Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

I.I. Latar Belakang

Demam tifoid merupakan masalah kesehatan didunia terutama di negara berkembang


seperti yang ditemukan secara endemik di seluruh Afrika, Amerika Selatan, Asia Timur dan
khususnya di Asia Selatan . Tifoid merupakan penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh
infeksi Salmonella typhi berbagai serovars. (Asma Haque dkk.,2005)
Diperkirakan setiap tahun terdapat lebih dari 20 juta kasus demam tifoid, yang
mengakibatkan 700.000 kematian di seluruh dunia . Di negara maju, angka kasus kejadian dan
kematian telah jauh menurun hal ini disebabkan oleh kombinasi dari peningkatan sanitasi dan
kebersihan, vaksin, dan kemoterapi antimikroba yang efektif. (Mirza et al,.2000). Dua hal
pertama sulit bahkan tidak mungkin untuk diterapkan di negara berkembang dan sayangnya,
efektivitas kemoterapi antimikroba juga menjadi terkikis oleh munculnya resistensi antibiotik di
negara berkembang, antibiotik yang paling tersedia untuk pengobatan tifoid adalah
kloramfenikol, ampisilin, dan kotrimoksazol.( Mirza et al., 2000)
Dengan jumlah penduduk yang lebih kurang 224.904.900 dan luas wilayah 8,3 juta
km2 dan mempunyai 17.504 pulau , Indonesia memiliki angka kematian akibat infeksi tifoid
lebih tinggi daripada di negara-negara lain di Asia Tenggara selain PapuaNew Guinea (Hatta
and Smith, 2000) dan menjadi masalah kesehatan utama. Untuk prevalensi di Indonesia pada
tahun 2007 adalah 358 sampai 810 per 100.000 atau kira-kira sekitar 64% penduduk Indonesia
menderita demam typhoid dalam kurun waktu 3 sampai 19 tahun . Tingkat kematian bervariasi
antara 3,1-10,4% dilihat dari pasien yang di rawat inap dalam kurun waktu sepanjang tahun.
Sulawesi adalah salah satu dari lima pulau terbesar di kepulauan Indonesia dan memiliki
populasi 42.708.400 , prevalensi penderita demam tifoid di Selatan-Sulawesi merupakan salah
satu yang tertinggi , rate untuk kasus tahun 1991 adalah dari 100 ribu penduduk 257 orang
penduduk terkena demam typhoid dan pada tahun 2007 menjadi meningkat menjadi 386 per 100
ribu penduduk. Demam tifoid merupakan salah satu penyakit endemik di Sulawesi selatan dan
merupakan empat penyakit infeksi tersering yang dilaporkan dari 24 kabupaten di Sulawesi
Selatan. Tifoid dapat menyebabkan septikemia, dan dilaporkan insiden rata-rata sekitar 2.500 per
100.000 penduduk. (Hatta and Smith, 2000)
Sebelum tahun 2001 tingkat resistensi antibiotik pada Salmonella Typhi yang di
laporkan dari Indonesia khususnya Sulawesi selatan sangat rendah yaitu <1% dan
kloramfenikol tetap menjadi obat pilihan, namun sejak tahun 2001 resistensi telah meningkat
dan pada tahun 2007 sekitar 6,8% dari isolat yang ada telah resisten terhadap ketiga obat lini
pertama yaitu: Ampicillin, kloramfenikol, dan kotrimoksazol. (Hatta and Smith, 2000)
Resistensi obat pada demam tifoid ini merupakan suatu hal yang serius di Indonesia
nantinya, karena dibutuhkan obat pengganti yang cukup mahal untuk terapi tifoid. Sebuah usaha
serius diperlukan dengan pelayanan medis untuk mendapatkan diagnosis yang benar sehingga
pengobatan atau vaksinasi dapat digunakan untuk mengendalikan penyebaran resistensi obat-
obatan tifoid ini. (Hatta and Ratnawati, 2008)
Resistensi beberapa Obat (MDR) merupakan masalah utama dalam pengendalian dalam
kasus tifoid, karena dikaitkan dengan peningkatan morbiditas yang mengarah ke toksisitas
demam tifoid yang pada akhirnya mengakibatkan angka kematian meningkat secara signifikan.
(Asma Haque dkk.,2005)
Resistensi Plasmid-encoded kloramfenikol pertama kali dilaporkan tahun 1970,
dengan peningkatan jumlah resistensi di Amerika Tengah. (Mirza et al., 2000) Kasus tifoid yang
pertama akibat Salmonella enteric serovar Typhi disebabkan oleh resistensi plasmid-encoded
terhadap kloramfenikol, ampisilin, dan kotrimoksazol dilaporkan dari Asia Tenggara (Mirza et
al.,2000)
Kloramfenikol (Cm), awalnya disebut sebagai chloromycetin, diisolasi dari Streptomyces
venezuelae pada tahun 1947, dan merupakan antibiotik berspektrum luas (S. Schwarz et al,.2004)
Cm dan beberapa turunannya, seperti thiamphenicol dan azidamfenicol , telah digunakan selama
bertahun-tahun untuk pengobatan pada manusia. (N. Nogrady et al., 2005)
Terdapat tiga mekanisme resistensi terhadap kloramfenikol, yaitu penurunan
permeabilitas membran, mutasi sub unit ribosom 50S, dan penguraian kloramfenikol
asetiltransferase.
Menurut Shaw & Brodsky, 1968 dan Fitton et al, 1978 resistensi kloramfenikol pada
bakteri biasanya disebabkan oleh produksi kloramfenikol asetiltransferase (CAT) yaitu enzim
intraseluler yang menginaktivasi kloramfenikol oleh 3-asetilasi 0-( Dairena F Gaffney, et al.,
1980)
Cannon 1990 mengungkapkan resistensi terhadap chloramfenikol (Cm) diperantarai oleh
enzim yang terletak pada plasmid disebut Acetyltransferases kloramfenikol (CAT) (Cannon et al,
1990.), dan menurut Dorman dan Foster 1982 resistensi kloramfenikol disebabkan oleh
nonenzimatik gen cmlA (N. NOGRADY et al., 2005) Enzim CAT dikodekan oleh keluarga gen
CAT yang terdapat dalam bakteri Gram negatif (N. NOGRADY et al., 2005)
Resistensi kloramfenikol terkait dengan analisis mutasi pada gen CatP pada Salmonella
typhii sebagai penyebab demam tifoid belum banyak diketahui, khususnya di Indonesia, untuk
itu diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai hal ini.

