Ahlussunnah berarti penganut atau pengikut sunnah Nabi Muhammad SAW, dan jemaah
berarti sahabat nabi. Jadi Ahlussunnah wal jama’ah mengandung arti “penganut Sunnah
(ittikad) nabi dan para sahabat beliau. Aliran ini, muncul sebagai reaksi setelah munculnya
aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah.
Tokoh utama yang juga merupakan pendiri mazhab ini adalah Abu Al Hasan Al Asy’ari dan
Abu Mansur Al Maturidi. Dua tokoh Sunni ini kemudian dalam perkembanganya ajaran
mereka menjadi doktrin penting dalam aliran Sunni yakni aliran Asy’ariyah dan aliran
Maturidiyah.
Sebagai aliran yang se zaman, keduanya termasuk dalam aliran Ahlussunnah. Terkait
kepemimpinan para khalifah setelah Nabi saw sesuai urutan historis yang telah terjadi,
keduanya memiliki pandangan serupa. Juga tak ada perbedaan dalam pandangan mereka
terhadap para penguasa Bani Umayah dan Bani Abbas. Dalam semua sisi masalah imamah
pun mereka saling sepakat. Keduanya juga sepaham bahwa Allah bisa dilihat tanpa kaif
(cara), had (batas), qiyam (berdiri) wa qu`ud (duduk) dan hal-hal sejenisnya.
1. Aliran Asy’ariyah
a. Pengertian
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abu Hasan Al
Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abu Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin
Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa
Al Asy’ari. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan
demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.
Abu Hasan Al Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan
meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq
Al Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al Manshur, Baghdad. Ia
belajar ilmu kalam dari Al Jubba’i, seorang ketua Mu’tazilah di Bashrah.
Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al Jubba’i, salah
seorang pembesar Mu’tazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan
permasalahan kalam sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal
itu menjadi senjata baginya untuk membantah kelompok Mu’tazilah.
b. Latar Belakang
Pada masa berkembangnya ilmu kalam, kebutuhan untuk menjawab tantangan akidah
dengan menggunakan ratio telah menjadi beban. Karena pada waktu itu sedang terjadi
penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat Barat yang materialis dan rasionalis ke
dunia Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa
menjawab argumen-argumen yang bisa dicerna akal.
Al Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab
argumen Barat ketika menyerang akidah Islam. Karena itulah metode akidah yang
beliau kembangkan merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli.
Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik
terhadap paham Mu’tazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar
Mu’tazilah di mata Al Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan
hubungan Tuhan-manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.
Akidah ini menyebar luas pada zaman wazir Nizhamul Muluk pada dinasti bani
Saljuq dan seolah menjadi akidah resmi negara. Paham Asy’ariyah semakin
berkembang lagi pada masa keemasan madrasah An Nidzamiyah, baik yang ada di
Baghdad maupun di kota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah
universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al Mahdi
bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin Al Ayyubi.
Juga didukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha mazhab Asy Syafi'i
dan mazhab Al Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan
bahwa akidah Asy'ariyah ini adalah akidah yang paling populer dan tersebar di
seluruh dunia.
c. Doktrin Ajaran
1. Sifat-sifat Tuhan.
Menurutnya, Tuhan memiliki sifat sebagaiman di sebut di dalam Al Qur’an, yang
di sebut sebagai sifat-sifat yang azali, Qadim, dan berdiri diatas zat tuhan. Sifat-
sifat itu bukanlah zat tuhan dan bukan pula lain dari zatnya.
2. Al Qur’an.
Menurutnya, Al Quran adalah qadim dan bukan makhluk diciptakan.
3. Melihat Tuhan.
Menurutnya, Tuhan dapat dilihat dengan mata oleh manusia di akhirat nanti.
4. Perbuatan Manusia.
Menurutnya, perbuatan manusia di ciptakan tuhan, bukan di ciptakan oleh
manusia itu sendiri.
5. Keadlian Tuhan
Menurutnya, tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun untuk menentukan tempat
manusia di akhirat. Sebab semua itu marupakan kehendak mutlak tuhan sebab
Tuhan Maha Kuasa atas segalanya.
6. Muslim yang berbuat dosa.
Menurutnya, yang berbuat dosa dan tidak sempat bertobat diakhir hidupnya
tidaklah kafir dan tetap mukmin.
Pengikut Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang
beraliran Ahli sunnah wal jamaah ialah Imam Al Ghazali. Tampaknya paham
teologi cenderung kembali pada paham-paham Asy’ari. Al Ghazali meyakini
bahwa:
Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan
mempunyai wujud di luar zat.
Al Qur’an bersifat qadim dan tidak diciptakan.
Mengenai perbuatan manusia, Tuhanlah yang menciptakan daya dan
perbuatan
Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud pasti dapat
dilihat.
Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahatan (ash-shalah wal ashlah)
manusia, tidak wajib memberi ganjaran pada manusia, dan bahkan Tuhan
boleh memberi beban yang tak dapat dipikul kepada manusia.
