Anda di halaman 1dari 68

LAPORAN PENDAHULUAN

1.1 ST ELEVATION INFARK MIOCARD (STEMI)

1.1.1 DEFINISI

STEMI merupakan sindroma klinis yang ddidefinisikan dengan tanda

gejala dan karakteristik iskemi miokard dan berhubungan dengan persisten ST

elevasi dan pengeluaran biomarker dari nekrosis miokard.Cardiac troponin

merupakan biomarker yang digunakan untuk diagnosis infark miokard. (AHA,

2012).

Infark miokard adalah kematian jaringan miokard yang diakibatkan oleh

kerusakan aliran darah koroner miokard (Carpenito, 2012). Infark miocard akut

(IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung yang menyebabkan sel otot

jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah terhenti setelah terjadi sumbatan

koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari pembuluh darah di

sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak mendapat aliran

darah atau alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi

otot jantung, dikatakan mengalami infark (Guyton & Hall, 2011).

IMA diklasifikasikan berdasarkan EKG 12 lead dalam dua kategori, yaitu

ST-elevation infark miocard (STEMI) dan non ST-elevation infark miocard

(NSTEMI). STEMI merupakan oklusi total dari arteri koroner yang

menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan miokardium,

yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG. Sedangkan NSTEMI
merupakan oklusi sebagian dari arteri koroner tanpa melibatkan seluruh

ketebalan miokardium, sehingga tidak ada elevasi segmen ST pada EKG.

1.1.2 ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO

Infark miokard disebabkan oleh oklusi arteri koroner setelah terjadinya

rupture vulnerable atherosclerotic plaque. Pada sebagian besar kasus, terdapat

beberapa faktor presipitasi yang muncul sebelum terjadinya STEMI, antara lain

aktivitas fisik yang berlebihan, stress emosional, dan penyakit dalam lainnya.

Selain itu, terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya

IMA pada individu.Faktor-faktor resiko ini dibagi menjadi 2 (dua) bagian besar,

yaitu faktor resiko yang tidak dapat dirubah dan faktor resiko yang dapat dirubah.

a. Faktor yang tidak dapat dirubah :

1. Usia

Walaupun akumulasi plak atherosclerotic merupakan proses yang

progresif, biasanya tidak akan muncul manifestasi klinis sampai lesi

mencapai ambang kritis dan mulai menimbulkan kerusakan organ pada

usia menengah maupun usia lanjut. Oleh karena itu, pada usia antara 40

dan 60 tahun, insiden infark miokard pada pria meningkat lima kali lipat

(Kumar, et al., 2009).

2. Ras

Amerika-Afrika lebih rentan terhadap aterosklerosis daripada orang kulit

putih.
3. Jenis kelamin

Infark miokard jarang ditemukan pada wanita premenopause kecuali jika

terdapat diabetes, hiperlipidemia, dan hipertensi berat.Setelah menopause,

insiden penyakit yang berhubungan dengan atherosclerosis meningkat

bahkan lebih besar jika dibandingkan dengan pria.

4. Riwayat keluarga

Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner (saudara,

orang tua yang menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun)

meningkatkan kemungkinan timbulnya IMA.

b. Faktor resiko yang dapat dirubah :

1. Merokok

Merupakan faktor risiko pasti pada pria, dan konsumsi rokok mungkin

merupakan penyebab peningkatan insiden dan keparahan atherosclerosis

pada wanita (Kumar, et al., 2009). Efek rokok adalah menyebabkan beban

miokard bertambah karena rangsangan oleh katekolamin dan menurunnya

komsumsi O2 akibat inhalasi CO atau dengan perkataan lain dapat

menyebabkan takikardi, vasokonstrisi pembuluh darah, merubah

permeabilitas dinding pembuluh darah dan merubah 5-10 % Hb menjadi

carboksi -Hb. Disamping itu dapat menurunkan HDL kolesterol tetapi

mekanismenya belum jelas. Makin banyak jumlah rokok yang dihidap,

kadar HDL kolesterol makin menurun. Perempuan yang merokok

penurunan kadar HDL kolesterolnya lebih besar dibandingkan laki-laki

perokok. Merokok juga dapat meningkatkan tipe IV abnormal pada


diabetes disertai obesitas dan hipertensi, sehingga orang yan gmerokok

cenderung lebih mudah terjadi proses aterosklerosis dari pada yang bukan

perokok.

2. Hiperlipidemia

Merupakan peningkatan kolesterol dan/atau trigliserida serum di atas batas

normal. Peningkatan kadar kolesterol di atas 180 mg/dl akan meningkatkan

resiko penyakit arteri koronaria, dan peningkatan resiko ini akan lebih

cepat terjadi bila kadarnya melebihi 240 mg/dl. Peningkatan kolosterol

LDL dihubungkan dengan meningkatnya resiko penyakit arteri koronaria,

sedangkan kadar kolesterol HDL yang tinggi berperan sebagai faktor

pelindung terhadap penyakit ini.

3. Hipertensi

Merupakan faktor risiko mayor dari IMA, baik tekanan darah systole

maupun diastole memiliki peran penting. Hipertensi dapat meningkatkan

risiko ischemic heart disease (IHD) sekitar 60% dibandingkan dengan

individu normotensive. Tanpa perawatan, sekitar 50% pasien hipertensi

dapat meninggal karena gagal jantung kongestif, dan sepertiga lainnya

dapat meninggal karena stroke (Kumar, et al., 2009). Mekanisme hipertensi

berakibat IHD:

 Peningkatan tekanan darah merupakan beban yang berat untuk jantung,

sehingga menyebabkan hipertropi ventrikel kiri atau pembesaran

ventrikel kiri (faktor miokard). Keadaan ini tergantung dari berat dan

lamanya hipertensi.
 Tekanan darah yang tinggi dan menetap akan menimbulkan trauma

langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria, sehingga

memudahkan terjadinya arterosklerosis koroner (faktor koroner) Hal ini

menyebabkan angina pektoris, Insufisiensi koroner dan miokard infark

lebih sering didapatkan pada penderita hipertensi dibanding orang

normal.

4. Diabetes mellitus menginduksi hiperkolesterolemia dan juga meningkatkan

predisposisi atherosclerosis. Insiden infark miokard dua kali lebih tinggi

pada seseorang yang menderita diabetes daripada tidak. Juga terdapat

peningkatan risiko stroke pada seseorang yang menderita diabetes mellitus.

5. Gaya hidup monoton, berperan pada timbulnya penyakit jantung koroner.

6. Stres Psikologik, stres menyebabkan peningkatan katekolamin yang

bersifat aterogenik serta mempercepat terjadinya serangan.


1.1.3 PATOFISIOLOGI

Merokok, alcohol, hipertensi, lipid, congenital

kolesterol berlebih

Melekat pada dinding pembuluh darah

LDL menembus pembuluh darah melalui lapisan sel endotel

Masuk ke lapisan pembuluh darah lebih dalam (intina)

Menyempitkan pembuluh darah

LDL teroksidasi atau dirusak oleh radikal bebas

Mengubah monosit menjadi makrofag


LDL teroksidasi tahap 2

Mengubah makrofag menjadi sel busa

Sel busa berikatan membentuk gumpalan

Penyempitan lumen pembuhuh darah

Aliran darah tidak lancar


LDL teroksidasi

Timbul bercak lemak


Stimulasi
Nyeri Akut saraf Meningkatnya permeabilitas Plak halus

terhadap lipid ↓

Aktivasi faktor VII dan X


Defisit Perawatan Diri
Perub.
Metabolik aerob ↓ Deficit perawatan diri
 anaerob
Protrombin  thrombin ↑

Suplai O2 tidak Fibrinogen  fibrin Motivasi personal hygiene ↓


seimbang dg
permintaan O2

Rupture plak asAktivitas


Intoleransi

Thrombus ↑
↓ Kelemahan

Oklusi arteri koroner ↑

↑ Hipoksia

Aliran darah koroner ↑

menurun Penurunan aliran darah

Supply O2 ke jaringan Penurunan CO2 Kematian jaringan Gagal pompa ventrikel kiri

berkurang ↓ ↓

↓ Hipotensi Penurunan cardiac output

Kebutuhan O2 tidak ↓

tercukupi Syok

↓ ↓ Reflux ke paru-paru

Takipneu Penurunan kesadaran ↓ Gagal pompa ventrikel

↓ ↓ Alveoli edema kanan


Gangguan
Ketidakefektifan ResikoInjury
Resiko injury ↓
Pertukaran Gas
Pola Napas
Tekanan diastole meningkat
Metabolism anaerob ↓

↓ Bendungan atrium kanan

Distress Kultural Asam laktat meningkat ↓

↓ Terjadi malam hari Bendungan vena sistemik


Menganggap penyakit
tidak masuk akal
Nyeri terus menerus ↓ ↓
Gangguan Pola tidur
Informasi tidak adekuat (reseptor nyeri) Gangguan pola tidur Hepar

↓ ↓ ↓
Respon penyebab
penyakit salah
Salah terapi, salah persepsi Gang. Interaksi Hepatomegali
Sosial
↓ Ansietas
Ansietas ↓
Persepsi thdp
penyakit Mendesak diafragma
inadekuat Kurang Pengetahuan Gangguan Komunikasi
Verbal

