarikan ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan. Pria ini dibawa ke
rumah sakit lokal terdekat dimana CT scan darurat pada kepala segera dilakukan pada
pukul 10 lewat 16 menit (22:16), dimana kemudian terungkap bahwa ia mengalami
trauma kranioserebral parah. 6 jam kemudian, pria tersebut dipindahkan ke rumah sakit
spesialis syaraf daerah untuk menjalani operasi pembedahan dekompresi kraniotomi.
Hingga saat ahli patologi forensik diminta untuk terlibat dalam kasus ini lima bulan
kemudian, pria tersebut tidak pernah tersadar. Polisi lokal mempercayakan kasus ini
kepada ahli patologi forensik kami untuk mencaritau apakah trauma kepala yang dialami
32
33
pasien disebabkan oleh benturan atau hantaman. Pihak kepolisian juga mengumpulkan
video CCTV, foto TKP, data slice CT scan darurat pada kepala, set data DICOM (Digital
Imaging and Communications in Medicine) CT kranioserebral pasca-operasi, foto-foto
kulit kepala dan flap tulang tengkorak pasca-operasi untuk digunakan sebagai basis data
investigasi dan indentifikasi.
Analisis CT untuk bacaan radiologis forensik dan diagnostik radiologi klinis dilakukan
oleh ahli radiologi dan patologi forensik kami yang bersertifikasi dan berpengalaman.
Film CT darurat yang dilakukan pertama kali oleh rumah sakit lokal pada pukul 22:16
mengindikasikan bahwa terdapat pembengkakan kulit kepala (scalp swelling) pada
bagian temporal-parietal kanan, fraktur depresi pada tulang parietal-oksipital kanan,
hematoma subdural pada bagian temporal-parietal kanan, perdarahan subaraknoid,
kontusi serebral pada lobus frontal kiri dan kompresi dari ventrikel lateral kanan.
Dengan interferensi empiris, kontusio contrecoup pada otak menunjukkan mekanisme
cidera perlambatan (deceleration injury), sementara fraktur depresi dari tengkorak
sudah terlanjur rumit untuk menjelaskan proses terjadinya cidera. Karenanya,
penyelidikan lebih lanjut akan dilakukan. Film CT darurat awal kemudian di-scan dan
dibagi ke dalam 12 slice data untuk merekonstruksi model kasar 3-dimensi awal dari
fraktur pada tengkorak. Terdapat data DICOM CT kranioserebral pasca-operasi lain
dengan ketebalan slice sebesar 0,6 mm yang dilakukan oleh rumah sakit spesialis syaraf
daerah kedua pada 41 hari setelah trauma terjadi. Data ini mengindikasikan bahwa
bagian tengkorak yang retak telah diangkat dan 'jendela tulang' dilakukan pada area
temporal-parietal-oksipital kanan, pembengkakan pada kulit kepala juga mengecil dan
hematoma subdural juga menghilang, ditemukan pula bahwa lobus frontal kanan dan
temporal menunjukkan perubahan patologis dari kontusi pada otak.
Secara keseluruhan, terdapat empat foto kulit kepala yang diambil oleh polisi 40 hari
setelah cidera pasien, foto-foto ini kemudian diteliti secara sesama oleh ahli patologi
forensik kami untuk memverifikasi kemungkinan adanya fraktur-fraktur lain dan bekas-
bekas luka. Foto yang diambil secara jelas mengungkapkan serangkaian luka sayatan
linear berbentuk U dan melengkung yang telah sembuh pada bagian frontal, parietal dan
oksipital dari kepala. Tidak terdapat abrasi pada kulit kepala, kontusi dan
laserasi/sayatan lain. Terdapat pula bekas luka sayatan bedah yang sudah sembuh pada
bagian temporal kiri dari kulit kepala.
