Anda di halaman 1dari 22

Referat

MANAJEMEN JALAN NAPAS

Oleh :

Asep Hukanda 1110311005

Pembimbing :

dr. Rinal Effendi, Sp.An

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI

RS Dr. M. DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2017

0
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manajemen jalan napas sering dibutuhkan karena inadekuatnya ventilasi.

Inadekuat ventilasi dapat terjadi karena lemahnya usaha bernapas atau adanya

obstruksi jalan napas.1 Inadekuat ventilasi akan menyebakan kurangnya

oksigenasi ke otak dan struktur-struktur vital lainnya. Jika hal ini dibiarkan akan

menyebakan kerusakan jaringan permanen bahkan kematian. Oleh sebab itu,

pencegahan hipoksemia dengan menjamin patensi jalan napas merupakan prioritas

utama pada setiap kondisi medis.2

Manajemen jalan napas sering kali disebabkan karena pasien tidak

sadarkan diri. Jalan napas pasien harus diamankan sebelum situasi menjadi kritis.

Keadaan ini menyebabkan jatuhnya lidah ke posterior faring. Intervensi yang

dapat dilakukan berupa manuver jalan napas, pemasangan alat bantu jalan napas,

bahkan pemasangan jalan napas definitif berupa intubasi atau krikotiroidotomi.3

Kemampuan dalam menilai patensi jalan napas, mempertahankan jalan

napas, dan memastikan adekuat ventilasi dan oksigenasi merupakan keterampilan

dasar yang harus dimiliki. Setiap tenaga kesehatan harus mengetahui tanda-tanda

obstruksi jalan napas dan mempunyai keterampilan untuk menjaga jalan napas.4

1.2 Batasan Masalah

Referat ini membahas tentang penyebab, tanda dan gejala obstruksi jalan

napas serta manajemen jalan napas.

1
1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini untuk menambah wawasan dan pemahaman

tentang manajemen jalan napas.

1.4 Metode Penulisan

Penulisan referat ini menggunakan metode tinjauan pustaka yang merujuk

pada berbagai literatur.

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyebab Obstruksi Jalan Napas

Penyebab obstruksi jalan napas antara lain:

a) Pasien tidak sadar

Pada keadaan pasien tidak sadar, obstruksi jalan napas dapat terjadi karena

prolaps lidah ke faring posterior dan hilangnya tonus otot palatum mole.

Pasien dengan GCS <8 juga dicurigai adanya obstruksi jalan napas.1

b) Trauma maksilofasial

Trauma maksilofasial biasanya terjadi pada sopir atau penumpang yang

tidak menggunakan sabuk pengaman sehingga terlempar ke dasbor mobil.

Trauma wajah akan menyebabkan fraktur atau dislokasi pada nasofaring

dan orofaring. Fraktur fasial berhubungan dengan perdarahan, peningkatan

sekresi dan patah gigi yang dapat menyebabkan masalah dalam patensi

jalan napas. Pasien yang menolak untuk berbaring mungkin mengalami

masalah dalam patensi jalan napas.2

c) Trauma leher

Trauma tembus ataupun tumpul pada leher dapat menyebabkan perdarahan

masif. Hal ini dapat menyebabkan obstruksi jalan napas. Penanganan

bedah diperlukan jika seandainya intubasi tidak bisa dilakukan. 2

3
d) Trauma laring

Walaupun fraktur laring jarang terjadi, namun hal ini dapat menyebabkan

obstruksi jalan napas akut. Trias fraktur laring sebagai berikut: 2

 Suara serak

 Emfisema subkutis

 Teraba fraktur

Selain itu, obstruksi dapat juga terjadi karena adanya benda asing.

