Anda di halaman 1dari 20

MATERI KEGAWATDARURATAN MATERNAL NEONATAL

“PERDARAHAN POST PARTUM PRIMER”

OLEH:

MITA RAHMADEWI

NPM. 1726040279

DOSEN: WAYTHERLIS APRIANI, SST, M.Kes

PROGRAM STUDI DIPLOMA IV KEBIDANAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
TRI MANDIRI SAKTI BENGKULU
TAHUN AJARAN 2017/2018
PERDARAHAN POST PARTUM PRIMER

PENGERTIAN

Pendarahan pasca persalinan (post partum) adalah pendarahan pervaginam 500 ml

atau lebih sesudah anak lahir. Perdarahan merupakan penyebab kematian nomor satu (40%-

60%) kematian ibu melahirkan di Indonesia. Pendarahan pasca persalinan dapat disebabkan

oleh atonia uteri, sisa plasenta, retensio plasenta, inversio uteri dan laserasi jalan lahir .

Perdarahan postpartum adalah sebab penting kematian ibu ; ¼ dari kematian ibu yang

disebabkan oleh perdarahan ( perdarahan postpartum, plasenta previa, solution plaentae,

kehamilan ektopik, abortus dan ruptura uteri ) disebabkan oleh perdarahan postpartum.

Perdarahan postpartum sangat mempengaruhi morbiditas nifas karena anemia mengurangkan

daya tahan tubuh. Perdarahan postpartum diklasifikasikan menjadi 2, yaitu :

Perdarahan Pasca Persalinan Dini (Early Postpartum Haemorrhage, atau Perdarahan

Postpartum Primer, atau Perdarahan Pasca Persalinan Segera). Perdarahan pasca persalinan

primer terjadi dalam 24 jam pertama. Penyebab utama perdarahan pasca persalinan primer

adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir dan inversio uteri.

Terbanyak dalam 2 jam pertama.

Perdarahan masa nifas (PPH kasep atau Perdarahan Persalinan Sekunder atau

Perdarahan Pasca Persalinan Lambat, atau Late PPH). Perdarahan pascapersalinan sekunder

terjadi setelah 24 jam pertama. Perdarahan pasca persalinan sekunder sering diakibatkan oleh

infeksi, penyusutan rahim yang tidak baik, atau sisa plasenta yang tertinggal.

GEJALA KLINIS

Gejala klinis berupa pendarahan pervaginam yang terus-menerus setelah bayi lahir.

Kehilangan banyak darah tersebut menimbulkan tanda-tanda syok yaitu penderita pucat,

tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstrimitas dingin, dan lain-lain. Penderita
tanpa disadari dapat kehilangan banyak darah sebelum ia tampak pucat bila pendarahan

tersebut sedikit dalam waktu yang lama.

DIAGNOSIS PERDARAHAN PASCAPERSALINAN

Diagnosis biasanya tidak sulit, terutama apabila timbul perdarahan banyak dalam

waktu pendek. Tetapi bila perdarahan sedikit dalam jangka waktu lama, tanpa disadari pasien

telah kehilangan banyak darah sebelum ia tampak pucat. Nadi serta pernafasan menjadi lebih

cepat dan tekanan darah menurun. Seorang wanita hamil yang sehat dapat kehilangan darah

sebanyak 10% dari volume total tanpa mengalami gejala-gejala klinik. Gejala-gejala baru

tampak pada kehilangan darah 20%. Jika perdarahan berlangsung terus, dapat timbul syok.

Diagnosis perdarahan pascapersalinan dipermudah apabila pada tiap-tiap persalinan setelah

anak lahir secara rutin diukur pengeluaran darah dalam kala III dan satu jam sesudahnya.

Apabila terjadi perdarahan pascapersalinan dan plasenta belum lahir, perlu diusahakan untuk

melahirkan plasenta segera. Jika plasenta sudah lahir, perlu dibedakan antara perdarahan

akibat atonia uteri atau perdarahan karena perlukaan jalan lahir.

Pada perdarahan karena atonia uteri, uterus membesar dan lembek pada palpasi;

sedangkan pada perdarahan karena perlukaan jalan lahir, uterus berkontraksi dengan baik.

