PENDAHULUAN
Apakah terdapat mutasi gen CatP pada Salmonella typhii yang resisten terhadap kloramfenikol
pada penderita demam tifoid ?
1. Memberikan informasi ilmiah mengenai mutasi gen CatP yang terjadi pada isolate
Salmonella typhii yang resisten terhadap kloramfenikol pada demam tifoid
2. Menjadi bahan pertimbangan aplikasi PCR sebagai alat pemeriksaan demam tifoid
menggantikan metode konvensional
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1.1. Defenisi
Demam tifoid atau typhoid adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella enterica, khususnya turunannya yaitu Salmonella typhii. Penyakit ini dapat
ditemukan di seluruh dunia, dan disebarkan melalui makanan dan minuman yang telah
II.1.2. Epidemiologi
Demam tifoid telah menjadi masalah yang cukup penting di beberapa negara.
Pada hampir seluruh dunia, diperkirakan 17 juta orang menderita penyakit ini per
rendah, utamanya di Asia Selatan, Afrika, Amerika Latin. Di Sulawesi Selatan, demam
tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi yang penting. Penyakit ini endemik hampir
di seluruh wilayah dan dilaporkan merupakan empat besar penyakit tersering pada 24
dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 – 20 hari. Setelah masa inkubasi
maka ditemukan gejala prodromal, seperti rasa tidak enak badan, lesu, nyeri kepala,
pusing dan tidak bersemangat. Selain itu, gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
a. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat remiten dan
suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsurangsur
meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada
sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan
demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh beraangsur-angsur turun dan normal
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah
(ragaden), lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya
kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen dapat dijumpai perut kembung
(meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya
terdapat konstipasi, tetapi kondisi buang air besar (bab) dapat normal ataupun diare.
c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, hanya apatis
selama sebulan setelah gejala klinis menghilang, dan hampir sekitar 5% berlanjut
hingga lima bulan kemudian. Sekitar 3% menjadi carier dan tetap berlanjut
manusia karena metode ini memiliki spesifitas dan sensitifitas yang tinggi. Polymerase
Chain Reaction (PCR) mampu mendeteksi sejumlah DNA patogen spesifik dalam
beberapa menit melalui amplifikasi segmen DNA dan pemisahan satu reaksi antara
organism yang berbeda, jika mereka berhubungan. Dalam suatu kombinasi dengan
metode persiapan sampel, PCR dapat digunakan pada hampir sebagian sampel,
seperti darah, feses dan urin. Sehingga, PCR nampaknya lebih cocok untuk
status carier melalui deteksi spesifik DNA S. typhii pada sampel urin dan feses.
yang bertumbuh baik diantara suhu 35 dan 37 0C, tapi juga dapat tumbuh pada suhu
sekitar 450C. Bakteri ini dapat tumbuh pada kisaran pH 3.8 sampai 9.5, memiliki
aktivitas minimal di air pada kadar 0.94, selain itu dapat juga bertumbuh dengan ada
atau tidak adanya oksiden dan pertumbuhan di bawah nitrogen hanya sedikit kurang
disbanding dengan oksigen. Salmonella typhii dapat mati dengan pemanasan pada
suhu 700C selama satu menit atau kurang. Salmonella dapat bertahan dengan baik di
makanan dan pada permukaan, selama 190 hari pada biscuit coklat, 230 hari pada
makanan manis, selama empat hari pada kerang-kerangan pada suhu 10-130C, dan
lebih dari 90 hari pada es. Pertumbuhan bakteri ini akan berkurang pada suhu kurang
dari -150C. Bakteri ini dapat mengalami transisi menjadi status VNC (Viable but Non-
ini memiliki serologi positif terhadap antigen lipopolisakarida O9 dan O12, antigen
flagellar protein Hd, dan antigen kapsular polisakarida Vi. Antigen kapsular sebagian
besar terbatas pada S.typhii, walaupun dapat ditemukan pada beberapa strain
S.enterica serotip hirscfeldii (paratyphi C) dan Dublin, serta Cirobacter freundii. Tipe
melalui jalur fecal-oral dengan mengkonsumsi makanan atau air yang mengandung
bakteri ini. Terdapatnya pasien tifoid yang telah sembuh atau karier yang masih
mengandung pathogen aktif akan meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Pada area non
endemik, seseorang dapat terjangkit penyakit ini karena makanan dan carrrier. Pada
area yang endemik dengan penyakit ini, kontak dengan pasien atau carrier dapat
diduga sebagai faktor risiko utama, tetapi faktor risiko lainnya seperti kemiskinan,
tingkat pendidikan yang rendah, kondisi higiene yang buruk dan faktor suplai air, serta
berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan fili). Bakteri ini dapat hidup
sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu.
Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 600C) selama 15 – 20 menit,
somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman. Bagian ini mempunyai
struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap
panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid; (ii) Antigen H (Antigen
Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau fili bakteri. Antigen ini mempunyai
struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap
panas dan alcohol, dan (iii) Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman
yang dapat melindungi kuman terhadap fagositosis. Ketiga macam antigen tersebut di
Baru-baru ini diketahui sekuens genom lengkap strain S.enterica serovar typhii
yang resisten multidrug, yang diisolasi pada tahun 1993 dari seorang anak demam tifoid
di Vietnam. Genom CT18 dengan 4.809.037 pb dengan estimasi 4599 sekuens kode.
Genom serotip S. typhi, enterik CT18 S. enterica serotip typhimurium LT2, dan
Escherichia coli pada dasarnya collinear, meskipun fakta bahwa E. coli dan S. enterica
berbeda sekitar 100 juta tahun yang lalu. Kebutuhan lingkungan yang sama oleh bakteri
dan sulfonamid. Pada tahun yang sama, peningkatan kejadian resistensi S.typhii
terhadap kloramfenikol juga terjadi di Saigon, Vietnam. Isolat resisten pertama dideteksi
pada September 1971, dan pada Maret 1972, 46% isolate memiliki MIC (minimum
Shanahan dkk, pada 21 sampel isolat strain S.typhii yang diambil dari kultur
darah pasien di India, didapatkan 11 strain S.typhii resisten terhadap kloramfenikol (256
agen, kecuali amoksisilin, dan isolate lainnya masih sensitif terhadap agen anti mikroba
tersebut. Resistensi antibiotic pada setiap isolate S.typhii dikodekan dengan satu dari
empat tipe plasmid. Gen resistensi antibiotik yang dimediasi plasmid diidentifikasi
dengan penyelidikan spesifik pada penelitian hibridisasi; gen yang bertanggung jawab
Galimand dkk, melaporkan terdapatnya mutasi gen catP pada isolat neisseria
biologi molekuler untuk menggandakan satu atau beberapa potongan DNA menjadi
beberapa kali lipat, menghasilkan ribuan sampai jutaan salinan dari urutan DNA
tertentu. PCR ditemukan pertama kali pada tahun 1983 oleh Kary Mullis.
PCR saat ini merupakan hal yang umum dan sering digunakan di laboratorium
penelitian medis dan biologi untuk berbagai aplikasi, termasuk cloning urutan DNA,
analisis gen, diagnosis penyakit yang diturukan, identifikasi sidik jari genetic, deteksi
Metode ini bergantung pada siklus termal, yang terdiri dari siklus pemanasan dan
pendinginan berulang karena reaksi pencairan DNA dan replikasi enzimatik DNA.
Primer (fragmen pendek DNA) yang mengandung urutan komplementer pada daerah
amplifikasi selektif dan berulang. Pada saat PCR berlangsung, DNA yang dihasilkan itu
sendiri digunakan sebagai cetakan untuk replikasi. PCR dapat dimodifikasi secara luas
seperti polimerase Taq, merupakan enzim yang diisolasi dari bakteri Thermus
aquaticus. Polimerase DNA enzimatik akan membentuk untai DNA baru dengan
menggunakan DNA beruntai tunggal sebagai cetakan dan DNA oligonukleotida (DNA
primer), dibutuhkan untuk inisiasi sintesis DNA. Sebagian besar metode PCR
menggunakan siklus termal, yaitu pemanasan dan pendinginan secara bergantian pada
suhu tertentu. Siklus termal ini sangat dibutuhkan untuk memisahkan dua untai DNA
heliks ganda pada suhu tinggi yang disebut pemanasan DNA. Pada suhu yang lebih
rendah, setiap untai tersebut kemudian digunakan sebagai cetakan pada sintesis DNA
Hampir sebagian besar metode PCR dapat menggandakan fragmen DNA hingga
10 kb, walaupun beberapa teknik dapat menggandakan hingga 40 kb. Dasar PCR
terdiri dari beberapa komponen dan reagen, yaitu (i) cetakan DNA yang mengandung
bagian DNA yang akan digandakan; (ii) primer; (iii) tag polymerase atau polymerase
triphosphates (dNTP); (v) solusio buffer; (vi) ion magnesium, mangan, kation divalent,
Biasanya PCR terdiri dari 20-30 perubahan suhu, disebut siklus, dimana setiap
siklus terdiri dari 2-3 tahap suhu yang berbeda. Siklus ini biasanya didahului tahap suhu
tunggal (hold) pada suhu tinggi (900C). Suhu yang digunakan dan lamanya waktu yang
diterapkan dalam setiap siklus tergantung pada berbagai parameter, termasuk enzim
yang digunakan untuk sintesis DNA, konsentrasi ion divalen dan dNTP dalam reaksi,
Tahap initialisasi
Langkah ini terdiri dari pemanasan reaksi dengan suhu 94-96 ° C (98 ° C atau
jika polimerase termostabil ekstrem digunakan), dilakukan selama 1-9 menit. Hal
ini hanya diperlukan untuk polimerase DNA yang memerlukan aktivasi panas
Tahap denaturasi
Tahap ini merupakan siklus pertama yang terdiri dari reaksi pemanasan 94-980C
selama 20-30 detik, yang menyebabkan pemanasan DNA dari cetakan DNA
dengan merusak ikatan hydrogen antara basa, menghasilkan molekul DNA untai
tunggal.