33
34
Flap tulang tengkorak pasca-operasi juga diselidiki secara seksama oleh ahli patologi
forensik kami untuk memeriksa adanya fraktur pada tengkorak. Flap yang sudah
diangkat dari kepala korban juga diperhatikan secara seksama dan disusun menjadi satu
flap tulang yang utuh. Dengan mempertimbangkan reaksi vital (seperti perdarahan
tulang spongiosa/cancellous bone pada tengkorak) dan fraktur berbentuk baji pada
tepian dari flap tulang yang terpisah-pisah, empat garis fraktur yang sebelumnya tidak
ditemukan berhasilkan diidentifikasi dan diverifikasi. Garis-garis ini menjalar dari
posterior ke anterior dan dari superior ke inferior, dengan bentuk fraktur yang serupa
busur dan beberapa garis tidak beraturan yang muncul pada flap tulang. Namun, kami
tidak dapat mengusulkan mekanisme cidera hanya dengan mempertimbangkan materi-
materi baru ini.
Gambar 1. Slice/irisan data CT darurat dari kepala pasien. A dan B: Pembengkakan kulit
kepala dan fraktur depresi pada bagian parietal-oksipital kanan. (Panah kuning:
pembengkakan kulit kepala; lingkaran titik kuning: fraktur depresi tengkorak); C dan D:
hematoma subdural, perdarahan subaraknoid dan kontusi serebral. (Panah merah:
kontusi serebral; panah kuning: hematoma subdural).
Pemeriksaan CT dari flap tulang yang telah diintegrasikan dilakukan pada CT scanner 40-
baris (Siemens Medical Solutions, Jerman) pada institut ilmu forensik kami. Scan CT dari
flap dilakukan dengan parameter-parameter sebagai berikut: collimation sebesar 40x0,6
mm, ketebalan slice 1,5 mm, voltase tabung 120 kV dan effective tube charge sebesar
350 mAs. Rekonstruksi gambar tambahan dengan ketebalan slice sebesar 0,6 mm dibuat
untuk penggunaan rekonstruksi 3-dimensi pada flap tulang.
34
35
Slice medis yang dihasilkan kemudian di-import dan diberikan orientasi yang sesuai,
kemudian ketika memilih nilai bone threshold antara 343 dan 1665 HU (Hounsfield unit)
untuk fungsi 'Thresholding' dari Mimics, seluruh bagian tengkorak diisolasikan dari data
CT. Dengan fitur 'Region Growing' dan 'Edit Masks', seluruh bagian yang tidak
dibutuhkan dan lubang-lubang kecil dieliminasikan, proses ini juga membentuk
serangkaian mask dari tengkorak. Seluruh mask/topeng tengkorak dengan kualitas tinggi
kemudian dikalkulasikan kedalam model 3-dimensi dengan fitur anatomis yang
mendetil. Parameter kalkulasi mencakup smoothing factor sebesar 0,3 dan 'iteration'
sebanyak 2 kali. Semua model yang dihasilkan kemudian dikonversi ke dalam format STL
(Standard Triangulated Language) dan kemudian di-export.
Gambar 2. Flap tulang tengkorak yang terpisah-pisah disusun kembali menjadi satu flap
tengkorak yang utuh dimana kemudian garis patahan/fraktur berhasil diidentifikasi dan
diverifikasi.
Model STL tengkorak pasca-operasi dan flap utuh kemudian di-import ke dalam project
yang sama, yang kemudian menempatkan ulang flap pada lokasi dan arah yang
semestinya untuk merekonstruksi pola-pola fraktur tulang tengkorak awal. Pertama,
model tengkorak dengan jendela tulang/bone window dipotong pada bidang sagittal
yang didefinisikan lewat tiga titik pada inion, intercillium dan tuberkel faring. Kemudian
kami 'mencerminkan' bagian utuh yang terpisah (tengkorak kiri) dengan sisi
berlawanannya dengan memotong bidang sagittal, untuk membantu penggantian dari
flap yang diangkat. Kedua, dengan bantuan dari bagian tengkorak 'bayangan', posisi dari
35
36
flap utuh kemudian diperbaiki dengan translasi dan rotasi pada/sekitar sumbu x, y dan z.