Dalam hal uterus berkontaraksi dengan baik, perlu diperiksa lebih lanjut tentang adanya dan

dimana letaknya perlukaan jalan lahir. Pada persalinan di rumah sakit, dengan fasilitas yang

baik untuk melakukan transfusi darah, seharusnya kematian akibat perdarahan

pascapersalinan dapat dicegah. Tetapi kematian tidak data terlalu dihindarkan, terutama

apabila penderita masuk rumah sakit dalam keadaan syok karena sudah kehilangan banyak

darah. Karena persalinan di Indonesia sebagian besar terjadi di luar rumah sakit, perdarahan

post partum merupakan sebab utama kematian dalam persalinan.


Diagnosis perdarahan pascapersalinan dilakukan dengan :

1. Palpasi uterus: bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri

2. Memeriksa plasenta dan ketuban apakah lengkap atau tidak.

3. Lakukan eksplorasi cavum uteri untuk mencari:

- Sisa plasenta atau selaput ketuban

- Robekan rahim

- Plasenta suksenturiata

4. Inspekulo: untuk melihat robekan pada serviks, vagina, dan varises yang pecah

5. Pemeriksaan Laboratorium periksa darah yaitu Hb, COT (Clot Observation Test), dll

Perdarahan pascapersalinan ada kalanya merupakan perdarahan yang hebat dan

menakutkan hingga dalam waktu singkat ibu dapat jatuh kedalam keadaan syok. Atau dapat

berupa perdarahan yang menetes perlahan-lahan tetapi terus menerus yang juga bahaya karena

kita tidak menyangka akhirnya perdarahan berjumlah banyak, ibu menjadi lemas dan juga

jatuh dalam presyok dan syok. Karena itu, adalah penting sekali pada setiap ibu yang bersalin

dilakukan pengukuran kadar darah secara rutin, serta pengawasan tekanan darah, nadi,

pernafasan ibu, dan periksa juga kontraksi uterus perdarahan selama 1 jam
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERDARAHAN

PASCAPERSALINAN

1. Perdarahan pascapersalinan dan usia ibu

Wanita yang melahirkan anak pada usia dibawah 20 tahun atau lebih dari 35 tahun

merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan pascapersalinan yang dapat mengakibatkan

kematian maternal. Hal ini dikarenakan pada usia dibawah 20 tahun fungsi reproduksi seorang

wanita belum berkembang dengan sempurna, sedangkan pada usia diatas 35 tahun fungsi

reproduksi seorang wanita sudah mengalami penurunan dibandingkan fungsi reproduksi

normal sehingga kemungkinan untuk terjadinya komplikasi pascapersalinan terutama

perdarahan akan lebih besar.

Perdarahan pascapersalinan yang mengakibatkan kematian maternal pada wanita

hamil yang melahirkan pada usia dibawah 20 tahun 2-5 kali lebih tinggi daripada perdarahan

pascapersalinan yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Perdarahan pascapersalinan meningkat

kembali setelah usia 30-35tahun.

2. Perdarahan pascapersalinan dan gravida.

Ibu-ibu yang dengan kehamilan lebih dari 1 kali atau yang termasuk multigravida

mempunyai risiko lebih tinggi terhadap terjadinya perdarahan pascapersalinan dibandingkan

dengan ibu-ibu yang termasuk golongan primigravida (hamil pertama kali). Hal ini

dikarenakan pada multigravida, fungsi reproduksi mengalami penurunan sehingga

kemungkinan terjadinya perdarahan pascapersalinan menjadi lebih besar.

3. Perdarahan pascapersalinan dan paritas

Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut perdarahan

pascapersalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Paritas satu dan paritas tinggi

(lebih dari tiga) mempunyai angka kejadian perdarahan pascapersalinan lebih tinggi. Pada
paritas yang rendah (paritas satu), ketidaksiapan ibu dalam menghadapi persalinan yang

pertama merupakan faktor penyebab ketidakmampuan ibu hamil dalam menangani

komplikasi yang terjadi selama kehamilan, persalinan dan nifas.

