Anda di halaman 1dari 8

Penulis: Merari Siregar

Penerbit: Balai Pustaka


Tahun Pertama Terbit: 1920
Jumlah Halaman:

Novel yang satu ini bisa dikategorikan novel klasik terbitan Balai Pustaka. Ia menandai zaman dimana
sastra Indonesia masih didominasi penggunaan bahasa melayu yang kental. Adapun tema umum
novel yang satu ini adalah kehidupan percintaan seorang gadis yang pernikahannya tidak membawa
pada hidup yang bahagia tetapi justru pada kesengsaraan. Tokoh sentral dalam kisah cinta ini
bernama Mariamin dan Aminu’ddin. Keduanya berkerabat dekat tetapi berbeda nasib. Aminu’ddin
merupakan anak kepala kampong, seorang bangsawan yang kaya raya dan disegani banyak orang.
Sementara itu Mariamin tumbuh di lingkungan keluarga yang miskin. Sejak kecil keduanya sudah
berkenalan dan bermain bersama. Beranjak dewasa, Aminu’ddin dan Mariamin merasakan getaran
cinta yang kuat. Aminu’ddin berjanji akan menikahi Mariamin. Niatnya ini diutarakan pada ibu dan
ayahnya, Baginda Diatas. Sang ibu setuju sebab ia menganggap Mariamin masih keluarganya dan
dengan menikahkannya dengan Aminu’ddin, ia bisa menolong kemiskinan gadis itu. Namun,
pendapat berbeda datang dari ayah Aminu’ddin yakni Baginda Diatas. Ia diam-diam tidak menyetujui
rencana Aminu’ddin sebab ia beranggapan pernikahan tersebut tidak pantas dan akan menurunkan
derajat bangsawannya.

Untuk mewujudkan niatnya, akhirnya Aminu’ddin berangkat ke Medan untuk mencari kerja. Saat di
Medan, ia masih rajin berkirim kabar dengan Mariamin. Sampai suatu waktu, ia akhirnya mengirim
berita ke kampung bahwa ia sudah siap untuk berumahtangga dengan wanita pujaannya tersebut.
Sayangnya, Baginda Diatas, ayah Aminu’ddin tidak setuju. Ia menyusun rencana agar isterinya tidak
menyetujui keinginan Aminu’ddin. Caranya, ia membawa isterinya ke dukun sewaan dan pura-pura
meramal jodoh terbaik untuk Aminu’ddin, anaknya. Sang dukun berkata bahwa jodoh Aminu’ddin
bukanlah Mariamin melaikan seorang gadis bangsawan di desa mereka. Ibu Aminu’ddin pun percaya
dan setuju berangkat ke Medan dengan membawa gadis bangsawan yang hendak dinikahkan
dengan Aminu’ddin.

Saat mereka tiba di Medan, Aminu’ddin kaget sebab keputusan orangtuanya menjodohkan dengan
gadis tersebut memukul jiwanya. Tapi ia tak bisa menolak sebab saat itu ia terikat adat busaya yang
harus selalu patuh pada keputusan orang tua. Akhirnya Aminu’ddin mengirim surat kepada
Mariamin sambil memohon maaf karena ia terpaksa menikahi gadis lain meskipun tanpa cinta.
Mendengar kabar terebut, Mariamin sangat sedih. Ia bahkan sempat sakit. Setahun berselang, ibu
mariamin akhirnya menerima pinangan seorang laki-laki bernama Kasibun. Ia berharap pernikahan
tersebut akan mengobati luka Mariamin. Akan tetapi apa yang diniatkan ibu Mariamin tidak terjadi.
Pernikahan tersebut malah menambah penderitaan lain bagi Mariamin. Sebab, ternyata Kasibun
memiliki isteri yang diceraikannya dengan alasan ingin menikahi Mariamin.

Selanjutnya, Kasibun membawa Mariamin ke Medan. Mereka mengalami hubungan suami siteri
yang compang sebab Mariamin tidak ingin melakukan hubungan intim dengan suaminya. Alasannya,
ternyata Karibun memiliki penyakit kelamin yang bisa menular. Mendapat penolakan tersebut,
Karibun kalap dan sering menyiksa isterinya, Mariamin. Penderitaannya semakin bertambah sejak
Aminu’ddin bertamu ke rumahnya suatu waktu. Melihat reaksi Mariamin yang tak biasa, Karibun
pun membaca sesuatu yang lain dan kemudian cemburu. Semakin hari ia semakin sering menyiksa
isterinya.