Tahap annealing
annealing primer ke cetakan DNA untai tunggal. Biasanya suhu pada tahap ini
sekitar 3-50C di bawah Tm dari primer yang digunakan. Ikatan hidrogen Stabil
DNATahap ekstensi/elongasi.
Tahap ekstensi / elongasi
Suhu pada tahap ini tergantung pada polimerase DNA yang digunakan, Taq
polimerase memiliki aktivitas pada suhu optimum 75-800C, dan umumnya suhu
720C yang digunakan dengan enzim ini. Pada langkah ini polimerase DNA
menambahkan dNTP yang melengkapi cetakan dalam 5 'ke 3' arah, kondensasi
polimerase yang digunakan dan pada panjang fragmen DNA yang akan
diperkuat. Pada suhu optimum, polimerase DNA akan polimerisasi seribu basis
per menit. Dalam kondisi optimum, yaitu bila tidak ada keterbatasan karena
substrat membatasi atau reagen, pada setiap langkah ekstensi, jumlah target
Elongasi tarakhir
Pada tahap ini dilakukan pada suhu 70-740C selama 5-15 menit setelah siklus
PCR terakhir untuk memastikan bahwa setiap DNA beruntai tunggal tersisa
sepenuhnya diperpanjang.
Final Hold
Tahap ini dilakukan pada 4-150C untuk waktu yang tidak terbatas, dapat
atau amplikon), agarosa gel elektroforesis digunakan untuk pemisahan ukuran produk
PCR. Ukuran produk PCR ditentukan oleh perbandingan dengan DNA ladder (penanda
berat molekul), yang berisi fragmen DNA ukuran diketahui, dijalankan pada gel
Gambar 2. Produk PCR di tandai Etidium bromida setelah elektroforesis gel. Dua set primer digunakan
untuk mengamplifikasi urutan target dari tiga sampel jaringan yang berbeda. Amplifikasi ada hadir dalam
sampel # 1, pita DNA pada sampel # 2 dan # 3 menunjukkan amplifikasi sukses urutan target. Gel ini
juga menunjukkan kontrol positif, dan DNA ladder yang mengandung fragmen DNA panjang yang
ditetapkan untuk ukuran band eksperimental dalam PCR
patogen ini pada sampel darah, urin, dan feses. Sensitivitas kultur darah, PCR pada
darah, urin, dan feses, serta tes widal berturut-turut adalah 61.8%, 84.5%, 69.3%,
46.9% dan 39.0%. Pada penelitian yang dilakukan oleh Hatta dkk, sensitivitas PCR
pada darah dan urin lebih tinggi secara signifikan, dan sensitivitas PCR pada feses
sama dengan kultur darah. Kombinasi PCR pada urin dan feses menunjukkan hasil
positif pada 16 dari 23 pasien tifoid. Dari studi tersebut, penulis menyimpulkan PCR
darah merupakan metode yang sensitive untuk mendiagnosis demam tifoid, dan PCR
pada urin dan feses dapat digunakan sebagai pemeriksaan tambahan. (Hatta and
Smits, 2007).
KERANGKA TEORI
Resistensi Chloramfenikol
METODE PENELITIAN
dimana pada penelitian ini dibagi menjadi kelompok kasus yang masih sensitive
terhadap kloramfenikol dan kelompok kontrol, dimana isolate S.typhii sudah resisten
terdapat kloramfenikol.