I.2. Hipotesis Penelitian

Apakah terdapat mutasi gen CatP pada Salmonella typhii yang resisten terhadap kloramfenikol
pada penderita demam tifoid ?

I.3. Tujuan Penelitian


Tujuan umum
 Mengetahui terdapat mutasi atau tidak pada gen CatP pada Salmonella typhii yang
resisten terhadap kloramfenikol pada penderita demam tifoid
Tujuan khusus
 Mendeteksi mutasi gen CatP pada isolat Salmonella typhii yang resisten
 Mendeteksi mutasi gen CatP pada isolat Salmonella typhii yang sensitif
 Mengukur sensitifitas kloramfenikol terhadap isolat Salmonella typhii menggunakan
metode konvensional dengan PCR
 Mengukur sensitifitas kloramfenikol terhadap isolat Salmonella typhii menggunakan
metode PCR
 Membandingkan pengukuran sensitifitas kloramfenikol terhadap isolat Salmonella typhii
menggunakan metode konvensional dengan PCR
I.4. Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi ilmiah mengenai mutasi gen CatP yang terjadi pada isolate
Salmonella typhii yang resisten terhadap kloramfenikol pada demam tifoid
2. Menjadi bahan pertimbangan aplikasi PCR sebagai alat pemeriksaan demam tifoid
menggantikan metode konvensional
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Demam Tifoid

II.1.1. Defenisi

Demam tifoid atau typhoid adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri

Salmonella enterica, khususnya turunannya yaitu Salmonella typhii. Penyakit ini dapat

ditemukan di seluruh dunia, dan disebarkan melalui makanan dan minuman yang telah

tercemar oleh feses.

II.1.2. Epidemiologi

Demam tifoid telah menjadi masalah yang cukup penting di beberapa negara.

Pada hampir seluruh dunia, diperkirakan 17 juta orang menderita penyakit ini per

tahunnya. Hampir sebagian besar terjadi di kota-kota dengan pendepatan pertahunnya

rendah, utamanya di Asia Selatan, Afrika, Amerika Latin. Di Sulawesi Selatan, demam

tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi yang penting. Penyakit ini endemik hampir

di seluruh wilayah dan dilaporkan merupakan empat besar penyakit tersering pada 24

kabupaten di Sulawesi Selatan.

