Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap orang selalu mengharapkan kehidupan yang bahagia. Salah satu
bentuk kebahagiaan itu adalah memiliki anak yang sehat dan normal, baik
secara fisik maupun mental. Tetapi tidak sedikit orangtua yang dikaruniai
anak yang tidak normal. Anak-anak tidak normal dapat juga dikatakan
sebagai anak cacat atau yang lebih familiar di kehidupan masyarakat adalah
anak berkebutuhan khusus (ABK). Mereka yang disebut anak berkebutuhan
khusus ini berbeda dari kebanyakan anak karena diantara mereka memiliki
kekurangan seperti keterbelakangan mental, kesulitan belajar, gangguan
emosional, keterbatasan fisik, gangguan bicara dan bahasa, kerusakan
pendengaran, kerusakan penglihatan, ataupun memiliki keberbakatan
khusus. Beberapa karakteristik ini dapat menghambat anak berkebutuhan
khusus mengembangkan diri secara optimal. Dalam hal ini retardasi mental
atau keterbelakangan mental dapat dijadikan contoh dalam karakteristik
anak berkebutuhan khusus yang memang dapat menghambat anak untuk
mengembangkan diri (Mangunsong, 2012).

Retardasi mental itu sendiri menurut Diagnostic and Statistical


Manual of Mental Disorder (DSM-IV-TR , 2000) ialah suatu gangguan
aksis II, didefinisikan sebagai: (1) Fungsi intelektual yang di bawah rata-rata
bersama dengan, (2) Kurangnya perilaku adaptif; dan (3) Terjadi sebelum
usia 18 tahun. Disamping definisi dari retardasi mental itu sendiri adapun
etiologi yang selalu mengikutsertakannya yaitu antara lain, anomali genetik
atau kromosom, penyakit gen resesif, penyakit gen, kecelakaan dan bahaya
lingkungan.

1
2

DSM-IV-TR (2000) juga menjelaskan mengenai beberapa klasifikasi


retardasi mental yaitu: Retardasi mental ringan (IQ 50-55 hingga 70),
penderita retardasi mental ringan merupakan kelompok dari penderita
retardasi mental yang tidak memperlihatkan kelainan fisik mencolok.
Retardasi mental sedang (IQ 35-40 hingga 50-55), adalah mereka dengan
kelemahan fisik dan disfungsi neurologis yang menghambat ketrampilan
motorik normal, seperti memegang dan mewarnai di dalam garis serta
ketrampilan motorik kasar seperti berlari dan memanjat. Retardasi mental
berat (IQ 20-25 hingga 35-40), mereka memiliki abnormalitas fisik sejak
lahir dan keterbatasan dalam pengendalian sensor motor. Retardasi mental
sangat berat (IQ di bawah 20-25) sebagian besar dari mereka memiliki
abnormalitas fisik berat serta kerusakan neurologis dan tidak dapat berjalan
sendiri kemanapun.

Dalam pengklasifikasian seperti di atas, jelas terlihat yang banyak


menuntut perhatian dari banyak pihak ataupun orang tua dari anak retardasi
mental adalah retardasi mental sedang sampai dengan retardasi mental
sangat berat. Peran dan ketahanan orang tua khususnya ibu akan lebih besar
bila mereka memiliki anak dengan kondisi retardasi mental sedang sampai
dengan retardasi mental sangat berat dibandingkan dengan anak retardasi
mental ringan. Hal ini dikarenakan kondisi psikis dan fisik anak retardasi
mental sangat lemah dan memang membutuhkan penanganan khusus
sehingga peran orangtua akan dilibatkan secara optimal.