Ketika flap telah 'tumpang tindih' diatas tengkorak 'bayangan' dan titik-titik penanda
penting (seperti pterion dan eminentia arkuata) yang terletak pada bagian-bagian yang
sesuai dari tengkorak bayangan (Gambar 3), manipulasi penempatan
ulang/repositioning telah komplit dan model tengkorak yang relatif utuh dengan pola
fraktur awalnya berhasil diciptakan.
Meskipun rekonstruksi model kepala awalnya didasarkan dari film hasil CT scan darurat
dan cenderung masih kasar, model ini memiliki beberapa garis fraktur/patahan yang
dapat digunakan untuk memverifikasi penyusunan model tengkorak utuh. Disini kami
mengukur diameter dari fraktur depresi pada bagian parietal-oksipital kanan dengan
menggunakan alat bantu pengukuran 3-dimensi dan membuat perbandingan
berdasarkan dua model tersebut. Lebih lanjut, kami membandingkan morfologi dari
fraktur, lokasi dan arah/direksi dari model kasar dan identik untuk memverifikasi
karakteristik fraktur orisinal yang telah disusun ulang.
Gambar 3. Manipulasi dari penempatan ulang flap tulang dan penyusunan dengan
bantuan bagian tengkorak 'bayangan.'
36
37
Gambar 4 memperlihatkan model 3-dimensi dari flap kraniotomi utuh dan gambaran
tengkorak pasca-operasi. Kedua model ini diposisikan ulang dan disusun sebagai satu
tengkorak utuh. Tengkorak yang telah tersusun ini secara akurat memperlihatkan
sejumlah karakteristik fraktur awal dari tengkorak: fraktur depresi, tiga garis fraktur
linear dimana salah satu terbentang ke arah depan dan ke belakang, salah satu
memanjang ke depan dan yang ketiga memanjang secara lurus ke arah bawah. Model
yang sudah disusun ini dapat memainkan peran penting dalam menyimpulkan
mekanisme trauma kranioserebral yang terjadi.
Perbandingan dari model kasar orisinal dan model yang sudah tersusun diperlihatkan
pada Gambar 5 dan 6. Diameter dari flap-flap depresi fraktur sirkular pada model kasar
adalah 61,62 mm, dimana hasil pengukuran ini sangat mendekati nilai pengukuran yang
didapat dari model akhir yang telah tersusun yaitu 61,94 mm (Gambar 5). Dengan
membandingkan pola garis fraktur diantara dua model 3-dimensi ini, terdapat lokasi,
arah dan bentuk yang serupa antara fraktur pada model kasar serta fraktur pada model
akhir (Gambar 6).
Seluruh perbandingan menunukkan konsistensi yang baik diantara kedua model. Fraktur
depresi dan ketiga fraktur yang meretak dan memanjang memperlihatkan ko-eksistensi
dari deformasi fokal serta keseluruhan dari tengkorak itu sendiri, hal ini mengindikasikan
bahwa tengkorak pasien kemungkinan berinteraksi dengan bidang tumpul dengan
disertai energi kinetik yang tinggi. Dengan mempertimbangkan kontusio contrecoup
pada otak, mekanisme trauma yang terjadi adalah deselerasi/perlambatan dari kepala
yang bergerak terhadap bidang tumpul dengan kecepatan awal yang tinggi.
37
38
Gambar 5. Perbandingan diameter dari fraktur depresi sirkular antara model awal yang
masih kasar dan model akhir yang telah tersusun. Diameter kedua fraktur depresi ini
hampir sama.