2.2 Tanda dan Gejala Obstruksi Jalan Napas

Dalam asesmen dan manajemen pasien, jalan napas merupakan hal

pertama yang dinilai. Jalan napas kemungkinan aman jika pasien sadar dan dapat

berbicara dengan normal. Obstruksi jalan napas dapat dicurigai jika terdapat suara

napas yang berisik. Contohnya suara mendengkur atau kumur-kumur yang terjadi

saat jalan napas atas tersumbat parsial oleh jaringan lunak atau cairan (darah,

muntah). Sedangkan obstruksi jalan napas total akan menyebabkan suara napas

hilang, tetapi dapat dideteksi dengan adanya retraksi otot-otot aksesoris

pernapasan (suprasternal, supraklavikula, interkosta dan subkosta) atau sianosis

sampai terjadinya henti napas. Selain itu, pasien agitasi, hematoma luas atau

emfisema subkutan di leher, atau pasien dengan GCS <8 juga dicurigai adanya

obstruksi jalan napas.1,3

Suara napas digunakan untuk menilai tercukupinya ventilasi. Pulse

oximetry digunakan untuk menilai tercukupinya oksigenasi. Hipoksia dapat terjadi

akibat adanya gangguan jalan napas, kontusio paru, atau kerusakan neurologis

yang mengganggu kontrol napas, sehingga perlu intubasi.3

4
2.3 Manajemen Jalan Napas

Manajemen jalan napas terdiri dari manuver jalan napas, pemasangan alat

bantu jalan napas dan ventilasi serta jalan napas definitif.

a) Manuver jalan napas


Manuver jalan napas yang dapat dilakukan antara lain:
1. Head-tilt chin-lift
Head-tilt chin lift dilakukan jika kemungkinan cedera vertebra servikal

tidak ada. Leher pasien diekstensikan dan jalan napas dibuka. Kemudian

tangan penolong menekan dahi pasien, sedangkan ibu jari dan jari telunjuk

tangan yang lain mengangkat dagu pasien. Manuver ini akan mengangkat

lidah dari posterior faring.1


2. Jaw-thrust
Jaw-thrust dilakukan pada pasien dengna kemungkinan cedera servikal.

Manuver ini membuat lidah bergeser ke anterior saat madibula didorong

ke depan. Pasien dalam posisi tidur terlentang dan penolong berdiri sejajar

dengan kepala pasien didepan tempat tidur pasien. Kedua pangkal telapak

tangan penolong diletakkan pada daerah parieto-oksipital kepala pasien,

kemudian dorong ke anterior kedua angulus mandibula pasien. Manuver

jaw-thrust lebih aman dilakukan pada pasien dengan kemungkinan cedera

servikal karena leher pasien tidak diekstensikan. 1

Gambar 2.1 Manuver jalan napas5


3. Immobilisasi vertebra servikal

5
Stabilisasi leher harus dilakukan pada keadaan curiga cedera servikal. Jika

tidak dilakukan dapat meningkatkan kerusakan neurologi 7-10 kali lipat

pada pasien dengan trauma vertebra servikal. 1


Sebaiknya dilakukan in-line stabilization dibandingkan pemasangan collar

neck karena pemasangan collar neck akan menghambat aliran balik vena

sehingga makin membuat peningkatan tekanan intrakranial akibat

obstruksi parsial vena-vena leher. Jika seandainya masih digunakan collar

neck, maka bagian depannya sebaiknya dibuka agar bisa dilakukan

manajemen jalan napas.1


Pada pasien sadar, pembebasan obstruksi total jalan napas akibat benda

asing dilakukan dengan teknik chest thrust, back blow/slap, dan

abdominal thrust. Teknik tersebut dapat dikombinaasikan. Menurut

American Heart Association, abdominal thrust dilakukan untuk

penanganan pertama, namun jika belum berhasil dapat dilakukan chest

thrust. Kecuali pada pasien hamil langsung dilakukan chest thrust. Setelah

tindakan abdominal thrust harus dilakukan evaluasi, karena adanya

kemungkinan ruptur lambung saat melakukan manuver tersebut.1


b) Alat bantuan jalan napas
Setelah jalan napas bebas, patensi jalan napas dipertahankan dengan

memasang oropharyngeal airway atau nasopharyngeal airway. Keduanya

berguna untuk mencegah jatuhnya lidah sehingga menyumbat jalan napas.