Sesak nafas

Gagal pompa ventrikel kiri ↓

Ketidakefektifan
Ketidakefektifanpola
Pola Napas
nafas

Forward failure Backward failure


↓ ↓ Mendesak organ GIT

Suplai darah Suplai O2 otak ↓ Renal flow ↓ LVED naik ↓

jaringan ↓ ↓ ↓ ↓ Mual muntah

↓ Sinkop RAA ↑ Tek.vena pulmonalis ↑ ↓

Metabolism anaerob ↓ ↓ ↓ Ketidakseimbangan


nutrisi kurang dari
↓ Gangguan
Gangguan Aldosteron ↑ Tek.kapiler paru ↑ kebutuhan tubuh
Perfusi
Asidosis metabolic perfusi jarin
Jaringan ↓ ↓
Serebral
↓ ADH ↑ Edema paru Beban ventrikel kanan ↑

Penimbunan asam ↓ ↓ ↓
Kelebihan
Volume Cairan
laktat dan ATP ↓ Retensi Na + Ronchi basah Hipertrovi ventrikel kanan

↓ H2O ↓ ↓

Fatigue ↓ Iritasi mukosa paru Penyempitan lumen

↓ Kelebihan ↓ ventrikel kanan

Intoleransi
Intoleransi Gangguan Citra
volume c Reflek batuk ↓
Aktivitas Tubuh
aktivitas ↓
Ketidakefektifan
Penumpukan secret Bersihan Jalan Napas

Tidak dapat Edema Menghambat pertukaran O2

beribadah seperti ↓ dan CO2

Distresbiasa
Spiritual Perubahan ↓

bentuk Gangguan pertukaran


Gangguan Pertukaran Suplai O2 di sirkulasi ↓
Gas

Informasi dan dukungan


Kurang
Mobilisasi berkurang tidak adekuat Pengetahuan
Kurang pengetahuan

↓ ↓
Ansietas

Bedrest Sirkulasi O2 terganggu Nafsu makan ↓

↓ ↓

Dekubitus Intake kurang Imunitas tubuh ↓

↓ ↓ ↓
Disfungsi Seksual
ergitas kulit
Kerusakan Nutrisi kurang dari
Ketidakseimbangan Leukosit kurang ↓
Integritas Kulit nutrisi kurang dari
kebutuhantubuh
kebutuhan tubuh ↓ Tidak mau menerima
↓ Resiko Infeksi keadaan tubuh

Kesepian ↓

↓ ↓ Tidak patuh dalam

Albumin ↓ pengobatan
Stress Berlebihan
Perawatan intensif
↓ Invasi ↓
Bedrest
Kerusakan integritas
Kerusakan Integritas mikroorganisme
↓ Ketidakefektifan
Jaringan Pemeliharaan
Pembatasan immobilisasi jaringan (mudah masuk) Kesehatan
Hambatan Komunikasi
Verbal ↓

Infeksi

Hambatan Interaksi Hipertermi


Sosial
STEMI biasa terjadi ketika aliran darah koroner menurun secara tiba-tiba setelah

oklusi trombotik dari arteri koroner yang sebelumnya mengalami atherosclerosis.STEMI

terjadi ketika thrombus pada arteri koroner berkembang secara cepat pada tempat

terjadinya kerusakan vascular.Kerusakan ini difasilitasi oleh beberapa faktor, seperti

merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.Pada sebagian besar kasus, STEMI terjadi

ketika permukaan plak atherosclerotic mengalami ruptur sehingga komponen plak

tersebut terekspos dalam darah dan kondisi yang mendukung trombogenesis

(terbentuknya thrombus).Mural thrombus (thrombus yang menempel pada pembuluh

darah) terbentuk pada tempat rupturnya plak, dan terjadi oklusi pada arteri

koroner.Setelah platelet monolayer terbentuk pada tempat terjadinya ruptur plak,

beberapa agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) menyebabkan aktivasi

platelet.Setelah stimulasi agonis platelet, thromboxane A2 (vasokonstriktor local yang

kuat) dilepas dan terjadi aktivasi platelet lebih lanjut (Price, 2005).

Selain pembentukan thromboxane A2, aktivasi platelet oleh agonis meningkatkan

perubahan konformasi pada reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Ketika reseptor ini dikonversi

menjadi bentuk fungsionalnya, reseptor ini akan membentuk protein adhesive seperti

fibrinogen. Fibrinogen adalah molekul multivalent yang dapat berikatan dengan dua

plateet secara simultan, menghasilkan ikatan silang patelet dan agregasi.Kaskade

koagulasi mengalami aktivasi karena paparan faktor jaringan pada sel endotel yang

rusak, tepatnya pada area rupturnya plak.Aktivasi faktor VII dan X menyebabkan

konversi protrombin menjadi thrombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen

menjadi fibrin.Arteri koroner seringkali mengalami oklusi karena thrombus yang terdiri

dari agregat platelet dan benang-benang fibrin.


Pada sebagian kecil kasus, STEMI dapat terjadi karena emboli arteri koroner,

abnormalitas congenital, spasme koroner, dan berbagai penyakit sistemik, terutama

inflamasi. Besarnya kerusakan myocardial yang disebabkan oklusi koroner tergantung

pada :

a. daerah yang disuplai oleh pembuluh darah yang mengalami oklusi

b. apakah pembuluh darah mengalami oklusi total atau tidak

c. durasi oklusi koroner

d. kuantitas darah yang disuplai oleh pembuluh darah kolateral pada jaringan yang

terkena

e. kebutuhan oksigen pada miokardium yang suplai darahnya menurun secara tiba-tiba

f. faktor lain yang dapat melisiskan thrombus secara dini dan spontan

g. keadekuatan perfusi miokard pada zona infark ketika aliran pada arteri koroner

epikardial yang mengalami oklusi telah dikembalikan.

1.1.4 MANIFESTASI KLINIS

1. Keluhan Utama Klasik

a. Volume dan denyut nadi cepat, namun pada kasus infark miokard berat nadi

menjadi kecil dan lambat. Bradikardi dan aritmia juga sering dijumpai. Tekanan

darah menurun atau normal selama beberapa jam atau hari. Dalam waktu

beberapa minggu, tekanan darah kembali normal.

b. Nyeri

Nyeri merupakan manifestasi yang paling umum ditemukan pada pasien dengan

STEMI.Karakteristik nyeri yang dirasakan yaitu dalam dan visceral, yang biasa

dideskripsikan dengan nyeri terasa berat dan seperti diremas, seperti ditusuk, atau
seperti terbakar. Karakteristik nyeri pada STEMI hampir sama dengan pada

angina pectoris, namun biasanya terjadi pada saat istirahat, lebih berat, dan

berlangsung lebih lama. Nyeri biasa dirasakan pada bagian tengah dada dan/atau

epigastrium, dan menyebar ke daerah lengan.Penyebaran nyeri juga dapat terjadi

pada abdomen, punggung, rahang bawah, dan leher.Nyeri sering disertai dengan

kelemahan, berkeringat, nausea, muntah, dan ansietas (Fauci, 2009).

c. Dari auskultasi prekordium jantung, ditemukan suara jantung yang melemah.

Pulsasinya juga sulit dipalpasi. Pada infark daerah anterior, terdengar pulsasi

sistolik abnormal yang disebabkan oleh diskinesis otot-otot jantung. Penemuan

suara jantung tambahan (S3 dan S4), penurunan intensitas suara jantung dan

paradoxal splitting suara jantung S2 merupakan pertanda disfungsi ventrikel

jantung.

2. Temuan fisik

Sebagian besar pasien mengalami ansietas dan restless yang menunjukkan

ketidakmampuan untuk mengurangi rasa nyeri.Pallor yang berhubungan dengan

keluarnya keringat dan dingin pada ekstremitas juga sering ditemukan pada pasien

dengan STEMI.Nyeri dada substernal yang berlangsung selama >30 menit dan

diaphoresis menunjukkan terjadinya STEMI. Meskipun sebagian besar pasien

menunjukkan tekanan darah dan frekuensi nadi yang normal selama satu jam

pertama STEMI, sekitar 25% pasien dengan infark anterior memiliki manifestasi

hiperaktivitas sistem saraf simpatik (takikardia dan/atau hipertensi), dan 50%

pasien dengan infark inferior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardi

dan/atau hipotensi).
Impuls apical pada pasien dengan STEMI mungkin sulit untuk dipalpasi.

Tanda fisik dari disfungsi ventrikel lain antara adanya S3 dan S4, penurunan

intensitas bunyi jantung pertama, dan paradoxical splitting dari S2. Selain itu juga

sering terjadi penurunan volume pulsasi carotis, yang menunjukkan adanya

penurunan stroke volume. Peningkatan temperature tubuh di atas 380C mungkin

ditemukan selama satu minggu post STEMI.

1.1.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Nilai pemeriksaan laboratorium untuk mengkonfirmasi diagnosis STEMI dapat

dibagi menjadi 4, yaitu: ECG, serum cardiac biomarker, cardiac imaging, dan indeks

nonspesifik nekrosis jaringan dan inflamasi.

a. Electrocardiograf (ECG)

Adanya elevasi segmen ST pada sadapan tertentu

1. Lead II, III, aVF : Infark inferior

2. Lead V1-V3 : Infark anteroseptal

3. Lead V2-V4 : Infark anterior

4. Lead 1, aV L, V5-V6 : Infark anterolateral

5. Lead I, aVL : Infark high lateral

6. Lead I, aVL, V1-V6 : Infark anterolateral luas

7. Lead II, III, aVF, V5-V6 : Infark inferolateral

8. Adanya Q valve patologis pada sadapan tertentu


b. Serum Cardiac Biomarker

Beberapa protein tertentu, yang disebut biomarker kardiak, dilepas dari otot jantung

yang mengalami nekrosis setelah STEMI.Kecepatan pelepasan protein spesifik ini

berbeda-beda, tergantung pada lokasi intraseluler, berat molekul, dan aliran darah

dan limfatik local.Biomarker kardiak dapat dideteksi pada darah perifer ketika

kapasitas limfatik kardiak untuk membersihkan bagian interstisium dari zona infark

berlebihan sehingga ikut beredar bersama sirkulasi.

