Anda di halaman 1dari 12

BAB II

I. Definisi

Bronkopneumonia atau disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan pada
parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai
alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan balita, yang disebabkan oleh
bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Bronkopneumonia
merupakan peradangan pada parenkim paru yang melibatkan bronkus / bronkiolus yang
berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy distribution).

II. Patofisiologi

Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme,
keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di
dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, sehingga
mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya infeksi penyakit. Masuknya
mikroorganisme ke dalam saluran nafas dan paru dapat melalui berbagai cara, antara lain :
1. Inhalasi langsung dari udara\
2. Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring.
3. Perluasan langsung dari tempat-tempat lain.
4. Penyebaran secara hematogen.

Mekanisme daya tahan traktus respiratorius sangat efisien untuk mencegah infeksi
yang terdiri dari :
1. Susunan anatomis rongga hidung.
2. Jaringan limfoid di nasofaring.
3. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret
lain yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut.
4. Refleks batuk.\
5. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi.
6. Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional.
7. Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama dari Ig A.
8. Sekresi enzim – enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang bekerja
sebagai antimikroba yang non spesifik.

Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas
sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya.
Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi
empat stadium, yaitu :

a. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)


Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia
ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast
setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut
mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan
jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin
untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas
kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam
ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan
alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak
yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas
ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan
saturasi oksigen hemoglobin.

b. Stadium II (48 jam berikutnya)


Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,
eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari
reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau
sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung
sangat singkat, yaitu selama 48 jam.

c. Stadium III (3 – 8 hari)


Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat
karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler
darah tidak lagi mengalami kongesti.

d. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag
sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
Gambar 1 Patofisiologi
Gambar 2 Algoritma Patofisiologi brokhopneomonia

III. Diagnosis

1.Anamnesis

Dari anamnesa didapatkan gejala non respiratorik dan gejala respiratorik. Dasar
diagnosis tergantung umur, beratnya penyakit dan jenis organisme penyebab. Pada
bayi/anak kecil (balita) pemeriksaan auskultasi sering tidak jelas, maka nafas cepat
dan retraksi/tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam dipakai sebagai parameter.
Kriteria nafas cepat, yaitu :
 Umur < 2 bl : ≥ 60x/menit
 2 bl-< 12 bl : ≥ 50x/menit
 12 bl-5 th : ≥ 40x/menit
 ≥ 5 tahun : ≥ 30x/menit

Klasifikasi Nafas cepat retraksi


< 2 bl Pneumonia berat + +
Bukan Pneumonia - -
2 bl-5 th Pneumonia berat + +
Pneumonia + -
Bukan Pneumonia - -

Dapat juga dipakai kriteria paling sedikit 3 dari 5 gejala/tanda berikut


- Sesak nafas disertai pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada
- Panas badan
- Ronki basah sedang nyaring pada bronkopneumonia atau suara pernafasan
bronkial (pada daerah yang dengan perkusi bernada pekak) pada pneumonia
lobaris
- Foto toraks menunjukkan adanya infiltrat berupa bercak-bercak (bronko)
difus merata (lober) pada satu atau beberapa lobus
- Leukositosis Pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit
predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil dominan.

Kadar leukosit berdasarkan umur:

o Anak umur 1 bulan : 5000 – 19500


o Anak umur 1-3 tahun : 6000 – 17500
o Anak umur 4-7 tahun : 5500 – 15500
o Anak umur 8-13 tahun : 4500 - 13500
Pedoman diagnose dan tatalaksana yang lebih sederhana menurut WHO.
Berdasarkan pedoman tersebut bronkopneumoni dibedakan berdasarkan :
- Bronkopneumonia sangat berat :
Bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak sanggup minum, maka anak harus
dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.
- Bronkopneumonia berat :
Bila di jumpai adanya retraksi, tanpa sianosis dan masih sanggup minum,
maka anak harus dirawat di rumah sakit dan d beri antibiotic.

2. Pemeriksaan Fisik

Dalam pemeriksaan fisik penderita bronkopneumoni ditemukan hal-hal sebagai


berikut :
- Pada nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan
pernapasan cuping hidung.
- Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.
Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran
fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi
paru (kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan berkurang.
- Pada perkusi tidak terdapat kelainan
- Pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring.
Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan
berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada tinggi
ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang mendominasi),
keras atau lemah (tergantung dari amplitudo osilasi) jarang atau banyak
(tergantung jumlah crackles individual) halus atau kasar (tergantung dari
mekanisme terjadinya). Crackles dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara
yang melalui sekret jalan napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.

