Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

KRITISASI TERHADAP SUFISME

Disusun oleh :
MUHSIN ALI AKBAR

PRODI MUAMALAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM HAMZANWADI NW LOTIM
TAHUN AKADEMIK
2018

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karna berkat rahmat
serta hidayahnya ahirnya kami dapat menyelsaikan makalah dengan judul
“Kritisasi Terhadap Sufisme” sebagai tugas mata kuliah di Kampus Fakultas
Tarbiyah

Dalam penyusunan makalah ini tidak terlepas dari kerjasama team


kelompok, kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan
mengingat keterbatasan kemampuan yang kami miliki. oleh sebab itu kritik dan
saran yang membangun sangat diharapkan dari teman-teman dan terlebih-lebih
dari bapak/ibu dosen pengampu mata kuliah terkait.

Semoga makalah ini dapat bermampaat bagi kita semua sebagai bahan
tambahan bacaan untuk kaji kembali.

Anjani Januari 2018

i
DAFTAR ISI

Halaman Sampul
Kata Pengantar ..................................................................................................... i
Daftar Isi.............................................................................................................. ii
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar Belakang ....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ..................................................................................... 2
BAB II. PEMBAHASAN .................................................................................. 3
A. Pengertian Tasawuf/Sufisme ................................................................... 3
B. Sejarah sufisme dan perkembangannya dari masa ke masa .................... 6
C. Pandangan Islam terhadap Tasawwuf/Sufisme ..................................... 12
D. Bentuk kritik terhadap Praktik Tasawuf Secara Umum ........................ 13
E. Bentuk Kritik terhadap Tarekat ............................................................. 15
BAB III. PENUTUP ........................................................................................ 16
A. Kesimpulan ........................................................................................... 16
B. Saran-saran ............................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Melihat spektrum yang relatif luas dan sebagai sistem keagamaan yang
utuh, islam memberikan tempat kepada dua jenis penghayatan sekaligus,
yaitu eksoteris (zhahiri) dan esoteris. Tekanan yang kapada salah satu jenis
penghayatan bukan melahirkan kepincangan yang melayani prinsip
keseimbangan (tawazun).
Tasawuf, yang dikalangan barat dikenal sebagai misitisme islam
merupakan salah satu aspek esoteris islam sekaligus perwujudan ihsan yang
menyadari adanya komunikasi langsung dengan Tuhan. Esensi ajaran ini
sebenarnya telah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Meskipun demikian,
tasawuf merupakan hasil kebudayaaan sebagaimana ilmu keislaman lainnya
seperti ilmu fiqh dan ilmu tauhid. Oleh karena itu tasawuf tidak lepas dari
kritikan-kritikan dari berbagai golongan yang menentangnya.
Serangan yang berulang-ulang ditujukan kepada tasawuf dalam sejarah
islam memiliki banyak penyebab. Tidak sedikit diantara penyebab ini berupa
pengaruh sosial dan politik para guru sufi, yang sering mengancam kekuasaan
serta hak-hak istimewa para ahli hukum bahkan penguasa. Walaupun otoritas
–otoritas besar sufi telah meletakkan banaya garis pemandu untuk menjaga
tasawuf agar tepat berada di jantung tradisi islam, gerakan keagamaan yang
ditujukan untuk mengintensifkan pengalaman keagamaan dan mempunyai
sedikit kepedulian terhadap norma-norma islamjuga dikaitkan dengan
tasawuf[2].
Tak peduli apakah para anggota geakan-gerakan ini menganggap diri
mereka sufi atau bukan , yang jelas penentang sufisme merasa beruntung
dapat mengklaim bahwa ekses-ekses yang ditimbulkan oleh anggota gerakan
tersebut mewakili sifat-sifat sejati tasawuf.
Begitu kerasnya serangan dari luar (orientalis) dalam menjatuhkan
tasawuf di mata dunia. Kritikan- kritikan para tokoh yang menganggap bahwa
tasawuf bukan berasal dari islam sesungguhnya inilah yang telah lama

1
muncul. Faktor ini lah yang membuat penulis tertarik mengupas lebih dalam
mengenai tasawuf dari sudut pandang pengkritisan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah asal usul sejarah dan perkembangan sufisme/tasawwuf?
2. Bagaimana bentuk kritik terhadap tasawuf/sufisme?
3. Bagaimanakah pandangan islam terhadap tasawwuf/sufisme?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan sufisme/tasawuf
2. Untuk mengetahui bentuk kritik terhadap tasawuf /sufisme.
3. Untuk mengetahui pandangan islam terhadap tasawwuf /sufisme

