Anda di halaman 1dari 4

Menapaki Daerah Tlogomas, Si Sumber Emas dengan Peradaban Tinggi

Adik saya selalu mengeluhkan jalan yang selalu ia lewati ketika menuju kampusnya beberapa waktu
terakhir ini. Selain macet, genangan air yang cukup tinggi ketika hujan melanda membuatnya sering
berkeluh kesah sepanjang perjalanan menuju kampus yang terkenal dengan sebutan kampus
putihnya itu. Kampus yang sejatinya terbelah diantara dua wilayah teritorial, Kabupaten Malang dan
Kota Malang ini adalah salah satu dari hasil peradaban manusia luar biasa yang tercatat dalam
sejarah. Memiliki ribuan mahasiswa dengan aneka latar belakang dan puluhan program studi pilihan,
kampus ini terbujur dengan indahnya di sebuah daerah yang menyimpan sejarah panjang dalam
peradaban bangsa Indonesia: Tlogomas.

Tlogomas merupakan sebuah daerah di pinggir barat Kota Malang yang menghubungan kota ini
dengan beberapa kota penting seperti Kota Kediri, Jombang, dan Kota Wisata Batu. Diantara hiruk
pikuk daerah yang menjadi salah satu ujung penggerak ekonomi di Kota Malang, banyak yang belum
tahu bahwa daerah ini adalah pusat suatu peradaban. Peradaban di daerah yang kini dikuasai koloni
mahasiswa tersebut bisa dikatakan cukup maju untuk ukuran zaman itu.

Nama Tlogomas berasal dari kata Tlogo dan Mas. “Tlogo” berarti telaga atau danau, sedangkan
“Mas” bisa berarti emas atau bisa diartikan sebagai sebuah daerah yang mengandung emas. Jika
menelisik namanya, akan timbul pertanyaan. Apakah benar Tlogomas menyimpan banyak
peninggalan emas? Apakah peninggalan emas ini mirip dengan legenda El Dorado?

Ternyata, kemunculan emas di Tlogomas bukanlah pepesan kosong. Dahulu, banyak berita yang
mengabarkan bahwa beberapa warga telah menemukan emas budho di sekitar Tlogomas. Tak hanya
penemuan emas, hingga tahun 1960an sebelum perkembangan Kota Malang lebih giat, banyak
kegiatan pendulangan emas dilakukan oleh warga di areal persawahan berair. Areal sawah ini
berada di sekitar Jalan Raya Tlogomas yang kini menjadi jalan poros provinsi. Kegiatan penambangan
emas berganti menjadi ritual menempatkan magnet di pematang sawah atau di selokan berjeram
kecil pada sekitar tahun 1980an. Magnet tersebut akan menarik butiran-butiran emas kecil. Kegiatan
yang dilakukan warga terutama ketika musim hujan tiba itu menjadi kegiatan yang jamak terjadi.
Nah, dari manakah emas itu berasal? Apakah tanah tempat itu mengandung emas? Lantas, mengapa
tak dilakukan penambangan emas dalam skala besar?

Ternyata, serbuk emas yang ditemukan oleh warga itu berasal dari peninggalan masa lampau.
Wilayah yang mereka huni masa kini adalah bekas permukiman ramai di suatu perkotaan kuno.
Perkotaan ini merupakan sebuah pusat pemerintahan yang disebut dengan Watak Kanuruhan
(beberapa sumber sejarah menyebutnya sebagai Kerajaan Kanjuruhan). Pusat pemerintahan ini
berdiri sekitar abad VIII. Berada diantara dua sungai besar yakni Sungai Brantas dan Sungai Metro
membuat permukiman ini cukup khas. Para ahli meyakini, permukiman kuno ini terbentang di suatu
daerah bekas genangan air yang cukup besar menyerupai telaga. Telaga tersebut merupakan sisa
dari Danau Purba Malang yang telah mengering. Masyarakat di permukiman kuno tersebut banyak
yang bekerja sebagai undagi (perajin emas) untuk dijadikan aneka macam perhiasan kerajaan dan
kebutuhan lainnya. Setelah berjalannya waktu berabad-abad, perhiasan-perhiasan tersebut aus dan
terurai menjadi serpihan-serpihan emas yang ditemukan warga.