Berdasarkan lokasi lesi di paru :


bronkopneumonia Interstitial Pneumonia lobaris
- Lobularis - Interstitial - Segmental/lobus
- Ronki selalu - Pendataran - Konsolidasi
terdengar diafragma dan - Ronki (+) saat
- Dullness (-) hiperinflasi kongestif dan resolusi
- Ronki ±, wheezing + - Dullness (+) di lobus
- Dullness (-) yang terkena

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit. Hitung


leukosit dapat membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial. Infeksi virus
leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit
predominan) dan bakteri leukosit meningkat 15.000-40.000 /mm3 dengan neutrofil
yang predominan. Pada hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta
peningkatan LED. Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hipokarbia, pada
stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. Isolasi mikroorganisme dari paru,
cairan pleura atau darah bersifat invasif sehingga tidak rutin dilakukan 1,6.

Pemeriksaan radiologi

Foto rontgen toraks pada pneumonia ringan tidak rutin dilakukan, hanya
direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat. Kelainan foto rontgen toraks
pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis. Umumnya
pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis pneumonia hanyalah
pemeriksaan posisi AP. Lynch dkk mendapatkan bahwa tambahan posisi lateral pada
foto rontgen toraks tidak meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas penegakkan
diagnosis.

Gambar 2 Ro. infiltrat alveoler di lobus kanan bawah ec. S pneumoniae

Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:

- Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular,


peribronchial cuffing dan hiperaerasi
- Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.
Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris atau
terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis, berbatas
yang tidak terlalu tegas dan menyerupai lesi tumor paru disebut sebagai round
pneumonia
- Bronkopneumonia ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru
berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru
disertai dengan peningkatan corakan peribronkial

Gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan kecenderungan etiologi.


Penebalan peribronkial, infiltrat interstitial merata dan hiperinflasi cenderung terlihat
pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidasi segmen atau lobar,
bronkopneumonia dan air bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri .

C-Reactive Protein (CRP)

Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara faktor
infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri superfisialis dan
profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri
superfisialis daripada infeksi bakteri profunda. CRP kadang digunakan untuk evaluasi
respons terhadap terapi antibiotik .

Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin dilakukan
kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di RS. Untuk pemeriksaan mikrobiologik,
spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah,
pungsi pleura, atau aspirasi paru.

IV. Pengelolaan

- Sebelum memberikan obat ditentukan dahulu : Berat ringannya penyakit, riwayat


pengobatan sebelumnya dan respons terhadap pengobatan tersebut, adanya
penyakit yang mendasarinya

- Antibiotik awal (dalam 24-72 jam pertama) :

a. Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :


 ampicillin + aminoglikosid (gentamisin)
 amoksisillin-asam klavulanat
 amoksisillin + aminoglikosid
 sefalosporin generasi ke-3

b. Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)

 beta laktam amoksisillin


 amoksisillin-amoksisillin klavulanat
 golongan sefalosporin
 kotrimoksazol
 makrolid (eritromisin)

c. Anak usia sekolah (> 5 thn)


 amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)
 tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)

Karena dasar antibiotik awal di atas adalah coba-coba (trial and error)
maka harus dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat, minimal tiap 24
jam sekali sampai hari ketiga. Bila penyakit bertambah berat atau tidak
menunjukkan perbaikan yang nyata dalam 24-72 jam  ganti dengan
antibiotik lain yang lebih tepat sesuai dengan kuman penyebab yang diduga
(sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada tidaknya penyulit seperti empyema,
abses paru yang menyebabkan seolah-olah antibiotik tidak efektif)

- Penderita imunodefisiensi atau ditemukan penyakit lain yang mendasari → ampisilin


+ aminoglikosida (gentamisin), Hipersensitif dengan penisilin/ampisilin : Eritromisin,
sefalosporin (5-16% ada reaksi silang) atau linkomisin/klindamisin