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tasawwuf / Sufisme


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
1. Definisi Tasawwuf secara Bahasa
Tasawuf (Tasawwuf) atau Sufisme (bahasa Arab: ‫ تصوف‬, ) adalah
ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan
akhlaq, membangun dhahir dan batin serta untuk memperoleh kebahagian
yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi
hal duniawi) dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi
mistisme Islam. Tarekat (pelbagai aliran dalam Sufi) sering dihubungkan
dengan Syiah, Sunni, cabang Islam yang lain, atau kombinasi dari
beberapa tradisi. Pemikiran Sufi muncul di Timur Tengah pada abad ke-8,
sekarang tradisi ini sudah tersebar ke seluruh belahan dunia. Sufisme
merupakan sebuah konsep dalam Islam, yang didefinisikan oleh para ahli
sebagai bagian batin, dimensi mistis Islam; yang lain berpendapat bahwa
sufisme adalah filosofi perennial yang eksis sebelum kehadiran agama,
ekspresi yang berkembang bersama agama Islam.
2. Etimologi
Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata "Sufi". Pandangan
yang umum adalah kata itu berasal dari Suf (‫)صوف‬, bahasa Arab untuk
wol, merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para asetik
Muslim. Namun tidak semua Sufi mengenakan jubah atau pakaian dari
wol. Ada juga yang berpendapat bahwa sufi berasal dari kata saf, yakni
barisan dalam sholat. Suatu teori etimologis yang lain menyatakan bahwa
akar kata dari Sufi adalah Safa (‫)صصص‬, yang berarti kemurnian. Hal ini
menaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa.[2] Teori
lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie artinya
ilmu ketuhanan.

3
3. Definisi Sufisme menurut para Ahli
 Yaitu paham mistik dalam agama Islam sebagaimana Taoisme di
Tiongkok dan ajaran Yoga di India (Mr. G.B.J Hiltermann &
Prof.Dr.P.Van De Woestijne).
 Yaitu aliran kerohanian mistik (mystiek geestroming) dalam agama Islam
(Dr. C.B. Van Haeringen).
Pendapat yang mengatakan bahwa sufisme/tasawuf berasal dari dalam
agama Islam:
 Asal usul ajaran sufi didasari pada sunnah Nabi Muhammad. Keharusan
untuk bersungguh-sungguh terhadap Allah merupakan aturan di antara
para muslim awal, yang bagi mereka adalah sebuah keadaan yang tak
bernama, kemudian menjadi disiplin tersendiri ketika mayoritas
masyarakat mulai menyimpang dan berubah dari keadaan ini. (Nuh Ha
Mim Keller, 1995) [6]
 Seorang penulis dari mazhab Maliki, Abd al-Wahhab al-Sha'rani
mendefinisikan Sufisme sebagai berikut: "Jalan para sufi dibangun dari
Qur'an dan Sunnah, dan didasarkan pada cara hidup berdasarkan moral
para nabi dan yang tersucikan. Tidak bisa disalahkan, kecuali apabila
melanggar pernyataan eksplisit dari Qur'an, sunnah, atau ijma." [11.
Sha'rani, al-Tabaqat al-Kubra (Kairo, 1374), I, 4.] [7].
 Sufi tidak lain adalah ajaran untuk mencapai maqam Ihsan (sebagaimana
tersebut dalam hadist) atau mencapai status muqarrabun (orang-orang
yang didekatkan kepada ALLAH).
 Tasawuf adalah penafsiran bathin (psikologis) dari ayat-ayat Quran
seperti : Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung
selain ALLAH adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan
sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau
mereka mengetahui (Quran, 29:41). Dalam Tasawuf, yang dimaksud
pelindung dalam ayat ini juga termasuk pelindung secara psikologis,
sebagaimana kita ketahui manusia banyak menggantungkan keberhargaan
dirinya kepada dunia (seperti harta, jabatan, pasangan, teman, dll). Dalam
Tasawuf, keberhargaan diri hanya boleh digantungkan kepada ALLAH.

4
Karena jika memang mereka percaya ALLAH adalah yang paling kuat dan
berharga, maka menggantungkan kepada selain ALLAH adalah taghut
(sesembahan). Inilah kenapa dalam tareqahnya, seorang Sufi (penempuh
Tasawuf) harus bisa menjadikan ALLAH sebagai satu-satunya sumber
kekuatan dan penghargaan dirinya. Dalam istilah lain, Tasawuf adalah
ajaran untuk mencapai Tauhid secara bathin (psikologis).
 Sisi psikologis (bathin) yang terdapat dalam ajaran-ajaran Kristen, Budha,
dll sebaiknya tidak menafikan keberadaan Tasawuf sebagai sisi psikologis
(bathin) dalam ajaran Islam. Hal ini karena Islam adalah ajaran
penyempurna sehingga tidak harus sepenuhnya baru dari ajaran-ajaran
yang terdahulu. Adanya sisi bathin dalam ajaran-ajaran yang sebelumnya
ada malahan memperkuat status Tasawuf karena tentunya harus ada garis
merah antara agama-agama yang besar, karena kemungkinan besar ajaran-
ajaran tersebut dulunya sempat benar, sehingga masih ada sisa-sisa
kebenaran yang mirip dengan Tasawuf sebagai sisi bathin (psikologis) dari
ajaran Islam.
Pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari luar agama
Islam:
 Sufisme berasal dari bahasa Arab suf, yaitu pakaian yang terbuat dari wol
pada kaum asketen (yaitu orang yang hidupnya menjauhkan diri dari
kemewahan dan kesenangan). Dunia Kristen, neo platonisme, pengaruh
Persi dan India ikut menentukan paham tasawuf sebagai arah asketis-
mistis dalam ajaran Islam (Mr. G.B.J Hiltermann & Prof.Dr.P.Van De
Woestijne).
 (Sufisme)yaitu ajaran mistik (mystieke leer) yang dianut sekelompok
kepercayaan di Timur terutama Persi dan India yang mengajarkan bahwa
semua yang muncul di dunia ini sebagai sesuatu yang khayali (als idealish
verschijnt), manusia sebagai pancaran (uitvloeisel) dari Tuhan selalu
berusaha untuk kembali bersatu dengan DIA (J. Kramers Jz).