4. Perdarahan pascapersalinan dan Antenatal Care

Tujuan umum antenatal care adalah menyiapkan seoptimal mungkin fisik dan mental

ibu serta anak selama dalam kehamilan, persalinan dan nifas sehingga angka morbiditas dan

mortalitas ibu serta anak dapat diturunkan. Pemeriksaan antenatal yang baik dan tersedianya

fasilitas rujukan bagi kasus risiko tinggi terutama perdarahan yang selalu mungkin terjadi

setelah persalinan yang mengakibatkan kematian maternal dapat diturunkan. Hal ini

disebabkan karena dengan adanya antenatal care tanda-tanda dini perdarahan yang berlebihan

dapat dideteksi dan ditanggulangi dengan cepat.

5. Perdarahan pascapersalinan dan kadar hemoglobin

Anemia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan penurunan nilai hemoglobin

dibawah nilai normal. Dikatakan anemia jika kadar hemoglobin kurang dari 8 gr%.

Perdarahan pascapersalinan mengakibatkan hilangnya darah sebanyak 500 ml atau lebih, dan

jika hal ini terus dibiarkan tanpa adanya penanganan yang tepat dan akurat akan

mengakibatkan turunnya kadar hemoglobin dibawah nilai normal

ETIOLOGI

Perdarahan pascapersalinan antara lain dapat disebabkan oleh:

1. Atonia uteri

Atonia uteri merupakan kegagalan miometrium untuk berkontraksi setelah persalinan

sehingga uterus dalam keadaan relaksasi penuh, melebar, lembek dan tidak mampu

menjalankan fungsi oklusi pembuluh darah. Akibat dari atonia uteri ini adalah terjadinya

pendarahan. Perdarahan pada atonia uteri ini berasal dari pembuluh darah yang terbuka pada
bekas menempelnya plasenta yang lepas sebagian atau lepas keseluruhan. Miometrium terdiri

dari tiga lapisan dan lapisan tengah merupakan bagian yang terpenting dalam hal kontraksi

untuk menghentikan pendarahan pasca persalinan. Miometrum lapisan tengah tersusun

sebagai anyaman dan ditembus oeh pembuluh darah. Masing-masing serabut mempunyai dua

buah lengkungan sehingga tiap-tiap dua buah serabut kira-kira berbentuk angka delapan.

Setelah partus, dengan adanya susunan otot seperti tersebut diatas, jika otot berkontraksi akan

menjepit pembuluh darah. Ketidakmampuan miometrium untuk berkontraksi ini akan

menyebabkan terjadinya pendarahan pasca persalinan.

Atonia uteri merupakan penyebab tersering dari pendarahan pasca persalinan. Sekitar

50-60% pendarahan pasca persalinan disebabkan oleh atonia uteri. Faktor-faktor predisposisi

atonia uteri antara lain :

 Grandemultipara

 Uterus yang terlalu regang (hidramnion, hamil ganda, anak sangat besar (BB > 4000

gram)

 Kelainan uterus (uterus bicornis, mioma uteri, bekas operasi)

 Plasenta previa dan solutio plasenta (perdarahan antepartum)

 Partus lama (exhausted mother)

 Partus precipitatus

 Hipertensi dalam kehamilan (Gestosis)

 Infeksi uterus

 Anemi berat

 Penggunaan oksitosin yang berlebihan dalam persalinan (induksi partus)

 Riwayat PPH sebelumnya atau riwayat plasenta manual

 Pimpinan kala III yang salah, dengan memijit-mijit dan mendorong-dorong uterus

sebelum plasenta terlepas


DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata perdarahan masih

aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri setinggi pusat atau

lebih dengan kontraksi yang lembek.

Penanganan atonia uteri yaitu :

1. Masase uterus + pemberian utero tonika (infus oksitosin 10 IU s/d 100 IU dalam 500

ml Dextrose 5%, 1 ampul Ergometrin I.V, yang dapat diulang 4 jam kemudian,

suntikan prostaglandin.