- Antibiotik selanjutnya ditentukan atas dasar pemantauan ketat terhadap respons klinis
dalam 24-72 jam pengobatan antibiotik awal Kalau penyakit menunjukkan perbaikan
→ antibiotik diteruskan sampai dengan 3 hari klinis baik (Pneumokokus biasanya
cukup 5-7 hari, bayi < 2 bl biasanya 10-14 hari) Kalau penyakit bertambah berat atau
tidak menunjukkan perbaikan yang nyata dalam 72 jam → antibiotik awal dihentikan
dan diganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat (sebelumnya perlu diyakinkan dulu
tidak adanya penyulit seperti empiema, abses, dll, yang menyebabkan seolah-olah
antibiotik tidak efektif).

 Antibiotik pengganti bergantung pada kuman penyebab


 Pneumokokus : 3-16% sudah resisten dengan penisilin Diganti dengan
sefuroksim, sefotaksim, linkomisin atau vankomisin
 H. influenzae : Diganti dengan sefuroksim, sefazolin, sefotaksim, eritromisin,
linkomisin atau klindamisin
 S. aureus : Diganti dengan kloksasilin, dikloksasilin, flukloksasilin, sefazolin,
klindamisin atau linkomisin
 Batang Gram (-) : Aminoglikosida (gentamisin, amikasin, dll)
 Mikoplasma : Eritomisin, tetrasiklin (untuk anak > 8 th)

- Simtomatik (untuk panas badan dan batuk) Sebaiknya tidak diberikan terutama pada
72 jam pertama, karena dapat mengacaukan interpretasi reaksi terhadap antibiotik
awal
- Suportif O2 lembab 40% melalui kateter hidung diberikan sampai sesak nafas hilang
(analisis gas sampai dengan PaO2 ≥ 60 Torr)
- Cairan, nutrisi dan kalori yang memadai : Melalui oral, intragastrik, atau infus. Jenis
cairan infus disesuaikan dengan keseimbangan elektrolit. Bila elektrolit normal
berikan larutan 1:4 (1 bagian NaCl fisiologis + 3 bagian dekstrosa 5%), Asidosis (pH
< 7,30) diatasi dengan bikarbonat i.v. Dosis awal : 0,5 x 0,3 x defisit basa x BB (kg)
→ mEq, Dosis selanjutnya tergantung hasil pemeriksaan pH dan kelebihan basa (base
excess ) 4-6 jam setelah dosis awal. Apabila pH dan kelebihan basa tidak dapat
diperiksa, berikan bikarbonat i.v. = 0,5 x 2-3 mEq x BB (kg) sebagai dosis awal, dosis
selanjutnya tergantung gambaran klinis 6 jam setelah dosis awal

- Fisioterapi

Tabel 3. Dosis Harian Antibiotik untuk Pneumonia

OBAT CARA DOSIS FREK. INDIKASI


PEMBERIA (jam)
N
Gol. i.v., i.m. 100-200 4-6 Pneumonia berat
PENISILIN p.o. 40-160 6 disebabkan Gram (+),
Ampisilin p.o. 25-100 8 Gram (-) ; Bakteri anaerob
Amoksisilin i.v., i.m. 300-600 4-6 Fibrosis kistik (kombinasi
Tikarsilin dengan aminoglikosida)
Azlosilin i.v. 300-600 4 Sama dengan tikarsilin
Neonatus <7 hr 50-150 12
Neonatus >7 hr 200 4-8
Mezlosilin i.v. 300 4 Sama dengan tikarsilin
Neonatus 75 6-12
>2.000 g 75 8-12
Neonatus
<2.000 g
Piperasilin i.v. 300 4 Sama dengan tikarsilin
Oksasilin i.v. 150 4-6 Pneumonia, abses paru,
Kloksasilin i.v. 50-100 4-6 empiema, trakeitis yang
Dikloksasilin i.v. 25-80 4-6 disebabkan oleh S. aureus
GOL. SEFALOSPORIN
Sefalotin i.v. 75-150 6 Pneumonia oleh S. aureus
(bila alergi penisilin)
Sefuroksim i.v. 100-150 6-8 Terapi awal infeksi oleh
Sefotaksim i.v. 50-200 6 patogen Gram (-) :
Seftriakson i.v., i.m. 50-100 12-24 K. pneumoniae, E. coli
Seftazidim i.v. 100-150 8 Diduga Pseudomonas
aeruginosa
GOL. AMINOGLIKOSIDA
Gentamisin i.v., i.m. 5 8 Terapi inisial untuk
Tobramisin i.v., i.m. 8-10 8 Pneumonia dan abses paru
karena bakteri Gram (-)
Amikasin i.v., i.m. 15-20 6-8 Patogen Gram (-) resisten
dengan gentamisin dan
tobramisin
Netilmisin i.v. 4-6 12 Gram (-) yang resisten
terhadap gentamisin
GOL. p.o. 30-50 6 M. pneumoniae, B.
MAKROLID i.v. (infus 40-70 6 pertussis, C. diphtheriae,
Eritromisin lambat) C. trachomatis, Legionella
Roksitromisin p.o. 5-8 12 pneumophila
KLINDAMISI i.v. 15-40 6 S. aureus, Streptokokus,
N p.o. 10-30 6 Pneumokokus yang alergi
penisilin dan efalosporin
Abses paru karena bakteri
anaerob