1. Cardiac Troponin (cTnT dan cTnI)

Cardiac-specific troponin T (cTnT) dan cardiac-specific troponin I (cTnI)

memiliki sekuens asam amino yang berbeda dari protein ini yang ada dalam

otot skeletal.Perbedaan tersebut memungkinkan dilakukannya quantitative

assay untuk cTnT dan cTnI dengan antibody monoclonal yang sangat

spesifik.Karena cTnT dan cTnI secara normal tidak terdeteksi dalam darah

individu normal tetapi meningkat setelah STEMI menjadi >20 kali lebih tinggi

dari nilai normal, pengukuran cTnT dan cTnI dapat dijadikan sebagai

pemeriksaan diagnostic.Kadar cTnT dan cTnI mungkin tetap meningkat selama

7-10 hari setelah STEMI.


2. CKMB (Creatine Kinase-MB isoenzym)

Creatinine phosphokinase (CK) meningkat dalam 4-8 jam dan umumnya

kembali normal setelah 48-72 jam.Pengukuran penurunan total CK pada

STEMI memiliki spesifisitas yang rendah, karena CK juga mungkin meningkat

pada penyakit otot skeletal, termasuk infark intramuscular.Pengukuran

isoenzim MB dari CK dinilai lebih spesifik untuk STEMI karena isoenzim MB

tidak terdapat dalam jumlah yang signifikan pada jaringan ekstrakardiak.

Namun pada miokarditis, pembedahan kardiak mungkin didapatkan

peningkatan kadar isoenzim MB dalam serum.

3
4
0
2
10

Waktu Puncak Waktu Nilai Rujukan


Waktu Awal
Marker Peningkatan Kembali
Peningkatan (jam)
(jam) Normal

CK 4–8 12 – 24 72 – 96 jam

CK-MB 4–8 12 – 24 48 – 72 jam 10-13 units/L

Mioglobin 2–4 4–9 < 24 jam < 110 ng/mL


LDH 10 – 12 48 – 72 7 – 10 hari

Troponin I 4–6 12 – 24 3 – 10 hari < 1,5 ng/mL

Troponin T 4–6 12 – 48 7 – 10 hari < 0,1 ng/mL

Tabel 1. Cardiac marker pada Miokard Infark

Klasifikasi Killip

Terdapat beberapa sistem dalam menentukan prognosis pasca IMA. Prognosis IMA

dengan melihat derajat disfungsi ventrikel kiri secara klinis dinilai menggunakan klasifikasi

Killip:

Tabel 2. Klasifikasi Killip Pada IMA

Mortalitas
Kelas Definisi Proporsi pasien
(%)

I Tidak ada tanda gagal jantung kongestif 40-50% 6

Heart falure. Kriteria diagnosis disertai

adanya S3 gallop dan/atauronkibasah


II 30-40% 17
(rales) di basal paru dan hipertensi

pulmonal

Severe Heart Failure. Edema paru akut


III 10-15% 30-40
(ALO)

IV Syok kardiogenik 5-10% 60-80


c. Cardiac Imaging

1) Echocardiography (ECG)

Abnormalitas pergerakan dinding pada two-dimentional echocardiography

hampir selalu ditemukan pada pasien STEMI. Walaupun STEMI akut tidak

dapat dibedakan dari scar miokardial sebelumnya atau dari iskemia berat akut

dengan echocardiography, prosedur ini masih digunakan karena keamanannya.

Ketika tidak terdapat ECG untuk metode diagnostic STEMI, deteksi awal maka

nada atau tidaknya abnormalitas pergerakan dinding dengan echocardiography

dapat digunakan untuk mengambil keputusan, seperti apakah pasien harus

mendapatkan terapi reperfusi.

Estimasi echocardiographic untuk fungsi ventrikel kiri sangat berguna dalam

segi prognosis, deteksi penurunan fungsi ventrikel kiri menunjukkan indikasi

terapi dengan inhibitor RAAS.Echocardiography juga dapat mengidentifikasi

infark pada ventrikel kanan, aneurisma ventrikuler, efusi pericardial, dan

thrombus pada ventrikel kiri.Selain itu, Doppler echocardiography juga dapat

mendeteksi dan kuantifikasi VSD dan regurgitasi mitral, dua komplikasi

STEMI.

Gelombang Q dengan ST elevasi yang signifikan menunjukkan keakutan.

Gambar 1. Gambaran EKG STEMI

Angiografi
Tes diagnostik invasif dengan memasukan katerterisasi jantung yang

memungkinkan visualisasi langsung terhadap arteri koroner besar dan

pengukuran langsung terhadap ventrikel kiri.

Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri koroner yang terlibat

(culprit) digambarkan dengan skala kualitatif sederhana disebut thrombolysis in

myocardial infarction (TIMI) grading system:

 Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang

terkena infark.

 Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik

obstruksi tetapi tanpa perfusi vascular distal.

 Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke

bagian distal tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan arteri

normal.

 Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark

dengan aliran normal.

1.1.6 PENATALAKSANAAN

1. Pre Hospital

Tatalaksana pra-rumah sakit.Prognosis STEMI sebagian besar tergantung

adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu komplikasi elektrikal (aritmia) dan

komplikasi mekanik (pump failure). Sebagian besar kematian di luar RS pada

STEMI disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar

terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada
jam pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana pra-RS pada pasien yang

dicurigai STEMI :

1. Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis

2. Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan

resusitasi

3. Transportasi pasien ke RS yang memiliki fasilitas ICCU/ICU serta staf medis

dokter dan perawat yang terlatih

4. Terapi REPERFUSI

Tatalaksana di IGD. Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai

STEMI mencakup mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat

pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera, triase pasien risiko

rendah ke ruangan yang tepat di RS dan menghindari pemulangan cepat

pasien dengan STEMI.

2. Hospital

 Aktivitas

Faktor-faktor yang meningkatkan kerja jantung selama masa-masa awal infark

dapat meningkatkan ukuran infark. Oleh karena itu, pasien dengan STEMI

harus tetap berada pada tempat tidur selama 12 jam pertama. Kemudian, jika

tidak terdapat komplikasi, pasien harus didukung untuk untuk melanjutkan

postur tegak dengan menggantung kaki mereka ke sisi tempat tidur dan duduk

di kursi dalam 24 jam pertama. Latihan ini bermanfaat secara psikologis dan

biasanya menurunkan tekanan kapiler paru. Jika tidak terdapat hipotensi dan

komplikasi lain, pasien dapat berjalan-jalan di ruangan dengan durasi dan


frekuensi yang ditingkatkan secara bertahap pada hari kedua atau ketiga. Pada

hari ketiga, pasien harus sudah dapat berjalan 185 m minimal tiga kali sehari.

 Diet

Karena adanya risiko emesis dan aspirasi segera setelah STEMI, pasien hanya

diberikan air peroral atau tidak diberikan apapun pada 4-12 jam

pertama.Asupan nutrisi yang diberikan harus mengandung kolesterol ± 300

mg/hari.Kompleks karbohidrat harus mencapai 50-55% dari kalori total.Diet

yang diberikan harus tinggi kalium, magnesium, dan serat tetapi rendah

natrium.
 Bowel

Bedrest dan efek narkotik yang digunakan untuk menghilangkan nyeri

seringkali menyebabkan konstipasi. Laksatif dapat diberikan jika pasien

mengalami konstipasI

3. Farmakoterapi

a. Nitrogliserin (NTG)

Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg

dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain

mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen

dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard

dengan cara dilatasi pembuluh darah koroner yang terkena infark atau

pembuluh darah kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung, dapat diberikan

NTG intravena.NTG IV juga dapat diberikan untuk mengendalikan hipertensi

dan edema paru.Terapi nitrat harus dihindarkan pada pasien dengan tensi

sistolik <90 mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel

kanan.

b. Morfin

Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan

dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4

mg dan dapat diulangi dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg.

Efek samping yang perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi

vena dan arteriolar melalui penurunan, sehingga terjadi pooling vena yang

akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Morfin juga dapat
menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok

jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek ini

biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropine 0,5 mg IV.

c. Aspirin

Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan

efektif pada spektrum SKA. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang

dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin

bukkal dengan dosis 160-325 mg di UGD. Selanjutnya aspirin diberikan oral

dengan dosis 75-162 mg.

d. Beta-adrenoreceptor blocker

Pemberian beta blocker intravena secara akut dapat memperbaiki hubungan

supply-demand oksigen, menurunkan nyeri, menurunkan ukuran infark, dan

menurunkan insiden ventricular aritmia (Smeltzer, 2010).

4. Terapi reperfusi

Terapi reperfusi yaitu menjamin aliran darah koroner kembali menjadi

lancar. Reperfusi ada 2 macam yaitu berupa tindakan kateterisasi (PCI) yang

berupa tindakan invasive (semi-bedah) dan terapi dengan obat melalui jalur infuse

(agen fibrinolitik).

Sasaran terapi perfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau

medical contact-to-needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai

dalam 30 menit atau door-to-ballon) time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit.

Tujuan manajemen medis dicapai dengan reperfusi melalui penggunaan obat

trombolitik atau PTCA (percutaneous transluminal coronary angioplasty). PTCA


dapat dikenal juga sebagai PCI (percutaneous cardiac intervention). PCI

(Percutaneous Cardiac Intervention) primer: metode reperfusi yang

direkomendasikan untuk dilakukan dengan cara yang tepat waktu oleh tenaga ahli

berpengalaman. Dilakukan pada klien dengan STEMI dan gejala iskemik pada

waktu kurang dari 12 jam. PCI dilakukan untuk membuka hambatan pada arteri

koroner dan menunjang reperfusi pada area yang kekurangan oksigen. Biasanya

dilakukan dengan menggunakan balon/ stent/ ring.