2. Kompresi bimanuil

Jika tindakan poin satu tidak memberikan hasil yang diharapkan dalam waktu

yang singkat, perlu dilakukan kompresi bimanual pada pada uterus. Tangan kiri

penolong dimasukkan ke dalam vagina dan sambil membuat kepalan diletakkan pada

forniks anterior vagina. Tangan kanan diletakkan pada perut penderita dengan

memegang fundus uteri dengan telapak tangan dan dengan ibu jari di depan serta jari-

jari lain dibelakang uterus. Sekarang korpus uteri terpegang dengan antara 2 tangan;

tangan kanan melaksanakan massage pada uterus dan sekalian menekannya terhadap

tangan kiri.

3. Tampon utero-vaginal secara lege artis, tampon diangkat 24 jam kemudian.

Tindakan ini sekarang oleh banyak dokter tidak dilakukan lagi karena

umumnya dengan dengan usaha-usaha tersebut di atas pendarahan yang disebabkan

oleh atonia uteri sudah dapat diatasi. Lagi pula dikhawatirkan bahwa pemberian

tamponade yang dilakukan dengan teknik yang tidak sempurna tidak menghindarkan

pendarahan dalam uterus dibelakang tampon. Tekanan tampon pada dinding uterus

menghalangi pengeluaran darah dari sinus-sinus yang terbuka; selain itu tekanan

tersebut menimbulkan rangsangan pada miometrium untuk berkontraksi.


2. Robekan jalan lahir

Robekan jalan lahir merupakan penyebab kedua tersering dari perdarahan

pascapersalinan. Robekan dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri. Perdarahan

pascapersalinan dengan uterus yang berkontraksi baik biasanya disebabkan oleh robekan

serviks atau vagina.

Robekan Serviks

Persalinan selalu mengakibatkan robekan serviks, sehingga serviks seorang multipara

berbeda dari yang belum pernah melahirkan pervaginam. Robekan serviks yang luas

menimbulkan perdarahan dan dapat menjalar ke segmen bawah uterus. Apabila terjadi

perdarahan yang tidak berhenti meskipun plasenta sudah lahir lengkap dan uterus sudah

berkontraksi baik, perlu dipikirkan perlukaan jalan lahir, khususnya robekan serviks uteri.

Setelah persalinan buatan atau kalau ada perdarahan walaupun kontraksi uterus baik dan

darah yang keluar berwarna merah muda harus dilakukan pemeriksaan dengan speculum. Jika

terdapat robekan yang berdarah atau robekan yang lebih besar dari 1 cm, maka robekan

tersebut hendaknya dijahit. Untuk memudahkan penjahitan, baiknya fundus uteri ditekan ke

bawah hingga cerviks dekat dengan vulva. Kemudian kedua bibir serviks dijepit dengan klem

dan ditarik ke bawah. Dalam melakukan jahitan robekan serviks ini yang penting bukan

jahitan lukanya tapi pengikatan dari cabang – cabang arteria uterine.

Perlukaan vagina

Perlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum tidak sering

dijumpai. Mungkin ditemukan setelah persalinan biasa, tetapi lebih sering terjadi sebagai

akibat ekstraksi dengan cunam, terlebih apabila kepala janin harus diputar. Robekan terdapat

pada dinding lateral dan baru terlihat pada pemeriksaan spekulum.


Kolpaporeksis

Kolpaporeksis adalah robekan melintang atau miring pada bagian atas vagina. Hal ini

terjadi apabila pada persalinan yang disproporsi sefalopelvik terjadi regangan segmen bawah

uterus dengan servik uteri tidak terjepit antara kepala janin dengan tulang panggul, sehingga

tarikan ke atas langsung ditampung oleh vagina, jika tarikan ini melampaui kekuatan jaringan,

terjadi robekan vagina pada batas antara bagian teratas dengan bagian yang lebih bawah dan

yang terfiksasi pada jaringan sekitarnya. Kolpaporeksis juga bisa timbul apabila pada

tindakan pervaginam dengan memasukkan tangan penolong ke dalam uterus terjadi kesalahan,

dimana fundus uteri tidak ditahan oleh tangan luar untuk mencegah uterus naik ke atas.