5
B. Sejarah Sufisme dan perkembangannya dari masa ke masa
Banyak sekali kajian sejarah mengenai Tasawuf atau Sufi. Ada
sejumlah pendekatan yang dilakukan untuk menganalisa lintasan sejarah
Tasawuf atau Thariqat Tasawuf, antara lain:
1. Kajian terhadap teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang berkaitan
dengan dimensi Sufistik.
2. Kajian terhadap profil para tokoh Sufi dengan pemikiran, pandangan,
tindakan dan karya-karyanya.
3. Kajian falsafah dibalik ungkapan Sufistiknya.
4. Kajian praktik Sufistik dan Thariqatnya dari masa ke masa.
Kisah-kisah Sufi.
Sebagaimana diketahui Islam lahir dibawa oleh Rasulullah Muhammad
saw. dengan doktrin-doktrin keagamaan,bersifat lahiriyah mahupun batiniyah.
Kedua doktrin tersebut bermuara pada satu titik, yang disebut dengan Titik
Tauhid. Iaitu mengEsakan Allah swt. baik dalam keyakinan mahupun
amaliyah ummat manusia. Oleh sebab itu, kelak akan muncul sejumlah istilah
atau terminologi dalam ilmu-ilmu Islam sebagai pendekatan lain dari
pemahaman amaliyah Islam itu sendiri.
Unsur-unsur Tauhid (teologi) dalam tradisi sejarah Islam, lebih banyak
pendapat ketika Rasulullah Muhammad saw, berada di Makkah, baru ketika
hijrah ke Madinah sejumlah doktrin tentang amaliyah yang kelak disebut
dengan doktrin Syari’at diturunkan. Lebih jauh tentang kajian sejarah
berpendapat doktrin keagamaan antara masa Makkah dan Madinah ini, boleh
dilihat dari beberapa kitab tentang Asbabun Nuzul, iaitu kajian tentang sebab-
sebab turunnya ayat Al-Qur’an, dan Asbabul Wurud, berkait dengan sebab-
sebab munculnya hadits Nabi saw.
Sementara itu, fungsi-fungsi hadits Nabi antara lain menjelaskan
praktik Al-Qur’an, — dan kerananya kedudukan Hadits juga setara dengan
Wahyu – lebih banyak memberikan petunjuk yang bersifat sejarah, iaitu
kepentingan-kepentingan zaman saat itu, walaupun, kedua sumber agama itu
tetap bersifat universal dan sejarah. Apalagi ketika, sumber-sumber tersebut
dibuat telah seputar dunia esoteris, maka fungsi-fungsi sejarah hanya sebagai

6
pelengkap belaka, selebihnya justru elemen-elemen fundamental akan muncul
sebagai landasan pandangannya.
Seluruh ummat Islam pada masa Rasulullah saw, baik ketika di Makkah
mahupun di Madinah, sama sekali tidak memunculkan potensi-potensi
konflik, apalagi muncul suatu kontradiksi , baik dari segi pemahaman
keagamaan mahupun ritual keagamaan, bahkan dalam praktik kehidupan
sehari-hari. Hal demikian kerana ummat Islam terikat suatu kesepakatan
terhadap kedua sumber utama praktik ibadah mereka, sementara Rasul
Muhammad saw, menjadi rujukan utama setiap masalah, sekaligus menjadi
hakim atas semua persoalan yang muncul.
Tetapi perbezaan mulai muncul, terutama dalam soal pandangan yang
bersifat publik, iaitu mengenai Khilafah paska Rasulullah saw, sepeninggal
beliau. Perbezaan pandangan ini memuncak ketika masa Khalifah Utsman bin
Affan – ra, dan Ali bin Abi Thalib – semoga Allah memuliakan wajahnya –.
Kelak perbezaan ini turut mewarnai munculnya paksi-paksi dalam praktik
Islam, dan turut memberikan warna terhadap sejarah perkembangan Tasawuf
itu sendiri, yang beriringan dengan dinamika sejarah Teologi dan mazhab-
mazhab fiqih.
Istilah-istilah yang menjadi terminologi dalam Tasawuf, juga tidak
pernah terekam, secara akademis dalam sejarah masa Islam awal. Bahkan di
zaman Nabi kata Sufi, kata Syari’at, Hakikat, atau pun Thariqat, tidak
dimunculkan sebagai istilah tersendiri dalam praktik keagamaan. Semata,
kerana para Sahabat dan Tabi’in, adalah sekaligus para pelaku Syari’at,
Thariqat dan Hakikat, dalam hariannya. Hanya satu setengah abad kemudian,
istilah-istilah itu muncul dengan terminologi tersendiri, dalam kerangka
memudahkan praktik ke-Islaman yang sebenarnya.
Untuk melihat sejarah Tasawuf, definisi seputar Tasawuf dari para
pelaku serta tokoh-tokohnya sangat membantu alur sejarah itu hingga dewasa
ini. Pada zaman Nabi saw. kita mengenal istilah yang sangat komprehensif
mengenai dunia esoteris, yang disebut dengan Al-Ihsan. Dalam riwayat Al-
Bukhari, disebutkan oleh Rasulullah saw, dalam sabdanya:

7
“Hendaknya engkau menyembah kepada Allah seaakan-akan engkau
melihatNya, maka apabila engkau tidak melihatNya sesungguhnya Dia
melihatmu.” (H.r. Bukhari)
Istilah Al-Ihsan tersebut, dalam praktiknya, memunculkan tradisi agung
dalam Islam, iaitu amaliyah batin yang kekal membangunkan suatu akademi
esoteris yang luar biasa. “Seakan-akan melihat Allah dan Allah melihatnya,”
adalah puncak dari prestasi moral seorang hamba Allah disaat sang hamba
berhubungan denganNya.
Proses-proses berhubungan itulah yang kemudian diatur dalam praktik
Tasawuf. Kerana dalam setiap tradisi Thariqat Tasawuf yang memiliki sanad
sampai kepada Rasulullah saw. – kelak disebut dengan Thariqat Mu’tabarah –
menunjukkan bahawa tradisi Sufistik sudah berlangsung sejak zaman
Rasulullah saw. Hanya saja tradisi tersebut tidak terpublikasi secara massif
mengingat dunia esoteris adalah dunia spesifik, dimana tidak semua khalayak
menerimanya.
Doktrin-doktrin Zikir dan pelaksanaannya yang dilakukan melalui Baiat
pada Rasulullah saw. menggambarkan hubungan-hubungan saikologi antara
Rasul saw. ketika itu dengan sahabat dan Allah swt.
Di lain pihak, tradisi akademi Tasawuf nantinya melahirkan produk-
produk penafsiran esoterik atau metafisik, terhadap khazanah Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi. Selain Al-Qur’an secara khusus punya penekanan terhadap
soal-soal Tasawuf, ternyata seluruh kandungan Al-Qu’ran juga mengandung
dimensi batin yang sangat unik. Jadi tidak ada alasan sama sekali untuk
menolak Tasawuf, hanya kerana beralasan bahawa Tasawuf tidak ada dalam
Al-Qur’an. Padahal seluruh kandungan Al-Qur’an tersebut mengandung dua
hal: zahir dan batin, syari’at dan hakikat.
Prof. Dr. Said Aqiel Siradj mencatat bahawa istilah Tasawuf,
kebanyakan rujukan menyebutkan muncul dari Ma’rif al-Karkhy (w. 200).
Namun Said Aqil cenderung berpihak pada Abu Abdillah (Abu Musa) Jabir
bin Hayyan bin Abdillah al-Kufi al-Azdy (w. 161 H.) salah satu murid dari
Ja’far ash-Shadiq yang terkenal dengan temuannya, Aljabar. Jabir bin Hayyan
inilah yag pertama kali mendapat gelar sebagai Sufi, kerana sebagai seorang

8
ilmuwan matematik dan kimia, Jabir justru memasuki dunia Sufi dengan
segala penemuannya.
Kesadaran Jabir bin Hayyan memasuki dunia Sufi bermula dari
aksioma Dhomir (kata ganti): Ana (aku, orang pertama), Huwa (dia, orang
ketiga) dan Anta (kamu, orang kedua). Ketiga kata ganti tersebut boleh
melekat pada satu orang, semisal Ahmad. Ketika ia menyebut dirinya pasti
menggunakan kata ganti Ana, jika ia tidak ada ditempat maka ia disebut
dengan Dia, sementara ketika ia ada di hadapan Anda, maka Anda
menyebutnya Anta. Lalau kemana larinya Ana, Anta, Huwa, setelah Ahmad
meninggal dunia? Jabir menyimpulkan bahawa semua dlomir yang yang
disandang itu kembali kepada Yang berhak mempunyai Ana, Anta dan Huwa,
iaitu Allah swt.
Baru pada abad ketiga hijriyah dinamika tasawuf baru pada taraf
Tasawuf Sunni (akhlaqy). Baru kemudian menurut Said Aqil, berkembang
Tasawuf Falsafi sebagaimana digaungkan oleh Abu Yazid al-Bistamy
(w.261H.), disusul Abu Mansur Al-Hallaj (w.309) masing-masing dengan
teori Al-fana’ dan Anal Haq. Dua abad berikutnya muncullah as-Suhrawardi
al-Maqtul dengan pandangan Isyraqynya, disusul Muhammad bin Abu Bakr
Ibrahim bin Abi Ya’kub Ishak al-Aththar (w. 621 H), memperkenalkan teori
Al-Ittihad. Hampir boleh diskatakan bahawa puncak prestasi dari Tasawuf
falsafy itu pada Ibnu Araby.
Abdurrahman as-Sulamy (W. 412 H) dalam kitabnya Thabaqatus
Shufiyah, membagi generasi Sufi menjadi lima masa hingga peridodenya.
Kitab Thabaqatus Shufiyah tersebut sangat berperan besar dalam menyatukan
visi besar kaum Shui, mengingat ucapan-ucapan para tokoh Shufi dikutip di
sana, bahkan dengan sejumlah landasan Al-Qur’an dan as-Sunnah.
Sebelumnya Ulama dan Sufi besar ini menulis buku yang cukup bagus pula,
Tarikhus Shufiyah. Sebelumnya para Ulama Shufi juga menulis, walaupun
tidak sekomprehensif As-Sulamy, beberapa kitab tentang sejarah dan biografi
para Sufi. Antara lain:
Thabaqatun Nusaak, karya Abu Sa’id Ibnul A’raby (W. 341 H) yang
sering dibuat rujukan utama oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’.