Pada akhirnya Mariamin tak sanggup lagi dan akhirnya melaporkan suaminya, Karibun, ke polisi.
Akhirnya Karibun ditetapkan bersalah dan diwajibkan membayar denda serta melepaskan Mariamin
tak lagi jadi isterinya. Mariamin akhirnya kembali ke desanya dan hidup menderita di sana. Ia sakit-
sakitan hingga akhirnya meninggal dunia dalam derita.

Demikian sinopsis novel Azab dan Sengsara ini. Bahasa yang digunakan masih khas Melayu,
sehingga untuk generasi muda mungkin novel ini sedikit membosankan. Tapi bagi mereka yang
gemar menyimak sejarah sastra, sinopsis novel yang satu ini tentu menarik disimak. Novel ini
kabarnya merupakan novel sastra pertama di Indonesia terlepas dari tahun berapa Balai Pustaka
didirikan.
A. SINOPSIS NOVEL “AZAB DAN SENGSARA” KARYA MIRARI SIREGAR

I. Identitas buku

1. Judul buku : Azab dan Sengsara

2. Pengarang : Merari Siregar

3. Tahun Terbit : 1920

4. Penerbit : Balai Pustaka

II. Sinopsis

Karena pergaulan mereka sejak kecil dan hubungan saudara sepupu, antara Mariamin dan
Aminuddin terjadilah jalinan cinta. Ibu Mariamin, Nuria menyetujui hubungan itu karena
Aminuddin adalah seorang anak yang baik budinya lagipula ia ingin putrinya dapat hidup
berbahagia tidak selalu menderita oleh kemiskinan mereka.

Orang tuanya Amiuddin adalah seorang kepala kampung,bangsawan kaya dan disegani oleh
bawahannya karena sifatnya yang mulia dan kerajinan kerjanya.

Ayahnya bernama Baginda Diatas dan sifatnya menurun pada anaknya. Sedangkan keluarga
Mariamin adalah keluarga miskin disebabkan oleh tingkah laku ayahnya almarhum yang suka
berjudi, pemarah, mau menang sendiri,dan suka berbicara kasar. Akibatnya keluarganya jauh
miskin hingga akhir hayatnya, Tohir ( Sultan Baringin ) mengalami nasib sengsara.

Hubungan mereka ternyata tidak mendapat restu dari Baginda Diatas karena keluarga
Mariamim adalah keluarga miskin bukan dari golongan bangsawan. Suatu ketika Aminuddin
memutuskan untuk pergi meninggalkan Sipirok pergi ke Deli (Medan) untuk bekerja dan
berjanji pada kekasihnya untuk menikah jika saatnya dia telah mampu menghidupinya.

Sepeninggal Aminuddin, Mariamin sering berkirim surat dengan Aminuddin. Dan ia selalu
menolak lamaran yang datang untuk meminangnya karena kesetiaannya pada Aminuddin.
Setelah mendapat pekerjaan di Medan Aminuddin mengirim surat untuk meminta Mariamin
untuk menyusulnya dan menjadi istrinya. Kabar itu disetujui oleh ibunya Aminuddin ,akan
tetapi Baginda Diatas supaya tidak menyakiti hati istinya diam-diam pergi ke
dukunmenanyakan siapakah jodoh sebenarnya Aminuddin. Maka dikatakannya bahwa
Mariamin bukanlah jodoh Aminuddin melainkan seorang putri kepala kampung yang kaya
dan cantik maaf dan menyesali segala perbuatanya setelah melihat sifat-sifat Mariamin yang
baik.

Beberapa bulan kemudian Mariamin dinikahkan oleh seorang kerani yang belum
dikenalnya,bernama Kasibun. Yang ternyata Tanpa sepengetahuan Aminuddin, Baginda
Diatas membawa calon menantunya hendak dijodohkan dengan Aminuddin di Medan.
Ternyata Aminuddin kecewa mendapat bukan pilihannya, akan tetapi ia tidak dapat menolak
keinginan ayahnya serta adat istiadat yang kuat. Kemudian diberitahukan Mariamin bahwa
pernikahannya tidak berdasarkan cinta dan ia minta maaf serta bersabar menerima cobaan ini.
Mariamin jatuh sakit karena cintanya yang terhalang. Suatu hari Baginda Diatas datang
hendak minta diketahui ia baru menceraikan istrinya di Medan untuk mengawini Mariamin.
Suatu ketika Aminuddin mengunjungi Mariamin di rumahnya, namun menimbulkan
kecurigaan dan rasa cemburu dalam diri Kasibun. Kemudian Kasibun menyiksa Mariamin
dan merasa tidak tahan hidup bersama suaminya,ia kemudian melapor pada polisi dan
suaminya kalah perkara dengan membayar denda. Kasibun harus mengaku bersalah dan
merelakan bercerai darinya. Mariamin merasa bersedih dan ia pulang ke Sipirok rumah
ibunya. Badannya kurus dan sakit-sakitan, hingga akhirnya meninggal dunia dengan amat
sengsara.