II.2.3. Gejala Klinis


Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding

dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 – 20 hari. Setelah masa inkubasi

maka ditemukan gejala prodromal, seperti rasa tidak enak badan, lesu, nyeri kepala,

pusing dan tidak bersemangat. Selain itu, gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :

a. Demam

Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat remiten dan

suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsurangsur

meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada

sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan

demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh beraangsur-angsur turun dan normal

kembali pada akhir minggu ketiga.

b. Ganguan pada saluran pencernaan

Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah

(ragaden), lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya

kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen dapat dijumpai perut kembung

(meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya

terdapat konstipasi, tetapi kondisi buang air besar (bab) dapat normal ataupun diare.

c. Gangguan kesadaran

Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, hanya apatis

sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.


Hampir sebagian besar pasien yang telah diterapi tetap mengeksresikan patogen

selama sebulan setelah gejala klinis menghilang, dan hampir sekitar 5% berlanjut

hingga lima bulan kemudian. Sekitar 3% menjadi carier dan tetap berlanjut

mengeksresikan organism tersebut sepanjang hidupnya. Carier akan berkembang

setelah adanya infeksi asimptomtik.

Metode deteksi molekuler cocok untuk mengidentifikasi patogen pada eksresi

manusia karena metode ini memiliki spesifitas dan sensitifitas yang tinggi. Polymerase

Chain Reaction (PCR) mampu mendeteksi sejumlah DNA patogen spesifik dalam

beberapa menit melalui amplifikasi segmen DNA dan pemisahan satu reaksi antara

organism yang berbeda, jika mereka berhubungan. Dalam suatu kombinasi dengan

metode persiapan sampel, PCR dapat digunakan pada hampir sebagian sampel,

seperti darah, feses dan urin. Sehingga, PCR nampaknya lebih cocok untuk

mengidentifikasi pasien yang tetap aktif mengeksresi organism dan menginvestigasi

status carier melalui deteksi spesifik DNA S. typhii pada sampel urin dan feses.

II.2. Salmonella typhii

Salmonella typhii (S. typhii) merupakan serotip spesies Salmonella enterica,

yang bertumbuh baik diantara suhu 35 dan 37 0C, tapi juga dapat tumbuh pada suhu

sekitar 450C. Bakteri ini dapat tumbuh pada kisaran pH 3.8 sampai 9.5, memiliki

aktivitas minimal di air pada kadar 0.94, selain itu dapat juga bertumbuh dengan ada

atau tidak adanya oksiden dan pertumbuhan di bawah nitrogen hanya sedikit kurang

disbanding dengan oksigen. Salmonella typhii dapat mati dengan pemanasan pada
suhu 700C selama satu menit atau kurang. Salmonella dapat bertahan dengan baik di

makanan dan pada permukaan, selama 190 hari pada biscuit coklat, 230 hari pada

makanan manis, selama empat hari pada kerang-kerangan pada suhu 10-130C, dan

lebih dari 90 hari pada es. Pertumbuhan bakteri ini akan berkurang pada suhu kurang

dari -150C. Bakteri ini dapat mengalami transisi menjadi status VNC (Viable but Non-

Culturable-hidup tapi tidak bisa dikultur) di air.

Salmonella enterica serotip typhii merupakan family Enterobacteriaciae. Bakteri

ini memiliki serologi positif terhadap antigen lipopolisakarida O9 dan O12, antigen

flagellar protein Hd, dan antigen kapsular polisakarida Vi. Antigen kapsular sebagian

besar terbatas pada S.typhii, walaupun dapat ditemukan pada beberapa strain

S.enterica serotip hirscfeldii (paratyphi C) dan Dublin, serta Cirobacter freundii. Tipe

Flagella yang unik, Hj ditemukan pada beberapa isolate S.typhii di Indonesia.

Salmonella typhii merupakan penyebab demam tifoid, dan dapat ditransmisikan

melalui jalur fecal-oral dengan mengkonsumsi makanan atau air yang mengandung

bakteri ini. Terdapatnya pasien tifoid yang telah sembuh atau karier yang masih

mengandung pathogen aktif akan meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Pada area non

endemik, seseorang dapat terjangkit penyakit ini karena makanan dan carrrier. Pada

area yang endemik dengan penyakit ini, kontak dengan pasien atau carrier dapat

diduga sebagai faktor risiko utama, tetapi faktor risiko lainnya seperti kemiskinan,

tingkat pendidikan yang rendah, kondisi higiene yang buruk dan faktor suplai air, serta

makan di luar rumah.


Bakteri ini berbentuk batang, gram negatip, tidak membentuk spora, motil,

berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan fili). Bakteri ini dapat hidup

sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu.

Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 600C) selama 15 – 20 menit,

pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi.

Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu (i) Antigen O (Antigen

somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman. Bagian ini mempunyai

struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap

panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid; (ii) Antigen H (Antigen

Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau fili bakteri. Antigen ini mempunyai

struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap

panas dan alcohol, dan (iii) Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman

yang dapat melindungi kuman terhadap fagositosis. Ketiga macam antigen tersebut di

atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3 macam

antibodi yang lazim disebut aglutinin.

Baru-baru ini diketahui sekuens genom lengkap strain S.enterica serovar typhii

yang resisten multidrug, yang diisolasi pada tahun 1993 dari seorang anak demam tifoid

di Vietnam. Genom CT18 dengan 4.809.037 pb dengan estimasi 4599 sekuens kode.

Genom serotip S. typhi, enterik CT18 S. enterica serotip typhimurium LT2, dan

Escherichia coli pada dasarnya collinear, meskipun fakta bahwa E. coli dan S. enterica

berbeda sekitar 100 juta tahun yang lalu. Kebutuhan lingkungan yang sama oleh bakteri

ini mungkin menjelaskan hubungan gen keduanya.


Gambaran genom S.enterica serotip typhi saat ini terdapat 204 pseudogen,

Hampir sebagian diinaktivasi stop kodon.

II.3. Resistensi Kloramfenikol

Pada tahun1972, terjadi ledakan angka kejadian demam tifoid di Meksiko,

disebabkan karena resisten S.typhii terhadap kloramfenikol, tetrasiklin, streptomisin,

dan sulfonamid. Pada tahun yang sama, peningkatan kejadian resistensi S.typhii

terhadap kloramfenikol juga terjadi di Saigon, Vietnam. Isolat resisten pertama dideteksi

pada September 1971, dan pada Maret 1972, 46% isolate memiliki MIC (minimum

inhibitory concentration) terhadap kloramfenikol > 250 gr/ml.

Di Indonesia sendiri, S.typhii yang resisten terhadap kloramfenikol belum

dilaporkan di Indonesia (1978-1989), sehingga diduga S.typhii memiliki plasmid yang

berbeda pada negara yang berbeda pula.

Shanahan dkk, pada 21 sampel isolat strain S.typhii yang diambil dari kultur

darah pasien di India, didapatkan 11 strain S.typhii resisten terhadap kloramfenikol (256

mg/liter), trimetoprim, dan amoksisilin, sedangkan 4 isolat resisten terhadap setiap

agen, kecuali amoksisilin, dan isolate lainnya masih sensitif terhadap agen anti mikroba

tersebut. Resistensi antibiotic pada setiap isolate S.typhii dikodekan dengan satu dari

empat tipe plasmid. Gen resistensi antibiotik yang dimediasi plasmid diidentifikasi

dengan penyelidikan spesifik pada penelitian hibridisasi; gen yang bertanggung jawab

pada resistensi kloramfenikol, trimetoprim, dan ampisilin adalah kloramfenikol

asetiltransferase tipe 1, dihidrofolat reduktase tipe VII dan


II.4. Gen catP

Galimand dkk, melaporkan terdapatnya mutasi gen catP pada isolat neisseria

meningitides yang resisten terhadap kloramfenikol. (Galimand et al., 1998).

II.5. Polymerase Chain Reaction (PCR)

Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan suatu teknologi biokimia pada

biologi molekuler untuk menggandakan satu atau beberapa potongan DNA menjadi

beberapa kali lipat, menghasilkan ribuan sampai jutaan salinan dari urutan DNA

tertentu. PCR ditemukan pertama kali pada tahun 1983 oleh Kary Mullis.

PCR saat ini merupakan hal yang umum dan sering digunakan di laboratorium

penelitian medis dan biologi untuk berbagai aplikasi, termasuk cloning urutan DNA,

analisis gen, diagnosis penyakit yang diturukan, identifikasi sidik jari genetic, deteksi

dan diagnosis penyakit infeksi.

Metode ini bergantung pada siklus termal, yang terdiri dari siklus pemanasan dan

pendinginan berulang karena reaksi pencairan DNA dan replikasi enzimatik DNA.

Primer (fragmen pendek DNA) yang mengandung urutan komplementer pada daerah

target bersama dengan polimerase DNA merupakan komponen penting untuk

amplifikasi selektif dan berulang. Pada saat PCR berlangsung, DNA yang dihasilkan itu

sendiri digunakan sebagai cetakan untuk replikasi. PCR dapat dimodifikasi secara luas

untuk melakukan beragam manipulasi genetik.