3. DISKUSI
Interpretasi yang dapat diandalkan dari trauma kepala pada praktek forensik menuntut
informasi dasar yang objektif serta pertimbangan yang hati-hati terhadap seluruh
barang bukti. Dikarenakan tingginya morbiditas dan mortalitas dari trauma
kranioserebral, penyelamatan darurat klinis adalah prioritas utamanya. Para ahli
forensik umumnya tidak dilibatkan dalam kasus ini hingga beberapa minggu atau bulan
setelah kejadian. Ketika ahli patologi forensik dihadapkan pada kasus-kasus semacam
ini, khususnya apabila para korban selamat setelah trauma, barang bukti untuk
pemeriksaan lebih lanjut umumnya tidak terlalu banyak dikarenakan penyembuhan dan
operasi pembedahan yang telah dilakukan pada korban. Dalam situasi semacam ini,
teknologi pencitraan modern dapat berfungsi sebagai pendekatan yang kuat untuk
menganalisa mekanisme cidera yang terjadi, hal ini juga didasari fakta bahwa metode
scan CT dan MRI pada kepala telah digunakan secara luas untuk menilai derajat trauma
pada kepala pada institusi medis. Biasanya, pemeriksaan radiografis dilakukan sesaat
setelah pasien dimasukkan ke dalam unit perawatan rumah sakit, maka data pencitraan
awal dapat mendokumentasi secara utuh karakteristik trauma awal dan cukup objektif
sebagai bahan analisa dari cidera. M. Thali dan kolega telah menerapkan pendekatan
pemindaian gambar dan rekonstruksi 3-dimensi yang berbeda dalam praktek forensik
dan telah mengenali aplikasi yang luas dan gambaran/latar depan akan eksploitasi yang
bagus dari metode ini. P. Schuh dan kolega mengindikasikan bahwa data CT merupakan
sumber informasi yang berharga untuk keperluan rekonstruksi forensik pada kasus-
kasus semacam ini dan bahwa slice data yang lebih tipis berguna untuk pembacaan citra
3-dimensi. M. Grassberger dan kolega menganggap pencitraan CT dan rekonstruksi 3-
dimensi sebagai alat bantu yang berguna dalam pengerjaan kasus forensik klinis. Pendek
kata, aplikasi dari data pencitraan medis dan rekonstruksi 3-dimensi langsung telah lebih
38
39
Gambar 6a dan 6b. Perbandingan pola fraktur antara model kasar awal dan model akhir
yang telah disusun.
Mimics merupakan reverse engineering suite 3-dimensi yang sangat mudah digunakan.
Manipulasi utama dari segmentasi bagian-bagian objektif dan kalkulasi model 3-dimensi
yang dapat dilakukannya tidak sulit untuk dipelajari. Software ini lebih baik
dibandingkan workstation medis umum dikarenakan kemampuannya untuk meng-
import berbagai jenis gambar/citra medis dan model 3-dimensi, menampilkan slice
dalam bidang-bidang anatomis yang berbeda, menyusun beberapa model 3-dimensi
sekaligus ke dalam satu model dan bahkan meng-export model element 3-dimensi yang
final dan akurat untuk analisis biomekanis. Namun, untuk fungsi terakhir, software
Mimics tidak terlalu dibutuhkan untuk melakukan operasi tersebut, karena perangkat
lunak apapun dengan fungsionalitas rekonstruksi 3-dimensi dan model
assembly/penyusunan model dapat melakukan rekonstruksi fitur trauma awal.