Pengarang ingin menceritakan dua orang bersaudara yang menjalin hubungan cinta, namun
terhalang oleh adat istiadat setempat dan berakhir sampai salah satunya telah dijemput maut.

IV. Unsur Intrinsik

a. Tema : Tidak selamanya kebahagiaan dapat diperoleh dengan mudah harus ada
pengorbanan.

b. Latar : Sipirok, Deli, dan Medan.

c. Plot / Alur : Alur Maju.

d. Sudut Pandang : Orang ketiga tunggal.

e. Penokohan dan Perwatakan

1. Mariamin : Seorang yang penurut, ramah, taat pada orang tuanya .

2. Aminuddin : Orang yang baik, perhatian, dan baik budi pekertinya.

3. Ibu Mariamin,Nuria : Perhatian baik terhadap anaknya sendiri maupun terhadap


kemenakannya, baik,dan

ramah.

4. Tohir ( Sultan Baringin ) : Ayah Mariamin, ia suka berjudi, pemarah, mau menang
sendiri, dan suka

berbicara kasar.

5. Baginda Diatas : Ayah Aminuddin, ia seorang bangsawan kaya, disegani oleh


bawahan karena sifatnya yang mulia.

f. Bahasa : Bahasa Melayu.

g. Amanat : Untuk memperoleh segala yang kita inginkan terutama kebahagiaan kita
harus bersabar.
Di sebuah kota kecil, Sipirok yang berada di wilayah Tapanuli pada Pegunungan Bukit
Barisan terdapat sebuah keluarga. Keluarga tersebut terdiri dari seorang ibu yang sudah
janda, bernama Nuriah. Dia memiliki dua orang anak. Anak pertama seorang gadis, Mariamin
yang memiliki paras cantik dan berbudi pekerti halus. Anak kedua laki-laki yang berusia
empat tahun. Mereka tinggal di sebuah gubuk kecil dekat Sungai Sipirok. Mereka hidup
bertiga penuh kesengsaraan dan kesedihan. Semua dijalaninya dengan penuh keikhlasan dan
kesabaran, tidak pernah mengeluh dan putus asa. Semua permasalahan hidupnya diserahkan
kepada Allah Subhanahu wata’ala.
Kisah sedihnya bermula setelah kematian ayahnya Sutan Barigin. Sebelum ayahnya
meninggal kehidupan mereka berada dalam kecukupan, tak kurang suatu apa pun. Rumah
bagus, sawah yang luas, binatang ternak juga banyak. Semua harta yang banyak itu akhirnya
lenyap habis. Harta yang habis itu diakibatkan oleh perilaku Sutan Barigin itu sendiri. Sutan
barigin memiliki sifat tamak, rakus, keras kepala, tidak peduli pada istri serta mudah kena
hasutan orang lain. Harta warisan yang seharusnya dibagikan kepada saudara yang berbeda
nenek yaitu Baginda Mulia, Sutan Barigin tidak mau membaginya. Atas hasutan Marah Sait,
Sutan Barigin malah memperkarakannya ke pengadilan. Yang paling keji Sutan Barigin tidak
mau mengaku saudara pada Baginda Mulia. Sebenarnya Baginda Mulia mengajak berdamai
saja, berapapun harta warisan yang akan diberikan Sutan Barigin kepadanya akan ia terima.
Sutan Barigin tetap tidak mau dan ingin memperkarakan saja.
Sidang perkara warisan di gelar di Sipirok, semua biaya ditanggung oleh Sutan Barigin.
Sutan Barigin kalah karena Baginda Mulia adalah saudara Barigin dan berhak separuh atas
warisan neneknya. Sutan Barigin naik banding lagi ke pengadilan yang lebih tinggi di
Padang. Untuk perkara perlu biaya yang besar, sawah dan ternak terjual habis. Yang untung
adalah Marah Sait mendapat jatah uang juga dari Sutan Barigin. Sedangkan perkara
dimenangkan oleh Baginda Mulia. Perkara dilanjutkan ke Jakarta, biaya lebih besar lagi.
Sutan Barigin tetap kalah sampai akhirnya barulah ia sadar dan menyesal tidak mau
menerima saran istri dan Baginda Mulia untuk berdamai. Sesal kemudian tidak berguna.
Kesengsaraan dan kemalaratan saja yang dierima Sutan Barigin dan anak keluarga ikut
menanggung azab dan sengsara. Sampai pada nasib terakhir Sutan Barigin terkena penyakit
sampai akhirnya Tuhan mengambil nyawa orang yang tamak itu.
Kesedihan Mariamin disusul oleh kepergian kekasihnya Aminuddin ke kota Medan, hingga
hancurlah semua cita-cita dan harapan yang telah terbina sejak lama. Di Medan Aminuddin
bekerja di perkebunan tembakau. Ia mencoba menyurati Mariamin. Bahkan dalam suratnya
mengatakan hendak meminang Mariamin untuk dijadikan istrinya.
Aminuddin menyuruh ayahnya agar melamar Mariamin. Tapi ayah Aminuddin malah
membawa perempuan lain ke Medan dengan alasan Mariamin bukan jodoh Aminuddin.
Pendapat itu bersumber dari seorang dukun yang dimintai pendapat ayah Aminuddin. Dengan
sangat terpaksa, kecewa, dan menyesal Aminuddin menikah dengan perempuan yang tidak
dicintainya karena cintanya hanya kepada Mariamin. Rasa bersalah pada Mariamin ia
sampaikan lewat surat serta permohonan ma’af kepada keluarganya. Semua itu bukan
kehendak Aminudin untuk meninggalkan Mariamin.
Di Sipirok Mariamin menikah dengan Kasibun atas anjuran ibunya. Kasibun seorang laki-laki
hidung belang yang mengidap penyakit kelamin. Mariamin di bawa juga ke Medan oleh
Kasibun. Di Medan Mariamin sempat bertemu dengan Aminudin. Di Medan pula ia
merasakan penyiksaan dari Kasibun karena ia selalu menolak hasrat berahinya. Mariamin
takut penyakit Kasibun menular kepadanya.
Tidak kuat dengan siksaan Kasibun, Mariamin pergi meninggalkan Medan dan pulang
kembali ke Sipirok. Di Sipirok inilah berakhirnya penderitaan dan kesengsaraan Mariamin.
Akhirnya Mariamin meninggal dunia untuk mengakhiri azab dan kesengsaraan di dunia yang
fana ini.
 . Unsur Intrinsik