Fistula

Fistula akibat pembedahan vaginal makin lama makin jarang karena tindakan vaginal

yang sulit untuk melahirkan anak banyak diganti dengan seksio sesarea. Fistula dapat terjadi

mendadak karena perlukaan pada vagina yang menembus kandung kemih atau rektum,

misalnya oleh perforator atau alat untuk dekapitasi, atau karena robekan serviks menjalar ke

tempat-tempat tersebut. Jika kandung kemih luka, urin segera keluar melalui vagina. Fistula

dapat berupa fistula vesikovaginalis atau rektovaginalis.

Robekan perineum

Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang

juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengan dan bisa

menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada

biasa, kepala janin melewati pintu panggul bawah dengan ukuran yang lebih besar daripada

sirkumferensia suboksipito bregmatika. Perdarahan pada traktus genetalia sebaiknya

dicurigai, ketika terjadi perdarahan yang berlangsung lama yang menyertai kontraksi uterus

yang kuat.
Tingkatan robekan pada perineum:

 Tingkat 1: hanya kulit perineum dan mukosa vagina yang robek

 Tingkat 2: dinding belakang vagina dan jaringan ikat yang menghubungkan otot-otot

diafragma urogenitalis pada garis tengah terluka.

 Tingkat 3: robekan total m. Spintcher ani externus dan kadang-kadang dinding depan

rektum.

Pada persalinan yang sulit, dapat pula terjadi kerusakan dan peregangan m.

puborectalis kanan dan kiri serta hubungannya di garis tengah. Kejadian ini melemahkan

diafragma pelvis dan menimbulkan predisposisi untuk terjadinya prolapsus uteri

PENATALAKSANAAN :

1. Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan sumber perdarahan.

2. Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptik

3. Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan benang yang dapat

diserap

4. Lakukan penjahitan luka mulai dari bagian yang paling distal terhadap operator.

5. Khusus pada rutura perineum komplit ( hingga anus dan sebagian rektum) dilakukan

penjahitan lapis demi lapis dengan bantuan busi pada rectum.

6. Setelah prosedur aseptik-antiseptik, pasang busi rektum hingga ujung robekan.

7. Mulai penjahitan dari ujung robekan dengan jahitan dan simpul submukosa

menggunakan benang poliglikolik no.2/0(dexon/vicryl) hingga ke spingter ani. Jepit

kedua spingter ani dengan klem dan jahit dengan benang no 2/0.

8. Lanjutkan penjahitan ke lapisan otot perineum dan sub mukosa dengan benang yang

sama (atau kromik 2/0) secara jelujur.Mukosa vagina dan kulit perineum dijahit secara

sub mukosa dan sub kutikuler. Berikan antibiotika profilaksis (ampisilin 2g dan
metronidazol 1g per oral). Terapi penuh antibiotika hanya diberikan apabila luka

tampak kotor atau dibubuhi ramuan tradisional atau terdapat tanda-tanda infeksi yang

jelas.

Perbedaan perdarahan pasca persalinan karena atonia uteri dan robekan jalan lahir adalah :

Atonia Uteri

 Kontraksi uterus lembek, lemah dan membesar ( fundus uteri masih tinggi)

 Perdarahan terjadi beberapa menit setelah anak lahir

 Bila kontraksi lemah, setelah masase atau pemberian uterotonika, kontraksi yang

lemah tersebut menjadi kuat.

Robekan jalan lahir

 Kontraksi uterus kuat, keras dan mengecil.

 Perdarahan terjadi langsung setelah anak lahir.

 Setelah dilakukan masase atau pemberian uterootonika langsung uterus mengeras tapi

perdarahan tidak berkurang.

3. Retensio plasenta

Keadaan dimana plasenta belum lahir dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir. Faktor-

faktor yang mempengaruhi pelepasan plasenta:

1. Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomali dari uterus atau serviks; kelemahan dan

tidak efektifnya kontraksi uterus; kontraksi yang tetanik dari uterus; serta

pembentukan constriction ring.

2. Kelainan dari placenta dan sifat perlekatan placenta pada uterus.

3. Kesalahan manajemen kala tiga persalinan, seperti manipulasi dari uterus yang tidak

perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta menyebabkan kontraksi yang tidak

ritmik; pemberian uterotonik yang tidak tepat waktu dapat menyebabkan serviks
kontraksi dan menahan plasenta; serta pemberian anestesi terutama yang melemahkan

kontraksi uterus.