Hampir semua aplikasi PCR menggunakan DNA polimerase tahan panas,

seperti polimerase Taq, merupakan enzim yang diisolasi dari bakteri Thermus

aquaticus. Polimerase DNA enzimatik akan membentuk untai DNA baru dengan

menggunakan DNA beruntai tunggal sebagai cetakan dan DNA oligonukleotida (DNA

primer), dibutuhkan untuk inisiasi sintesis DNA. Sebagian besar metode PCR

menggunakan siklus termal, yaitu pemanasan dan pendinginan secara bergantian pada

suhu tertentu. Siklus termal ini sangat dibutuhkan untuk memisahkan dua untai DNA

heliks ganda pada suhu tinggi yang disebut pemanasan DNA. Pada suhu yang lebih

rendah, setiap untai tersebut kemudian digunakan sebagai cetakan pada sintesis DNA

oleh DNA polymerase yang secara selektif mengkopi target DNA.

Hampir sebagian besar metode PCR dapat menggandakan fragmen DNA hingga

10 kb, walaupun beberapa teknik dapat menggandakan hingga 40 kb. Dasar PCR

terdiri dari beberapa komponen dan reagen, yaitu (i) cetakan DNA yang mengandung

bagian DNA yang akan digandakan; (ii) primer; (iii) tag polymerase atau polymerase

DNA lainnya dengan temperature optimum sekitar 70 0C; (iv) Deoxynucleoside

triphosphates (dNTP); (v) solusio buffer; (vi) ion magnesium, mangan, kation divalent,

dan ion potassium yang merupakan kation monovalent.

Biasanya PCR terdiri dari 20-30 perubahan suhu, disebut siklus, dimana setiap

siklus terdiri dari 2-3 tahap suhu yang berbeda. Siklus ini biasanya didahului tahap suhu

tunggal (hold) pada suhu tinggi (900C). Suhu yang digunakan dan lamanya waktu yang

diterapkan dalam setiap siklus tergantung pada berbagai parameter, termasuk enzim

yang digunakan untuk sintesis DNA, konsentrasi ion divalen dan dNTP dalam reaksi,

dan suhu leleh (Tm) dari primer.


Tahap-tahap tersebut, yaitu : (Gambar 1)

 Tahap initialisasi

Langkah ini terdiri dari pemanasan reaksi dengan suhu 94-96 ° C (98 ° C atau

jika polimerase termostabil ekstrem digunakan), dilakukan selama 1-9 menit. Hal

ini hanya diperlukan untuk polimerase DNA yang memerlukan aktivasi panas

dengan hot-start PCR.

 Tahap denaturasi

Tahap ini merupakan siklus pertama yang terdiri dari reaksi pemanasan 94-980C

selama 20-30 detik, yang menyebabkan pemanasan DNA dari cetakan DNA

dengan merusak ikatan hydrogen antara basa, menghasilkan molekul DNA untai

tunggal.

 Tahap annealing

Suhu reaksi diturunkan ke 50-65 ° C selama 20-40 detik memungkinkan

annealing primer ke cetakan DNA untai tunggal. Biasanya suhu pada tahap ini

sekitar 3-50C di bawah Tm dari primer yang digunakan. Ikatan hidrogen Stabil

DNA-DNA hanya terbentuk ketika urutan primer sesuai urutan cetakan.

Polimerase mengikat hibrida primer-template dan mulai pembentukan

DNATahap ekstensi/elongasi.
 Tahap ekstensi / elongasi

Suhu pada tahap ini tergantung pada polimerase DNA yang digunakan, Taq

polimerase memiliki aktivitas pada suhu optimum 75-800C, dan umumnya suhu

720C yang digunakan dengan enzim ini. Pada langkah ini polimerase DNA

mensintesis untai DNA baru melengkapi untai cetakan DNA dengan

menambahkan dNTP yang melengkapi cetakan dalam 5 'ke 3' arah, kondensasi

gugus 5'-fosfat dari dNTP dengan 3'-hidroksil kelompok di akhir untai

(memperpanjang) DNA baru. Waktu perpanjangan tergantung baik pada DNA

polimerase yang digunakan dan pada panjang fragmen DNA yang akan

diperkuat. Pada suhu optimum, polimerase DNA akan polimerisasi seribu basis

per menit. Dalam kondisi optimum, yaitu bila tidak ada keterbatasan karena

substrat membatasi atau reagen, pada setiap langkah ekstensi, jumlah target

DNA dua kali lipat, yang mengarah ke eksponensial (geometris) amplifikasi

fragmen DNA spesifik.

 Elongasi tarakhir

Pada tahap ini dilakukan pada suhu 70-740C selama 5-15 menit setelah siklus

PCR terakhir untuk memastikan bahwa setiap DNA beruntai tunggal tersisa

sepenuhnya diperpanjang.