Berkat Al-Ghazali paham Asy’ari dengan Ahl sunah wal jamaahnya berhasil
berkembang ke mana pun, meski pada masa itu aliran Mu’tazilah amat kuat di
bawah dukungan para khalifah Abasiyah.
d. Tokoh
1. Al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111M)
2. Al-Imam Al-Fakhrurrazi (544-606H/ 1150-1210)
3. Abu Ishaq Al-Isfarayini (w 418/1027)
4. Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani (328-402 H/950-1013 M)
5. Abu Ishaq Asy-Syirazi (293-476 H/ 1003-1083 M)
2. Aliran Maturidiyah
a. Pengertian
Aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi yang bercorak rasional-tradisional.
Nama aliran itu dinisbahkan dari nama pendirinya, Abu Mansur Muhammad al-
Maturidi. Al Maturidi lahir dan hidup di tengah-tengah iklim keagamaan yang penuh
dengan pertentangan pendapat antara Mu’tazilah dan Asy'ariyah mengenai
kemampuan akal manusia. Aliran ini disebut-sebut memiliki kemiripan dengan
Asy'ariyah.
Aliran Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur Al
Maturidi yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami. Aliran
Maturidiyah digolongkan dalam teologi Ahli Sunnah Wal Jamaah yang merupakan
ajaran yang bercorak rasional.
Jika dilihat dari metode berpikir dari aliran Maturidiyah, aliran ini merupakan aliran
yang memberikan otoritas yang besar kepada akal manusia, tanpa berlebih-lebihan
atau melampaui batas, maksudnya aliran Maturidiyah berpegang pada keputusan akal
pikiran dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan syara’. Sebaliknya jika hal itu
bertentangan dengan syara’, maka akal harus tunduk kepada keputusan syara’.
b. Latar Belakang
Aliran Maturidiyah lahir di samarkand, pertengahan kedua dari abad IX M.
pendirinya adalah Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al
Maturidi, di daerah Maturid Samarqand, untuk melawan mazhab Mu`tazilah. Abu
Manshur Maturidi (wafat 333 H) menganut mazhab Abu Hanifah dalam masalah
fikih. Oleh sebab itu, kebanyakan pengikutnya juga bermazhab Hanafi. Riwayatnya
tidak banyak diketahui. Ia sebagai pengikut Abu Hanifa sehingga paham teologinya
memiliki banyak persamaan dengan paham-paham yang dipegang Abu Hanifa. Sistem
pemikiran aliran maturidiyah, termasuk golongan teologi ahli sunah.
Al Maturidi dalam pemikiran teologinya banyak menggunakan rasio. Hal ini mungkin
banyak dipengaruhi oleh Abu Hanifa karena Al Maturidi sebagai pengikat Abu
Hanifa. Dan timbulnya aliran ini sebagai reaksi terhadap mu’tazilah.
Dalam Ensiklopedia Islam terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve, disebutkan, pada
pertengahan abad ke-3 H terjadi pertentangan yang hebat antara golongan Mu’tazilah
dan para ulama. Sebab, pendapat Mu’tazilah dianggap menyesatkan umat Islam. Al
Maturidi yang hidup pada masa itu melibatkan diri dalam pertentangan tersebut
dengan mengajukan pemikirannya.Pemikiran-pemikiran Al Maturidi dinilai bertujuan
untuk membendung tidak hanya paham Mu’tazilah, tetapi juga aliran Asy'ariyah.
Banyak kalangan yang menilai, pemikirannya itu merupakan jalan tengah antara
aliran Mu’tazilah dan Asy'ariyah. Karena itu, aliran Maturidiyah sering disebut
“berada antara teolog Mu’tazilah dan Asy'ariyah”.Namun, keduanya (Maturidi dan
Asy'ari) secara tegas menentang aliran Mu’tazilah.
c. Doktrin Ajaran
1. Akal dan Wahyu
Al Maturidi dalam pemikiran teologinya berdasarkan pada Al Qur’an dan akal,
akal banyak digunakan diantaranya karena dipengaruhi oleh Mazhab Imam Abu
Hanifah. Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui
Tuhan dapat diketahui dengan akal. Hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al
Qur’an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akalnya untuk
memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadapAllah melalui pengamatan
dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Jika akal tidak
memiliki kemampuan tersebut, maka tentunya Allah tidak akan memerintahkan
manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal
untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti ia telah
meninggalkan kewajiban yang diperintahkan oleh ayat-ayat tersebut Namun akal,
menurut Al Maturidi tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban yang lain.
Dalam masalah amalan baik dan buruk, beliau berpendapat bahwa penentu baik
dan buruknya sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau
larangan syari’ah hanyalah mengikuti kemampuan akal mengenai baik dan
buruknya sesuatu, walau ia mengakui bahwa akal terkadang tidak mampu
melakukannya. Dalam kondisi ini, wahyu dijadikan sebagai pembimbing.
Al Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu :
Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu.
Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu,
Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan
petunjuk wahyu.