Nah yang unik, permukiman kuno ini memiliki tata kelola air yang luar biasa pada zamannya. Jejak
teknologi ini terlihat dari banyaknya sungai kecil dan parit di sekitar permukiman Tlogomas
sekarang. Diantara rimbunnya kos-kosan dan kampus, jejak itu masih tersisa. Drainase dan irigasi
tersebut diyakini merupakan suatu kesatuan ekologis dari peradaban masa lampau. Peradaban
dengan bangunan tempat suci yang strategis untuk berbagai keperluan. Adanya tempat semacam ini
juga terdapat di daerah lain yang diapit oleh dua sungai besar seperti Candi Borobudur, Bedahulu
Bali, dan daerah Doab India dekat Sungai Gangga. Peradaban yang berada di daerah paleo-ekologi
tersebut bisa disebut dengan hydrolic society.

Jejak sejarah dari peninggalan drainase tersebut berupa saluran air pada permukaan tanah (weluran)
dan di bawah permukaan air (arung). Ujung terowongan tersebut terdapat di lereng Kali Brantas dan
Metro. Fungsi dari saluran air ini adalah menampung air hujan pada cekungan tanah sehingga dapat
dialirkan ke sungai. Jadi, genangan air akibat hujan deras yang turun tak akan terjadi. Tak hanya itu,
saluran air tersebut juga berfungsi sebagai saluran irigasi bagi sawah-sawah yang dialiri oleh aliran
dua sungai tersebut. Yang menarik, tak seperti arung pada daerah Tembalangan (baca kisahnya di
sini), arung pada daerah sekitar Tlogomas ini masih aktif hingga kini. Beberapa diantaranya menjadi
saluran drainase yang kini dikelola oleh Pemkot Malang. Salah satu arung yang cukup vital adalah
saluran di sebelah utara kompleks pertokoan DITAS (Dinoyo Tanah Agung Square). Saluran ini
mencakup beberapa saluran lain di sekitar Universitas Brawijaya dan Politeknik Negeri Malang.

Dari penemuan arung ini, banyak ahli menduga bahwa daerah Tlogomas mulai ramai dan
berkembang pesat saat watak Kanuruhan. Saat-saat ketika pengaruh Hindu-Buddha mulai tampak.
Namun, jika melihat beberapa peninggalan bersejarah yang ada, ternyata daerah ini sudah mulai
dihuni pada akhir zaman prasejarah. Bukti terkuatnya adalah temuan sebuah batu dan sarkofagus di
sebuah punden yang diberi nama Cungkup Watu Gong. Punden ini terletak tak jauh dari DAS Metro.
Keduanya termasuk artefak yang sangat khas dengan tradisi megalitikum. Selain kedua peninggalan
tadi, ditemukan pula sebuah batu gores di tepi Sungai Metro. Bentuk goresan batu tersebut ada
yang menyerupai huruf T dan ada juga yang berupa garis sejajar. Belum diketahui secara pasti fungsi
dari batu gores tersebut. Penemuan yang cukup fenomenal adalah pelandas tiang (umpak) dari batu
andesit menyerupai wanditra gong pada Cungkup Watu Gong tadi. Jejak tersebut diyakini berkenaan
dengan rumah berpanggung zaman prasejarah. Bangunan berpanggung merupakan arsitektur yang
sering ditemukan pada daerah yang rentan tergenang air. Genangan air akan tinggi saat musim
hujan dan menjadi kering saat musim kemarau. Konstruksi semacam ini ternyata sudah digunakan di
daerah Tlogomas sejak zaman prasejarah dan berlanjut hingga masa Hindu-Buddha.
Jejak sejarah Tlogomas pada masa Hindu Buddha ternyata juga cukup beragam. Beberapa artefak
yang merujuk daerah ini telah ditemukan. Diantara artefak tersebut adalah sebuah arca Ganesha,
dua buah fragmen arca dewata, batu pipisan, bata-bata lama, dan wadah air. Walaupun tak
diketemukan secara utuh, aneka artefak tersebut diduga merupakan bagian dari sebuah candi yang
berdiri di daerah watak Kanuruhan selain Candi Badut dan Candi Gasek (Candi Karang Besuki).
Apabila ditarik sebuah garis, rangkaian candi tersebut berada di lembah Sungai Metro yang
disucikan. Aliran di sepanjang sungai tersebut berbelok tajam membentuk huruf S yang sedemikian
rupa dengan pola meander. Keberadaan candi-candi tersebut menjadi bukti adanya kesinambungan
budaya dari zaman prasejarah hingga Hindu-Buddha.