9
Akhbarush-Shufiyah waz-Zuhad, tulisan Muhammad bin Dawud bin
Sulaiman, yang populer dengan Abu Bakr an-Naysabury (W. 342 H.)
Tarikhush-Shufiyah , karya Ahmad bin Muhammad bin Zakaria an-Nasawy
az-Zahid (W. 396 H).
As-Sulamy dalam Thabaqat, merinci sejumlah nama besar dari seluruh
masa itu, dengan lima generasi. Generasi ini menurut As-Sulamy adalah
generasi terbaik, yang meletakkan dasar-dasar utama Sufi, dan masuk dalam
katergori sabda Rasulullah saw:
“Sebaik-baik ummat manusia adalah generasi abadku, kemudian
generasi abad yang berikutnya, lalu generasi abad berikutnya…” (H.r.
Bukhari)
Generasi inilah yang juga pernah diprediksi oleh Rasulullah saw, dalam
sabdanya: “Ummatku senantiasa ada empat puluh orang, berperilaku dengan
budi pekeri Ibrahim Al-Khalil Alaihissalam, manakala ada suatu perkara
datang, mereka diserahi.”
Generasi pertama sampai generasi kelima, berjumlah 100 tokoh Sufi,
masing-masing generasi terdiri 20 tokoh:
Generasi pertama :
Al-Fudhail bin ‘Iyadh; Dzun Nuun al-Mishry; Ibrahim bin Adham;
Bisyr Al-Hafy; Sary as-Saqathy; Al-Harits al-Muhasiby; Syaqiq al-Balkhy;
Abu Yazid al-Bisthamy; Abu Sulaiman ad-Darany; Ma’ruf Al-Karkhy; Hatim
al-Asham; Ahmad bin Abil Hawary; Ahmad bin Hadhrawiyah; Yahya bin
Mu’adz ar-Razy; Abu Hafsh an-Naysabury; Hamdun al-Qashshar; Manshur
bin Ammar; Ahmad bin Ashim al-Anthaky; Abdullah bin Khubaiq al-
Anthaky dan Abu Turab an-Nakhsyaby.

Generasi Kedua :
Abul Qasim al-Junaid; Abul Husayn an-Nuury; Abu Utsman al-Hiry
an-Naysabury; Abu Abdullah ibnul Jalla’; Ruwaim bin Ahmad al-Baghdady;
Yusuf bin ibnul Husain ar-Razy; Syah al-Kirmany; Samnun bin Hamzah al-
Muhibb; Amr bin Utsman al-Makky; Sahl bin Abdullah at-Tustary;
Muhammad bin Fadhl al-Balkhy; Muhammad bin Ali at-Turmudzy; Abu
Bakr al-Warraq; Abu Sa’id al-Kharraz; Ali bin Sahl al-Asbahany; Abul
Abbas bin Masruq ath-Thusy; Abu Abdullah al-Maghriby; Abu Ali az-
Juzajany; Muhammad dan Ahmad, keduanya putra Abul Ward; Abu
Abdullah As-Sijzy.

Generasi Ketiga :
Abu Muhammad al-Jurairy; Abul Abbas bin Atha’ al-Adamy; Mahfud
bin Mahmud an-Naisabury; Thahir al-Muqaddasy; Abu Amr ad-Dimasyqy;

10
Abu Bakr bin Hamid At-Turmudzy; Abu Ishaq Ibrahim al-Khawash;
Abdullah bin Muhammad al-Kharraz ar-Razy; Bunan bin Muhammad al-
Jamal; Abu Hamzah al-Baghdady al-Bazzaz; Abul Husayn al-Warraq an-
Naisabury; Abu Bakr Al-Wasithy; Al-Husayn bin Mashur al-Hallaj; Abul
Husayn bin as-Shaigh ad-Dainury; Mumsyadz ad-Dinawary; Ibrahim al-
Qashshar; Khairun Nasaj; Abu Hamzah al-Khurasany; Abu Abdullah ash-
Shubaihy; Abu Ja’far bin Sinan.