Kemudian endotracheal tube harus segera dipasang sebagai jalan napas definitif. 1

Oropharyengeal airway (OPA)


OPA dipasang pada pasien yang tidak bisa mempertahankan patensi jalan

napas. Pada pasien sadar, pemasangan OPA akan merangsang muntah dan

aspirasi. OPA berguna untuk mempertahankan jalan napas antara mulut sampai

6
glotis. OPA memiliki pilihan ukuran. Panjang OPA yang dibutuhkan dapat

diperkirakan dengan jarak tepi sudut bibir ke angulus mandibula. 1


Saat pemasangan OPA penolong harus menghindari pendorongan lidah ke

posterior faring. Hal ini dapat dicegah dengan memasukkan OPA secara terbalik

dari posisi akhirnya, kemudian diputar 180 derajat saat ujungnya mencapai

posterior faring. Jika ada masalah ventilasi setelah insersi, OPA diangkat dan

dimasukkan lagi. Jika masalah ventilasi tetap ada, cek lagi ukuran OPA yang

digunakan (insersikan OPA yang lebih besar) atau insersikan nasopharyngeal

airway. 1
Komplikasi pemasangan OPA:
1. Obstruksi jalan napas akibat pendorongan lidah ke posterior faring.
2. Penggunaan ukuran yang tidak tepat. OPA yang terlalu kecil tidak efektif

untuk mempertahankan jalan napas, sedangkan ukuran yang terlalu besar

kan menekan epiglotis sehingga menyebabkan obstruksi laring.


3. Trauma lidah atau bibir (biasanya bibir bawah) akibat tertekan antara OPA

dan gigi.
4. Jika reflek muntah masih ada, akan merangsang muntah.
Nasopharyngeal airway (NPA)
NPA adalah tube dari karet atau plastik yang dimasukkan melalui hidung

sampai posterior faring. NPA lebih ditoleransi pasien dibandingkan OPA, sehingga

NPA dipakai saat tidak bisa penggunaan OPA seperti saat reflek muntah masih

ada. 1
Ukuran NPA berdasarkan diameter dalamnya. Semakin besar diameter

dalamnya, maka semakin panjang pula tubenya. Ukuran NPA yang digunakan

biasanya 7,0-8,0 cm. Pemilihan NPA sebaiknya berdasarkan panjangnya.

Perkiraan ukuran NPA yang diperlukan adalah jarak antara tepi hidung ke angulus

mandibula. 1
Sebelum dimasukkan, ujung NPA dilumasi dengan lumbikan atau jeli

anestesi. NPA dimasukkan sesuai dengan dasar kavum nasi sampai ke posterior

7
faring dibelakang lidah. Kita harus ingat bahwa dasar kavum nasi melereng 15

derajat ke kaudal. Tube dapat rotasikan sedikit jika terdapat tahanan saat insersi. 1
Komplikasi pemasangan NPA antara lain:
1. Jika NPA terlalu panjang, dapat masuk ke esofagus, dapat terjadi

peningkatkan distensi lambung,dan penurunan ventilasi.


2. Cedara mukosa hidung saat insersi. Hal ini terjadi pada 30% kasus dan

dapat menyebabkan aspirasi darah atau clotting.

Laryngeal mask airway (LMA)


LMA digunakan saat dibutuhkan alat bantu jalan napas, tetapi intubasi

tidak bisa atau tidak berhasil. LMA bukanlah jalan napas definitif karena tidak

bisa memproteksi jalan napas dari aspirasi.2


c) Bag-mask ventilation
Ventilasi menggunakan bag-mask sangat penting dalam manajemen jalan

napas. Saat ventilasi dilakukan harus selalu dimonitor apakah teknik yang

dilakukan sudah benar atau tidak. Penggunaan bag-mask yang benar akan

memberikan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat sehingga memberikan waktu

yang cukup bagi penolong untuk mempersiapkan jalan napas defenitif seperti

intubasi endotrakea.1 Keberhasilan penggunaan bag-mask bergantung pada tiga

hal, yakni:
1. Patensi jalan napas
2. Face-mask tidak bocor
3. Ventilasi yang tepat (tepat volume, frekuensi dan irama)

Pemasangan face-mask
Sebelum pemasangan face-mask, jalan napas harus dibuka menggunakan

manuver dan/atau alat bantu jalan napas seperti yang dijelaskan diatas. Setelah

jalan napas bebas, kemudian letakkan face-mask dengan benar diwajah pasien.