Nama Tlogomas menjadi buah bibir pada abad XIII tatkala sebuah kampung di daerah itu tercantum
dalam Kitab Pararaton. Kampung tersebut bernama Karuman. Di dalam kampung tersebut, terkisah
seorang pria yang sangat gemar berjudi. Pria bernama Bango Samparan inilah yang mengadopsi
seorang anak bernama Ken Arok (Ken Angrok). Sang anak tersebut sering ia bawa ke meja perjudian.
Letak daerah Karuman yang sangat strategis menjadikannya salah satu pusat keramaian, termasuk
pula pusat perjudian. Bango Samparan selalu membawa Ken Arok saat bermain judi karena ia
menganggap anak tersebut sebagai pembawa berkah. Ken Arok yang merasa tabiat ayah angkat
keduanya tak baik lalu meninggalkan Karuman. Meski begitu, selepas berjaya, Ken Arok masih tak
lupa atas jasa Bango Samparan. Ia menetapkan desanya dulu sebagai tanah sima (tanah pardikan)
dengan bukti peninggalan batu silindris dan membangunkan sebuah candi dengan sisa sebuah arca
Durga Mahisasuramadhini. Arca ini berada dalam posisi duduk pamasana dengan bagian kepala
yang sudah pecah. Kisah Bango Samparan ini cukup menarik namun semakin dilupakan orang
terutama oleh warga Kota Malang. Tak hanya peninggalan arca, bukti tertulis tentang status
Karuman sebagai desa pardikan tercantum dalam Kitab Pararton. Petikan dari kitab tersebut
berbunyi :

“.............adapun mereka yang menaruh belas kasihan kepada Ken Angrok, dahulu sewaktu ia sedang
menderita, semua dipanggil, diberi perlindungan dan diberi balasan atas budi jasanya. Misalnya
Bangosamparan, tidak perlu dikatakan tentang kepala lingkungan Turyantapada, dan anak-anak
pandai besi di Lulumbang itu diberi hak istimewa dan dibebaskan dari kewajiban di dalam lingkungan
batas jejak bajak beliung cangkulnya....................”

Strategisnya posisi Karuman yang berada di Tlogomas ini membuat banyak peninggalan berupa batu-
batu bata yang diyakini sebagai bekas pemukiman kuno sering ditemukan warga. Tak hanya itu,
terdapat pula beberapa buah pancuran air (jalawadra) dari batu andesit. Pancuran ini konon
difungsikan sebagai sebagai pancuran air di sebuah petirtaan. Beberapa tinggalan abad XIII M
lainnya yang ditemukan adalah sebuah yoni besar di sekitar Universitas Tribhuwana Tunggaldewi
(Unitri), arca yang diduga rerutuhan candi di halaman SDN Tlogomas I, dan lumpang batu di dekat
Universitas Islam Malang (Unisma).
Dari hasil penemuan dan rekonstruksi sejarah tersebut, dapat dikatakan bahwa peradaban kuno di
Tlogomas telah memiliki kemajuan yang cukup tinggi. Selain penemuan emas yang merupakan bekas
koleksi logam mulia untuk perhiasan, aneka artefak juga mengindikasikan bahwa Tlogomas memiliki
sistem permukiman yang maju. Terlebih lagi, posisi Tlogomas yang menjadi penghubung dua
kerajaan penting, yakni Singosari dan Kediri membuat daerah itu menjadi ramai. Hingga kini,
Tlogomas menjadi salah satu urat nadi perekonomian Kota Malang. Sampai kapanpun, Tlogomas
tetap menjadi telaga yang menjadi sumber emas tempat untuk menggantungkan hidup banyak
orang. Harapan hidup bagi warga Malang dan juga pendatang. Menyisakan cerita pengelolaan tata
ruang luar biasa, kisah Tlogomas seharusnya dijadikan pelajaran untuk kehidupan masa kini.

*)Catatan : Mengenai nama Karuman ada beberapa sumber yang merujuk pada daerah Kecamatan
Garum Kabupaten Blitar. Tak hanya itu, kontroversi kisah Ken Arok pun juga masih sering terjadi.
Ada beberapa sumber juga yang menyebutkan bahwa Ken Arok bukanlah pembunuh Mpu Gandring.
Meski aneka kontoversi itu masih terjadi hingga kini, Ken Arok tetaplah menjadi kebanggan warga
Malang.

Anda mungkin juga menyukai