Dalam kasus yang sedang dibahas, hasil-hasil rekonstruksi 3-dimensi yang telah tersusun
dapat mengungkapkan pola-pola fraktur orisinal secara akurat. Untuk rekonstruksi 3-
dimensi, semakin tipis slice CT yang digunakan, maka semakin bagus pula kualitas detil
model 3-dimensi yang dihasilkannya. Dalam aplikasi forensik, slice 0,6 mm yang telah
39
40
40
41
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Kedokteran forensik telah diakui sebagai ilmu pengetahuan khusus atau
disiplin ilmu yang berhubungan dengan penerapan fakta dan pengetahuan medis
terhadap masalah hukum. Dalam penerapannya, bidang forensik telah
menggabungkan beberapa subspesialisasi yang berbeda, seperti patologi
forensik,yang meliputi pemeriksaan manusia yang masih hidup dan sudah
meninggal; toksikologi forensik; forensik biologi molekuler ; dan psikiatri
forensik. Ilmu ini juga dikenal dengan sebutan radiologi forensik, namun dalam
perjalanannya masing-masing ahli patologi forensik dan ahli radilogi diagnostic
akan berkerjasama dalam mengungkap suatu kasus dikarenakan baik dari disiplin
ilmu kedokteran forensik maupun radiologi belum terdapat subspesialis radiologi
forensik. Bidang radiologi forensik ini biasanya meliputi pelaksanaan,
interpretasi, dan expertise serta prosedur radiologis yang ada hubungannya
dengan pengadilan dan / atau hukum. Modalitas yang bisa digunakan antara lain
mulai dari X-ray, USG, MRI, CT-scan, fluorosent imaging, dan radiologi
intervensi.
Ruang lingkup radiologi forensik sama halnya dengan disiplin ilmu lain
yang bertumpu pada pelayanan, pendidikan, penelitian dan administrasi.
Pelayanan yang dapat diberikan dalam bidang radiologi forensik meliputi :
penentuan identitas, evaluasi cedera dan kematian (accidental, nonaccidental),
proses pengadilan tindak pidana, proses pengadilan tindak perdata, dan prosedur
administrasinya. Evaluasi kematian atau cedera nonaccidental meliputi cedera
tulang, peluru dan benda asing, trauma lain dan penyebab lainnya.
5.2. Saran
Untuk berikutnya dapat mengembangkan penelitian tentang radiologi forensik
serta penerapannya di Indonesia
41
42
DAFTAR PUSTAKA
1. Nurochman H. Forensik Klinik.di unduh dari
http://www.academia.edu/11623266/forensik_klinik diakses tanggal
20 november 2017
2. Driscoll P. Incidence and prevalence of wounds by etiology
(homepage on the internet). Available from: www.mediligence.com
3. Brogdon BG. In: Brogdon BG, ed. Forensik radiology. Boca Raton,
FL: CRC, 1998
4. Flach PM, Thali MJ, Germerrot T. Times have changed! Forensik
radiology : A new challenge for radiology and forensik pathology.
American Journal of Roentgenology.2014.202:W325-W334
5. Lichtenstein J E. Forensik Radiology. Di unduh pada
www.arrs.org/publications/HRS/diagnosis/RCI_D_c26 pada 28 nov
2017 pk. 21.36 wibThe Virtopsy Project website. www.virtopsy.com.
Accessed November 1, 2017
6. Thali MJ, Yen K, Schweitzer W, et al. Otopsi virtual, a new imaging
horizon in forensik pathology: virtual autopsy by postmortem
multislice computed tomography (MSCT) and magnetic resonance
imaging (MRI)—a feasibility study. J ForensikSci.2003; 48:386–403
7. Thali MJ, Jackowski C, Oesterhelweg L, Ross SG, Dirnhofer R.
Virtopsy—the Swiss virtual autopsy approach. Leg Med (Tokyo) 2007;
9:100–104
8. East Midlands Forensik Pathology Unit. A brief history of forensik
radiology.website www2.le.ac.uk/departments/emfpu/imaging/brief-
history
9. Kitab KUHAP
10. Krogman, W. M. and Iscan, M.Y., The Human Skeleton in Forensik
Medicine, 2nd ed., Charles C Thomas, Springfield, IL, 1986, chap. 13.
11. Graham, C. B., Assessment of bone maturation — methods and
pitfalls, Radiol. Clin. N. Am., 10, 185, 1972.
12. Girdany, B. R. and Golden, R., Centers of ossification of the skeleton,
Am. J. Roentgenol., 68, 922, 1952.
42
43
43