Gambar. Pemasangan PCTA atau PCI

Beberapa hal baru dipertimbangkan dalam seleksi jenis terapi reperfusi antara lain:

1. Waktu onset gejala

 Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan predictor

penting luas infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolisis

dalam menghancurkan thrombus sangat tergantung dengan waktu.

Terapi fibrinolisis yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama dalam

jam pertama) terkadang menghentikan infark miokard dan secara

dramatis menurunkan angka kematian.


 Sebaliknya, kemampuan memperbaiki arteri yang mengalami infark

menjadi paten, kurang banyak tergantung pada lama gejala pasien yang

menjalani PCI. Beberapa laporan menunjukkan tidak ada pengaruh

keterlambatan waktu terhadap laju mortalitas jika PCI dikerjakan

setelah 2 sampai 3 jam setelah gejala.

 The Task Force on the Management of Acute Myocardial Infraction of

the European Society of Cardiology dan ACC/AHA merekomendasikan

target medical contact-to-balloon atau door-tto-balloon time dalam

waktu 90 menit.

2. Risiko STEMI

Beberapa model telah dikembangkan yang membantu dokter dalam menilai

risiko mortalitas pada pasien STEMI. JIka estimasi mortalitas dengan

fibrinolisis sangat tinggi, seperti pada pasien renjatan kardiogenik, bukti klinis

menunjukkan strategi PCI lebih baik.

3. Risiko Perdarahan

Penilaian terapi reperfusi juga melibatkan risiko perdarahan pada pasien.

Jika terapii reperfusi bersama-sama tersedia PCI dan fibrinolisis, semakin tinggi

risiko perdarahan dengan terapi fibrinolisis, semakin kuat keputusan untuk

memilih PCI. Jika PCI tidak tersedia, manfaat terapi reperfusi farmakologis

harus mempertimbangkan mafaat dan risiko.


4. Waktu yang Dibutuhkan untuk Transport ke Laboratorium PCI

Adanya fasilitas kardiologi Intervensi merupakan penentu utama apakah PCI

dapat dikerjakan. Untuk fasilitas yang dapat mengerjakan PCI, penelitian

menunjukkan PCI lebih superior dari reperfusi farmakologis.

Tabel 3. Risk Score Untuk Infark Miokard dengan Elevasi ST (STEMI)

ALOGARITMA PENATALAKSANAAN STEMI


1.1.7 KOMPLIKASI

a. Disfungsi ventrikel

Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan bentuk, ukuran, dan ketebalan

baik pada segmen yang infark maupun non infark. Proses ini dinamakan

remodeling ventricular.Secara akut, hal ini terjadi karena ekspansi infark, disrupsi

sel-sel miokardial yang normal, dan kehilangan jaringan pada zona

nekrotik.Pembesaran yang terjadi berhubungan dengan ukuran dan lokasi infark.

b. Gagal pemompaan (pump failure)

Merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit pada STEMI.Perluasaan

nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal pompa dan

mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya.Tanda klinis yang

sering dijumpai adalah ronkhi basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4

gallop.Pada pemeriksaan rontgen dijumpai kongesti paru.

c. Aritmia

Insiden aritmia setelah STEMI meningkat pada pasien setelah gejala

awal.Mekanisme yang berperan dalam aritmia karena infark meliputi

ketidakseimbangan sistem saraf otonom, ketidakseimbangan elektrolit, iskemia,

dan konduksi yang lambat pada zona iskemik.

d. Gagal jantung kongestif

Hal ini terjadi karena kongesti sirkulasi akibat disfungsi miokardium.Disfungsi

ventrikel kiri atau gagal jantung kiri menimbulkan kongesti vena pulmonalis,

sedangkan disfungsi ventrikel kanan atau gagal jantung kanan mengakibatkan

kongesti vena sistemik.


e. Syok kardiogenik

Diakibatkan oleh disfungsi ventrikel kiri sesudah mengalami infark yang massif,

biasanya mengenai lebih dari 40% ventrikel kiri.Timbul lingkaran setan akibat

perubahan hemodinamik progresif hebat yang ireversibel dengan manifestasi

seperti penurunan perfusi perifer, penurunan perfusi koroner, peningkatan kongesti

paru-paru, hipotensi, asidosis metabolic, dan hipoksemia yang selanjutnya makin

menekan fungsi miokardium.

f. Edema paru akut

Edema paru adalah timbunan cairan abnormal dalam paru, baik di rongga

interstisial maupun dalam alveoli.Edema paru merupakan tanda adanya kongesti

paru tingkat lanjut, di mana cairan mengalami kebocoran melalui dinding kapiler,

merembes keluar, dan menimbulkan dispnea yang sangat berat.Kongesti paru

terjadi jika dasar vascular paru menerima darah yang berlebihan dari ventrikel

kanan yang tidak mampu diakomodasi dan diambil oleh jantung kiri.Oleh karena

adanya timbunan cairan, paru menjadi kaku dan tidak dapat mengembang serta

udara tidak dapat masuk, akibatnya terjadi hipoksia berat.

g. Disfungsi otot papilaris

Disfungsi iskemik atau ruptur nekrotik otot papilaris akan mengganggu fungsi

katup mitralis, sehingga memungkinkan eversi daun katup ke dalam atrium selama

sistolik. Inkompetensi katup mengakibatkan aliran retrograde dari ventrikel kiri ke

dalam atrium kiri dengan dua akibat yaitu pengurangan aliran ke aorta dan

peningkatan kongesti pada atrium kiri dan vena pulmonalis.


h. Defek septum ventrikel

Nekrosis septum interventrikular dapat menyebabkan rupture dinding septum

sehingga terjadi defek septum ventrikel.

i. Rupture jantung

Rupture dinding ventrikel yang bebas dapat terjadi pada awal perjalanan infark

selama fase pembuangan jaringan nekrotik sebelum pembentukan parut. Dinding

nekrotik yang tipis pecah, sehingga terjadi peradarahan massif ke dalam kantong

pericardium yang relative tidak elastic dapat berkembang.Kantong pericardium

yang terisi oleh darah menekan jantung, sehingga menimbulkan tamponade

jantung. Tamponade jantung ini akan mengurangi aliran balik vena dan curah

jantung.

j. Aneurisma ventrikel

Aneurisma ini biasanya terjadi pada permukaan anterior atau apeks jantung.

Aneurisma ventrikel akan mengembang bagaikan balon pada setiap sistolik dan

teregang secara pasif oleh sebagian curah sekuncup.

k. Tromboembolisme

Nekrosis endotel ventrikel akan membuat permukaan endotel menjadi kasar yang

merupakan predisposisi pembentukan thrombus. Pecahan thrombus mural

intrakardium dapat terlepas dan terjadi embolisasi sistemik.

l. Perikarditis

Infark transmural membuat lapisan epikardium langsung berkontak dan menjadi

kasar, sehingga merangsang permukaan pericardium dan menimbulkan reaksi

peradangan.
2.1 PERCUTANEOUS CORONARY INTERVENTION (PCI)/INTERVENSI

KORONER PERKUTAN (IKP)

2.1.1 DEFINISI

IKP adalah suatu teknik untuk menghilangkan trombus dan melebarkan

pembuluh darah koroner yang menyempit dengan memakai kateter balon dan

seringkali dilakukan pemasangan stent. Tindakan ini dapat menghilangkan

penyumbatan dengan segera, sehingga aliran darah dapat menjadi normal kembali,

sehingga kerusakan otot jantung dapat dihindari (Majid, 2009).

Prosedur intervensi koroner diukur dari keberhasilan dan komplikasi yang

dihubungkan dengan mekanisme alat-alat yang digunakan dan juga memperhatikan

klinis dan faktor anatomi pasien (AHA, 2012).

2.1.2 PROSEDUR

Persiapan pasien yang akan dilakukan pemasangan cincin atau balon jantung.

Persiapan-persiapan yang dilakukan sebelum tindakan PCI Jantung yaitu :

a. Pemeriksaan laboratorium darah

b. Pemeriksaan EKG.

c. Uji latih beban (Treadmill).

d. Foto dada ( Rontgen Dada .)

e. Puasa makan 4 - 6 jam sebelum tindakan, minum obat seperti biasa.

f. Mendapat penjelasan tentang prosedur tindakan.

g. Diminta untuk menandatangi persetujuan tindakan (inform consent).

h. Dicukur pada daerah mana kateter akan dimasukkan.

i. Dipasang infus di lengan / tungkai kiri.


j. Minum Obat Platelet sesuai terapi dokter.

Perawatan pasien PCI PTCA Kateterisasi adalah sebagai berikut :

a. Pasien diperbolehkan makan atau minum.

b. Kaki area tindakan tidak boleh ditekuk selama 12 jam.

c. Apabila tindakan dari lengan, 4 jam setelah tindakan tangan tidak boleh

ditekuk atau untuk mengenggam.

d. Dirawat di ruang ICCU selama 1 hari untuk pengawasan.

e. Bila tidak ada komplikasi atau kelainan lainnya, pada keesokan harinya

bisa diperbolehkan pulang.Jadi tindakan ini biasanya hanya 3 hari.Hari

pertama masuk dan cek laborat lengkap, hari kedua tindakan dan hari

ketiganya boleh diperbolahkan pulang.

