PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap orang selalu mengharapkan kehidupan yang bahagia. Salah satu
bentuk kebahagiaan itu adalah memiliki anak yang sehat dan normal, baik
secara fisik maupun mental. Tetapi tidak sedikit orangtua yang dikaruniai
anak yang tidak normal. Anak-anak tidak normal dapat juga dikatakan
sebagai anak cacat atau yang lebih familiar di kehidupan masyarakat adalah
anak berkebutuhan khusus (ABK). Mereka yang disebut anak berkebutuhan
khusus ini berbeda dari kebanyakan anak karena diantara mereka memiliki
kekurangan seperti keterbelakangan mental, kesulitan belajar, gangguan
emosional, keterbatasan fisik, gangguan bicara dan bahasa, kerusakan
pendengaran, kerusakan penglihatan, ataupun memiliki keberbakatan
khusus. Beberapa karakteristik ini dapat menghambat anak berkebutuhan
khusus mengembangkan diri secara optimal. Dalam hal ini retardasi mental
atau keterbelakangan mental dapat dijadikan contoh dalam karakteristik
anak berkebutuhan khusus yang memang dapat menghambat anak untuk
mengembangkan diri (Mangunsong, 2012).
1
2
mental baik beban secara fisik, psikis dan sosial. Menurut Friedrich (dalam
Perry, 2004) bahwa salah satu beban fisik penyebab stres pada ibu dari anak
retardasi mental berkaitan dengan ketidakmampuan anak dalam melakukan
aktivitas sehari-hari membuat ibu harus selalu membantu dan mendampingi
anaknya. Hal itu tentu saja menyebabkan ibu mengalami kelelahan fisik.
Sedangkan beban psikis yang dirasakan ibu, berkaitan dengan proses
penerimaan mulai dari rasa kaget, kecewa, rasa bersalah atas kondisi anak,
serta ada tidaknya dukungan dari keluarga.
Ada faktor yang dirasa dapat mempengaruhi tinggi-rendahnya tingkat
stres pengasuhan khususnya pengasuhan ibu yang memiliki anak retardasi
mental yaitu jaringan sosial dan dukungan, problem solving dan coping
skill, dan religious affiliation (Johnston dkk, 2003). Dalam hal ini religious
affiliation dapat dilakuan dengan cara lebih mendekatkan diri pada Tuhan
melalui penghayatan dan pengamalan nilai-nilai keagamaan (dalam Faridi,
2002). Dengan mendekatkan diri pada Tuhan, seseorang akan senantiasa
merasa tentram, tenang, penuh pertimbangan dan perhitungan yang matang,
ikhlas, sabar dan lapang dada (Adz-Dzaky, 2002).
Dalam pengasuhan anak retardasi mental, orangtua, khususnya ibu,
harus memiliki tingkat religiusitas yang tinggi untuk tetap bertahan dalam
keadaan krisis seperti ini. Hal ini dikarenakan individu dengan religiusitas
yang tinggi dianggap memiliki pedoman untuk merespon hidup dan
mempunyai daya tahan yang lebih baik dalam mengelola permasalahan
yang dihadapi (Prihastuti & Theresiawati, 2003). Lebih lanjut Rahmat
(2002) mengatakan bahwa jika penghayatan dan pelaksanaan terhadap nilai-
nilai agama tersebut meningkat, maka akan memunculkan perasaan bahagia,
senang, puas, merasa aman yang pada akhirnya akan mengacu pada
ketenangan batin. Tingkat religiusitas yang tinggi bisa diasumsikan dapat
meningkatkan kemampuan seseorang dalam mengatasi ketegangan-
5
ketegangan akibat permasalahan yang dirasakan berat dan menekan. Hal itu
sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Kumar (2008) bahwa dalam
mengatasi stres pengasuhan pada orang tua yang memiliki anak dengan
keterbelakangan mental dipengaruhi oleh sumber daya/kualitas pribadi
orang tua, meliputi kesehatan fisik, moral yang baik,
kepercayaan/religiusitas, pengalaman dalam menangani masalah,
ketrampilan pengasuhan, kecerdasan, dan karakteristik kepribadian orang
tua.