Untuk mendapatkan peran orangtua yang optimal maka dibutuhkan


suatu bentuk ketahanan yang lebih. Namun, orangtua yang memiliki anak
retardasi mental sedang sampai retardasi mental sangat berat akan
cenderung lebih pasrah dengan keadaan anaknya sehingga cenderung tidak
memiliki ketahanan yang lebih untuk tetap berjuang dalam mengasuh
3

anaknya. Hal ini tentunya dapat mempengaruhi perkembangan anak tersebut


Oleh sebab itu diperlukan penerimaan diri dan ketahanan yang lebih dari
orang tua untuk merawat, supaya anak yang cacat dapat tumbuh dan
berkembang dengan baik sehingga dapat diterima oleh lingkungan sosialnya
(Desi Warih, 2004).
Menurut Hurlock (1956) orangtua yang menerima anaknya akan
menempatkan diri dalam suatu posisi yang penting di rumah dan orang tua
akan mengembangkan suatu hubungan emosional yang hangat dengan
anaknya. Secara khusus, dalam sebuah keluarga, ibu adalah sosok yang
memiliki peran yang sangat besar dan penting dalam proses tumbuh
kembang anak. Kepada ibu, anak pertama kali berinteraksi. Ibulah yang
paling dekat dengan anaknya.
Menurut Moeljono dan Latipun (2001) ibu yang menyusui anaknya
pada dasarnya adalah melatih anak dalam proses sosialisasi. Ibu juga
memiliki peranan penting dalam perkembangan emosi dan rasa simpati
dalam memupuk sense of belonging pada anaknya ini akan memperkuat
perasaan anak untuk hidup bermasyarakat. Selain itu peran ibu dalam
pendidikan anak tidaklah tergantikan. (Surat Ibu kepada Putranya, 2011).
Peran wanita sebagai seorang ibu merupakan sumber stres sendiri, dan stres
itu akan semakin besar jika ibu memiliki anak penyandang cacat (Bania,
2008). Stres pada ibu yang memiliki anak penyandang cacat, khususnya
retardasi mental berhubungan dengan masalah perilaku anak. Hal ini
diperkuat oleh Walker (1989) bahwa permasalahan perilaku penyandang
retardasi mental dapat menyebabkan ibu mengalami stres.
Adapun hasil penelitian yang dilakukan oleh Kumar (2008) ibu yang
memiliki anak retardasi mental dipastikan lebih mudah mengalami stres
psikologis dibandingkan dengan ibu dari anak yang normal. Stres ini
diakibatkan karena banyaknya beban yang ditanggung dari anak retardasi
4

mental baik beban secara fisik, psikis dan sosial. Menurut Friedrich (dalam
Perry, 2004) bahwa salah satu beban fisik penyebab stres pada ibu dari anak
retardasi mental berkaitan dengan ketidakmampuan anak dalam melakukan
aktivitas sehari-hari membuat ibu harus selalu membantu dan mendampingi
anaknya. Hal itu tentu saja menyebabkan ibu mengalami kelelahan fisik.
Sedangkan beban psikis yang dirasakan ibu, berkaitan dengan proses
penerimaan mulai dari rasa kaget, kecewa, rasa bersalah atas kondisi anak,
serta ada tidaknya dukungan dari keluarga.
Ada faktor yang dirasa dapat mempengaruhi tinggi-rendahnya tingkat
stres pengasuhan khususnya pengasuhan ibu yang memiliki anak retardasi
mental yaitu jaringan sosial dan dukungan, problem solving dan coping
skill, dan religious affiliation (Johnston dkk, 2003). Dalam hal ini religious
affiliation dapat dilakuan dengan cara lebih mendekatkan diri pada Tuhan
melalui penghayatan dan pengamalan nilai-nilai keagamaan (dalam Faridi,
2002). Dengan mendekatkan diri pada Tuhan, seseorang akan senantiasa
merasa tentram, tenang, penuh pertimbangan dan perhitungan yang matang,
ikhlas, sabar dan lapang dada (Adz-Dzaky, 2002).
Dalam pengasuhan anak retardasi mental, orangtua, khususnya ibu,
harus memiliki tingkat religiusitas yang tinggi untuk tetap bertahan dalam
keadaan krisis seperti ini. Hal ini dikarenakan individu dengan religiusitas
yang tinggi dianggap memiliki pedoman untuk merespon hidup dan
mempunyai daya tahan yang lebih baik dalam mengelola permasalahan
yang dihadapi (Prihastuti & Theresiawati, 2003). Lebih lanjut Rahmat
(2002) mengatakan bahwa jika penghayatan dan pelaksanaan terhadap nilai-
nilai agama tersebut meningkat, maka akan memunculkan perasaan bahagia,
senang, puas, merasa aman yang pada akhirnya akan mengacu pada
ketenangan batin. Tingkat religiusitas yang tinggi bisa diasumsikan dapat
meningkatkan kemampuan seseorang dalam mengatasi ketegangan-
5