Adapun prosedur melakukan tindakan IKP terdiri dari beberapa langkah.

a. Pertama melakukan akses perkutan. Dalam proses ini arteri femoralis

harus diidentifikasi lebih dahulu (atau yang lebih jarang bisa

menggunakan arteri radialis atau arteri brachialis pada lengan) dengan

menggunakan suatu alat yang disebut jarum pembuka. (Eileen, 2009)

b. Setelah jarum sudah masuk, sheath introducer diletakkan pada jalan

pembuka untuk mempertahankan arteri tetap terbuka dan mengontrol

perdarahan. Melalui sheath introducer ini, guiding catheter dimasukkan.

Ujung guiding catheter ditempatkan pada ujung arteri koroner. Dengan

guiding catheter, penanda radiopak diinjeksikan ke arteri koroner, hingga

kondisi dan lokasi kelainan dapat diketahui.


c. Selama visualisasi sinar X , ahli jantung memperkirakan ukuran arteri

koroner dan memilih ukuran balon kateter serta guide wire coronary yang

sesuai. Guiding wire coronary adalah sebuah selang yang sangat tipis

dengan ujung radio opak yang fleksibel yang kemudian dimasukkan

melalui guiding cathether mencapai arteri koroner. Dengan visualisasi

langsung, ahli jantung memandu kabel mencapai tempat terjadinya

blokade . Ujung kabel kemudian dilewatkan menembus blokade.

d. Setelah kabel berhasil melewati stenosis, balon kateter dilekatkan

dibelakang kabel. Angioplasti kateter kemudian didorong kedepan sampai

balon berada di dalam blokade. Kemudian baru balon balon

dikembangkan dan balon akan mengkompresi atheromatous plak dan

menekan arteri sehingga mengembang. Jika stent ada pada balon, maka

stent diimplantkan atau ditinggalkan pada tubuh untuk mendukung arteri

dari dalam agar tetap mengembang.

IKP seharusnya dilakukan oleh orang berpengalaman, dari

operator dan institusi tinggi. Dalam melaksanakan tindakan ini tidak

diperlukan anastesi, walaupun pasien dikasi obat pereda nyeri/sedatif.

Pasien biasanya boleh bergerak beberapa jam selepas tindakan, dan

pulang pada hari yang sama atau besoknya. (AHA, 2012).

Setelah tindakan IKP dilakukan, pasien diberi obat

antitrombolisis. Semua pasien harus mengambil aspirin tanpa batas waktu

(sebagai pencegahan sekunder dari CVD). Dual terapi antitrombosis

diperlukan untuk pasien dengan stent koroner untuk mengurangi risiko


trombosis stent: Hal ini biasanya terjadi aspirin dan clopidogrel. Lamanya

pengobatan clopidogrel tergantung pada penetapan klinik

(Grossman,2008).

Jika operasi diperlukan, maka harus dipertimbangkan apakah

antitrombolisis boleh diteruskan. Setelah itu diperlukan konsul dengan

ahli kardiologi berhubungan dengan risiko penghentian obat-obatan dan

segala yang diperlukan. Penggunaan proton-pump inhibitor bersamaan

dengan clopidogrel (untuk mencegah pendarahan gastrik) adalah

kontroversial, setelah bukti-bukti menunjukkan bahwa PPI dapat

memperburuk hasil dan bahwa dua obat dapat berinteraksi.

Dalam melakukan tindakan IKP dapat dilakukan pemasangan

stent bersalut obat atau sering disebut Drug-Eluting Stent (DES). Pada

prinsipnya DES merupakan stent bersalut obat. Obat yang dipakai harus

mempunyai efek antiploriferatif dan antiinflamasi sehingga dapat

menekan hiperflasia neointima. Dengan demikian secara teoritis, obat

yang potensial toksik bila diberikan secara sistemik dapat diberi secara

lokal dalam konsentrasi yang amat kecil, tetapi efektif dan lebih aman.

Supaya obat dapat menempel pada stent diperlukan polimer. Polimer

berfungsi sebagai pengangkut obat dan setelah stent dipasang obat akan

mengalami difusi secara perlahan masuk ke dinding pembuluh (Sudoyo,

2009).

Stent koroner merupakan benda asing bagi tubuh yang dapat

menimbulkan adhesi platelet dan mengaktivasi kaskade koagulasi.


Implantasi dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan trauma pada

pembuluh darah (Hasse, 2010)

Hasil jangka panjang tergantung dari reaksi tubuh terhadap

polimer dan obat dan juga terhadap stent itu sendiri. Penyelidikan-

penyelidikan terdahulu dengan stent bersalut emas, juga dengan QuaDS

stent, aktinomisin, dan batimastat, ternyata gagal karena DES ini lebih

menyebabkan reaksi ploriferasi, peradangan atau lebih trombogenik

daripada stent biasa.

Selain DES, cutting balloon juga merupakan tindakan pada

intervensi coroner. Cutting balloon adalah balon yang mempunyai 3

sampai 4 pisau pemotong yang ditempel secara longitudinal pada balon.

Dengan demikian bila dikembangkan, maka plak akan mengalami insisi

longitudinal dan diharapkan akan terjadi redistribusi plak yang lebih baik

pada dilatasi dengan tekanan yang lebih rendah dibandingkan angioplasti

balon biasa. Pada beberapa penelitian menyebutkan bahwa penggunaan

cutting balloon mungkin dapat dipakai untuk terapi instent restenosis

(Sudoyo, 2009)

Saat melakukan tindakan IKP, Intravascular Ultrasound

merupakan bagian yang terpisahkan dari penelitian-penelitian mengenai

Drug Eluting Stent. Penggunaan IVUS dapat menentukan lokasi yang

tepat serta ekspansi stent yang optimal terhadap seluruh pembuluh

endotel pada waktu IKP (Jeremias, 2009).


Indikasi pemeriksaan IVUS sewaktu DES adalah pada

kelompok pasien berisiko tinggi yaitu :

 gagal ginjal

 tidak dapat menggunakan pengobatan antiplatelet ganda

 diabetes mellitus

 fungsi ventrikel kiri jelek

 kelompok lesi risiko tinggi yakni, penyakit cabang utama kiri (left

main), percabangan (bifurkasi), lesi ostial , pembuluh darah.

SKEMA IKP

2.1.3 INDIKASI IKP

ACC/AHA mengklasifikasikan indikasi untuk dilakukannya tindakan PCI

sebagai berikut :

a. Kelas I : kondisi dimana terdapat bukti dan atau kesepakatan yang mengatakan

bahwa tindakan tersebut bermanfaat dan efektif dilakukan.


b. Kelas II : kondisi dimana terdapat perbedaan pendapat tentang kegunaan dan

efikasi tindakan tersebut.

c. Kelas IIa: bukti atau pendapat mengatakan bahwa penelitian ini bermanfaat

d. Kelas IIb: manfaat tersebut kurang didukung oleh bukti ataupun pendapat.

e. Kelas III: kondisi dimana terdapat bukti dan atau kesepakatan yang mengatakan

bahwa prosedur tersebut tidak bermanfaat dan tidak efektif, serta pada beberapa

kasus bias menjadi sangat berbahaya (AHA, 2012).

Adapun indikasi dlakukannya IKP adalah sebagai berikut

a. Sindroma koroner akut tanpa peningkatan segmen ST (NSTEMI)

Diagnosis Non STEMI ditegakkan jika terdapat angina dan tidak disertai

dengan elevasi segmen ST yang persisten. Gambaran EKG pasien Non STEMI

beragam, bisa berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T

yang datar atau pseudo-normalization, atau tanpa perubahan EKG saat presentasi.

Untuk menegakkan diagnosis Non STEMI, perlu dijumpai depresi segmen ST ≥

0,5 mm di V1-V3 dan ≥ 1 mm di sandapan lainnya. Selain itu dapat juga

dijumpai elevasi segmen ST tidak persisten (<20 menit), dengan amplitudo lebih

rendah dari elevasi segmen ST pada STEMI. Inversi gelombang T yang simetris

≥ 2 mm semakin memperkuat dugaan Non STEMI (Jeremias, 2009) . Pada

NSTEMI dan angina pectoris stabil tindakan PCI bertujuan untuk mengurangi

morbiditas dan mortalitas coroner.

Kriteria pasien berisiko tinggi adalah :

 Angina atau nyeri dada berulang pada keadaan istirahat


 Perubahan segmen ST yang dinamis ( depresi segmen > 0,1mv atau

elevasi segmen ST sementara <30 <0,1mv)

 Peningkatan nilat troponin I, troponin II, atau CKMB

 Pada observasi hemodinamis pasien tidak stabil

 Adanya takikardia ventrikel dan fibrilasi ventrikel

 Angina tidak stabil pada pasca infark dini

 Diabetes mellitus

Pasien yang tergolong pada kelompok berisiko tinggi mempunyai manfaat

yang lebih besar bila dilakukan IKP daripada kelompok risiko rendah. (Hassan,

2009)

b. Sindroma koroner akut dengan elevai segmen ST (STEMI)

Pada infark miokard dengan elevasi segmen ST, lokasi infark dapat

ditentukan dari perubahan EKG. Penentuan lokasi infark berdasarkan perubahan

EKG. Diagnosis STEMI ditegakkan jika ditemukan angina akut disertai elevasi

segmen ST. Nilai elevasi segmen ST bervariasi, tergantung kepada usia, jenis

kelamin, dan lokasi miokard yang terkena. Bagi pria usi a≥40 tahun, STEMI

ditegakkan jika diperoleh elevasi segmen ST di V1-V3 ≥ 2 mm dan ≥ 2,5 mm

bagi pasien berusia < 40 tahun (Tedjasukmana, 2010). ST elevasi terjadi dalam

beberapa menit dan dapat berlangsung hingga lebih dari 2 minggu.