Generasi Keempat :
Abu Bakr asy-Syibly; Abu Muhammad al-Murtaisy; Abu Ali ar-
Rudzbary; Abu Ali Ats-Tsaqafy; Abdullah bin Muhammad bin Manazil;
Abul Khair al-Aqtha’ at-Tinaty; Abu Bakr al-Kattany; Abu Ya’qub an-
Nahrajury; Abul Hasan al-Muzayyin; Abu Ali ibnul Katib; Abul Husayn bin
Banan; Abu Bakr bin Thohir al-Abhury; Mudzaffar al-Qurmisainy; Abu Bakr
bin Yazdaniyar; Abu Ishaq Ibrahim ibnul Maulid; Abu Abdullah bin Salim al-
Bashry; Muhammad bin Alyan an-Nasawy; Abu Bakr bin Abi Sa’dan.

Generasi Kelima :
Abu Sa’id ibnul A’raby; Abu Amr az-Zujajy; Ja’far bin Muhammad al-
Khuldy; Abul Abbas al-Qasim as-Sayyary; Abu Bakr Muhammad bin Dawud
ad-Duqqy; Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad asy-Sya’’any; Abu
Amr Ismail bin Nujaid; Abul Hasan Ali bin Ahmad Al-Busyanjy; Abu
Abdullah Muhammad bin Khafif; Bundar ibnul Husayn as-Syirazy; Abu Bakr
ath-Thimistany; Abul Abbas Ahmad bin Muhammad ad-Dainury; Abu
Utsman Said bin Salam al-Maghriby; Abul Qasim Ibrahim bin Muhammad
an-Nashruabadzy; Abul Hasan Ali bin Ibrahim al-Hushry; Abu Abdullah at-
Targhundy; Abu Abdullah ar-Rudzbary; Abul Hasan Ali bin Bundar ash-
Shairafy; Abu Bakr Muhammad bin Ahmad asy-Syabahy; Abu Bakr
Muhammad bin Ahmad al-Farra’; Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-
Muqry’ dan Abul Qasim Ja’far bin Ahmad al-Muqri’; Abu Muhammad
Abdullah bin Muhammad ar-Rasy; Abu Abdullah Muhammad bin Abdul
Khaliq ad-Dinawary.

Setelah masa As-Sulamy muncul beberapa Sufi seperti Abul Qasim al-
Qusyairy, disusul prestasi puncak pada Abu Hamid Al-Ghazali ( yang
bergelar Hujjatul Islam), kemudian Syeikh Abdul Qadir al-Jilany, Ibul Araby,
dan Sultanul Auliya Syeikh Abul Hasan- Asyadzily.
Dari seluruh tokoh sufi di atas, melahirkan banyak mazhab Tasawuf
yang kelak muncul dalam cara-cara Thariqat. Semula arti Thariqat itu sendiri
adalah metode atau sistem. Berikutnya Thariqat melibatkan komunitas
sufistik yang tergabung dalam cara tersebut, sehingga menjadi semacam
organisasi spiritual Islam.

11
C. Pandangan islam terhadap Tasawwuf / Sufisme
Tasawuf/sufisme dalam pandangan Islam tidak lepas dari sejarah
terbentuknya istilah “Tasawuf”, hubungan sosial ummat Islam dengan ajaran
agama lain, serta perkembangan pengetahuan Islam dari zaman ke zaman.
Pada dasarnya perkataan/istilah “tasawuf” bisa ditelusuri asal mulanya
dari kata “shuuf” yang berarti “wol/bulu domba” yang biasa dipakai oleh para
pesuluk (mutasawwif) dan kemudian dijadikan istilah bagi mereka.
Ada pula yang mengatakan bahwa kata tasawuf berasal dari kata
“Shoofa” yang berarti bersih, suci, sesuai dengan para Pencari Tuhan atau
sufi dalam kiat mereka membersihkan diri dari sifat-sifat buruk (takholli ‘an
akhlaqil madzmumah) dan sambil lalu mengisi diri dengan sifat-sifat baik
(tahalli bi akhlaqil mahmudah).
Muncul juga peryataan lain, yang mengatakan bahwa istilah tasawuf
berasal dari “ahlus shuufah” yaitu sebuah kelompok muslimin yang memilih
hidup zuhud, sederhana dan sembari bernaung diemperan atau beranda
Masjid Nabawi Rasulullah SAW, mereka beribadah, bertempat tinggal
seumur hidup diberanda Masjid Nabawi. Dari kata “ahlus shuufah” ini,
muncul asumsi bahwa tasawuf berasal darinya, yaitu sekumpulan muslimin
yang hidup zuhud bersama Rasulullah SAW semasa hidupnya.
Dari beberapa istilah asal kata tasawuf diatas, masih banyak beberapa
perspektif lain mengenai asal istilah Tasawuf. Apabila kita menelusuri lebih
jeli, betul adanya bahwa Tasawuf memang lahir dari ajaran Islam, karena
rujukan utama mereka adalah al-Quran, al-Hadits, serta riwayat-riwayat dari
ajaran para pendahulu Islam.
Sebut saja dalam istilah tasawuf terdapat sebuah istilah “sanad” atau
“silsilah”, dalam hal ini khusunya para sufi yang mengaplikasikan penyucian
jiwa melalui “thoriqoh” mempunyai garis turun temurun yang berasal dari
Rasulullah SAW, kemudian kepada Sayyidina Ali bin abi Thalib KW,
Sayyidina Hasan, Sayyidina al-Husain, sayyidina Ali zainal abidin, Sayyidina
Muhammad al-Baqir, Sayyidina Ja’far shadiq, dan turun menurun melalui
keturunan, murid-murid mereka serta para Sahabat Rasulullah SAW yang
terpilih.