Penyebab retensio plasenta :

Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena melekat dan tumbuh lebih dalam. Menurut

tingkat perlekatannya :

 Plasenta adhesive : plasenta yang melekat pada desidua endometrium lebih dalam.

 Plasenta inkerta : vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus desidua

endometrium sampai ke miometrium.

 Plasenta akreta : vili khorialis tumbuh menembus miometrium sampai ke serosa.

 Plasenta perkreta : vili khorialis tumbuh menembuus serosa atau peritoneum dinding

rahim.

 Plasenta sudah lepas dari dinding rahim namun belum keluar karena atoni uteri atau

adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim ( akibat kesalahan penanganan

kala III ) yang akan menghalangi plasenta keluar ( plasenta inkarserata)

Diagnosis retensio plasenta

Tanya dan dengar :

 Kapan melahirkan ?

 Kapan mulai mengalami perdarahan?

 Berapa banyak perdarahan?

 Apakah plasenta sudah dilahirkan?

 Apakah ibu sudah diberi obat?

Lihat dan Raba (Lihat tanda-tanda syok)

 Tekanan darah turun

 Kulit dingin dan lembab


 Denyut nadi lemah dan cepat

Segera setelah terlihat perdarahan:

 Raba uterus untuk memastikan uterus keras dan berkontraksi

 Lihat jalan lahir, apakah servik dan vagina robek?

 Lihat plasenta (bila sudah lahir) secara teliti untuk memastikan bahwa tidak ada

bagian yang tertinggal

Penanganan Retensio Plasenta dengan plasenta manual

Sebaiknya pelepasan plasenta manual dilakukan dalam narkosis, karena relaksasi otot

memudahkan pelaksanaannya tertutama bila retensi telah lama, sebaiknya juga dipasang infus

NaCl 0,9% sebelu tindakkan dilakukan. Setelah disinfektan tangan dan vulva termasuk daerah

seputarnynya, labia dibeberkan dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan dimasukkan

secara obstetrik ke dalam vagina.

Sekarang tangan kiri menahan fundus untuk mencegah kolporeksis. Tangan kanan

dengan posisi obstetrik menuju ostium uteri dan terus ke lokasi plasenta, tangan dalam ini

menyusuri tali pusat agar tidak terjadi salah jalan.

Supaya tali pusat mudah diraba, dapat diregangkan oleh asisten. Setelah tangan dalam

sampai ke plasenta, maka tangan tersebut dipindahkan ke pinggir plasenta dan mencari bagian

plasenta yang sudah lepas untuk menentukan bidang pelepasan yang tepat. Kemudian dengan

sisi tangan kanan sebelah kelingking ( ulner ), plasenta dilepaskan pada bidang antara bagian

plasenta yang sudah terlepas dan dinding rahim dengan gerakan yang sejajar dengan dinding

rahim. Setelah seluruh plasenta terlepas, plasenta dipegang dan dengan perlahan-lahan ditarik

keluar.
Kesulitan yang mungkin dijumpai pada waktu pelepasan plasenta secara manual

adalah adanya lingkaran kontriksi yang hanya dapat dilalui dengan dilatasi oleh tangan dalam

secara perlahan-lahan dan dalam nakrosis yang dalam. Lokasi plasenta pada dinding depan

rahim juga sedikit lebih sukar dilepaskan daripada lokasi di dinding belakang. Ada kalanya

plasenta tidak dapat dilepaskan secara manual seperti halnya pada plasenta akreta, dalam hal

ini tindakan dihentikan.

Setelah plasenta dilahirkan dan diperiksa bahwa plasenta lengkap, segera lakukan

kompresi bimanual uterus dan dapat disuntikkan Ergometrin 0.2 mg IM atau IV sampai

kontraksi uterus baik. Pada kasus retensio plasenta, resiko atonia uteri tinggi, oleh karena itu

harus dilakukan tindakan pencegahan perdarahan postpartum.