Tiga landmark yang harus ditutupi face-mask yakni batang hidung, kedua malar

eminence (processus zygomaticus maxillaris) dan daerah alveolar mandibula.1

8
Kesalahan yang dapat terjadi saat pemasangan face-mask:
1. Pergelangan tangan penolong atau tepi face-mask menekan mata pasien.

Hal ini dapat memicu refleks vagal atau merusak mata pasien.
2. Bag yang terlalu besar dan berat akan mempersulit pemasangan mask.

Gambar 2.2 Processus zygomaticus maxillaris6


Ada dua metode pemasangan face-mask, yakni:
1. Metode satu orang penolong
Ibu jari dan telunjuk tangan pertama memegang mask. Jangan menekan

mask karena akan menyebabkan kebocoroan. Tiga jari lainnya (jari tengah,

manis dan kelingking) diletakkan di mandibula untuk mengangkat

mandibula menggunakan manuver chin-lift sehingga jalan napas terbuka.

Atau jika memungkinkan, jari kelingking diletakkan di belakang angulus

mandibula dan dilakukan manuver jaw-thrust. Penolong hanya

mengangkat bagian tulang mandibula. Jangan menekan jaringan lunak

leher karena dapat menyumbat jalan napas. Tangan yang lain digunakan

untuk memegang bag.1

Gambar 2.3 Metode satu orang penolong

9
2. Metode dua orang penolong
Metode ini lebih efektif dibandingkan metode satu orang penolong.

Dengan metode ini, penolong pertama dengan kedua tangannya hanya

bertanggung jawab untuk memegang face-mask dan mempertahankan

jalan napas, sedangkan penolong kedua bertugas memegang bag.1


Ada dua cara memegang face-mask

Cara pertama sama dengan metode satu orang penolong, namun

menggunakan kedua tangan. Metode ini kurang nyaman untuk durasi

yang lama.1

Cara kedua yakni dengan menggunakan bagian thenar kedua telapak

tangan secara paralel untuk memfiksasi face-mask pada wajah pasien,

sedangkan ke-empat jari lainnya digunakan untuk melakukan manuver

chin-lift atau jaw-thrust. Teknik ini lebih mudah dan nyaman.1

Gambar 2.4 Metode dua penolong


Jika terdapat obstruksi saat dilakukan ventilasi atau dinding dada tidak naik,

kemungkinan ada masalah-masalah seperti: 1


1. Face-mask bocor, seperti pada pasien berjambang. Hal ini dapat diperbaiki

dengan mengoleskan jeli atau air ditepi face-mask, pasien yang memakai

gigi palsu dapat dimasukkan kembali gigi palsunya atau dimasukkan kassa

untuk memperluas pipinya.


2. Ukuran face-mask yang tidak tepat. Pastikan mulut dan alat bantu jalan

napas masuk kedalam mask.


3. Kebocoran alat bantu jalan napas (NPA atau OPA). Pastikan ukuran dan

posisi alat bantu jalan napas sudah tepat.

10
4. Inadekuat manuver jalan napas. Pastikan jaw-thrust dan manuver lainnya

sudah efektif untuk membuka jalan napas.


5. Kurangnya pengalaman penolong. Terutama dalam pemasangan face-

mask.