ketegangan akibat permasalahan yang dirasakan berat dan menekan. Hal itu
sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Kumar (2008) bahwa dalam
mengatasi stres pengasuhan pada orang tua yang memiliki anak dengan
keterbelakangan mental dipengaruhi oleh sumber daya/kualitas pribadi
orang tua, meliputi kesehatan fisik, moral yang baik,
kepercayaan/religiusitas, pengalaman dalam menangani masalah,
ketrampilan pengasuhan, kecerdasan, dan karakteristik kepribadian orang
tua.
Dalam konsep religiusitas, penghayatan dan pelaksanaan terhadap
nilai-nilai keagamaan secara menyeluruh akan memunculkan ketenangan
batin sehingga mampu meningkatkan daya tahan seseorang dalam mengatasi
ketegangan-ketegangan akibat permasalahan yang dirasakan berat dan
menekan (Adz-Dzaky, 2002). Daya tahan yang dimaksudkan dalam hal ini
berkaitan dengan definisi dari resiliensi itu sendiri yaitu kemampuan yang
dimiliki individu untuk mampu bertahan dan berkembang secara positif
dalam situasi yang penuh tekanan (Davis, 1999). Adapun definisi resiliensi
menurut Reivich dan Shatte (2002) yaitu kemampuan untuk mengatasi dan
beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam
kehidupan. Bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan
dengan kesengsaraan (adversity) atau trauma yang dialami dalam
kehidupannya.
Seorang ibu dari anak retardasi mental yang resilien akan mampu
beradaptasi dengan perubahan yang ada, menghadapi tekanan, memandang
hidup secara positif, pulih dan berkembang menjadi individu yang lebih
kuat dan bijak (Rizky, 1998). Untuk dapat menjadi seorang individu yang
resilien, seseorang harus memiliki keahlian-keahlian yang disebut oleh
Reivich dan Shatte (2002) dengan istilah tujuh faktor resiliensi. Tujuh faktor
resiliensi yaitu, emotion regulation, impulse control, optimism, causal
6

analysis, empathy, self-efficacy dan reaching out. Masing–masing individu


memiliki kekuatan yang berbeda–beda pada setiap faktor (Reivich and
Shatte, 2002). Perbedaan kekuatan pada setiap faktor resiliensi yang
terdapat pada masing-masing individu akan mempengaruhi kemampuan
resiliensi seorang individu.
Resiliensi itu sendiri pun sepenuhnya berada dalam kontrol individu
dan kemampuan ini dapat dikuasai oleh individu manapun melalui proses
latihan (Reivich and Shatte, 2002). Ketika seorang ibu yang memiliki anak
retardasi mental terus menerus berusaha untuk meningkatkan kemampuan
tujuh faktor resiliensi yang ada pada dirinya, maka bersamaan dengan itu
kemampuan resiliensi yang dimiliki dengan sendirinya akan meningkat.
Resiliensi tidak hanya ditekankan pada hasil akhir yang positif
mengenai individu yang mampu bertahan dan pada akhirnya mampu
berkembang secara positif. Resiliensi juga harus dilihat secara utuh sebagai
proses, dengan melihat faktor-faktor pendukung yang berkontribusi dalam
membentuk seorang individu yang resilien (Hjemdal, 2007). Tentunya
mustahil bagi seorang ibu yang memiliki anak retardasi mental untuk
menjadi resilien tanpa sebelumnya terdapat sebuah proses yang didalamnya
melibatkan faktor-faktor pendukung baik yang datang dalam individu
tersebut maupun dari lingkungan.
Ruter (1987) menyebutkan faktor-faktor pendukung ini dengan istilah
faktor protektif. Ruter juga menjelaskan bahwa faktor-faktor protektif ini
dapat mengubah, mengurangi, atau meningkatkan respon individu terhadap
pengaruh lingkungan yang memberi kecenderungan untuk mengalami
perkembangan maladaptif. Adapun faktor-faktor protektif dan mekanisme
dibagi dalam beberapa kategori (1) sumber daya dan karakteristik yang
positif dari individu; (2) keluarga yang stabil dan memberikan dukungan
7