Tentang mengetahui kebaikan dan keburukan Maturidiyah memiliki kesamaan
dengan Mu’tazilah, namun tentang kewajiban melakukan kebaikan dan
meninggalkan keburukan Maturidiyah berpendapat bahwa ketentuan itu harus
didasarkan pada wahyu.
2. Perbuatan Manusia
Perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, karena segala sesuatu dalam wujud ini
adalah ciptaan-Nya. Mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan
kehendak Allah mengharuskan manusia untuk memiliki kemampuan untuk
berbuat (ikhtiar) agar kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakan.
Dalam hal ini Al Maturidi mempertemukan antara ikhtiar manusia dengan qudrat
Allah sebagai pencipta perbuatan manusia. Allah mencipta daya (kasb) dalam
setiap diri manusia dan manusia bebas memakainya, dengan demikian tidak ada
pertentangan sama sekali antara qudrat Allah dan ikhtiar manusia.
Dalam masalah pemakaian daya ini Al Maturidi memakai faham Imam Abu
Hanifah, yaitu adanya Masyiah (kehendak) dan ridha (kerelaan). Kebebasan
manusia dalam melakukan perbuatan baik atau buruk tetap berada dalam
kehendak Allah, tetapi ia dapat memilih yang diridhai-Nya atau yang tidak
diridhai-Nya. Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan Allah, dan
Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan Allah, dan berbuat buruk pun
dengan kehendak Allah, tetapi tidak dengan kerelaan-Nya.
4. Sifat Tuhan
Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama, bashar, kalam, dan sebagainya. Al
Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan
bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada
bersama/inheren) dzat tanpa terpisah (innaha lam takun ain adz-dzat wa la hiya
ghairuhu). Sifat tidak berwujud tersendiri dari dzat, sehingga berbilangnya sifat
tidak akan membawa kepada bilangannya yang qadim (taadud al-qadama).
Tampaknya faham tentang makna sifat Tuhan ini cenderung mendekati faham
Mu’tazilah, perbedaannya terletak pada pengakuan terhadap adanya sifat Tuhan.
5. Melihat Tuhan
Al Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan, hal ini diberitakan
dalam. QS. Al Qiyamah ayat 22 dan 23 :
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada
Tuhannyalah mereka melihat.”
Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat
dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun ia immaterial. Namun
melihat Tuhan, kelak di akhirat tidak dalam bentuknya, karena keadaan di sana
beda dengan dunia.
6. Kalam Tuhan
Al Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara
denagn kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi
adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan
suara adalah baharu (hadits). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya dari
bagaimana Allah bersifat dengannya, kecuali dengan suatu perantara.
7. Perbuatan Tuhan
Semua yang terjadi atas kehendak-Nya, dan tidak ada yang memaksa atau
membatasi kehendak Tuhan, kecuali karena da hikmah dan keadilan yang
ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Setiap perbuatan-Nya yang bersifat
mencipta atau kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak lepas
dari hikmah dan keadilan yang dikehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban tersebut
antara lain:
8. Pengutusan Rasul
Pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi, tanpa mengikuti ajaran
wahyu yang disampaikan oleh rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu
yang berada di luar kemampuan akalnya. Pandangan ini tidak jauh dengan
pandangan Mu’tazilah, yaitu bahwa pengutusan rasul kepada umat adalah
kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik bahkan terbaik dalam
hidupnya.
Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal
adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu amal tidak menambah atau
mengurangi esensi iman, hanya menambah atau mengurangi sifatnya.
10. Iman
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman
adalah tashdiq bi al qalb, bukan semata iqrar bi al-lisan. Al Qur’an surat Al-
Hujurat ayat 14 :
“Orang-orang Arab Badui itu berkata: ‘Kami telah beriman’. Katakanlah: ‘Kamu
belum beriman, tapi Katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum
masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia
tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang’."
Ayat tersebut difahami sebagai penegasan bahwa iman tidak hanya iqrar bi al-
lisan, tanpa diimani oleh qalbu. Lebih lanjut Al Maturidi mendasarkan
pendapatnya pada QQS. Al Baqarah ; 260,
Dalam ayat tersebut, bukan berarti bahwa Nabi Ibrahim belum beriman, tetapi
beliau menginginkan agar keimanannya menjadi keimanan ma’rifah. Ma’rifah
didapat melalui penalaran akal. Adapun pengertian iman menurut golongan
Bukhara, adalah tashdiq bi al-qalb dan iqrar bi al-lisan, yaitu meyakini dan
membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya
dengan membawa risalah serta mengakui segala pokok ajaran islam secara verbal.
b. Golongan Bukhara
Golongan Bukhara ini dipimpin oleh Abu Al Yusr Muhammad Al Bazdawi.
Dia merupakan pengikut maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam
pemikirannya. Nenek Al Bazdawi menjadi salah satu murid maturidi. Dari
orang tuanya, Al Bazdawi dapat menerima ajaran maturidi. Dengan demikian
yang di maksud golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut Al-Bazdawi di
dalam aliran Al Maturidiyah, yang mempunyai pendapat lebih dekat kepada
pendapat-pendapat Al Asy’ary.
DISUSUN OLEH :