Ventilasi yang tepat (tepat volume, frekuensi dan irama)


Saat jalan napas sudah bebas dan face-mask terpasang dengan benar,

selanjutnya sambungkan face–mask ke bag dan mulailah lakukan ventilasi. Dalam

melakukan ventilasi, hindarilah tiga kesalahan berikut:1


1. Pemberian tidal volume yang terlalu tinggi
2. Memaksa udara masuk terlalu cepat
3. Ventilasi terlalu cepat
Dalam melakukan ventilasi, volume tidal yang dibutuhkan adalah sekedar

untuk menaikkan dinding dada (tidak lebih dari 8-10cc/kgBB). Bag tidak boleh

diremas terlalu kuat, melainkan diremas pelan dalam satu detik penuh. Teknik ini

akan menghasilkan volume tidal yang lebih kecil, sehingga akan mengurangi

kemungkinan terbukanya sfingter gastroesofagus yang dapat memicu naiknya isi

lambung. Frekuensi ventilasi cukup 10-12 kali per menit.1

d) Jalan napas definitif


Intubasi endotrakea
Indikasi pemasangan endotrakea adalah 1) untuk mengatasi sumbatan

jalan napas bagian atas, 2) membantu ventilasi, 3) memudahkan pengisapan sekret

dari traktus trakeo-bronkial, 4) mencegah aspirasi sekret yang ada di rongga mulut

atau yang berasal dari lambung.5


Ukuran tube endotrakea harus sesuai dengan ukuran trakea pasien dan

biasanya untuk orang dewasa digunakan yang diameter dalamnya 7-8,5 cm. Tube

endotrakea dimasukkan melaluai hidung atau mulut. Secara umum, pemasangan

endotrakea jangan melebihi 6 hari dan untuk selanjutnya sebaiknya dilakukan

11
trakeostomi. Komplikasi yang dapat ditimbulkan dapat berupa stenosis laring atau

trakea.7
Teknik intubasi endotrakea
Intubasi endotrakea merupakan tindakan lifesaving dan dapat dilakukan

dengan atau tanpa analgesia topikal dengan xylocain 10%. Posisi pasien tidur

terlentang, leher fleksi sedikit dan kepala ekstensi. Laringoskop dengan spatel

bengkok dipegang dengan tangan kiri dimasukkan melalui mulut sebelah kanan,

sehingga lidah terdorong ke kiri. Spatel diarahkan menelusuri pangkal lidah ke

valekula, lalu laringoskop diangkat ke atas, sehingga pita suara dapat terlihat.

Dengan tangan kanan tube endotrakea dimasukkan melalui celah antara kedua pita

suara ke dalam trakea. Tube juga bisa dimasukkan melalui salah satu lubang

hidung sampai rongga mulut dan dengan cunam Magill ujung tube dimasukkan ke

dalam celah antara kedua pita suara sampai ke trakea. Kemudian balon diisi udara

dan tube difiksasi.7

12
Gambar 2.5 Aksis intubasi orotrakea8
Jika menggunakan spatel laringoskop lurus, maka pasien tidur terlentang

dengan pundak diganjal bantal pasir agar kepala mudah diekstensikan maksimal.

Laringoskop dengan spatel lurus dipegang dengan tangan kiri dan dimasukkan

13
mengikuti dinding faring posterior dan epiglotis diangkat horizontal ke atas

sehingga laring dapat terlihat. Tube dimasukkan dengan tangan kanan melewati

celah antara kedua pita suara sampai ke trakea. Kemudian balon diisi udara dan

tube difiksasi.7

Ada beberapa tips dalam melakukan intubasi endotrakea, yaitu:8


1. Gunakan spatel terkecil yang bisa digunakan karena jika menggunakan

spatel yang terlalu besar akan lebih sulit mengangkat lidah.


2. Pada pasien obesitas ganjal kepala, leher dan bahu pasien sehingga posisi

telinga dan dada pasien berada pada satu garis lurus horizontal. Sedangkan

wajah pasien paralel dengan langit-langit ruangan.