12
Dalam ordo sufi atau Thoriqoh sanad ini dikenal sebagai “silsilah
dzahabiyyah” / silsilah ke-emas-an, yang berarti satu sama lain saling
berkaitan, bersambung dan berhubungan secara metafisik/spiritual. Kita
sering mendengar dan bahkan mengenal thoriqoh qaadiriyyah, Alawiyyah,
syadziliyyah, naqsyabandiyyah, syattariyyah dsb, semua kelompok tersebut
sama-sama bertumpu pada ajaran spiritual dan akhlak Rasulullah SAW.
Sebagai penutup, istilah tasawuf dalam Islam bukan hal yang asing
seperti dikatakan para orientalis bahwa tasawuf bukan berasal dari ajaran
Islam. Justru sebaliknya Tasawuf berasal dari Ajaran Islam sejak diajarkan
kepada para Keluarga, Murid dan Sahabat Rasulullah SAW yang terdahulu.

D. Bentuk kritik terhadap peraktik tasawuf secara umum


Pembaharuan tasawuf Al-Ghazali, yaitu upayanya untuk menahan
gerakan yang wataknya melebih-lebihkan itu tak berhasil. Walaupun
pengaruhnya memang sangat luar biasa. Gerakan mistisme menjadi sulit
dikendalikan dan tidak dominan lagi. Umat mengalami kemunduran, yang
selama dua abad terkhir ini mereka berpaya keras mebgatasi kemunduran
itu[10].
Alih-alih tetap mendisiplinkan manusia untuk mematuhi Tuhan dan
menjalankan syariat, memperdalam komitmennya terhadap islam dan
menyucikan serta mengangkat jiwanya pada jalan kebenaran, tasawuf
menjadi penyakit yang menyebabkan atau bahkan memperburuk suatu hal.
Kritikan-kritikan berikut tertuju secara khusus tertuju kepada aliran-
aliran tasawuf seperti halnya :
1. Syari’ah dan haqiqah (Hakikat)
Syari’ah, dikalangan ahli hukum islam, diartikan sebagai seluruh ketentuan
yang ada dalam Al-Quran dan As-Sunnah, baik yang berhubungan dengan
akidah, akhlak maupun perbuatan manusia baik dalam bentuk ibadah maupun
mu’amalah.
Berbeda dengan itu, para sufi berpendapat bahwa syari’ah adalah
kumpulan hukum peraktis, yakni tuntunan-tunanan peraktis dari Al-Quran dan
As-Sunnah tentang cara pelaksanaan ibadah maupun muamalah. Syariah dalam

13
pandangan mereka lebih identik dengan fiqh, yakni aturan-aturan yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang digali dari dalil-dalil yang
terperinci.
Ada dua pandangan yang dikemukaan oleh para sufi terhadap syariah.
Pertama, pandangan kaum sufi yang moderat (masih berpegangan pada
syariah). Menurut kelompok ini, syariat dalam artian lahiriyah menjadi
perhatian para ahli fiqh, sedangkan aspek batin (hakikat) menjadi perhatian
khusus para kaum sufi.
2. Ilmu muktasab dan ladunni [12]
Dalam tradisi ilmu islam, secara gais besar, dikenal dua mcam ilmu yaitu
: pertama, ilm muktasab adalah ilmu yang diperoleh lewat proses
pembelajaran (membaca atau berguru). dan yang kedua, ilm ladunni adalah
ilmu yang tidak diperoleh melalui proses tersebut. Ilmu yang kedua ini adalah
adalah anugrerah atau pemberian dari Allah yang masuk kedalam (proses)
hati karena telah terbukanya pintu ma’rifah sebagai buah dari kebersihan hati
dan kedekatan dengan-Nya.
mereka yang tidak senang terhadap tasawwuf telah gagal memahami
tasawwuf dan perkembangannya dari masa kemasa, mereka menganggap para
sufisme lebih cenderung kepada ilmu ladunni, mereka para sufi diduga juga
tidak menaruh perhaian yag besar terhadap upaya menuntut ilmu dan mereka
juga diduga tidak menghargai keberadaannya (ilm al-muktasab). Padahal itu
suatu kesalahan patal
3. Motivasi ibadah[14]
Pada tingkatan tetentu, kaum sufi berkeyakinan bahwa ibdah yang benar
adalah ibadah yang tidak mengharapkan imbalan apapun dari Allah. Tidak
mengharapkan surga dan tidak pula takut neraka. Bahkan sementara sufi
berkeyakinan bahwa ibadah itu adalah penghambaan makhluq terhadap
kholiqnya.
Sementara orang-orang yang sentiment terhadap tasawwuf selalu
mencari-cari celah memojokkan para pencinta Allah. Ungkapan kesadaran
pada sufi sering disalah pahami dan dipakai untuk memojokkan para pencinta
allah. Salah satu ungkapan para sufi yang sering disalah artikan yaitu :

14
“Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut kepada neraka...
bukan pula ingin masuk surga... tetapi aku mengabdi karena cintaku
padaNya”. “Tuhanku, jika ku puja Engkau karena takut kepada neraka,
bakarlah aku didalamnya; dan jika ku puja Engkau karena mengharapkan
surga, jauhkanlah aku dari padanya; tetapi jika Engkau ku puja semata-mata
karena Engkau ku puja semata-mata karena Engkau, maka janganlah
sembunykan kecantikan Mu yang kekal dariku.”