IKP yang berpengalaman yang terdiri dari kardiologis intervensi yang

terampil. Stategi reperfusi IKP telah menjadi modalitas pengobatan yang sangat

penting dari STEMI dengan banyak mengalami pada tahun-tahun terakhir ini.
Sedangkan terapi trombolitik dimana dapat digunakan secara luas, mudah

diberikan, dan tidak mahal tetap merupakan pilihan alernatif. IKP telah terbukti

lebih superior disbanding trombolitik dalam pencapaian TIMI 3 flow (perfusi

komplit), iskemik berlang sistemik, mortalitas 30 hari lebih baik dan insiden

stroke pendarahan lebih rendah (AHA, 2012).


Sedangkan menurut AHA indikasi IKP adalah sebagai berikut

a. Asimptomatik dan angina ringan

b. Angina kelas II hingga IV atau angina tidak stabil.

Banyak pasien dengan angina stable yng moderate dan severe atau unstable

angina tidak memberi respon yang adekuat terhadap pemberian terapi obat-

obatan dan lebh sering memberikan efek yang signifikan dengan

revaskularisasi Percutaneus Coronary Intervention.


c. Infark miokardiak Percutaneus Coronary Intervention merupakan tindakan

yang efektif untuk memperbaiki perfusi coroner dan cocok dilakukan untuk

lebih dari 90% pasien.

d. Percutaneus Coronary Intervention pada pasien dengan prior coronary

bypass surgery

e. Penggunaan teknologi (AHA, 2012)

Indikasi primer PCI dilakukan pada pasien dengan STEMI kurang dari 12

jam, dengan Left Bundle Branch Block (LBBB), dan juga STEMI dengan

komplikasi gagal jantung yang severe (Griff, 2008).

Meskipun intervensi perkutan dengan disfungsi ventrikel kiri yang berat

dapat meningkatkan risiko, revaskulerisasi dapat mengurangi iskemik dan

meningkatkan prognosis jangka panjang (Ellis, 2009).

Pasien dengan penyakit arteri koroner yang luas dengan fungsi ventrikel

kiri yang lebih buruk mempunyai survival yang lebih lama setelah operasi

pintas koroner meskipun pasien asimptomatis. Pada pasien PJK stabil tindakan

intervensi koroner perkutan dilakukan hanya pada pasien dengan adanya

keluhan dan tanda-tanda iskemik akibat penyempitan pembuluh darah. Pada

penelitian awal dijumpai manfaat yang lebih kecil terhadap survival pasien

yang dilakukan IKP tanpa stent dibandingkan dengan operasi pintas koroner.

Tetapi dengan adanya stent dan stent bersalut obat dan tersedianya obat-obat

ajuvan, tindakan IKP ini menghasilkan manfaat yang lebih besar dibandingkan

operasi pintas koroner ( Hasan, 2009)


2.1.4 KOMPLIKASI

Meskipun intervensi ini bermanfaat untuk melebarkan pembuluh darah yang

menyempit, dalam kenyataannnya juga memiliki komplikasi. Komplikasi dapat

dibagi menjadi dua kategori yaitu yang secara umum berkaitan dengan kateterisasi

arteri dan yang berhubungan dengan teknologi yang spesifik yang digunakan untuk

prosedur pada koroner (AHA, 2012).

 Trombolisis stent

Walaupun angka kejadian hanya 1-2%, kejadian trombolisis stent masih berisiko

sehingga stent harus itu dilapisi oleh endothelium dan hal tersebut biasanya

muncul sebagai MI akut, dengan tingkat kematian tinggi. Trombolisis stent

sering sewaktu bulan pertama pemasangan, tapi bisa muncul berbulan dan

bertahun setelah pemasangan PCI.

 Stenosis stent

Hal ini berhubungan dengan proses „penyembuhan‟ yang berlebihan dari dinding

pembuluh darah yang bertimbun pada lumen stent. Stenosis biasanya terbentuk

dalam 3-6 bulan dan tidak jarang angina muncul kembali, tetapi jarang

menyebabkan MI. Stenosis stent terjadi dalam 4-20% dari stent.

a. Komplikasi mayor

Komplikasi mayor lain termasuk kejadian yang jarang, tetapi bisa

mengakibatkan kematian (0,2% dalam kasus berisiko tinggi), MI akut (1%)

yang mungkin memerlukan CABG darurat, stroke (0,5%), termponade

jantung (0,5%) dan perdarahan sistemik (0,5%). Kematian terjadi saat proses
di rumah sakit. Stroke terjadi saat otak kehilangan fungsi neurologis yang

disebabkan oleh iskemik 24 jam setelah onset.

b. Komplikasi minor

Komplikasi minornya adalah alergi terhadap medium kontras, nefropati dan

komplikasi pada bagian yang dimasuki, seperti perdarahan dan hematoma.

Gagal ginjal meliputi terjadinya peningkatan serum kreatinin lebih 2

mg/dl.(Butman, 2005).

Prediktor keberhasilan atau terjadinya komplikasi adalah sebagai berikut :

a. Faktor anatomi

Morfologi lesi dan keparahan stenosis diidentifikasikan sebagai predictor

keberhasilan IKP.

b. Faktor klinis

Kondisi klinis dapat mempengaruhi tingkat keparahan. Misalnya, terjadi

komplikasi 15,4% pada pasien dengan diabetes mellitus dan hanya 5,8%

pada pasien yang tidak terkena diabetes mellitus. Faktor-faktor ini

meliputi usia, jenis kelamin, angina yang tidak stabil, gagal jantung

kongestif dan diabetes.

c. Risiko kematian

Kematian pasien yang mendapat tindakan IKP berhubungan dengan

oklusi orkelamin wanita, diabetes, dan infark miokardium.


d. Wanita

Dibandingkan dengan laki-laki, wanita yang mendapat tindakan IKP

memiliki insiden lebih tinggi mendapatkan hipertensi dan

hiperkolestrolemia.

e. Usia lanjut

Usia diatas 75 tahun merupakan kondisi klinis yang cukup besar

dihubungkan dengan peningkatan risiko mendapatkan komplikasi.

f. Diebetes mellitus

Dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami diabetes mellitus,

pasien diabetes mellitus memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi.

g. Coronary Angioplasty setelah pembedahan CABG

IKP direkomendasikan sebagai prosedur paliatif yang bias menunda

CABG berulang.

h. Konsiderasi teknik yang spesifik

Perforasi arteri coroner dapat sering terjadi saat melakukan intervensi

menggunakan teknologi. Kejadian ini dapat terjadi meliputi terjadinya

rotasi ataupun ekstraksi atherectomy.

i. Faktor hemodinamik

Perubahan tekanan darah dapat dihubungkan dengan LV ejection fraction

dan risiko rusaknya miokardium (AHA, 2012)


2.1.5 LOKASI PENYEMPITAN

Dalam tindakan IKP ini harus diketahui anatomi dari pembuluh darah yang

mengalami penyempitan. Sesuai dengan pengertiannya, tindakan IKP ini dilakukan

untuk melebarkan daerah yang menyempit pada pembuluh darah. Selain itu, faktor

anatomi ini mempengaruhi keberhasilan ataupun komplikasi IKP.

Klasifikasi baru membedakan penyempitan berdasarkan tingkat keparahan yaitu

mild, moderate dan severe. Perbedaan tingkatan ini dibedakan berdasarkan ada

tidaknya thrombus da nada tidaknya oklusi (Grech, 2011).

a. Anatomi kasar

Jantung adalah organ berongga dan memiliki empat ruang yang terletak

diantara kedua paru-paru di bagian tengah toraks. Dua per tiga jantung terletak

di sebelah kiri garis midsternal. Jantung dilindungi oleh mediastinum, jantung

memiliki ukuran kurang lebih segenggaman kepalan tangan pemiliknya. Ujung

atas yang lebar mengarah bahu kanan dan ujung bawah yang mengerucut

mengarah panggul kiri. Pelapis terdiri dari perikardium dan rongga perikardial.

Dinding jantung terdiri dari tiga lapisan yaitu epikardium di bagian luar yang

terdiri atas lapisan mesotelium yang berada di atas jaringan ikat. Miokardium di

bagian tengah terdiri atas otot jantung yang berkontraksi untuk memompa darah.

Yang terakhir adalah endothelial yang terletak di atas jaringan ikat (Slonane,

2009).

b. Ruang Jantung

Jantung terdiri atas empat ruang yaitu atrium kanan dan atrium kiri yang

dipisahkan oleh septum intratial, ventrikel kanan dan ventrikel kiri yang
dipisahkan oleh septum interventrikular. Dinding atrium relatif tipis. Atrium

membawa darah dari vena yang membawa darah kembali ke jantung. Atrium

kanan terletak di bagian superior kanan jantung, menerima darah dari seluruh

tubuh kecuali paru-paru. Vena kave superior dan inferior membawa darah yang

tidak mengandung oksigen.

Arteri koroner terdiri atas Left Coronary Artery (LCA), Left Marginal Artery

(LMA), Right Coronary Artery (RCA), Left Anterior Descending (LAD), Right

Marginal Artery (RMA), Circumflex Artery dan Posterior Descending Artery.

c. Sirkulasi koroner memperdarahi jantung

Arteri koroner kanan dan kiri merupakan cabang aorta tepat di atas katup

semilunar aorta. Arteri ini terletak di atas sulkus koroner. Cabang utama dari

arteri koroner kiri adalah sebagai berikut :

 Arteri interventrikuler arterior (desenden) yang mensuplai darah ke bagian

anteriorventrikel kanan dan kiri serta membentuk suatu cabang, arteri

marginalis kiri, yang mensuplai darah ke ventrikel kiri.