KLORAMFEN i.v. 75-100 6 Epiglotitis, abses paru,


IKOL pneumonia
Indikasi rawat

Kriteria rawat inap, yaitu :

Pada bayi
 saturasi oksigen ≤ 92 %, sianosis
 frekuensi napas > 60 x/menit
 distress pernapasan, apneu intermitten, atau grunting
 tidak mau minum / menetek
 keluarga tidak bisa merawat dirumah

Pada anak
 saturasi oksigen ≤ 92 %, sianosis
 frekuensi napas ≥ 50 x/menit
 distress pernapasan
 grunting
 terdapat tanda dehidrasi
 keluarga tidak bisa merawat dirumah

Kriteria pulang:
 Gejala dan tanda pneumonia menghilang
 Asupan peroral adekuat
 Pemberian antibiotik dapat diteruskan dirumah (peroral)
 Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol
 Kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan dirumah

Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi berat
dapat memperjelek keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan hilangnya zat-zat gizi
esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan pengaruh negatif pada daya tahan
tubuh terhadap infeksi.
Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan
penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya
bronkopneumonia ini. Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan
daya tahan tubuh kaita terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti cara hidup sehat,
makan makanan bergizi dan teratur, menjaga kebersihan ,beristirahat yang cukup, rajin
berolahraga dll. Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan
terinfeksi antara lain.
 Vaksinasi pneumokokus
Dapat diberikan pada umur 2,4,6, 12-15 bulan. Pada umur 17-12 bulan diberikan
2 kali dengan interval 2 bulan ; pada usia > 1 tahun di berikan 1 kali, namun
keduanya perlu dosis ulangan 1 kali pada usia 12 bulan atau minimal 2 bulan
setelah dosis terakhir. Pada anak umur di atas 2 tahun PCV diberikan cukup 1
kali.
 Vaksinasi H.Influenzae
Diberikan pada usia 2, 4, 6, dan 15-18 bulan
 Vaksinasi varisela
Yang di anjurkan pada anak dengan daya tahan tubuh rendah dapat diberikan
setelah umur 12 bulan, terbaik pada umur sebelum masuk sekolah dasar. Bila
diberikan pada umur > 12 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu
 Vaksinasi influenza
Diberiikan pada umur > 6 bulan setiap tahun. Untuk imunisasi primer anak 6
bulan - < 9 tahun di berikan 2 kali dengan interval minimal 4 minggu.

DAFTAR PUSTAKA

Garna, herry, dkk. 2005. Pedoman diagnosis dan terapi. Bandung : UNPAD
Hegar, badriul. 2010. Pedoman pelayanan medis. Jakarta : IDAI.
Latief, abdul, dkk. 2009. Pelayanan kesehetan anak di rumah sakit standar WHO. Jakarta :
Depkes
Processes. Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C.2000. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah,Volume I.Jakarta :
EGC
Sastroasmoro, sudigdo, dkk. 2007. Panduan pelayanan medis dept. IKA. Jakarta : RSCM
Rahajoe, Nastini.N.2008.Buku Ajar Respirologi,Edisi 1.Jakarta : IDAI
Nelson .2000.Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15,Volume 2.Jakarta :EGC.

Anda mungkin juga menyukai