14
Gambar 2.6 Posisi pasien obesitas8
Krikotirotomi
Krikotirotomi sama halnya dengan intubasi endotrakea merupakan

tindakan lifesaving dengan cara membelah membran krikotiroid.7


Teknik krikotirotomi
Pasien tidur terlentang dengan kepala ekstensi pada artikulasio atlanto-

oksipitalis. Puncak tulang rawan tiroid diidentifikasi dan difiksasi dengan jari

tangan kiri. Dengan telunjuk jari tangan kanan tulang rawan tiroid diraba ke

15
bawah sampai ditemukan tulang rawan krikoid. Membran krikotiroid terletak

diantara kedua tulang rawan ini. Daerah ini diinfiltrasi dengan anestetikum,

kemudian dibuat sayatan horizontal pada kulit. Jaringan di bawah sayatan

dipisahkan tepat pada garis tengah. Setelah tepi bawah kartilago tiroid terlihat,

tusukkan pisau dengan arah ke bawah. Kemudian, masukkan kanul bila tersedia.

Jika tidak, dapat dipakai pipa plastik untuk sementara.7

Gambar 2.7 Krikotirotomi9


Krikotirotomi merupakan kontraindikasi pada anak dibawah 12 tahun

karena tingginya risiko stenosis jalan napas dan tulang rawan krikoid lebih kecil

dibandingkan dewasa, demikian juga pada tumor laring yang sudah meluas ke

subglotik dan terdapat laringitis. Stenosis subglotik akan timbul bila kanul

dibiarkan terlalu lama karena kanul yang letaknya tinggi akan mengiritasi jaringan

disekitar subglotis, sehingga terbentuk jaringan granulasi dan sebaiknya segera

diganti dengan trakeostomi dalam waktu 48 jam. 3,7

16
2.4 Algoritma Manajemen Jalan Napas

17
Gambar 2.8 Algoritma manajemen jalan napas10

18
Gambar 2.9 Algoritma manajemen jalan napas sulit10
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

19
1. Penyebab obstruksi jalan napas terutama karena pasien tidak sadar,

sehingga menyebabkan prolaps lidah ke faring posterior. Penyebab lainnya

seperti trauma maksilofasial, trauma leher, trauma laring dan adanya benda

asing di jalan napas.


2. Tanda dan gejala obstruksi jalan napas berupa suara napas berisik seperti

mendengkur, kumur-kumur sampai retraksi otot-otot aksesoris pernapasan.

Selain itu, pasien agitasi, hematoma luas atau emfisema subkutan di leher,

atau pasien dengan GCS <8 juga dicurigai adanya obstruksi jalan napas.

Pulse oximetry sangat berguna untuk menilai tercukupinya oksigenasi.


3. Manajemen jalan napas mulai dari manuver jalan napas seperti head-tilt

chin-lift dan jaw thrust; pemasangan alat bantu jalan napas seperti

oropharyngeal airway, nasopharyngeal airway dan laryngeal mask

airway; bag-mask ventilation; sampai pemasangan jalan napas definitif

seperti intubasi endotrakea dan krikotirotomi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Barker T. Basic airway management in adults. 2008
2. American Collage of Surgeons: Advance Trauma Life Support. 2015
3. USMLE Step 2 CK Lecture Note 2017. New York. 2016
4. WHO. Guidelines for essential trauma care. Geneva. 2004
5. https://www.aic.cuhk.edu.hk/web8/Triple%20manoeuvre.htm
6. Zygomatic process of maxilla
http://www.wikiwand.com/en/Zygomatic_process_of_maxilla
7. Soepardi EA, Iskandar N, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala dan Leher Edisi 6. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2007.
8. How to master tracheal intubation
https://www.aclsmedicaltraining.com/blog/how-to-master-tracheal-intubation/
9. Frerk C, Mitchell VS, McNarry AF et all. Difficult airway society 2015
guidelines for management of unanticipated difficult intubation in adult.
British Journal of Anaesthesia, 115 (6): 827–48 (2015)

20
10. Ollerton JE. Adult Trauma Clinical Practice Guidelines, Emergency Airway
Management in the Trauma Patient, NSW Institute of Trauma and Injury
Management. 2007

21

Anda mungkin juga menyukai