yang ditandai adanya pertalian diantara anggota keluarga; (3) jaringan sosial
eksternal yang mendukung dan memperkuat cara coping yang adaptif.
Dalam hal ini ada beberapa contoh penelitian sebelumnya yang lebih
menitikberatkan pada poin ke-2 dalam faktor-faktor protektif yaitu keluarga
yang stabil dan memberikan dukungan yang ditandai adanya pertalian
diantara anggota keluarga. Seperti contoh dalam penelitian King, King,
Rosenbaun, dan Goffin (1999) yang melakukan penelitian mengenai
hubungan antara perhatian dengan kesejahteraan pada orang tua yang
memiliki anak retardasi mental. Penelitian dilakukan pada 164 orang tua
yang memiliki anak dengan gangguan perkembangan mental. Hasil
penelitian ini menyatakan bahwa banyaknya perhatian yang diberikan oleh
keluarga, merupakan prediktor yang kuat bagi kesejahteraan orang tua. King
dkk, menyatakan bahwa hal ini merupakan salah satu bentuk resiliensi
khususnya dalam keluarga.
Dari hasil penelitian tersebut, terlihat jelas bahwa peranan resiliensi
juga berlaku dalam ruang lingkup keluarga. Pandangan yang sistematis
mengenai resiliensi melalui konteks ekologis dan perkembangan
mengidentifikasikan bagian-bagian yang dapat membuat suatu keluarga,
khususnya peran sebagai ibu dapat menghadapi krisis secara lebih efektif
dan tekanan secara persisten (Hawley & DeHaan, 1996).
Suatu bentuk ketahanan atau resiliensi bisa terlihat jelas dari tingkat
religiusitas yang dimiliki individu. Hal ini karena faktor religiusitas
berpengaruh penting dalam perilaku resiliensi tersebut. Sudah ada beberapa
contoh penelitian yang meneliti tentang hubungan antara religiusitas dengan
resiliensi, salah satu contohnya adalah dalam suatu penelitian yang berjudul
“Faktor Protektif dan Faktor Resiko terhadap Dampak Psikologis pada
Penyintas Bencana Merapi” yang dilakukan oleh (Retnowati, 2011)
menjelaskan bahwa ada hubungan yang signifikan antara resiliensi dan
8