4. Inversio Uteri

Inversio uteri adalah keadaan dimana fundus uteri terbalik sebagian atau seluruhnya

masuk ke dalam kavum uteri. Uterus dikatakan mengalami inverse jika bagian dalam menjadi

diluar saat melahirkan plasenta. Reposisi sebaiknya segera dilakukan dengan berjalannya

waktu, lingkaran konstriksi sekitar uterus yang terinversi akan mengecil dan uterus akan terisi

darah. Inversio uteri dapat menyebabkan pendarahan pasca persalinan segera, akan tetapi

kasus inversio uteri ini jarang sekali ditemukan. Pada inversio uteri bagian atas uterus

memasuki kavum uteri, sehingga fundus uteri sebelah dalam menonjol ke dalam kavum uteri.

Inversio uteri terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah plasenta keluar.

Inversio uteri bisa terjadi spontan atau sebagai akibat tindakan. Pada wanita dengan

atonia uteri kenaikan tekanan intraabdominal dengan mendadak karena batuk atau meneran,

dapat menyebabkan masuknya fundus ke dalam kavum uteri yang merupakan permulaan

inversio uteri. Tindakan yang dapat menyebabkan inversio uteri adalah perasat Crede pada
korpus uteri yang tidak berkontraksi baik dan tarikan pada tali pusat dengan plasenta yang

belum lepas dari dinding uterus.

Pada penderita dengan syok, perdarahan, dan fundus uteri tidak ditemukan pada

tempat yang lazim pada kala III atau setelah persalinan selesai, pemeriksaan dalam dapat

menunjukkan tumor yang lnak di atas serviks atau dalam vagina sehingga diagnosis inversio

uteri dapat dibuat. Pada mioma uteri submukosum yang lahir dalam vagina terdapat pula

tumor yang serupa, akan tetapi fundus uteri ditemukan dalam bentuk dan pada tempat biasa,

sedang konsistensi mioma lebih keras daripada korpus uteri setelah persalinan. Selanjutnya

jarang sekali mioma submukosum ditemukan pada persalinan cukup bulan atau hampir cukup

bulan.

Walaupun inversio uteri kadang-kadang bisa terjadi tanpa gejala dengan penderita

tetap dalam keadaan baik, namun umumnya kelainan tersebut menyebabkan keadaan gawat

dengan angka kematian tinggi (15-70%). Reposisi secepat mungkin memberi harapan yang

terbaik untuk keselamatan penderita.

Pembagian inversion uteri :

 Inversio uteri ringan : fundus uteri terbalik menonjol ke dalam kavumuteri namun

belum keluar dari ruang rongga rahim.

 Inversio uteri sedang : terbalik dan sudah masuk ke dalam vagina.

 Inversio uteri berat : uterus dan vagina semuanya terbalik dan sebagian sudah keluar

vagina.

Penyebab inversion uteri ;

 grande multipara

 atoni uteri
 kelemahan alat kandungan

 tekanan intra abdominal yang tinggi ( mengejan dan batuk ).

Faktor – faktor yang memudahkan terjadinya inversion uteri :

 Uterus yang lembek, lemah, tipis dindingnya.

 Tarikan tali pusat yang berlebihan.

Gejala klinis inversion uteri :

Dijumpai pada kala III atau postpartum dengan gejala nyeri yang hebat, perdarahan

yang banyak sampai syok. Apalagi bila plasenta masih melekat dan sebagian sudah ada yang

terlepas dan dapat terjadi stranguasi dan nekrosis.

Pemeriksaan dalam :

 Bila masih inkomplit aka pada daerah simfisis uterus teraba fundus uteri cekung ke

dalam.

 Bila komplit, diatas simfisis uterus teraba kosong dan dalam vagina teraba tumor

lunak.

 Kavum uteri sudah tidak ada.

Diagnosis dan gejala klinis inversio uteri :

Dijumpai pada kala III atau post partum dengan gejala nyeri yang hebat, perdarahan

yang banyak sampai syok. Apalagi bila plasenta masih melekat dan sebagian sudah ada yang

terlepas dan dapat terjadi strangulasi dan nekrosis.

Pemeriksaan dalam :
 Bila masih inkomplit maka pada daerah simfisis uterus teraba fundus uteri cekung ke

dalam.