A. Tema : Tidak selamanya kebahagiaan dapat diperoleh dengan mudah harus ada
pengorbanan
B. Penokohan (karakterisasi, perwatakan)
Penokohan adalah proses penampilan ‘tokoh’ sebagai pembawa peran watak tokoh dalam
suatu pementasan lakon. Tokoh serta karakter dalam lakon drama ini adalah sebagai berikut.
1) Mariamin adalah seorang gadis yang cantik, lemah lembut, berbakti kepada orang tua dan
baik hati. Karakter baik hati dan berbakti kepada orang tua dapat dilihat dari penggalan
percakapan, “Makanlah Mak dahulu, nasi sudah masak,” kata Mariamin seraya mengatur
makanan dan sajur jang dibawanja sendiri dari gunung untuk ibunja yang sakit itu.
2) Aminudin adalah seorang anak yang berbudi pekerti luhur sopan santun, suka menolong,
berbakti dan sangat pintar. Berbudi pekerti luhur, jiwa penolng Aminudin dapat dilihat dari
penggalan dialog : “Ia menolong mencangkul sawah Mak Mariamin.. Udin mempunyai
kasihan, itulah sebabnya ia menolong mamaknya.” Mendengar itu, suaminya tinggal diam; Ia
tiada marah mendengar umpatan itu.