religiusitas dengan depresi dalam menghadapi para penyintas bencana


merapi.
Dari contoh penelitian di atas, dapat dikatakan bahwa tingkah laku
resiliensi yang muncul tentunya didasari oleh religiusitas yang kemudian
berpengaruh pada tinggi atau rendahnya resiliensi. Dalam penelitian ini
sendiri, penulis mengkhususkan pada hubungan religiusitas dan resilensi
pada ibu yang memiliki anak retardasi mental. Penulis menemukan ada
kesamaan karakteristik dari penelitian sebelumnya mengenai hubungan
religiusitas dan resiliensi dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis
sendiri. Karakteristik yang sama dalam kedua penelitian ini adalah kedua
penelitian ini sama-sama membahas tentang adanya hubungan religisuitas
dengan resiliensi yang dapat ditinjau dari permasalahan tingkat stres yang
dialami pada masing-masing subjek dalam kedua penelitian ini, yaitu para
korban penyintas bencana dan ibu dengan anak retardasi mental.
Jika dilihat dari fenomena yang ada di dalam masyarakat sendiri
terdapat perbandingan dengan penelitian sebelumnya yang mengatakan
bahwa religiusitas dan resiliensi mempunyai hubungan positif yang
signifikan. Sebagai contoh salah seorang ibu yang memiliki anak menderita
retardasi mental menceritakan pengalamannya dalam sebuah pertemuan
langsung dengan penulis.
“Mereka tidak tahu, bahwa ketika pertama kali saya menyadari
anak saya memiliki kekurangan, ingin rasanya saya sembunyi di suatu
tempat dan tidak bisa diketemukan siapapun. Saya menghibur diri,
bahwa anak saya tidak apa-apa, bahwa dia hanya terlambat saja
perkembangan motoriknya, bahwa dia sebentar lagi pasti “sembuh”.
Pertanyaan-pertanyaan seperti: “apa salah saya?”, “bagaimana bisa
saya memiliki anak seperti itu?”, “mengapa ini terjadi pada diri
saya” hampir tiap malam saya lontarkan pada diri sendiri”.
9

Dalam kutipan tersebut beliau tidak dapat menerima kehadiran anak


yang mengalami kekurangan. Hal ini membuat beliau sering kali
menyalahkan diri sendiri. Beliau dipenuhi oleh rasa bersalah atas kecacatan
yang dialami oleh anaknya. Ia terkejut karena pada awal pemeriksaan medis
terhadap janinnya tidak pernah menunjukan bahwa anaknya akan lahir
cacat. Dalam kasus seperti ini, beliau mengalami proses penyangkalan yang
cukup panjang hingga akhirnya ia dapat menerima kondisi anaknya. Proses
penerimaan tersebut merupakan proses yang berat untuk dijalani oleh
dirinya. Bila dilihat dalam rutinitas kesehariannya ia terbilang rajin
mengikuti kegiatan keagamaan, contohnya rajin beribadah di gereja, rajin
mengikuti kegiatan gereja, dan dia cukup terkenal di lingkungan gereja
karena keaktifannya mengikuti kegiatan ibadah digereja. Namun dia tidak
aktif untuk mengasuh anaknya yang mengalami retardasi mental. Anaknya
dibiarkan sendiri dan hanya dititipkan di yayasan panti rehabilitasi anak
cacat tanpa ikut serta dalam mengasuh.
Jelas terlihat bahwa orangtua seperti ini tidak memiliki ketahanan
dalam mengasuh anaknya yang cacat walaupun rajin melakukan tugas dan
tanggung jawab sebagai orang beragama. Fenomena seperti ini cukup
menjadi bukti adanya pertentangan dengan beberapa penelitian sebelumnya
yang mengatakan bahwa ada hubungan yang positif antara religiusitas dan
resiliensi. Hal ini pun yang membuat peneliti semakin tertarik melakukan
penelitian ini dan menjadikannya ciri khas dari penelitian ini sendiri.

B. Permasalahan penelitian

Bagaimana hubungan religiusitas dengan resiliensi pada ibu yang


memiliki anak retardasi mental
10

C. Tujuan Penelitian

Menemukan hubungan antara religiusitas dengan resiliensi pada ibu


yang memiliki anak retardasi mental.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
informasi yang lebih luas dalam bidang psikologi tentang
hubungan antara religiusitas dan resiliensi pada ibu yang
memiliki anak retardasi mental, khususnya Psikologi
Perkembangan dan Psikologi Klinis.
2. Manfaat praktis
Melalui hasil penelitian ini, diharapkan menambah kepada para
pembaca mengenai religiusitas yang terdapat pada ibu yang
memiliki anak retardai mental. Penelitian ini juga memberikan
manfaat kepada pembaca dalam mengetahui bagaimana
resiliensi keluarga pada ibu yang memiliki anak retardasi mental

Anda mungkin juga menyukai