 Arteri sirkumpleksa menyuplai darah ke atrium kiri dan ventrikel kiri. Di

sisi anterior, arteri sirkumfleksa beranastomosis dengan arteri koroner

kanan.

Cabang utama dari arteri koroner kanan adalah sebagai berikut:

 Arteri intraventrikular posterior (desenden) yang mensuplai darah untuk

kedua dinding ventrikel.

 Arteri marginalis kanan yang mensuplai darah untuk atrium kanan dan

ventrikel kanan.

Vena jantung (besar,kecil,oblik) mengalirkan darah dari miokardium ke sinus

koroner yang kemudian bermuara di atrium kanan. Darah mengalir melalui arteri

koroner terutama saat otoo-otot jantung berelaksasi karena arteri koroner juga

tertekan pada saat kontraksi berlangsung.

Ada beragam anatomi sirkulasi pada manusia. Sebagian besar orang memiliki

sirkulasi koroner yang seimbang, tetapi ada orang tertentu yang memiliki dominan

koroner kanan atau dominan koroner kiri (Slonane,2009).

Pada pengklasifikasian lesi dikenal istilah deskripsi lesi risiko tinggi atau lesi C

yaitu sebagai berikut :

 Adanya difusi lebih dari 2 cm

 Excessive tortuosity dari segmen proksimal

 Segmen terakumulasi lebih dari 900

 Oklusi total lebih dari 3 bulan dan atau adanya bridging collateral

 Ketidakmampuan untuk melindungi cabang yang lebih besar


 Vena yang terdegenerasi

Oklusi total lebih dari 3 bulan dan atau adanya bridging collateral dan vena

yang terdegenerasi adalah untuk kegagalan teknik dan peningkatan restenosis dan

tidak untuk komplikasi akut (AHA, 2005).

Adapun klasifikasi lesi berdasarkan SCAI, lesi dibagi menjadi 4 tipe lesi

Sebagai berikut :

Tipe I ( angka keberhasilan tertinggi, risiko terendah)

 Tidak ditemuinya kriteria untuk lesi C

 Patent

Tipe II

 Ada beberapa kriteria lesi C

- Difusi ( lebih dari 2 cm)

- Excessive Turtuosity dari segmen proksimal

- Segmen terakumulasi >900

- Ketidakmampuan melindungi cabang yang lebih besar

- Vena yang terdegenerasi

 Patent

Tipe III

 Tidak ditemuinya kriteria untuk lesi C

 Oklusi

Tipe IV

 Ada kriteria lesi C


- Difusi lebih dari 2 cm

- Excessive tortuosity dari segmen proksimal.

- Segmen terangulasi >900

- Ketidakmampuan melindungi cabang yang lebih besar

- Vena yang terdegenerasi

- Oklusi lebih dari 3 bulan

 Oklusi (AHA, 2005)

2.1.6 DERAJAT PENYEMPITAN

Derajat penyempitan pembuluh darah coroner dapat dilihat secara visual oleh

operator yang berpengalaman atau dapat digunakan angiografi kuantitatif untuk

mendapatkan penilaian computer mengenai derajat keparahan (Gray dkk, 2005).

Penyempitan koroner dinterpretasikan bermakna jika persentasi stenosis ≥ 50 % pada


LMCA atau ≥ 75% pada arteri coroner lainnya. Sintha et al pada tahun 1997 dalam

Gani Manurung tahun 2008 dikatakan bahwa derajat penyempitan dibagi menjadi :

a. Grade 0 : penyempitan < 25%

b. Grade 1 : penyempitan 25-49 %

c. Grade 2 : penyempitan 50-74%

d. Grade 3 : penyempitan 75-94 %

e. Grade 4 : penyempitan ≥ 95%


BAB II

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 PENGKAJIAN

a. Identitas Klien

Nama, usia, jenis kelamin, alamat, no.telepon, status pernikahan, agama, suku,

pendidikan, pekerjaan, lama bekerja, No. RM, tanggal masuk, tanggal

pengkajian, sumber informasi, nama keluarga dekat yang bias dihubungi, status,

alamat, no.telepon, pendidikan, dan pekerjaan.

b. Status kesehatan saat ini

Keluhan utama: nyeri dada, perasaan sulit bernapas, dan pingsan.

c. Riwayat penyakit sekarang (PQRST)

 Provoking Incident: nyeri setelah beraktivitas dan tidak berkurang dengan

istirahat.

 Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan

klien, sifat keluhan nyeri seperti tertekan.

 Region, Radiation, Relief: lokasi nyeri di daerah substernal atau nyeri di

atas pericardium. Penyebaran dapat meluas di dada. Dapat terjadi nyeri

serta ketidakmampuan bahu dan tangan.

 Severity (Scale) of Pain: klien bias ditanya dengan menggunakan rentang

0-5 dan klien akan menilai seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan.

Biasanya pada saat angina skala nyeri berkisar antara 4-5 skala (0-5).
 Time: sifat mulanya muncul (onset), gejala timbul mendadak. Lama

timbulnya (durasi) nyeri dada dikeluhkan lebih dari 15 menit. Nyeri oleh

infark miokardium dapat timbul pada waktu istirahat, biasanya lebih parah

dan berlangsung lebih lama. Gejala-gejala yang menyertai infark

miokardium meliputi dispnea, berkeringat, amsietas, dan pingsan.

d. Riwayat kesehatan terdahulu

Apakah sebelumnya klien pernah menderita nyeri dada, darah tinggi, DM, dan

hiperlipidemia.Tanyakan obat-obatan yang biasa diminum oleh klien pada masa

lalu yang masih relevan.Catat adanya efek samping yang terjadi di masa lalu.

Tanyakan alergi obat dan reaksi alergi apa yang timbul.

e. Riwayat keluarga

Menanyakan penyakit yang pernah dialami oleh keluarga serta bila ada anggota

keluarga yang meninggal, tanyakan penyebab kematiannya. Penyakit jantung

iskemik pada orang tua yang timbulnya pada usia muda merupakan factor risiko

utama untuk penyakit jantung iskemik pada keturunannya.

f. Aktivitas/istirahat

Gejala: kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur, riwayat pola hidup menetap,

jadual olahraga tak teratur. Tanda: takikardia, dispnea pada istirahat/kerja.

g. Sirkulasi

Gejala: riwayat IM sebelumnya, penyakit arteri koroner, gagal jantung koroner,

masalah TD, DM.

Tanda:
 TD dapat normal atau naik/turun; perubahan postural dicatat dari tidur

sampai duduk/berdiri

 Nadi dapat normal; penuh/tak kuat atau lemah/kuat kualitasnya dengan

pengisian kapiler lambat; tidak teratur (disritmia) mungkin terjadi.

 Bunyi jantung ekstra (S3/S4) mungkin menunjukkan gagal

jantung/penurunan kontraktilitas atau komplian ventrikel.

 Murmur bila ada menunjukkan gagal katup atau disfungsi otot papilar

 Friksi; dicurigai perikarditis.

 Irama jantung dapat teratur atau tak teratur.

 Edema, edema perifer, krekels mungkin ada dengan gagal

jantung/ventrikel.

 Pucat atau sianosis pada kulit, kuku dan membran mukosa.

h. Integritas ego

Gejala: menyangkal gejala penting, takut mati, perasaan ajal sudah dekat,

marah pada penyakit/perawatan yang ‘tak perlu’, khawatir tentang keluarga,

pekerjaan dan keuangan.

Tanda: menolak, menyangkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah, marah,

perilaku menyerang, dan fokus pada diri sendiri/nyeri.

i. Eliminasi: bunyi usus normal atau menurun

j. Makanan/cairan

Gejala: mual, kehilangan napsu makan, bersendawa, nyeri ulu hati/terbakar.


Tanda:penurunan turgor kulit, kulit kering/berkeringat, muntah, dan perubahan

berat badan

k. Hygiene: kesulitan melakukan perawatan diri

l. Neurosensori

Gejala: pusing, kepala berdenyut selama tidur atau saat bangun

(duduk/istirahat)

Tanda: perubahan mental dan kelemahan

m. Nyeri/ketidaknyamanan

Gejala:

 Nyeri dada yang timbul mendadak (dapat/tidak berhubungan dengan

aktifitas), tidak hilang dengan istirahat atau nitrogliserin.

 Lokasi nyeri tipikal pada dada anterior, substernal, prekordial, dapat

menyebar ke tangan, rahang, wajah. Tidak tertentu lokasinya seperti

epigastrium, siku, rahang, abdomen, punggung, leher

 Kualitas nyeri ‘crushing’, menusuk, berat, menetap, tertekan, seperti dapat

dilihat.

 Instensitas nyeri biasanya 10 pada skala 1-10, mungkin pengalaman nyeri

paling buruk yang pernah dialami.

 Catatan: nyeri mungkin tak ada pada pasien pasca operasi, dengan DM,

hipertensi dan lansia.

Tanda:

 Wajah meringis, perubahan postur tubuh.


 Menangis, merintih, meregang, menggeliat.