 Final Hold

Tahap ini dilakukan pada 4-150C untuk waktu yang tidak terbatas, dapat

digunakan untuk penyimpanan jangka pendek dari reaksi.


Gambar 1. Skema tahap siklus PCR. (1) denaturasi pada 94-960C. (2) Annealing pada 650C (3)
Pemanjangan pada 720C (empat siklus yang ditampilkan di sini). Garis biru mewakili template DNA yang
primer (panah merah) anneal yang diperpanjang oleh DNA polimerase (lingkaran hijau muda), untuk
memberikan produk DNA pendek (garis hijau), yang sendiri digunakan sebagai cetakan selama PCR
berlangsung.
Untuk memeriksa apakah PCR dihasilkan fragmen DNA diantisipasi (amplimer

atau amplikon), agarosa gel elektroforesis digunakan untuk pemisahan ukuran produk

PCR. Ukuran produk PCR ditentukan oleh perbandingan dengan DNA ladder (penanda

berat molekul), yang berisi fragmen DNA ukuran diketahui, dijalankan pada gel

bersama produk PCR (Gambar 2).

Gambar 2. Produk PCR di tandai Etidium bromida setelah elektroforesis gel. Dua set primer digunakan
untuk mengamplifikasi urutan target dari tiga sampel jaringan yang berbeda. Amplifikasi ada hadir dalam
sampel # 1, pita DNA pada sampel # 2 dan # 3 menunjukkan amplifikasi sukses urutan target. Gel ini
juga menunjukkan kontrol positif, dan DNA ladder yang mengandung fragmen DNA panjang yang
ditetapkan untuk ukuran band eksperimental dalam PCR

PCR spesifik untuk S. enteric serovar typhii digunakan untuk mendeteksi

patogen ini pada sampel darah, urin, dan feses. Sensitivitas kultur darah, PCR pada

darah, urin, dan feses, serta tes widal berturut-turut adalah 61.8%, 84.5%, 69.3%,

46.9% dan 39.0%. Pada penelitian yang dilakukan oleh Hatta dkk, sensitivitas PCR

pada darah dan urin lebih tinggi secara signifikan, dan sensitivitas PCR pada feses
sama dengan kultur darah. Kombinasi PCR pada urin dan feses menunjukkan hasil

positif pada 16 dari 23 pasien tifoid. Dari studi tersebut, penulis menyimpulkan PCR

darah merupakan metode yang sensitive untuk mendiagnosis demam tifoid, dan PCR

pada urin dan feses dapat digunakan sebagai pemeriksaan tambahan. (Hatta and

Smits, 2007).
KERANGKA TEORI

Resistensi Chloramfenikol

penurunan permeabilitas mutasi sub unit ribosom 50S penguraian kloramfenikol


membran asetiltransferase.
KERANGKA KONSEP
BAB III

METODE PENELITIAN

III.1. RANCANGAN PENELITIAN

Penelitian ini merupakan rancangan penelitian dengan metode cross sectional,

dimana pada penelitian ini dibagi menjadi kelompok kasus yang masih sensitive

terhadap kloramfenikol dan kelompok kontrol, dimana isolate S.typhii sudah resisten

terdapat kloramfenikol.

III.2. TEMPAT DAN WAKTU

Penelitian dilakukan di bagian Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran

Universitas Hasanuddin, Makassar dan rumah sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo

Makassar, yang akan dilaksanakan pada bulan Januari hingga Maret 2013.

III.3. POPULASI
Sampel penelitian ini adalah seluruh populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan

tidak termasuk dalam kriteria eksklusi penelitian. Pengambilan sampel dilakukan

dengan cara consecutive random sampling.

III.3.1. Kriteria inklusi dan eksklusi

Kriteria inklusi :

 Pasien demam tifoid

 Berusia diatas 20 tahun

 Penderita menyetujui dan menandatangani informed consent.

Kriteria eksklusi :

 Pasien demam tifoid yang menderita penyakit infeksi lainnya

 Pasien demam tifoid yang masih sensitive terhadp antibiotik

III.4. Sampel Penelitian

Penentuan besar sampel berdasarkan rumus proporsi finit.

N . Z2 . P .(1 - P)
n = -----------------------------------
d2 (N-1) + Z2 . P.(1 – P)

Keterangan :

n = Besar sampel

N = 30 (perkiraan jumlah pasien demam tifoid dalam 3 bulan

Z = Nilai standar deviasi normal (1.96)


P = Prevalensi skin tag (0,25)

d = Tingkat ketelitian (0,05)

Berdasarkan rumus tersebut didapatkan perhitungan besar sampel sebesar 27,25.

Dalam penelitian ini dibulatkan menjadi 30 sampel.

III.5. ALAT DAN BAHAN PENELITIAN

Alat- alat yang digunakan pada penelitian ini adalah:

III.5. Langkah Kerja

III.5.1. Pencatatan

Pasien demam tifoid yang datang ke RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo dan

rumah sakit jejaring yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi akan diberi

penjelasan dan diminta untuk terlibat dalam penelitian setelah menandatangani

informed consent. Pengisian kuesioner mengenai data pribadi dan riwayat

penyakit.

III.5.2. Penilaian klinis dan laboratorium

- Pemeriksaan fisik secara umum

- Pemeriksaan laboratorium, seperti darah rutin, urin, dan tes widal

III.5.3. Pengambilan spesimen


Spesimen darah diambil dan dilakukan kultur darah untuk mendapatkan

isolat S.typhi. Setelah itu dilakukan tes sensitivitas cakram kloramfenikol untuk

mendapatkan kelompok resisten dan sensitif terhadap kloramfenikol. Isolat

selanjutnya akan diuji dengan PCR unutk dilihat apakah terdapat mutasi gen

catP.

III.5.4. PCR

Campuran sampel PCR:

 PCR Mix : 22,0 μl

 Primer Forward : 0,5 μl

 Primer Reverse : 0,5 μl

 DNA Sampel : 2,0 μl

 Total : 25,0 μl

Run / kondisi PCR :

Siklus 1 (1 x) : 95° C selama 5 menit

Siklus 2 (35 x ) : Denaturasi : 94° C selama 30 detik

Annealing : 52° C selama 30 detik

Ekstensi : 72° C selama 1 menit

Siklus 3 (1 x) : 72° C selama 15 menit


III.5.5. Elektroforesis hasil PCR

Pembuatan gel

1. Ditimbang 1,5 gr agarose dan dilarutkan dalam 100 ml TBE Buffer 0,5 untuk

mendapatkan larutan agarose 1,5 %

2. Campuran agarosa dan TBE Buffer 0,5 dipanaskan hingga larut kemudian

ditunggu hingga agak dingin kemudian ditambah 2 μl Ethidium Bromida.

3. Larutan agarosa dituang ke dalam cetakan dan ditunggu hingga beku.

Pembuatan DNA marker

1. Sebanyak 25 µl DNA 100 bp ladder dimasukkan ke dalam tube berisi 1 ml

Blue Juice Loading Dye, dan dicampur untuk marker

2. Laber tube dilepas dan diganti menjadi marker

Persiapan running elektroforesis

1. Gel yang telah beku dimasukkan ke dalam elektroforesis dan direndam dalam

larutan TBE 0,5x

2. Sebanyak 8 μl amplikon hasil PCR (kontrol positif, kontrol negatif, sampel)

ditambah dengan 2 μl Blue Juice Loading Dye (tanpa marker), dicampur dan

dimasukkan ke dalam sumur-sumur gel sebanyak 10 μl.


3. Pada lubang pertama tambahkan 10 μl DNA leader 100 bp dimasukkan ke

dalam sumur di dekat kontrol positif

Running elektroforesis

1. Elektroforesis dihidupkan dan dijalankan dari muatan negatif (katoda) ke

muatan positif (anoda) pada 100 A dan 40 menit

2. Setelah elektroforesis dilihat pita yang terbentuk. Apabila pita sejajar dengan

kontrol positif berarti hasil positif.

Prosedur kerja Gel Doc

1. Menyalakan alat Gel Doc

2. Mengatur posisi gel

3. Mengatur gambar

4. Menyimpan dan cetak gambar

III.7. Identifikasi Variabel

Variabel bebas : mutasi gen catP

Variabel tergantung : kloramfenikol

Variabel antara :

Variabel moderator : antibiotik lainnya


III.9. Alur Penelitian

Subyek

Penderita demam tifoid

Kriteria inklusi dan eksklusi

Kultur darah

Isolat S.typhi

Tes sensitifitas cakram kloramfenikol

sensitif Resisten
PCR

Mutasi gen catP/tidak

Analisis data

Laporkan data

III.9. Definisi Operasional

III.10. Analisis Data

 Data yang terkumpul diolah menggunakan Statistical Package for Social

Science (SPSS) versi 17.

 Metode statistik yang digunakan adalah perhitungan nilai rerata, simpang

baku, sebaran frekuensi dan uji statistik. Uji statistik yang digunakan

adalah Chi Square dan Fisher Exact dengan tingkat kemaknaan 0,05.