 Bila komplit, di atas simfisis uterus teraba kosong dan dalam vagina teraba tumor

lunak.

 Kavum uteri sudah tidak ada (terbalik).

Penanganan inversio uteri :

Pencegahan : hati-hati dalam memimpin persalinan, jangan terlalu mendorong rahim

atau melakukan perasat Crede berulang-ulang dan hati-hatilah dalam menarik tali pusat serta

melakukan pengeluaran plasenta dengan tajam.

Bila telah terjadi maka terapinya :

- Bila ada perdarahan atau syok, berikan infus dan transfusi darah serta perbaiki

keadaan umum.

- Segera itu segera lakukan reposisi kalau perlu dalam narkosa.

- Bila tidak berhasil maka lakukan tindakan operatif secara per abdominal (operasi

Haultein) atau per vaginam (operasi menurut Spinelli).

- Di luar rumah sakit dapat dibantu dengan melakukan reposisi ringan yaitu dengan

tamponade vaginal lalu berikan antibiotik untuk mencegah infeksi.

PENANGANAN PERDARAHAN PASCAPERSALINAN

Penanganan perdarahan pasca persalinan pada prinsipnya adalah hentikan perdarahan,

cegah/atasi syok, ganti darah yang hilang dengan diberi infus cairan (larutan garam fisiologis,

plasma ekspander, Dextran-L, dan sebagainya), transfusi darah, kalau perlu oksigen.

Walaupun demikian, terapi terbaik adalah pencegahan. Mencegah atau sekurang-kurangnya

bersiap siaga pada kasus kasus yang disangka akan terjadi perdarahan adalah penting.

Tindakan pencegahan tidak saja dilakukan sewaktu bersalin, namun sudah dimulai sejak ibu
hamil dengan melakukan "antenatal care" yang baik. Ibu-ibu yang mempunyai predisposisi

atau riwayat perdarahan post partum sangat dianjurkan untuk bersalin di rumah sakit. Di

rumah sakit, diperiksa kadar fisik, keadaan umum, kadar Hb, golongan darah, dan bila

mungkin tersedia donor darah. Sambil mengawasi persalianan, dipersiapkan keperluan untuk

infus dan obat-obatan penguat rahim.

Anemia dalam kehamilan, harus diobati karena perdarahan dalam batas batas normal

dapat membahayakan penderita yang sudah menderita anemia. Apabila sebelumnya penderita

sudah pernah mengalami perdarahan post partum, persalinan harus berlangsung di rumah

sakit. Kadar fibrinogen perlu diperiksa pada perdarahan banyak, kematian janin dalam uterus,

dan solutio plasenta.

Dalam kala III, uterus jangan dipijat dan didorong kebawah sebelum plasenta lepas

dari dindingnya. Penggunaan oksitosin sangat penting untuk mencegah perdarahan

pascapersalinan. Sepuluh satuan oksitosin diberikan intramuskular segera setelah anak lahir

untuk mempercepat pelepasan plasenta. Sesudah plasenta lahir, hendaknya diberikan 0,2 mg

ergometrin, intramuskular. Kadang-kadang pemberian ergometrin setelah bahu depan bayi

lahir pada presentasi kepala menyebabkan plasenta terlepas segera setelah bayi seluruhnya

lahir; dengan tekanan pada fundus uteri, plasenta dapat dikeluarkan dengan segera tanpa

banyak perdarahan. Namun salah satu kerugian dari pemberian ergometrin setelah bahu bayi

lahir adalah terjadinya jepitan (trapping) terhadap bayi kedua pada persalinan gameli yang

tidak diketahui sebelumnya. Pada perdarahan yang timbul setelah anak lahir, ada dua hal yang

harus segera dilakukan, yaitu menghentikan perdarahan secepat mungkin dan mengatasi

akibat perdarahan. Tetapi apabila plasenta sudah lahir, perlu ditentukan apakah disini dihadapi

perdarahan karena atonia uteri atau karena perlukaan jalan lahir. Pada perdarahan yang

disebabkan oleh atonia uteri, dengan segera dilakukan massage uterus dan suntikan 0,2 mg

ergometrin intravena.

Anda mungkin juga menyukai