Makassar, yang akan dilaksanakan pada bulan Januari hingga Maret 2013.
III.3. POPULASI
Sampel penelitian ini adalah seluruh populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan
Kriteria inklusi :
Kriteria eksklusi :
N . Z2 . P .(1 - P)
n = -----------------------------------
d2 (N-1) + Z2 . P.(1 – P)
Keterangan :
n = Besar sampel
III.5.1. Pencatatan
Pasien demam tifoid yang datang ke RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo dan
rumah sakit jejaring yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi akan diberi
penyakit.
isolat S.typhi. Setelah itu dilakukan tes sensitivitas cakram kloramfenikol untuk
selanjutnya akan diuji dengan PCR unutk dilihat apakah terdapat mutasi gen
catP.
III.5.4. PCR
Total : 25,0 μl
Pembuatan gel
1. Ditimbang 1,5 gr agarose dan dilarutkan dalam 100 ml TBE Buffer 0,5 untuk
2. Campuran agarosa dan TBE Buffer 0,5 dipanaskan hingga larut kemudian
1. Gel yang telah beku dimasukkan ke dalam elektroforesis dan direndam dalam
ditambah dengan 2 μl Blue Juice Loading Dye (tanpa marker), dicampur dan
Running elektroforesis
2. Setelah elektroforesis dilihat pita yang terbentuk. Apabila pita sejajar dengan
3. Mengatur gambar
Variabel antara :
Subyek
Kultur darah
Isolat S.typhi
sensitif Resisten
PCR
Analisis data
Laporkan data
baku, sebaran frekuensi dan uji statistik. Uji statistik yang digunakan
adalah Chi Square dan Fisher Exact dengan tingkat kemaknaan 0,05.
Data hasil penelitian diolah dan disajikan dalam bentuk tabel, grafik, dan
narasi.
Chau TT, Campbell JI, Galindo CM. (2007) Antimicrobial drugs resistance of Salmonella
enteric serovar typhi in Asia and molecular mechanism of reduced susceptibility
to the fluoroquinolones. Antimic Agent Chemother, 51(12), 4315-23
Hatta M, Pastoor R, Scheelbeek PFD, et al. (2011) Multi locus variable number tandem
repeat profiling of Salmonella enteric serovar typhi isolates from blood cultures
and gallbladder specimens from Makassar, South Sulawesi, Indonesia, PLos
ONE, 6(9), 1-7
Hatta M, Smits HL. (2007) Detection of Salmonella typhi by nested polymerase chain
reaction in blood, urine, and stool samples. J Trop Med Hyg, 76(1), 139-43
Hatta M, Sultan AR, Pastoor R, Smits HL. (2011) New flagellin gene for salmonella
enteric serovar typhi from the ease Indonesian archipelago. Am J Trop Med Hyg,
1-6
Hirose K, Tamura K, Watanabe H. (2003) Screening method for Salmonella enteric
serovar typhi and serovar paratyphi A with reduced susceptibility to
fluroquinolones by PCR-restriction fragment length polymorphism. Microbiol
Immunol, 47(2), 161-5
Madhulika U, Harish BN, Parija SC. (2004) Current pattern in antimicrobial susceptibility
of Salmonella typhi isolates in Pondicherry. Indian J Med Res, 120, 111-4
Mirza S, Kariuki S, Mamun KZ, Beeching NJ, Hart CA. (2000) Analysis of plasmid and
chromosomal DNA of multidrug resistant Salmonella enteric serovar typhi from
Asia. J Clin Microbiol, 38(4), 1449-52
Navarro F, LLovet T, Echeita MA, et al. (1996) Molecular typing of Salmonella enterica
serovar typhi. J Clin Microbiol, 34(11), 2831-4, 1770-83
Parry CM, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. (2002) Typhoid Fever. NEJM,
347(22)
Shultz TR, Tapsall JW, White PA, et al. (2003) Chloramphenicol-resistant Neisseria
meningitides containing catP isolated in Australia. J Antimic Chemother, 52, 856-
9
Toro CS, Lobos SR, Calderon I, Rodriguez M, Mora GC. (1990) Clinical isolate of
porinless Salmonella typhi resistant to high levels of chloramphenicol. Antimic
Agent Chemother, 34(9), 1715-19
Zaki SA, Karande S. (2011) Multidrug-resistant typhoid fever: a review. J Infect Dev
Ctries, 5(5), 324-7