3) Sutan Baringin adalah seorang yang suka membuat masalah dan takabur dengan hartanya.
Watak tidak baiknya itu dapat dilihat dari penarasian penulis sebagaimana berikut ini ; Sutan
Baringin terbilang hartawan lagi bangsawan seantero penduduk sipirok. Akan tetapi karena ia
sangat suka berperkara, maka harta yang banyak itu habis, sawah dan kerbau terjual, akan
penutup ongkos-ongkos perkara, akhir-akhir jatuh miskin, sedang yang dicarinya dalam
perkara itu tiada seberapa bila dibandingkan dengan kerugian-kerugiannya.
4) Nuria atau ibu Mariamin adalah seorang penyayang dan baik hati. Wujud kasih sayang itu
sebagaimana dapat dilihat dari penggalan dialog berikut ini ; “Anakku sudah makan?”
bertanya si ibu seraya menarik tangan budak itu, lalu dipeluknya dan diciumnya berulang-
ulang.
5) Baginda Diatas atau ayah Aminuddin adalah seorang kepala kampung atau bangsawan yang
kaya raya dan disegani serta dihormati. Hal itu dibuktikan dengan penggalan narasi langsung
dari penulis sebagai berikut ; “Dia (Aminudin) adalah anak kepala kampung A. Ayah
Aminu’ddin seorang kepala kampung yang terkenal di seantero Sipirok. Harta bendanya
sangat banyak”.
6) Ibu Aminuddin mempunyai sifat yang sama seperti suaminya Baginda Diatas, dia juga
penyayang.

C. Alur (Plot)
Alur dalam novel “Azab dan Sengsara” ini menggunakan alur campuran, yaitu alur
maju dan alurmundur.
Konflik dimulai ketika Aminuddin mengatakan kepada Mariamin bahwa dia akan merantau
ke Medan untuk mencari pekerjaan. Mariamin yang ditinggalkan merasa sangat bersedih dan
putus asa. Ditambah lagi ibunda Mariamin sedang sakit parah. Hal ini menambah kepedihan
hati Mariamin. Namun ketika Aminuddin meminta ayahnya untuk membawa Mariamin ke
Medan untuk dinikahinya, ayahnya justru membawa gadis lain yang dianggap lebih pantas
menjadi isteri Aminuddin karena status sosial yang sederajat dengan mereka.
Konflik memuncak ketika Mariamin harus menikah dengan pria pilihan ibunya yaitu
seorang kerani bernama Kasibun. Mariamin sama sekali tidak mendapatkan kebahagiaan
setelah menikah dengan Kasibun. Ia justru harus mengalami kepahitan karena sang suami
memperlakukannya bagai binatang. Setiap hari Mariamin disiksa dan dianiaya oleh Kasibun.
Peleraian dimulai ketika Mariamin sudah tidak tahan lagi atas perlakuan Kasibun.
Kemudian ia melaporkan tindakan itu ke polisi dan Kasibun pun ditangkap dan harus
membayar denda kepada Mariamin serta harus memutuskan tali pernikahannya dengan
Mariamin. Ia pun kembali ke gubuknya di Desa Sipirok. Pada akhirnya azab dan sengsara
Mariamin pun berakhir. Anak shaleh itu menemui ajalnya. Nyawanya bercerai bercerai
dengan badan. Arwah yang suci itu naik ke tempat yang mahamulia. Azab dan sengsara dunia
ini telah tinggal diatas bumi, berkubur dengan jazad badan yang kasar itu.

D. Setting (latar):
Latar tempat:
1. Di sebuah gubuk di tepi sungai tepatnya di daerah Sipirok, Padang.
2. Di sebuah gubuk di tengah-tengah sawah.
3. Sungai di kota Sipirok.
4. Rumah Mariamin yang besar.
5. Di Medan (Deli) di rumah Kasibun (suami Mariamin)
6. Di kebun tempat Aminuddin bekerja
7. Kampung A yang dikepalai oleh Bapaknya Aminuddin
8. Pekuburan Mariamin di sebrang jalan kampung A
Latar waktu:
Terjadi pada senja, pagi hari, siang, dan malam hari
Latar suasana:
Menyedihkan, senang, haru, tegang.

E. Sudut Pandang
1. Orang ketiga tunggal yang ditandai dengan kata: adinda, kakanda dan anakanda
2. Orang ketiga yang di tandai dengan kata: anggi (adik), Angkang (Kakak)

F. Gaya dan Nada


Gaya penulisan novel ini adalah dengan menggunakan bahasa Indonesia dan
dicampuri oleh bahasa Melayu. Novel ini belum menggunakan EYD atau ejaan yang
disempurnakan. Selain itu pada setiap awal bab pengarang menggunakan penggambaran-
penggambaran baik itu mengenai alam yang menjadi latar cerita maupun penggambaran
tentang tokoh-tokoh dengan menggunakan bahasa yang indah. Misalnya “ Maka angin itu
pun bertambahlah sedikit kerasnya sehingga daun dan cabang-cabang kayu bergoyang-
goyang perlahan-lahan sebagai menunjukkan kegirangannya, karena cahaya yang panas itu
sudah bertukar dengan hawa yang sejuk dan nyaman rasanya.

Anda mungkin juga menyukai