 Data hasil penelitian diolah dan disajikan dalam bentuk tabel, grafik, dan

narasi.

III.11. Ijin Penelitian dan Ethical Clearance

Permintaan ijin dari pasien untuk dijadikan sampel penelitian serta

persetujuan dari Komisi Etik Penelitian Biomedik pada Manusia Fakultas

Kedokteran Universitas Hasanuddin


DAFTAR PUSTAKA

Chau TT, Campbell JI, Galindo CM. (2007) Antimicrobial drugs resistance of Salmonella
enteric serovar typhi in Asia and molecular mechanism of reduced susceptibility
to the fluoroquinolones. Antimic Agent Chemother, 51(12), 4315-23

Gaind R, Paglietti B, Murgia M, et al. (2006) Molecular characterization of ciprofloxacin-


resistant Salmonella enteric seroar typhi and paratyphi A causing enteric fever in
India. J Antimic Chemother, 58, 1139-44

Galimand M, Gerbaud G, Guibourdenche M, Riou JY, Courvalin P. (1998) High level


chloramphenicol resistance in Neisseria menigitidis. NEJM, 24, 868-75

Hatta M, Pastoor R, Scheelbeek PFD, et al. (2011) Multi locus variable number tandem
repeat profiling of Salmonella enteric serovar typhi isolates from blood cultures
and gallbladder specimens from Makassar, South Sulawesi, Indonesia, PLos
ONE, 6(9), 1-7

Hatta M, Ratnawati. (2008) Enteric fever in endemic areas of Indoneisa: an increasing


problem of resistance. J Infect Develop Countries, 2(4), 279-82

Hatta M, Smits HL. (2007) Detection of Salmonella typhi by nested polymerase chain
reaction in blood, urine, and stool samples. J Trop Med Hyg, 76(1), 139-43

Hatta M, Sultan AR, Pastoor R, Smits HL. (2011) New flagellin gene for salmonella
enteric serovar typhi from the ease Indonesian archipelago. Am J Trop Med Hyg,
1-6
Hirose K, Tamura K, Watanabe H. (2003) Screening method for Salmonella enteric
serovar typhi and serovar paratyphi A with reduced susceptibility to
fluroquinolones by PCR-restriction fragment length polymorphism. Microbiol
Immunol, 47(2), 161-5

Kariuki S, Revathi G, Muyodi J. (2004) Characterization of multidrug-resistant typhoid


outbreak in Kenya. J Clin Microbiol, 42(4), 1477-82

Khandeparkar P. (2010) Reemergence of chlorampenicol in typhoid fever in the era of


antibiotic resistance. Supp TO JAPI, 58, 1-2

Madhulika U, Harish BN, Parija SC. (2004) Current pattern in antimicrobial susceptibility
of Salmonella typhi isolates in Pondicherry. Indian J Med Res, 120, 111-4

Mirza S, Kariuki S, Mamun KZ, Beeching NJ, Hart CA. (2000) Analysis of plasmid and
chromosomal DNA of multidrug resistant Salmonella enteric serovar typhi from
Asia. J Clin Microbiol, 38(4), 1449-52

Navarro F, LLovet T, Echeita MA, et al. (1996) Molecular typing of Salmonella enterica
serovar typhi. J Clin Microbiol, 34(11), 2831-4, 1770-83

Parry CM, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. (2002) Typhoid Fever. NEJM,
347(22)

Shultz TR, Tapsall JW, White PA, et al. (2003) Chloramphenicol-resistant Neisseria
meningitides containing catP isolated in Australia. J Antimic Chemother, 52, 856-
9

Toro CS, Lobos SR, Calderon I, Rodriguez M, Mora GC. (1990) Clinical isolate of
porinless Salmonella typhi resistant to high levels of chloramphenicol. Antimic
Agent Chemother, 34(9), 1715-19

Trieu-Cuot P, de Cespedes G, Bentorcha F, Delbos F, Gaspar E, Horaud T. (1993)


Study of heterogeneity of chloramphenicol aceyltransferase (CAT) genes in
streptococci and enterococci by polymerase chain reaction: characterization of a
new CAT determinant. J Antimic Chemother, 37(12), 2593-8

Wain J, Kidgell C. (2004) The emergence of multidrug resistance to antimicrobial agents


for the treatment of typhoid fever. Tropical Med Hyg, 98, 423-30

Zaki SA, Karande S. (2011) Multidrug-resistant typhoid fever: a review. J Infect Dev
Ctries, 5(5), 324-7

Anda mungkin juga menyukai