Dalam konsep religiusitas, penghayatan dan pelaksanaan terhadap
nilai-nilai keagamaan secara menyeluruh akan memunculkan ketenangan
batin sehingga mampu meningkatkan daya tahan seseorang dalam mengatasi
ketegangan-ketegangan akibat permasalahan yang dirasakan berat dan
menekan (Adz-Dzaky, 2002). Daya tahan yang dimaksudkan dalam hal ini
berkaitan dengan definisi dari resiliensi itu sendiri yaitu kemampuan yang
dimiliki individu untuk mampu bertahan dan berkembang secara positif
dalam situasi yang penuh tekanan (Davis, 1999). Adapun definisi resiliensi
menurut Reivich dan Shatte (2002) yaitu kemampuan untuk mengatasi dan
beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam
kehidupan. Bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan
dengan kesengsaraan (adversity) atau trauma yang dialami dalam
kehidupannya.
Seorang ibu dari anak retardasi mental yang resilien akan mampu
beradaptasi dengan perubahan yang ada, menghadapi tekanan, memandang
hidup secara positif, pulih dan berkembang menjadi individu yang lebih
kuat dan bijak (Rizky, 1998). Untuk dapat menjadi seorang individu yang
resilien, seseorang harus memiliki keahlian-keahlian yang disebut oleh
Reivich dan Shatte (2002) dengan istilah tujuh faktor resiliensi. Tujuh faktor
resiliensi yaitu, emotion regulation, impulse control, optimism, causal
6
yang ditandai adanya pertalian diantara anggota keluarga; (3) jaringan sosial
eksternal yang mendukung dan memperkuat cara coping yang adaptif.
Dalam hal ini ada beberapa contoh penelitian sebelumnya yang lebih
menitikberatkan pada poin ke-2 dalam faktor-faktor protektif yaitu keluarga
yang stabil dan memberikan dukungan yang ditandai adanya pertalian
diantara anggota keluarga. Seperti contoh dalam penelitian King, King,
Rosenbaun, dan Goffin (1999) yang melakukan penelitian mengenai
hubungan antara perhatian dengan kesejahteraan pada orang tua yang
memiliki anak retardasi mental. Penelitian dilakukan pada 164 orang tua
yang memiliki anak dengan gangguan perkembangan mental. Hasil
penelitian ini menyatakan bahwa banyaknya perhatian yang diberikan oleh
keluarga, merupakan prediktor yang kuat bagi kesejahteraan orang tua. King
dkk, menyatakan bahwa hal ini merupakan salah satu bentuk resiliensi
khususnya dalam keluarga.
Dari hasil penelitian tersebut, terlihat jelas bahwa peranan resiliensi
juga berlaku dalam ruang lingkup keluarga. Pandangan yang sistematis
mengenai resiliensi melalui konteks ekologis dan perkembangan
mengidentifikasikan bagian-bagian yang dapat membuat suatu keluarga,
khususnya peran sebagai ibu dapat menghadapi krisis secara lebih efektif
dan tekanan secara persisten (Hawley & DeHaan, 1996).
Suatu bentuk ketahanan atau resiliensi bisa terlihat jelas dari tingkat
religiusitas yang dimiliki individu. Hal ini karena faktor religiusitas
berpengaruh penting dalam perilaku resiliensi tersebut. Sudah ada beberapa
contoh penelitian yang meneliti tentang hubungan antara religiusitas dengan
resiliensi, salah satu contohnya adalah dalam suatu penelitian yang berjudul
“Faktor Protektif dan Faktor Resiko terhadap Dampak Psikologis pada
Penyintas Bencana Merapi” yang dilakukan oleh (Retnowati, 2011)
menjelaskan bahwa ada hubungan yang signifikan antara resiliensi dan
8
B. Permasalahan penelitian
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
informasi yang lebih luas dalam bidang psikologi tentang
hubungan antara religiusitas dan resiliensi pada ibu yang
memiliki anak retardasi mental, khususnya Psikologi
Perkembangan dan Psikologi Klinis.
2. Manfaat praktis
Melalui hasil penelitian ini, diharapkan menambah kepada para
pembaca mengenai religiusitas yang terdapat pada ibu yang
memiliki anak retardai mental. Penelitian ini juga memberikan
manfaat kepada pembaca dalam mengetahui bagaimana
resiliensi keluarga pada ibu yang memiliki anak retardasi mental