E. Bentuk kritik terhadap tarekat.


Diantara bentuk penyimpangan yang dianggap oleh para orang-orang
yang sentimen terhadap tasawwuf yang dialamatkan kepada tasawuf adalah
menonjolkan kehidupan rohani dan mengabaikan kehidupan duniawi
sehingga mengabaikan usaha (kerja). Mengedepankan kehidupan akherat
bukankah itu bagus dan luar biasa. Apalagi hidup dizaman sekarang ini,
ajaran tasawwuf adalah solusi kehidupan dunia, sebagaimana dikabarkan
diberita al-jazair Islam di Aljazair Gencar Mempromosikan Sufisme dengan
tema berita Pemerintah memberikan peran yang lebih luas kepada para
penganut aliran sufi. 1 Namun untuk mengabaikan kehidupan dunia seperti
yang dituduhkan kepada kaum sufi itu merupakan kesalahpahaman mereka,
bukankah para ahli-ahli tasawwuf juga penya keluarga dan bergaul
bermasyarakat. Bukan hal yang diragukan lagi para kaum sufi adalah
penyayang kepada keluarga dan saudara-saudaranya.

15
.BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dipaparkan di atas. Begitu banyaknya
argumen-argumen yang menyerang kaum sufisme/tasawwuf berupa kritik-
kritik dan kecaman yang berlebihan. Memang tidak dibenarkan adanya
beberapa hal dalam tasawuf yang condong terhadap hal-hal yang menuju
kesesatan. Dan tidak di pungkiri juga bahwa tasawuf merupakan titik puncak
unruk mendekatkan diri kepada Allah selain dengan cara shalat lima waktu.
Setiap individu memang mempunyai pandangan tersendiri dalam
menyikapi sesuatu khususnya dalam hal tasawuf. Dimana kita kenal dengan
aliansis sayap kanan yang ingin membasmi tasawuf dari dunia ini. Sebagai
kaum intelek seharusnya kita sudah bisa mensikapi hal-hal seperti ini, dan
memilih hal yang menueurut kacamata kita memang benar. Karena perbedaan
pandangan merupakan kemaslahatan munuju ridha Allah.
B. Saran
Diharapkan kepada para pembaca dapat memahami dan lebih
mencermati dengan teliti makalah ini dan setelah itu pembaca boleh
memberikan pandangan sendiri-sendiri yang beralasan tentang tasawwuf dan
dapat lebih bijak lagi dalam menilai sesuatu terlebih-lebih suatu wadah besar
dibawah naungan islam yang sudah tidak bisa difungkiri keberadaannya
dalam dunia islam, kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan
dan harapkan, untuk memotavasi, penulis, agar dalam penyelasaian makalah
ini bisa memperbaiki diri, atas partisipasinya kami ucapkan terimakasih.

16
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Samsul Munir. Ilmu Tasawuf. Jakarta : Teruna Grafica. Cet. I. 2012.
Jamil. M. Cakrawala Tasawuf, sejarah, pemikiran dan kontektualitas. Ciputat ;
Gaung Persada Press. 2004.
KarelA.Steenbrink, beberapaAspektentang Islam di Indonesia Abad ke-19,
BulanBintang, Jakarta, 1984, h. 184-185.
Nasution, Harun. “Tasawuf”, dalam Budhy Munawar Rahman, (Ed),
Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, yayasan Wakaf Paramadina
: Jakarta, 1984
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisme dalam islam. Jakarta ; Bulan bantang.
1973.
Simuh. Tasawuf dan perkembangannya Dalam Islam. Jakarta;PT Raja Grafindo
Persada. 1997.
Solihin dan Anwar, rosihon. Ilmu tasawuf. Bandung : Pustaka Setia. Cet. II. 2008.
M. Solihin, Ilmu Tasawuf.2008 Bandung: Pustaka Setia, , hlm 227
Amin, Samsul Munir. Ilmu Tasawuf.2012. Jakarta : Teruna Grafica. Cet. I.
Nasution, Harun. “Tasawuf”, dalam Budhy Munawar Rahman, (Ed),
Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, yayasan Wakaf Paramadina :
Jakarta, 1984 h. 187
Karel A.Steenbrink, beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19,
Bulan Bintang, Jakarta, 1984, h. 184-185.
Amin, Samsul Munir. Ilmu Tasawuf. Jakarta : Teruna Grafica. Cet. I. 2012. h.

1
http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/islam-digest/10/01/13/100873-islam-
di-aljazair-gencar-mempromosikan-sufisme

17

Anda mungkin juga menyukai