 Menarik diri, kehilangan kontak mata

 Respon otonom: perubahan frekuensi/irama jantung, TD, pernapasan,

warna kulit/kelembaban, kesadaran.

n. Pernapasan

Gejala: dispnea dengan/tanpa kerja, dispnea nocturnal, batuk produktif/tidak

produktif, riwayat merokok, penyakit pernapasan kronis

Tanda:peningkatan frekuensi pernapasan, pucat/sianosis, bunyi napas bersih

atau krekels, wheezing, sputum bersih, merah muda kental.

o. Interaksi social

Gejala: stress saat ini (kerja, keuangan, keluarga) dan kesulitan koping dengan

stessor yang ada (penyakit, hospitalisasi)

Tanda: kesulitan istirahat dengan tenang, respon emosi meningkat, dan menarik

diri dari keluarga

p. Penyuluhan/pembelajaran

Gejala: riwayat keluarga penyakit jantung/IM, DM, stroke, hipertensi, penyakit

vaskuler perifer, dan riwayat penggunaan tembakau

q. Pengkajian fisik

Penting untuk mendeteksi komplikasi dan harus mencakup hal-hal berikut:

 Tingkat kesadaran

 Nyeri dada (temuan klinik yang paling penting)


 Frekwensi dan irama jantung: Disritmia dapat menunjukkan tidak

mencukupinya oksigen ke dalam miokard

 Bunyi jantung: S3 dapat menjadi tanda dini ancaman gagal jantung

 Tekanan darah: Diukur untuk menentukan respons nyeri dan pengobatan,

perhatian tekanan nadi, yang mungkin akan menyempit setelah serangan

miokard infark, menandakan ketidakefektifan kontraksi ventrikel

 Nadi perifer: Kaji frekuensi, irama dan volume

 Warna dan suhu kulit

 Paru-paru: Auskultasi bidang paru pada interval yang teratur terhadap

tanda-tanda gagal ventrikel (bunyi krakles pada dasar paru)

 Fungsi gastrointestinal: Kaji motilitas usus, trombosis arteri mesenterika

merupakan potensial komplikasi yang fatal

 Status volume cairan: Amati haluaran urine, periksa adanya edema, adanya

tanda dini syok kardiogenik merupakan hipotensi dengan oliguria

r. Pemeriksaan Diagnostik

 EKG

 Echocardiogram

 Lab  CKMB, cTn, Mioglobin, CK, LDH

3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa keperawatan yang sering terjadi antara lain:

1) Nyeri akut b.d iskemia jaringan sekunder terhadap oklusi arteri koroner

2) Ketidakefektifan pola nafas yang b.d kebutuhan O2 tidak terpenuhi


3) Penurunan cardic output b.d gagal pompa ventrikel kiri

4) Gangguan pertukaran gas b/d edema alveoli

5) Intoleransi aktivitas b.d kelelahan

6) Resiko injury b/d penurunan kesadaran

7) Defisit perawatan diri b/d akibat motivasi personal hygine menurun

8) Resiko pendarahan berhubungan dengan trombositopenia

3.3 INTERVENSI KEPERAWATAN

1) Diagnosa 1: Nyeri akut b.d iskemia jaringan sekunder terhadap oklusi arteri

koroner

 Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, klien

mengatakan nyeri berkurang

 Kriteria hasil: Skala nyei berkurang (0-1), wajah tampak rileks, TTV

dalam batas normal

 Intervensi

1. Kaji tanda-tanda vital (TD, nadi, RR, suhu)

2. Kaji nyeri (lokasi, karakter, durasi,

frekuensi,kualitas,intensitas nyeri, dan faktor

presipitasi)

3. Observasi non verbal klien seperti kegelisahan,

terutama komunikasiyang tidak efektif


4. Gunakan komunikasi terapeutik untuk mengetahui

respon nyeri klien.

2) Diagnosa 2 : Penurunan cardiac ouput b.d gagal pompa ventrikel kiri

 Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam curah

jantung adekuat

 Kriteria Hasil:

Cardic output berkurang

 Intervensi

Intervensi

1. Auskultasi suara jantung

2. Pastikan level aktivitas yang tidak mempengaruhi kerja

jantung yangberat

3. Tingkatkan secara bertahap aktivitas ketika kondisi klien

stabil, misalaktivitas ringan yang disertai masa istirahat

4. Monitor TTV secara teratur

5. Monitor kardiovaskuler status

6. Lakukan penilaian komprehensif sirkulasi perifer (edema,

CRT, warna,

7. Monitor TTV secara teratur


3) Diagnosa 3 : Dx 1 Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan sesak.

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan

pola nafas lancar, dengan kriteria hasil : airway patency

1. TTV normal

2. Frekuensi nafas normal

Intervensi :

Pantau jalan nafas

R/ Untuk mengetahui jalan nafas tidak terhambat

Posisikan pasien semi fowler

R/ Memperlancar jalan nafas

Ajarkan teknik distrkasi relaksasi

R/ Membantu memperlanacar jalan nafas

Observasi TTV

R/ Mengetahui kondisi kesehatan pasien

Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat

R/ Membantu mempercepat lancarnya jalan nafas


4) Diagnosa 4 : Dx 1 Gangguan pertukaran gas b/d edema pada alveoli

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan

gangguan pertukaran gas berkurang , dengan kriteria hasil : pertukaran gas

membaik

1. TTV normal

2. Tidak ada tanda-tanda distress pernafasan

Intervensi :

Pantau jalan nafas

R/ Untuk mengetahui jalan nafas tidak terhambat

Posisikan pasien semi fowler

R/ Memperlancar jalan nafas

Indikasi pemasangan alat bantu nafas

R/ Membantu memperlanacar jalan nafas

Observasi TTV

R/ Mengetahui kondisi kesehatan pasien

Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat

R/ Membantu mempercepat lancarnya jalan nafas


5) Diagnosa 4 : Dx 1 Resiko injury b/d penurunan kesadaran

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan

resiko injury tidak terjadi , dengan kriteria hasil :Resiko terkontrol

 Pasien terbebas dari cidera

 Mampu mengenali perubahan status kesehatan

 Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada

Intervensi

Sediakan lingkungan yang aman bagi pasien

R/ Untuk menghindari resiko cidera

Memasang side rail tempat tidur

R/ Menghindari resiko jatuh

Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih

R/ Membantu memberikan kenyamanan

6) Diagnosa 6 : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan

intoleransi aktivitas berkurang, dengan kriteria hasil : Aktivitas bertambah

 Mampu melakukan aktivitas sehari-hari

 TTV normal

 Mampu berpindah dengan atau tanpa bantuan alat ataupun orang


Intervensi :

Lakukan BHSP

R/ Membina hubungan saling percaya dengan pasien dan keluarga pasien

Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri dan penguatan

R/ Membuat pasien termotivasi untuk melakukan aktivitas sehari-hari

Monitor status fisik

R/ Melihat aktivitas pasien.

Observasi TTV

R/ Melihat kesehatan pasien lebih awal

7) Diagnosa 7 : Defisit perawatan diri b/d motivai hygine yang menurun

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan

deficit perawatan diri berkurang dengan kriteria hasil :Perawatan diri

membaik

 Mampu melakukan melakukan perawatan diri

 Kebersihan terjaga

Intervensi

Lakukan BHSP

R/ Membina hubungan saling percaya dengan pasien dan keluarga pasien


Bantu pasien melakukan perawatan diri

R/ Membuat pasien nyaman

Membatu menjaga keberisihan diri pasien

R/ Membuat pasien nyaman.

8) Diagnosa 8 : Resiko pendarahan berhubungan dengan trombositopenia

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan

deficit perawatan diri berkurang dengan kriteria hasil :resiko pendarahan

tidakterjadi

 KadarHB normal 13,4-17,7

 Todak terjadi pendarahan baik di urine kepala

 Pasien tidak nampak mimisan

 Tidak terjadimemar pada tubuh

 Tidak terjadi pendarahan pada gigi

Intervensi

Lakukan BHSP

R/ Membina hubungan saling percaya dengan pasien dan keluarga pasien

Monitor terjadinya pendarahan

R/ menghindari terjadinya pendarahan yang berlebihan

Monitor kadar Hb
R/ memonitor pendarahan yang terjadi

Observasi TTV

R/ Mengetahui keadaan pasien lebih awal

Pantau tanda dan gejala pendarahan

R/Mengantisipasi terjadinya pendarahan

Atu posisi pasien tetap bedtres

R/Mengihindari terjadinya pendarahan

Kolaborasi dalam pemberian antikoagulan

R/ Menghentikan pendarahan
DAFTAR PUSTAKA

Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. 2009. Harrison’s Principles

of Internal Medicine 17th edition. The McGraw-Hill Companies, Inc.

Hall, Jhon E. 2009. Buku Saku Fisiologi Kedokteran, Guyton & Hall. Editor Bahasa

Indonesia: Irawati Setiawan Edisi 11. Jakarta: EGC

Kumar, Abbas, Fausto, Mitchel. 2009. Robbin’s Basic Pathology, The Kidney And Is

Collecting System. Elsevier Inc.

Mansjoer, A dkk. 2010. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media

Aesculapius

Muttaqin, A. 2009.Buku Ajar Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem

Kardiovaskular dan Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.

Price, S. A., & Wilson, L. M. 2005.Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.

Volume 2.Edisi 6. Jakarta: EGC.

Ruhyanudin, F. 2009. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem

Kardiovaskuler. Malang: UMM Press.

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2010.Keperawatan Medikal Bedah. Volume 9.Edisi 8.Jakarta

: EGC.

Sudoyo. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI.

Thaler. 2009. Satu-Satunya Buku EKG Yang Anda Perlukan, edisi 2. Jakarta: Hipokrates
Udjianti, WJ. 2010. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika

Zainul Abidin and Roberth Corner .2009. ECG Interpretation The Self-Assesment

Approach second edititon .Blackwell Publishing: USA.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. 2009. Buku AjarIlmu Penyakit Dalam. Ed 4.

Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit. Dalam FK UI.

GuytonA.C. and J.E. Hall.2009.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Edisi 9. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai